3 Alasan Pemerintah Pertahankan Pasal Penghinaan Presiden di RKUHP
TEMPO.CO, Jakarta – Wakil Menteri Hukum dan HAM Edward Omar Sharif Hiariej menjelaskan tiga alasan pemerintah masih mempertahankan pasal penghinaan presiden dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana atau RKUHP.
RKUHP ini sudah disetujui Komisi Hukum DPR pada 25 Mei dan siap disahkan awal Juli 2022.
“Saya lihat di televisi, tadi malam itu masih diperdebatkan, adalah soal penghinaan terhadap presiden,” kata Edward saat mengisi kuliah tamu di Fakultas Hukum Universitas Jember, Jawa Timur, Kamis, 2 Juni 2022.
Pertama, Edward menyebut KUHP di seluruh dunia ini memuat pasal atau bab yang berjudul penghinaan martabat kepala negara asing. “Kira-kira masuk akal enggak ya, kepala negara asing dilindungi, kepala negara sendiri tidak?” kata dia.
Kedua, pasal penghinaan presiden di RKUHP sama sekali tidak menghidupkan pasal yang sudah dimatikan oleh Mahkamah Konstitusi (MK). Edward menyebut, putusan MK hanya menganulir pasal penghinaan presiden dengan delik biasa.
Sementara, RKUHP menetapkan kalau pasal penghinaan presiden merupakan delik aduan. Artinya, hanya presiden sendiri yang bisa melaporkan penghinaan terhadap dirinya.
Ketiga, pasal penghinaan presiden di RKUHP ini juga tidak bertentangan dengan prinsip equality before the law alias kesetaraan di depan hukum. Edward mengaku telah mendengar argumen dari kelompok pro demokrasi yang mengkritik pasal penghinaan presiden ini.
Salah satu argumen kelompok pro demokrasi, kata Edward, adalah pasal ini tidak menjunjung kesetaraan di depan hukum. “Mereka (pro demokrasi) minta, sudahlah kalau presiden itu dihina, dimasukkan saja dalam pasal 310 KUHP kan, mengenai penghinaan biasa, toh dia (Presiden) juga adalah warga negara,” kata Edward.
Pasal 310 mengatur soal pencemaran nama baik. Edward lantas membandingkan pasal makar berupa pembunuhan terhadap presiden yang ada di semua KUHP di seluruh dunia. Edward menyebut pasal ini tetap ada, sekalipun sudah ada pasal pembunuhan biasa.
Alasannya, kata Edward, karena memang presiden harus diistimewakan. Selain itu dalam beberapa konteks, presiden merupakan personifikasi negara yang memang harus diberikan perlindungan hukum ekstra. “Tidak gampang jadi presiden 200 juta penduduk,” ujar Edward.
Selain ketiga alasan tersebut, Edward juga menjelaskan posisi pasal penghinaan presiden di berbagai negara di dunia. Secara umum isi KUHP di dunia itu sama, kecuali untuk tiga isu yang berbeda antar negara.
Pertama soal kejahatan politik. Di RKUHP, kata dia, tak ada satupun pasal dan bab soal kejahatan politik. “Tapi coba buka KUHP Prancis, ada kejahatan politik,” ujarnya.
Kedua soal kejahatan terhadap kesusilaan. Di KUHP Cina, kata Edward, tak ada satupun bab soal kejahatan terhadap kesusilaan. Lalu yang ketiga soal defamation alias penghinaan. “Masing-masing negara berbeda,” kata dia.
Edward lalu menceritakan aksi demo di Canberra, Australia, saat Presiden Amerika Serikat George W. Bush pada 2003 menginvasi Irak dengan alasan menemukan senjata biologis. Peserta demo membawa patung boneka Bush yang membawa anjing dengan kepala John Howard, Perdana Menteri Australia saat itu. “Coba kalau itu terjadi di Indonesia, kalau gak digeruduk sama massa-massa pendukung,” ujar Edward.
Sehingga ketika bicara soal pasal penghinaan kepala negara, Ia meminta agar tidak dibandingkan dengan aturan di negara lain. Pemerintah, kata dia, tidak sedang menyusun RKUHP negara lain, melainkan RKUHP Indonesia.
“Jadi sangat sekali-kali membandingkan kejahatan politik, kejahatan kesusilaan, soal penghinaan, dengan negara lain, itu salah betul, karena pasti berbeda,” ujarnya.
Baca berita selengkapnya di sini