Akademisi Ini Jelaskan Konsekuensi Logis Masuknya Pidana Khusus dalam RKUHP
Dampaknya bakal ada turbulensi dalam implementasinya bagi penegak hukum di awal dalam penanganan perkara tindak pidana khusus.
Pengaturan tindak pidana khusus masuk dalam draf Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) semula mendapat penolakan dari banyak elemen masyarakat. Tapi, pemerintah dan DPR tetap “tancap gas” dengan argumentasi yang dibangun secara rasional yakni demi menata sistem hukum pidana nasional.
Wakil Dekan I Fakultas Hukum Universitas Jember, I Gede Widhiana Suarda mengatakan proses pembuatan dan pembahasan RKUHP menapaki jalan berliku. Sempat nyaris bakal disahkan dalam rapat paripurna DPR, namun terganjal akibat penolakan dari elemen masyarakat pada 2019 silam.
Dia melihat RKUHP belum mengalami perkembangan signifikan dalam pembahasannya di DPR. Sebab, pemerintah masih mendalami sejumlah materi yang diatur dalam draf RKUHP. Dia menerangkan politik hukum nasional menginginkan adanya rekodifikasi. Makanya ada keinginan menempatkan sejumlah tindak pidana khusus masuk ke dalam RKUHP.
Hal itu bermula dari adanya kegelisahan dari kalangan akademisi hukum pidana yang berlangsung cukup lama. Sebab, banyak UU yang bersifat khusus di luar KUHP jauh lebih berkembang. Sedangkan KUHP yang merupakan peninggalan kolonial Belanda tak pernah mengalami perubahan. Gede Widhiana mengibaratkan KUHP sebagai tanaman besar yang notabene induk dari hukum pidana.
“Kalau diibaratkan, KUHP ini tanaman besar. UU di luar KUHP, seperti tanaman liar. Tapi kok (seolah, red) menggerogoti tanaman besar,” ujar I Gede Widhiana dalam diskusi Instagram Live Hukumonline Academy ke-18, Jumat (11/3/2022).
Karena itu, dalam perkembangannya, adanya urgensi memasukkan UU yang mengatur tindak pidana khusus ke dalam RKUHP. Tapi Gede Widhiana melihat tanpa memangkas ciri khas dari UU yang bersifat khusus itu. Setidaknya ada lima tindak pidana khusus yang masuk dalam RKUHP dengan prinsip rekodifikasi. Seperti tindak pidana korupsi, pelanggaran hak asasi manusia (HAM) berat, tindak pidana pencucian uang (TPPU), narkotika, dan terorisme. Meski begitu, dia mengakui akan ada dampak menarik sejumlah norma dari masing-masing UU yang mengatur tindak pidana khusus tersebut.
“Bakal ada turbulance di awal dalam penanganan tindak pidana khusus oleh penegak hukum,” ujarnya.
Menurutnya, ada beberapa konsekuensi logis dari tindakan memasukkan lima jenis tindak pidana khusus ke dalam RKUHP. Pertama,dampak implementasi bagi aparat penegak hukum. Dia memperkirakan awal-awal menerapkan RKUHP bila disahkan menjadi UU, aparat penegak hukum bakal bingung ketika menangani perkara tindak pidana khusus.
Namun dia optimis, setelah berjalannya waktu aparat penegak hukum bakal paham kapan menggunakan KUHP yang baru dan UU eksisting dalam menangani perkara tindak pidana khusus. Sebab, RKUHP hanya menarik sedikit pasal dari UU eksisting yang mengatur tindak pidana khusus. Selebihnya, UU eksisting masih tetap berlaku dalam penanganan tindak pidana khusus.
Kedua, masuknya tindak pidana khusus menjadi bridging (jembatan) antara KUHP yang mengatur tindak pidana bersifat umum dengan UU yang bersifat khusus. “Jadi ini seperti konsolidasi dalam menata kembali hukum nasional. Jadi tanaman yang liar itu mau ditata beriringan dengan tanaman besar sebagai induknya,” ujarnya mengibaratkan.
“Kita sangat membutuhkan KUHP baru. Karena KUHP yang berlaku saat ini peninggalan kolonial. Kita sangat tragis sudah merdeka puluhan tahun, tapi tidak bisa buat KUHP nasional sendiri,” keluhnya.
Sebagai informasi, nasib RKUHP pada 2019 silam sempat hendak diambil keputusan di rapat paripurna DPR karena diklaim telah rampung pembahasannya antara DPR dan pemerintah, meski dinilai sejumlah elemen masyarakat masih banyak masalah. Hingga akhirnya mendapat penolakan melalui aksi demonstrasi dari berbagai elemen masyarakat, sehingga pengesahan akhirnya ditunda.
Kemudian, DPR dan pemerintah sepakat memasukkan RKUHP dalam daftar Prolegnas Prioritas 2022 dengan nomor urut 29. Sebelumnya pemerintah kembali melakukan road show menyerap masukan dari banyak perguruan tinggi. Langkah yang sama pun dilakukan oleh Panja RKUHP di DPR. Namun hingga kini, pemerintah belum juga menyerahkan draf RKUHP terakhir (final) versi pemerintah ke DPR.
Ketiga, dalam hukum pidana nantinya mengacu pada sistem bangunan hukum pidana nasional. Pendek kata, masuknya pidana khusus diatur menjadi satu sistem. Menurutnya, Buku I RKUHP menjadi induk. Boleh dibilang, apapun problem dalam penanganan tindak pidana khusus harus dikembalikan ke dalam rumus buku I KUHP untuk menemukan jawabannya.
“Dalam UU yang bersifat khusus apapun karakter kekhasannya, tetap mengacu pada buku ke-1 RKUHP,” lanjutnya.
Keempat,kriteria. Menurut pria yang juga menjadi bagian anggota Tim Perumus RKUHP di internal pemerintah itu, ada sejumlah kriteria memasukkan lima jenis tindak pidana khusus tersebut. Seperti adanya dampak viktimisasi yang ditimbulkan dari tindak pidana tersebut sangat luas.
Kemudian dilakukan secara terorganisir dengan menggunakan sarana teknologi informasi, kejahatan asal menjadi predicate crime dari tindak pidana pencucian uang, diperlukan lembaga khusus menangani kejahatan tersebut. Kemudian lahir dari konvensi internasional dan adanya celaan besar terhadap kejahatan khusus tersebut.
Sumber berita klik di sini.