Bagir Manan Ingatkan DPR Soal Kodifikasi Hukum
Penentuan arah politik kodifikasi dalam RUU KUHP wajib jelas
Mantan Ketua Mahkamah Agung (MA) Bagir Manan mengingatkan DPR soal kodifikasi hukum di RUU KUHP. Atas dasar itu, argumen arah kebijakan politik kodifikasi hukum dalam RUU KUHP wajib jelas. Permintaan itu tidak bermaksud untuk mempersoalkan perlu atau tidak perlunya kodifikasi yang diikuti dengan unifikasi terhadap RUU KUHP. Melainkan, bertujuan agar basic policy yang menjadi latar belakang penyusunan RUU KUHP bisa jelas serta dapat dipertanggungjawabkan.
“Tidak ada maksud saya untuk mempersoalkan perlu atau tidak perlu kodifikasi. Yang perlu dipikirkan adalah konsekuensi dari kodifikasi itu,” kata Bagir dalam focus group discussion RUU KUHP di Komisi III DPR, Kamis (22/10).
Bagir menambahkan bahwa tujuan kodifikasi mesti punya basic policy yang kuat. Sebab dari sisi sejarahnya, salah satu tujuan dilakukan kodifikasi adalah untuk memperkuat sentralisasi penyelenggaraan negara. Selain itu, kodifikasi pada masa lalu dalam rangka menjaga hakim agar tidak begitu bebas karena terikat dengan kaidah kodifikasi hukum. Sehingga, muncul istilah hakim adalah mulut dari undang-undang.
“Sekarang basic policy kita sebenarnya gimana terhadap kodifikasi itu? Saya berharap tidak sekedar karena dalam rangka mengganti KUHP zaman dulu tapi ada satu hal yang dapat dipertanggungjawabkan kepada publik dan kepada sejarah mengapa kita membuat KUHP itu,” katanya.
Alasan lainnya, kata Bagir, kodifikasi pada masa itu terjadi karena cabang-cabang hukum yang dijadikan peraturan hampir semuanya dilekati dengan ancaman pidana. Sebab, memberikan ancaman pidana dalam suatu aturan pada waktu itu dinilai sebagai cara terbaik agar aturan itu bisa efektif ditegakkan. Sehingga hal itu mendorong perkembangan hukum pidana di luar KUHP.
“Banyak kaidah di luar KUHP. Apa di masa yang akan datang akan seperti itu juga? Di samping KUHP akan berkembang kaidah di luar KUHP. Jadi ini mendorong perkembangan hukum pidana di luar KUHP,” ujar Ketua Dewan Pers ini.
Berkaitan dengan hal itu, Bagir mempertanyakan, upaya apa yang akan dilakukan sehingga kodifikasi sejalan dengan perkembangan masyarakat, ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK) yang begitu cepat. Selain itu, perkembangan masyarakat dan IPTEK yang cepat juga menimbulkan konsekuensi kepada tingkah laku menyimpangi aturan pidana.
Atas dasar itu, mau tidak mau untuk mengisi celah atau gap itu maka RUU KUHP mesti memberikan diskresi yang luas kepada aparat penegak hukum. Namun, Bagir khawatir, jika aparat penegak hukum diberikan diskresi yang luas sama halnya seperti orang yang berjalan di lereng gunung yang licin, sehingga mudah sekali tergelincir, tidak terkontrol, dan sewenang-wenang.
“Nah itu mengapa saya ingin agar ketika kita menyusun KUHP itu, basic policy atau basic idea itu harus kita punya arahnya,” tandasnya.
Di tempat yang sama, Wakil Jaksa Agung, Andhi Nirwanto, berharap agar RUU KUHP ini bisa disusun secara cermat dan komprehensif. Sebab, pada akhirnya setelah RUU KUHP sah menjadi UU, institusi Kejaksaan menjadi aparat penegak hukum yang memiliki kepentingan di dalamnya. Misalnya, ujung dari setiap perkara yang disidik adalah penuntutan di muka pengadilan sampai dengan proses pembuktian unsur-unsur tindak pidana dilakukan oleh jaksa penuntut umum.
Lebih lanjut, proses eksekusi yang menjadi pelaksanaannya juga jaksa penuntut umum. Sehingga, Andhi meminta agar pasal-pasal dalam RUU KUHP terhindar dari pasal-pasal yang multi tafsir terutama mengenai unsur-unsur tindak pidananya. Selain itu, mesti dilakukan harmonisasi antara peraturan perundang-undangan lainnya agar jaksa mudah dalam mengimplementasikan di dalam persidangan.
“Saya mengharapkan kiranya RUU KUHP nanti disusun secara cermat dan komprehensif jangan sampai multi tafsir khususnya unsur-unsur tindak pidananya. Harus juga ada harmonisasi dengan peraturan perundang-undangan yang lain. Ini sebagai warning buat kita semua ketika nanti menyusun unsur-unsur dalam Pasal di RUU KUHP,” pungkasnya.
Sumber: HukumOnline.com