Banyak Perda Tidak Tunduk Pada KUHP

Kementerian Dalam Negeri diminta untuk lebih ketat mengawasi penerbitan peraturan-peraturan daerah yang memuat aturan sanksi pidana. Pasalnya, pemuatan sanksi pidana di dalam peraturan daerah tidak sinkron dengan kebijakan hukum pidana nasional.

Karena itu. Aliansi Nasional Reformasi Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) mendesak perlunya pembuatan pedoman pemberlakuan aturan pidana di dalam peraturan daerah (perda).

“Kami juga mendorong agar Rancangan KUHP memberi batasan jelas mengenai hal ini.” kata anggota Aliansi, Supriyadi Widodo Eddyono, Selasa (27/10), di Jakarta.

Menurut Supriyadi, duplikasi ketentuan pidana di KUHP oleh perda harus dibatasi Perda seharusnya hanya memuat ketentuan pidana administratif.

Kepala Divisi Kajian Hukum Lembaga Kajian dan Advokasi untuk Independensi Peradilan Arsil mengatakan, alat paksa perda agar dipatuhi seharusnya hanya pidana administratif.

Adapun pengaturan pidana di perda terjadi karena diizinkan Pasal 15 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan dan Pasal 143

Ayat (2) UU Pemerintah Daerah. Disebutkan, perda dapat memuat ancaman pidana, seperti kurungan dan denda.

Aliansi menengarai ada empat macam kebijakan kriminalisasi di perda yang tidak sinkron dengan hukum pidana nasional. Kebijakan kriminalisasi itu ialah kriminalisasi pengaturan yang didelegasikan oleh UU ke perda, seperti retribusi dan pajak; kebijakan kriminalisasi terhadap hal-hal yang sudah diatur di KUHP, seperti miras dan pelacuran; kebijakan kriminalisasi berbasis hukum Islam, seperti Qanun Jinayat Aceh Nomor 6 Tahun 2014; dan kebijakan kriminalisasi yang berasal dari hukum adat

Mantan komisioner Komisi Nasiona] Perempuan, Ninik Rahayu, mengatakan, hingga November 2014, pihaknya mendapati setidaknya terdapat 364 perda yang diskriminatif. Karena itu, ia meminta pemerintah menganulir perda itu sejak awal.

“Yang menarik, bahkan ada peraturan-peraturan daerah yang bukan saja membuat aturan pidana baru, tetapi (sanksinya) justru lebih rendah dari aturan lain. Ada perda tentang perdagangan manusia, misalnya, yang ancaman hukumannya lebih rendah dari aturan lain.” ujar Ninik Rahayu.

Sumber: Harian Kompas

Leave a Reply