Buang Waktu Pembahasan, Pasal Penghinaan Presiden Baiknya Didrop
Presiden Joko Widodo menyerahkan sepenuhnya pasal penghinaan terhadap presiden/wakil presiden dalam RKUHP kepada DPR untuk kemudian ditarik atau tetap dilakukan pembahasan. Namun bagi Aliansi Nasional Reformasi KUHP, ketentuan normal itu ditarik, ketimbang membuang waktu panjang melakukan pembahasan lima pasal tersebut.
“Ya sudah didrop saja, jadi jangan buang-buang waktu saja. DPR dan pemerintah sepakati saja untuk tidak dibahas,” ujar anggota Aliansi Nasional Reformasi KUHP, Anggara Suwahju dalam sebuah diskusi di Jakarta, Kamis (6/8).
Memang materi muatan RKUHP terbilang berat. Apalagi ketentuan norma yang mengatur pemidanaan sebanyak 786 pasal. Perlakuan terhadap pembahasan RKUHP tentunya mesti berbeda dengan RUU lainnya. Ini pula yang mengharuskan ketelitian dan kecermatan DPR dan pemerintah. Apalagi, RKUHP mengatur pemindanaan bagi seluruh rakyat Indonesia.
Terkait dengan keberadaan pasal tersebut, semestinya Menteri Hukum dan Ham Yasonna H Laoly dapat memilah pasal tersebut. Namun faktanya, draf RKUHP diserahkan ke presiden dan mendapat persetujuan untuk kemudian diserahkan kepada DPR. Dengan kata lain, Menkumham telah memberikan persetujuan atas keberadaan pasal tersebut. “Saya menduga Menkumham setuju juga dengan tim perumus soal pasal tersebut,” katanya.
Terpisah, anggota Komisi III Rio Patrice Capella berpandangan pasal yang sama dimasukan kembali dalam RKUHP bukan tidak mungkin bakal diuji materi di MK. Namun dia yakin jika muatan materi redaksionalnya tak jauh berbeda dengan lima pasal yang dicabut dalam KUHP, MK kembali bakal membatalkan. “Pasti akan dibatalkan lagi oleh MK kalau diuji materi ke MK,” ujarnya.
Terlepas dari hal tersebut, Rio berpendapat perlu adanya pasal yang lebih detail mengatur penghinaan terhadap presiden. Dengan catatan, perlu dikelompokan jenis penghinaan terhadap presiden seperti apa yang dapat dipidanakan. Pasalnya antara kritik, fitnah dan pencemaran nama baik berada di area abu-abu.
“Menurut saya memang harus ada pasal yang intinya lebih detail apa yang dimaksud penghinaan terhadap presiden. Apa fitnah terhadap presiden?, fitnah itu apa?. Jadi perlu diatur lebih detail, sehingga tidak menjadi pasal karet dalam RKUHP,” ujarnya.
Meski menghormati martabat presiden, tetapi tidak kemudian membedakan antara seorang presiden dengan masyarakat di depan hukum. Soalnya persamaan di depan hukum berlaku bagi semua rakyat Indonesia, tidak terkecuali seorang presiden. “Kita setuju itu. Tetapi tidak lantas ada yang boleh menghina kepala negara,” ujarnya.
Lebih jauh politisi Nasdem itu menuturkan fraksinya akan membahas secara internal terlebih dahulu. Ia menilai tetap memerlukan ketentuan norma tersebut sepanjang tidak menjadi pasal karet. “Agar presiden tidak dihina semaunya, bukan menjadi kritik tapi jadi penghinaan,” pungkasnya.