Catatan Konsep Ketidakerdayaan dalam Delik Perkosaan R-KUHP
oleh: Saffah Salisa Az-zahro
Draf Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (R-KUHP) yang terbaru mengubah ketentuan pasal pencabulan dan perkosaan. Perkosaan merupakan bentuk khusus dari pencabulan, seperti dijelaskan R. Soesilo. Pasal 285 KUHP mengatur khusus perkosaan sebab ada dampak berat yang ditimbulkan, berupa kehamilan serta hubungan hukum anak dengan pelaku pemerkosaan.Jadi, sebenarnya ada beberapa konsep dasar pencabulan dan perkosaan yang sama tapi tulisan ini akan berfokus pada konsep perkosaan dan permasalahan rumusan pasalnya di R-KUHP. Pasal 479 R-KUHP tentang perkosaan yang masuk ke dalam bab kejahatan terhadap tubuh merupakan respon progresif terhadap riset Komnas Perempuan yang menyatakan bahwa seharusnya pasal perkosaan tidak masuk dalam bab asusila sebagaimana dalam KUHP. Susila adalah sopan santun masyarakat dengan nafsu perkelaminan sehingga hal ini bertendensi menghakimi korban perkosaan, seperti menyalahkan pakaian korban yang mengundang (tidak sopan).
Konsep Ketidaberdayaan
Setelah berkembangnya pendiskusian tentang pemerkosaan dalam tataran global, konsep persetujuan menjadi topik yang sangat penting. Hal ini mencakup tentang otonomi perempuan dalam menentukan integritas tubuh. Menurut tataran global, pembuktian perkosaan harus diarahkan pada pembuktian penetrasi dilakukan dengan kekerasan atau terjadi dalam keadaan-keadaan koersif. Dengan ini, penetrasi koersif akan berhubungan erat dan secara langsung merusak keutuhan tubuh perempuan. Sehingga dampaknya adalah mengafirmasi kemampuan perempuan untuk mengontrol kepribadian dan tubuhnya secara bersamaan. Keadaan koersif ini bukan hanya sebatas kekerasan secara fisik, tapi juga kekerasan psikis maupun bentuk lainnya. Antara lain ancaman kekerasan yang menimbulkan ketakutan, rangkaian kebohongan, bujuk rayu, pemerasan, penyalahgunaan kekuasaan atau adanya relasi kuasa dan intimidasi.
Penting untuk mengidentifikasi kondisi di mana korban memang tidak memiliki kapasitas untuk memberikan persetjuannya (non competen consent). Sebagian besar negara bagian di Amerika Serikat mengkategorikan yang masuk dalam non competent consent adalah anak-anak, orang lanjut usia, orang yang tidak memiliki kapasitas mental, orang tak berdaya, orang yang tak sadarkan diri, dan orang dalam keadaan mabuk. Persetujuan tidak lagi relevan dibicarakan, tapi keadaan koersif atau keadaan orang tidak memiliki kapasitas untuk memberikan persetujuan. Ini juga kerap terjadi pada kondisi adanya relasi kuasa. Pelaku seringkali memanfaatkan kerentanan, kepercayaan dan ketergantungan korban kepadanya. Dalam hal ini korban menjadi tidak berdaya. Kondisi tidak berdaya terjadi ketika seseorang tidak memiliki kapasitas untuk memahami hal apa yang terjadi terhadapnya, dalam hal ini tindakan seksual, sehingga korban terpaksa menerima tindakannya. Kondisi tidak berdaya juga subjektif harus menilai sesuai kasusnya, tidak bisa disamaratakan. Ketidakberdayaan ini sebenarnya diatur dalam Pasal 286 KUHP dan Pasal 479 ayat (3) huruf c R-KUHP tapi ini masih sebagian saja dari konsep ketidakberdayaan, hanya pingsan saja atau tidak berdaya secara fisik, tidak mencakup yang tadi telah dijelaskan. Catatan lainnya, yaitu masih adanya unsur ‘pemaksaan’ sehingga menyulitkan terpenuhi pemerkosaan. Sebagai contoh, terdapat orang dengan kondisi mental terbatas tidak memberi perlawanan atau tidak adanya paksaan melainkan menerima yang diperbuat terhadapnya sebab tidak mengerti, maka tidak akan terpenuhi unsur pemaksaan, tapi tentu merupakan kekerasan seksual