Catatan Pembahasan DIM R KUHP 25 November 2015

Catatan Pembahasan versi DPR bisa di unduh disini

Rapat dimulai pukul 14.15 dan dibuka oleh Ketua Sidang Benny K Harman

Benny K Harman :

Yang terhormat anggota Komisi III, Prof Muladi, Prof Barda dan Prof Tuti, Dirjen PP. Sesuai kesepakatan kemarin, rapat ini kita lanjuutkan dan saya nyatakan rapat ini dibuka dan terbuka untuk umum.

Saya usul hari ini pembahasan sampai pukul 17.00 ya Bapak dan Ibu? Setuju ya, karena kami ada rapat lagi nanti malam. Sesuai kesepakatan pembahasan siang ini untuk membahas DIM DIM yang belum terselesaikan. Kemarin sudah bahas DIM 125 sampai 158.

Hari ini akan dilanjutkan DIM Nomor 159. DIM 159, jika tindak pidana dilakukan oleh korporasi maka pertanggungjawaban pidana dilakukan oleh korporasinya, opengurusnya atau personil korporasi. Fraksi Gerindra dan Nasdem mengajukan perubahan substansi.

Prof Harkristuti Harkrisnowo (Pemerintah/Kemenkumham)

Izin pimpinan, kemarin sudah sepakat DIM 159 sudah sepakat masuk Timus karena Prof Muladi sudah menjelaskan mengenai pertanggungjawaban korporasinya. Menurut catatan kami kita harusnya membahas mulai dari DIM 160.

Benny K Harman :

Kemarin sudah bahas DIM 157 dan 158, mengenai korporasi. Kemarin sudah kita bahas. Di dalam penjelasan ada tidak ya? Penjelasan Pasal 50? Mungkin yang perlu dijelaskan yang dimaksud dengan Personil, Pengurus, atau personil Pengendali Korporasi itu siapa? Apakah pegawai perusahaan bisa dimintai pertanggungajwab pidana? Silahkan Pemerintah jelaskan

Prof Harkristuti :

Di Penjelasan sudah ada pimpinan, mengenai isi Pasal 50, Personel Pengendali Korporasi sudah jelas menjelaskan siapa itu personel Pengendali korporasi dan siapa yang bisa bertanggung jawab secara pidana. Terima kasih pimpinan.

Benny K Harman :

Apakah mereka yang diberi kuasa oleh korporasi termasuk yang bisa dimintai pertanggungjawaban?

Prof Harkristuti :

Itu kayaknya sudah ada di tugas dan kedudukan fungsional

Prof Muladi :

Apa yang disampaikan harusnya mengacu pada International Convention of Criminal Law. Orang yang bertanggung jawab harus memenuhi 3 unsur yaitu yang pertama Mewakili perusahaan, yang kedua memiliki Kewenangan Mengambil Keputusan dan yang terakhir memiliki Kewenangan Pengendalian Tindakan. Tiga kriteria itu yang membuat orang bisa bertanggung jawab atas nama korporasinya

Benny K Harman:

Setuju ya untuk dimasukkan ke Tim Mus tim Sin?

Fraksi Demokrat :

Saya hanya ingin meminta penjelasan, bagaimana mengakomodir bagi pemegang saham yang tidak menjadi pengendali atau tidak memegang kontrol pada korporasi ini. Sebagai pemegang saham tentunya mereka akan terkena dampak oleh pemegang organ fungsionalnya.

Prof Muladi :

Dalam teori korporasi kalau kita gegabah, maka yang menjadi korban adalah Pegawai atau Bahkan Pemilik Saham yang tidak tahu apa-apa. Pasal 55 akan menjaring dengan Pukat harimau siapa yang akan terkena Pertanggungjawaban Pidana Korporasi. Siapa saja yang masuk kategori Pasal 55 dan 56 dialah yang bertanggung jawab dalam pidana korporasi

Fraksi Demokrat :

Yang saya ingin tanyakan bagaimana perlindungan pemegang saham yang tidak ikut campur dalam pengambilan keputusan dalam korporasinya? Bagaimana perlindungan untuk pemilik saham yang beritikad baik ini?

Prof Muladi :

Kalau pemilik saham yang beritikad baik ya tidak bisa dipidana. Yang terpenting adalah Setiap Tindakan Perusahaan harus dipikir matang-matang sebelum dilakukan pengambilan keputusan.

Taufiqulhadi Nasdem :

Izin pimpinan, saya ingin bertanya kepada Prof sekalian, Bukannya perusahaan tidak memiliki kehendak? Bukankah yang memiliki kehendak adalah Para Pengurusnya? Bagaimana perusahaan bisa bertanggung jawab apabila ada pelanggaran oleh korporasi?

Prof Muladi :

Teori pertanggungjawaban korporasi adalah vicarious liability (atau pertanggungjawaban pengganti). Mens rea dari korporasi diambil dari pengurus yang memiliki kedudukan fungsional dalam pengambilan keputusan korporasi itu. Dengan catatan pengambilan keputusan itu akan mempengaruhi langkah perusahaan

Benny K Harman :

Bisa diterima ya pak taufik? Saya rasa DIM 158-159 ini bisa diterima ya? Kita serahkan ke Timus Timsin. Selanjutnya DIM 160, Fraksi Golkar, PKB, PPP dan Hanura meminta usul perubahan subtantif. Kami persilahkan Golkar untuk menjelaskan.

Fraksi Golkar :

Terima kasih ketua, mohon penjelasan dari pemerintah, Tidak semua tindakan korporasi di AD/ART diatur dalam UU. bagaimana tindakan korporasi di dalam AD/ART yang dianggap melanggar delik.

Benny K Harman :

Silahkan PKB untuk menyampaikan pandangannya

Fraksi PKB :

Kurang lebih sama ketua, Tidak semua tindakan korporasi di AD/ART diatur dalam UU. Bagaimana mengaturnya itu?

Benny K Harman :

Silahkan Fraksi PKS untuk menyampaikan pendapatnya

Fraksi PKS :

Bagaimana kalau kemudian perbuatan itu demi kepentingan korporasi meskipun tidak dalam lingkup usahanya? Apakah korporasi tersebut bisa dikenakan pertanggungjawaban?

Benny K Harman :

Terima kasih, selanjutnya kami persilahkan Fraksi partai Hanura

Fraksi Hanura :

Kami sesuai dengan yang ditulis di DIM usulan kami saja, mengenai vicarious liability agar diperjelas maksudnya

Benny K Harman :

Terima kasih, Silahkan pemerintah menjelaskan

Prof Muladi :

Ada 3 jenis Tindakan Korporasi yang dinyatakan melanggar pidana, yaitu crimes againt corporation, Corporate Criminal dan Perpaduan Crimes Againt Corporation dan Corporate Criminal. Dalam anggaran dasar tidak mungkin dijelaskan mengenai tindak pidana. Jadi mengenai perbuatan pidana dan perdata tergantung rumusan deliknya. Alangkah baiknya kalau perbuatan itu ditopang dengan keuntungan pada korporasinya. Menurut kovenan pidana korporasi pasti akan memberikan keuntungan bagi korporasinya

Benny K Harman :

Bagaimana Fraksi Golkar? apakah usulannya didrop? PKB? PKS? Hanura?

Prof Harkristuti

Izin pimpinan jadi ditambahkan “ atau yang menguntungkan korporasi”

Fraksi Golkar :

Jadi kalau yang tidak dalam lingkup usahanya itu bukan pidana?

Benny K Harman :

Kenapa tiba-tiba jadi “yang menguntungkan korporasi?” menurut saya “bagi korporasi yang bersangkutan saja” jadi unsur delik, untuk delik “yang menguntungkan korporasi” tidak perlu. Maksudnya “yang menguntungkan korporasi” itu apa?

Prof Harkristuti :

Jadi yang menguntungkan korporasi itu maksudnya Perbuatannya sesuai dengan ruang lingkup usahanya atau yang menguntungkan korporasi

Benny K Harman :

Kalau begitu harus ditambahkan “atau yang menguntungkan korporasi” pakai kata “atau”. Jadi dengan rumusan baru pemerintah bagaimana Golkar? PKB? PKS? Apakah setuju atau didrop?

Fraksi Golkar :

Kalau bagi golkar ditambahkan “untuk kepentingan korporasi” bukan kata “keuntungan” tapi “kepentingan”

Benny K Harman :

Catatan catatan dari Hanura, Golkar dan yang lainnya tadi demi sinkronisasi saja kan?

Prof Harkristuti :

Bagaimana kalau pakai dua unsur yaitu “Keuntungan” dan “Kepentingan”?

Benny K Harman :

Yang dimaksud adalah “tindakan itu demi kepentingan korporasi” kan? Jadi meskipun tidak menguntungkan tapi apabila tindakan tersebut demi kepentingan korporasi, maka masuk unsur deliknya ya

Anggota DPR :

Saya lebih setuju tidak pakai dua unsur tapi cukup satu saja yaitu “demi keuntungan” saja. Menurut saya ambil salah satu supaya perusahaan-perusahaan kita bisa berkembang tanpa takut terkena pidana.

Benny K Harman :

Ini pilihan, jadi pakai kata “atau” yaitu “demi kepentingan korporasi” atau “demi mengakibatkan korporasi”. Sebenarnya kontennya sama, kan “kepentingan” itu belum tentu memberikan keuntungan perusahaan kan?

Jadi rumusannya udah cukup jelas sebenarnya dengan menggunakan kedua unsur itu. Baik kita sepakat masukkan ini ke Timus Tim Sin ya. Pakai kata atau. Jadi Timsin nanti sinkronkan pasal 49 ini ke pasal 51 ya. Bukan Pasal 51 ke pasal 49. Jadi setuju ya usul Golkar, PKB, PPP, Hanura untuk didrop ya. Setuju ya

Selanjutnya kita ke DIM 161, mengenai pembatasan pertanggungjawaban pidana Pengurus Korporasi hanya berlaku bagi pengurus yang punya kedudukan fungsional dalam struktur korporasi. PKS bertanya pembatasan ini maksudnya apa? Silahkan pemerintah jelaskan.

Prof Muladi :

Kalau pengurus tidak punya kedudukan fungsional maka korporasi tidak bisa dipertanggungjawabkan dan tidak bisa dipidana. Perusaahan besar punya teori delegasi. Jadi ada pendelegasian wewenang

Benny K Harman :

Terima kasih penjelasan prof muladi atas DIM 161 ini. Pertanyaannya prof saat kami berdiskusi di Belanda dengan pakar leiden. Apakah semua tindak pidana yang dilakukan korporasi harus diberi sanksi pidana atau harus dipidanakan? Apakah bisa bukan dipidana? Missal hanya diberi denda? Karena pengurus kan yang salah

Prof Muladi :

Secara teori kedua-duanya bisa dikenakan pidana, baik pengurusnya maupun perusahaannya. Tapi salah satunya yang dipidana juga bisa. Secara teori begitu pak. Kedua duanya bisa terkena. Karena hukumannya berbeda. Bahkan korporasi bisa dikenakan pidana mati kan? Dengan penutupan korporasi tersebut. Sehingga menurut saya bisa pakai dan/atau

Benny K Harman :

Bapak ibu anggota panja bisa mengikuti ini kan? Karena ini penting. Tadi sudah dijelaskan, bahwa tindak pidana yang dilakukan korporasi yang bsia dimintai pertanggungjawaban yaitu pengurusnya maupun korporasinya. Jadi perbuatan pidana namun sanksinya tidak selalu pidana. Jadi Misal nanti Jaksa bisa kan menuntut bukan orangnya yang dihukum namun korporasinya yang harus ditutup? Kita setuju gak ini?

Prof Harkristuti :

Dalam jenis pemidanaan kan ada hukuman tindakan, bisa dikenakan ke korporasi hukuman tindakan itu

Benny K Harman :

Mengapa di jenis pemidanaan tidak ada jenis pemidanaan khusus untuk korporasi? Kalau korporasi yang salah kok seperti tidak ada pemidanaan yang khusus untuk korporasi dalam rancangan KUHP ini?

Prof Muladi :

Kan ada pidana denda dan tindakan, untuk korporasi denda diberikan satu tingkat lebih tinggi dari manusia

Prof Harkristuti :

Kami menyadari teman-teman penegak hukum bahwa korporasi yang dituntut dan dihukum selama ini tidak banyak. Tadi sudah dijelaskan prof Muladi bahwa untuk denda sendiri akan djatuhkan satu tingkat lebih tinggi daripada kepada manusia. Dan sanksi khusus untuk korporasi sebenarnya sudah diatur seperti denda pengganti untuk korporasi, pembubaran korporasi, dan lain sebagainya.

Benny K Harman :

Oke saya hanya ingin memastikan bahwa memang diatur di belakang tentang pemidanan khusus untuk korporasi ini.

Prof Muladi :

Jadi untuk TPPU sendiri juga beda untuk korporasi, bahwa perusahaan dihukum setelah pengurus dihukum terlebih dahulu.

Dosi DPR :

Pertanggungjawaban untuk korporasinya sendiri tidak diatur dalam Pasal 52 itu kan? Kenapa tidak diatur dan hanya mengatur pertanggungajawaban pengurus Korporasi?

Prof Harkristuti :

Ada tiga alternatif penjatuhan pidana, yaitu untuk Pengurus atau Korporasi atau Pengurus dan Korporasinya

Benny K Harman :

Pertanggungjawaban pidana itu bisa Pengurus, bisa Korporasi, bisa Pengurus dan Korporasi, iya kan?

Kalau Pertanggungjawaban Pidana oleh Korporasi itu akan dilimpahkan ke siapa? Yang mungkin missing adalah pertanggungjawaban pidana oleh korporasi kan? Itu coba jelaskan Bu Tuti

Prof Harkristuti :

Saya kira bisa dimasukkan Timsin untuk disinkronkan. Pertanggung jawaban pidana bisa oleh person dan non person kan? Maksud rumusan itu seperti itu

Benny K Harman :

Pasal 52 ini kan hanya mengatur pertanggungjawaban yang dilakukan oleh Pengurus Korporasi, yang diinginkan adalah Pertanggungjawaban yang dilakukan oleh Korporasinya sendiri. Kita bisa masukan ini ke Timus Tim Sin kan? Kita serahkan ke Timus TimSin ya.

Selanjutnya DIM 162. Oh Ini ada usulan substansi tambahan untuk DIM 161 A, pertanggungjawaban pemegang saham pengendali. Tapi ini sudah dijelaskan tadi kan? Berkenan didrop ya?

Selanjutnya kembali ke DIM 162, Fraksi PDIP mengusulkan pasal ini dihapuskan. Pasal 53 ini merupakan domain KUHAP, Fraksi Demokrat menginginkan perubahan substansi. Silahkan demokrat jelaskan, atau PDIP jelaskan dulu kenapa pasal ini minta didrop?

Fraksi PDIP :

Terima kasih pimpinan. Menurut kami Kaedah hukum ini masuk domain KUHAP pimpinan sehingga kami ingin ini dihapus, terima kasih

Benny K Harman :

Silahkan Fraksi demokrat bagaimana?

Fraksi Demokrat :

Kami ingin penjelasan pemerintah karena bahasa pasal ini sangat tricky pimpinan. Fraksi Demokrat ingin pasalnya menjadi “ Dalam hal perlindungan hukum lain tidak serta merta menghapuskan pertanggungjawaban korporasi tersebut”

Prof Muladi :

Pasal ini filosofis, berisikan ketentuan ultimum remidium, yaitu pemidanaan dilakukan sebagai upaya terakhir, sama seperti di UU Lingkungan Hidup. Saya tadi bilang memidana korporasi dampaknya luas sehingga harus dipertimbangkan dengan sebaik-baiknya. Pajak negara bisa berkurang kalau perusahaan dibubarkan kan? Makanya harus hati-hati.

Fraksi Demokrat :

Pimpinan setelah kami baca ini memang lebih condong ke KUHAP

Prof Barda Nawawi Arif :

Pasal ini memang Pasal baru. Tujuan dan Pedoman Pemidanaan dalam R KUHP merupakan satu kesatuan sistem yang tidak terpisahkan. Bila saya boleh menggambarkan dalam Buku I R KUHP terdapat azas, tujuan, pedoman pemidanaan. Beda dengan KUHP lama yang tidak ada tujuan dan pedoman pemidanaan. Karena dalam KUHP lama tidak ada tujuan dan pedoman pemidanaan, ibu dan bapak menganggap subtansi masuk ranah KUHAP padahal sebenarnya itu merupakan sistem yang terintegrasi. Padahal sebenarnya di dalam pedoman seharusnya ada azas, ada filosofi. Seperti kata Prof Muladi tadi azas ultimum remidium

Saya ambil contoh KUHP Norwegia ada pedoman pemidanaan korporasi. Diatur dari poin A sampai G sehingga untuk pedoman pemidaan terhadap korporasi di Norwegia ada sampai 7 poin. Sehingga kalau ke pidana lain seharusnya ada pedoman pemidanaan dalam setiap tindak pidana. Misal pembunuhan, ada pedoman pemidanaannya. Pencurian juga ada, sehingga hendaknya kita berhemat untuk menggunakan sanksi pidana dalam ancaman delik. Jadi jangan sedikit-sedikit penjara. Ini namanya azas menahan diri.

Prof Muladi :

Saya membimbing disertasi seorang anggota DPR tentang Pertanggungjawaban Korporasi. Menurut dia gunakan dulu gugatan perdata, administrasi, teguran baru hukuman pidana setelah semuanya gagal. Jadi disertasinya menggambarkan bahwa pidana harusnya dijatuhi paling akhir. Ini hal yang sangat baik. Jadi gunakan azas subdsidairitas. Contohnya Pajak, kalau ada pembayaran pajak yang tertunda maka hukuman pidananya bisa dicabut kan? Jadi menurut saya ini letaknya hukum materiil bukan acara

Erma Demokrat :

Saya rasa perlu penjelasan pemerintah tentang pemberian perlindungan ini.

Benny K Harman :

Intinya ini bukan hukum acara karena ini hukum materiil menurut pemerintah. Namun perlu diformulasikan dengan lebih jelas. Bisa tidak bikin rumusan yang lebih normatif. Jangan abstrak begini

Prof Muladi :

Saya rasa perlindungan hukum yang dimaksud ini adalah perlindungan untuk korban tindak pidana.

Erma Demokrat :

Penjelasan Prof Barda mencatut KUHP Norwegia ini bisa digunakan untuk Timus dan Timsin untuk menentukan batasan atau limitasi mengenai perlindungan. Hal ini baik untuk dijadikan pedoman.

Benny K Harman :

Saya rasa DIM 161 dan 162 lebih baik diformulasikan ulang oleh pemerintah. Penjelasan Prof Muladi dan Barda tadi lebih baik dimasukkan ke dalam penjelasan dalam formulasi ulang itu. Kemudian DIM 163, masalah pertimbangan harus dinyatakan oleh Putusan Hakim saya rasa rumusan ini ditulis saat mengantuk tengah malam. Tiba-tiba muncul rumusan ini.

Prof Harkristuti :

Saya rasa rumusan ini harus direlokasi ke pedoman pemidanaan ini

Benny K Harman

Oke saya rasa setuju untuk direlokasi ya, dan harus diformulasikan lagi ya. Setuju ya. Selanjutnya DIM 164. Merupakan penutup dari Bab II dari Buku I ini. DIM 164 masalah Alasan Pemaaf dan Alasan Pembenar korporasi. Menurut saya ini juga masuk ranah KUHAP kan?

Prof Harkristuti :

Izin pimpinan menurut saya ini dimasukkan ke alasan pembenar dan pemaaf saja sehingga direlokasi saja.

Benny K Harman :

Saya ingin bertanya ini alasan pembenar dan pemaaf ranahnya Hakim atau penegak hukum ya? Apakah Penegak Hukum seperti Polisi dan Jaksa bisa menggunakan alasan ini untuk menghentikan perkara? Kan alasan penghapus pidana ini setahu saya adalah ranah hakim, jangan sampai penegah hukum seenaknya menghentikan perkara karena boleh menentukan alasan penghapus pidana

Prof Muladi :

Alasan Penghapus Pidana atau APP baik pemaaf atau pembenar adalah ranah Hakim, kalau alasan penghapus penuntutan baru Jaksa yang berwenang.

Prof Barda :

Kalau di Subjek Hukum Orang atau Manusia ada alasan pembenar dan pemaaf maka di korporasi juga ada harusnya, hal itu masuk ranah hukum materiil bukan hukum acara.

Erma Demokrat :

Penjelasan prof sangat baik, kalau bisa dimasukkan ke dalam penjelasan mengenai alasan pembenar dan alasan pemaaf.

Benny K Harman :

Ya kita setuju ya kalau alasan pembenar dan pemaaf ini direlokasi ke bab lain saja, khusus mengenai alasan pembenar dan pemaaf. Kita setuju ya masuk ke Timus dan Timsin. Dan pasalnya direlokasi. Setuju ya.

Kita sudah selesai DIM 164, sudah selesai Bab II dalam Buku I. Buku satu ini ada 6 bab, dan yang paling sulit adalah bab I, bab II dan Bab III. Bab III ini tentang Pemidanaan, Pidana dan Tindakan. Hal ini sangat berat untuk dibahas. Jadi butuh pikiran baru. Saya usul besok pembahasan dilanjutkan jam 10 pagi karena malam ini kami ada masalah besar yang hendak dibahas. Prof Muladi dan Barda bisa ya datang besok. Tolong Dirjen PP untuk mengurus tiket Prof Barda dan Muladi ya.

Jadi saya rasa hari ini ditutup saja ya dan dilanjutkan besok hari Kamis tanggal 26 November 2015 pukul 10.00 ya. Sidang saya nyatakan diskors.

Rapat selesai Pukul 16.15

Leave a Reply