Delik Santet Dalam RUU KUHP?

Ada beberapa orang yang bertanya pada saya (beh, siapa loe?) apa benar santet diatur di RUU KUHP? Kalau benar, bagaimana cara membuktikannya?

Isu mengenai delik santet ini memang selalu mengemuka setiap kali terdapat pembahasan atas RUU KUHP ini. Seingat saya isu ini pernah menjadi perdebatan publik juga pada sekitar tahun 2003-2004 (atau sebelumnya?).

Pengaturan terkait “santet” ini memang tak jarang terjadi kesalahpahaman di masyarakat, seakan-akan yang diatur dalam RUU KUHP adalah perbuatan menyantet, menenun, menyihir orang, seperti pertanyaan beberapa orang di awal tulisan ini. Kesalahpahaman ini terjadi tidak hanya di kalangan awam hukum namun juga profesor-profesor hukum. Dua diantaranya misalnya prof. JE Sahetapy (baca ini) dan Prof. Gayus Lumbuun (baca ini). Kedua profesor hukum ini menyangka bahwa yang ingin diatur dalam RUU KUHP adalah perbuatan/tindakan menyantetnya. Jika memang yang diatur seperti itu memang menjadi relevan pertanyaan “bagaimana cara membuktikannya?”

Tapi, pertanyaannya, apakah benar yang diatur dalam RUU KUHP adalah delik santet? Untuk lebih jelasnya mari kita baca rumusan pasal dibawah ini:

Pasal 293

  1. Setiap orang yang menyatakan dirinya mempunyai kekuatan gaib, memberitahukan, menimbulkan harapan, menawarkan atau memberikan bantuan jasa kepada orang lain bahwa karena perbuatannya dapat menimbulkan penyakit, kematian, penderitaan mental  atau  fisik seseorang, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling banyak Kategori IV.
  2. Jika pembuat  tindak  pidana sebagaimana  dimaksud pada ayat (1) melakukan perbuatan tersebut untuk mencari keuntungan atau menjadikan sebagai mata pencaharian atau kebiasaan, pidananya  dapat ditambah dengan 1/3 (satu per ­tiga).

Rari rumusan di atas terlihat bahwa yang diatur pada dasarnya bukan kegiatan menyantet itu sendiri, namun mengaku-ngaku, menawarkan jasa dst seakan-akan ia bisa menyantet orang yang dapat menimbulkan celaka. Pointnya bukan pada apakah ia memang bisa menyantet atau tidak atau bahkan ia telah menyantet atau tidak, namun cukup pada mengaku-ngaku, menawarkan jasa santet itu sendiri.

Untuk bisa memahami maksud utama aturan ini kita harus memahami juga letak pasal tersebut dalam RUU KUHP. Dalam RUU KUHP Pasal 293 ini terletak di Bab V Tindak Pidana Terhadap Ketertiban Umum, Bagian Kedua Penghasutan dan Penawaran Tindak Pidana, Paragraf Kedua tentang Penawaran Tindak Pidana. Pasal pertama dari paragraf kedua ini, yaitu pasal 291 berbunyi:

Setiap orang yang di muka umum dengan lisan atau tulisan menawarkan untuk memberi keterangan, kesempatan, atau sarana untuk melakukan tindak pidana, dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau pidana denda paling banyak Kategori II.

Dengan judul paragraf serta pasal 291 di atas terlihat bahwa yang ingin diatur adalah kegiatan “menawarkan”-nya, bukan kegiatan santet itu sendiri. Kalau memang pembuat RUU KUHP ingin mengatur santet maka tentunya pasal ini tidak diletakkan pada Bab V, Bagian Kedua dan Paragraf Ketiga ini, namun pada Bab yang mengatur tentang Pembunuhan atau setidaknya Penganiayaan.

Bagaimana kongkritnya gambaran perbuatan menawarkan jasa santet ini? Kira-kira serupa dengan orang yang menawarkan jasa pembunuhan (pembunuh bayaran). Bukan apakah si pembunuh bayaran ini sudah membunuh orang atau tidak, karena kalau ya, itu akan menjadi delik tersendiri, delik pembunuhan berencana atau pembunuhan. Namun ketika ia sudah -katakanlah- mengiklankan diri “Menyediakan jasa Pembunuhan, Kualitas Terjamin. 10 Pelanggan Pertama Akan Mendapatkan Diskon 25% (Senin harga Naik)” misalnya, maka tindakan itu sendiri sudah merupakan tindak pidana.

Nah, begitu juga dengan “delik santet” ini sebenarnya. Jadi misalnya ada yang mengaku-ngaku sebagai dukun santet, bisa menyantet orang, maka perbuatan tersebut, terlepas apakah benar/tidak ia bisa menyantet, sudah melanggar Pasal 293 di atas. Bagaimana cara pembuktiannya? Ya simpel, bukan santetnya yang coba dibuktikan, tapi apakah benar terdakwa pernah mengaku-ngaku atau menawarkan diri untuk menyantet orang atau tidak. Kalau penawaran tersebut dilakukan secara tertulis (masang iklan) ya iklan tersebut adalah barang buktinya. tinggal dicari alat bukti yang bisa menunjukkan bahwa iklan tersebut memang dibuat oleh tersangka/terdakwa. Kalau ternyata ia tidak pernah beriklan, tapi hanya lisan, ya tinggal dicari saksi-saksi toh? Gampang kan?

Bukan Isu Baru

Apakah pengaturan seperti pasal 293 di atas baru? Tidak juga sebenarnya. Jika kita lihat KUHP yang berlaku saat ini, yang dibuat oleh pemerintah Belanda, aturan serupa telah diatur juga. Seperti terlihat dibawah ini:

Pasal 546

Diancam dengan pidana kurungan paling lama tiga bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah:

  1. barang siapa menjual, menawarkan, menyerahkan, membagikan atau mempunyai persediaan untuk dijual atau dibagikan jimat-jimat atau benda-benda yang dikatakan olehnya mempunyai kekuatan gaib;
  2. barang siapa mengajar ilmu-ilmu atau kesaktian-kesaktian yang bertujuan menimbulkan kepercayaan bahwa dapat melakukan perbuatan pidana tanpa kemungkinan bahaya bagi diri sendiri.

Perhatikan unsur “…yang dikatakan olehnya mempunyai kekuatan gaib” di angka 1 dan “…yang bertujuan menimbulkan kepercayaan bahwa dapat melakukan…dst”. Dengan adanya unsur-unsur tersebut maka tidak menjadi penting apakah benda yang dimaksud memang memiliki kekuatan gaib atau tidak, atau ilmu-ilmu yang diajarkan tersebut memang bisa membuat orang kebal atau tidak. Namun, tindakan menjual, menawarkan..dst atau mengajarkan ilmu dengan membuat seseorang percaya bahwa dengan ilmu tersebut seseorang bisa menjadi sakti, kebal peluru dll, maka sudah sempurna lah tindak pidananya.

Nah, begitu lah kira-kira. Masih mengira RUU KUHP mengatur perbuatan menyantet? Kalau masih, berarti anda memang layak untuk disantet.

Sekian.

Update 22 Maret 2013

Masih soal isu yang sama, ada yang bertanya kepada saya, jika aturan ini mengatur mengenai penipuan, mengapa tidak diatur saja dalam bab Perbuatan Curang (bab yang mengatur mengenai penipuan)? Bahkan lebih jauh lagi, kenapa perlu ada pasal ini lagi, kan sudah ada pasal penipuan?

Pertama, menurut saya pasal ini bukan juga pasal penipuan. Kedua, salah satu unsur dalam Penipuan adalah adanya kebohongan. Selain itu kebohongan atau rangkaian kebohongan tersebut dimaksudkan agar korban menyerahkan sesuatu atau menghapuskan utang dll kepada pelaku. Nah di sini lah letak masalahnya.

Dalam penipuan, korban akan merasa bahwa ia benar-benar tertipu. Bahwa apa yang dikatakan (atau dilakukan) pelaku dikemudian hari ia sadari ternyata hanyalah kebohongan belaka. Dalam pasal 293 ini, tidak. Bisa saja terjadi (dan hal ini banyak terjadi di masyarakat) masyarakat atau ‘korban’ memang juga meyakini bahwa apa yang dikatakan oleh pelaku benar adanya, bukan sebuah kebohongan. Apa buktinya? Lha, kan banyak orang yang akhirnya dihakimi massa karena dianggap sebagai dukun santet. Dan penghakiman massa tersebut bukan dilakukan karena orang yang dituduh sebagai dukun santet itu ternyata palsu, tapi justru karena mereka meyakini bahwa ia memang lah seorang dukun santet, memiliki kekuatan gaib yang dapat mencelakakan orang.

Kedua, pasal ini tidak mensyaratkan bahwa ada orang yang kemudian menyerahkan uang dst kepada pelaku. Perbuatan dianggap sempurna ketika pelaku sudah mengaku-ngaku atau sekedar menawarkan bantuan kepada orang lain bisa mencelakai orang lain dengan ilmu gaibnya. Dan, sekali lagi, tidak penting apakah ia memang benar-benar bisa melakukan hal itu atau tidak.

Itu kira-kira mengapa perbuatan yang diatur dalam pasal 293 di atas tidak sama dengan penipuan.

Apa tujuan pengaturan pasal tersebut (dan juga mungkin pasal 546 KUHP) sebenarnya?

untuk mengetahui hal ini mari kita baca dulu (rancangan) Penjelasan pasal 293 ini, seperti tertera di bawah ini:

Ketentuan ini dimaksudkan untuk mengatasi keresahan masyarakat yang ditimbulkan oleh praktik ilmu hitam (black magic), yang secara hukum menimbulkan kesulitan dalam pembuktiannya. Ketentuan ini dimaksudkan juga untuk mencegah secara dini dan mengakhiri praktik main hakim sendiri yang dilakukan oleh warga masyarakat terhadap seseorang yang dituduh sebagai dukun teluh (santet)

Kurang jelas? Oke, begini kira-kira.

Baik perancang pasal 293 ini maupun pembuat KUHP (orang-orang Belanda) yang memasukkan pasal 546 seperti saya kutip di bagian sebelumnya sepertinya memahami bahwa di masyarakat kita banyak yang percaya (atau masih percaya?) bahwa memang ada orang-orang yang sakti mantraguna, yang memiliki kekuatan gaib, baik untuk tujuan kebaikan maupun tujuan jahat (mencelakai orang lain, seperti teluh, santet dll). Di sini kita tidak berbicara bahwa apakah memang ada orang-orang seperti itu atau tidak, tapi bahwa ada sebagian masyarakat yang MEMPERCAYAI bahwa orang-orang tersebut memang ada.

Dalam satu titik tak jarang karena masyarakat mempercayai bahwa orang-orang tersebut memang ada, dan ketika ada orang yang cilaka, hal itu diyakini disebabkan karena kekuatan gaib tersebut. Bagi masyarakat tersebut orang-orang yang mereka anggap memiliki kekuatan gaib itu lah yang merupakan pelakunya. Mereka kemudian tentu mau agar orang-orang yang mereka anggap pelakunya tersebut harus dihukum. Tapi hukum tidak bisa mengakomodir kehendak mereka, oleh karena hukum yang berlaku adalah hukum modern yang bersifat rasional, dimana setiap tuduhan harus bisa dibuktikan. Dan dalam kasus seperti ini tentu saja tuduhan tersebut tidak dapat dibuktikan. Karena hukum negara tidak dapat mengakomodir kehendak mereka tersebut, maka yang terjadi adalah mereka mencari caranya sendiri untuk menghukum orang-orang tersebut. Jadilah penghakiman massa.

Tentu jika yang terjadi adalah penghakiman massa, para pelaku penghakiman massa tersebut seharusnya dihukum juga karena melakukan kejahatan, mengakibatkan penganiayaan atau bahkan matinya orang. Tapi apakah hal ini cukup? Hukuman baru akan efektif, memiliki efek jera, baik bagi para pelaku maupun masyarakat, sehingga akan mencegah perbuatan yang sama dilakukan oleh orang lain, jika ia bisa membuat pelaku merasa bersalah, dan masyarakat pun merasakan hal itu, merasa bahwa apa yang dilakukan si pelaku adalah perbuatan yang salah. Nah, bagaimana jika baik pelaku maupun masyarakat merasa perbuatan tersebut harus dilakukan untuk melindungi diri mereka sendiri? Tentu hukuman tersebut menjadi tidak efektif.

Itu kira-kira yang terjadi. Namun penyusun pasal 293 dan orang-orang belanda saat itu juga memahami bahwa tidak mungkin juga kemudian berarti hukum harus mengatur perbuatan santet tersebut. Karena ya nantinya akan terkendala masalah pembuktian. Lalu apa yang harus dilakukan untuk menyelesaikan masalah ini, setidaknya mengakomodir semaksimal mungkin permasalahan ini?

Orang yang dianggap memiliki kekuatan gaib (dukun) umumnya tidak ujug-ujug dituduh begitu saja sebagai dukun. Tapi umumnya terjadi karena orang-orang tersebut memang mengaku-ngaku atau pernah menyatakan dirinya memiliki kekuatan gaib tersebut. Di sini lah ‘pintu’ nya. Hukum tidak (atau belum?) bisa mengatur apa yang masyarakat anggap sebagai praktik perdukunan atau ilmu hitam, tapi hukum masih bisa mengatur agar orang tidak mengumbar-ngumbar pernyataan bahwa ia adalah dukun santet atau memiliki kekuatan gaib yang bisa mencilakakan orang. Ini yang kemudian coba diatur baik oleh Belanda dulu di KUHP untuk Hindia Belanda ini dan juga penyusun pasal 293 RUU KUHP ini. Dengan cara ini diharapkan semakin sedikit orang akan mengetahui siapa yang diduga sebagai dukun santet (karena sang dukun maupun orang-orang yang mau pura-pura mengaku bisa menyantet dilarang mengaku-ngaku atau menawarkan jasa bahwa ia bisa menyantet). Dengan semakin sedikitnya masyarakat bisa memperoleh informasi siapa-siapa saja dukun santet, maka diharapkan kedepannya praktik penghakiman massa terhadap orang yang dianggap sebagai dukun santet akan berkurang. Tentu dengan kesadaran bahwa tidak mungkin hal ini bisa dihapuskan seluruhnya, karena bisa saja yang terjadi tindakan penghakiman massa dilakukan karena fitnah. Tapi setidaknya, mungkin itu yang ada dipikiran Belanda dan para penyusun pasal ini.

Kira-kira seperti itu.

Catatan: Tulisan ini diambil dari Blog Arsil disini

Leave a Reply