Dialektika Ajaran Melawan Hukum Formil dan Ajaran Melawan Hukum Materiil dalam R KUHP

Oleh : Ahmad Sofian

Tulisan ini mengetengahkan tentang perdebatan ajaran melawan hukum yang materiil atau ajaran melawan hukum yang formil. Perdebatan ini erat kaitannya dengan penyusunan R-KUHP yang saat ini sedang berlangsung di gedung parlemen. Kubu yang mengkehendaki agar ajaran melawan hukum materiil dimasukkan dalam R-KUHP lagi ada di atas angin. Artinya ajaran melawan hukum formil yang selama ini dianut oleh KUHP, dalam R-KUHP dilengkapi dengan ajaran melawan hukum materiil. Namun dimasukannya ajaran melawan hukum yang materiil masih meninggalkan sejumlah masalah yang segera harus dicari jalan keluarnya.

Ajaran Melawan Hukum

Ajaran melawan hukum merupakan bagian dari pembahasan tentang tindak pidana (strafbaar feit). Ajaran inilah yang membatasi perbuatan-perbuatan yang dapat diminta pertanggungjawaban disamping adanya kesalahan pada diri pelaku. Ajaran melawan hukum merupakan komponen penting dalam asas legalitas, sebuah perbuatan tidak bisa dipidana jika tidak dirumukan dalam undang-undang. Perbuatan yang dirumuskan dalam undang-undang adalah perbuatan yang melawan hukum, suatu perbuatan yang mencemaskan masyarakat, yang mengganggu tata tertib dalam masyarakat dan perbuatan tersebut dicela oleh masyarakat.

Meskipun demikian masih terjadi polemik, apakah ajaran melawan hukum perlu dimasukkan dalam rumusan delik (tindak pidana) atau tidak. KUHP dan R-KUHP masih mencantumkan kata-kata “melawan hukum” dalam beberapa rumusan pasal. Hal ini menunjukkan perumus KUHP (maupun R-KUHP) masih memandang penting untuk mencantumkan kata-kata “melawan hukum”.

Ajaran melawan hukum yang formil adalah ajaran yang membatasi tindak pidana hanya pada apa yang dimaksud dalam hukum pidana positif (KUHP atau undang-undang pidana). Ajaran ini tidak memberikan ruang rumusan tindak pidana diluar undang-undang pidana, apa yang tercantum dalam hukum pidana, maka itulah delik.

Ajaran melawan hukum materiil sebenarnya ingin melengkapi ajaran melawan hukum formil, karena itu ajaran ini menghendeki hukum pidana positif tidak saja bersumber dari undang-undang, tetapi juga dari hukum yang hidup dalam masyarakat. Hukum yang hidup dalam masyarakat ini bisa berupa hukum pidana adat, atau kebiasaan-kebiasaan yang hidup dalam masyarakat dan dipatuhi sebagai norma.

R-KUHP dan Ajaran Melawan Hukum

Bagaimanakah R-KUHP menyikapi tentang ajaran melawan hukum ini ? Jika merujuk pada pasal 1 R-KUHP, jelas sekali bahwa R-KUHP menganut asas legalitas, artinya yang dikedepankan adalah ajaran melawan hukum yang formil. Namun jika melihat pasal 2 R-KUHP, maka ajaran melawan hukum yang meteriil diakomodir juga. Dalam pasal 2 R-KUHP menyebutkan bahwa :

Pasal 2 ayat (1)

Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (1) tidak mengurangi berlakunya hukum yang hidup dalam masyarakat yang menentukan bahwa seseorang patut dipidana walaupun perbuatan tersebut tidak diatur dalam peraturan perundang‑undangan.

Dalam pasal tersebut jelas terlihat bahwa R-KUHP melengkapi ajaran melawan hukum yang formil dengan ajaran melawan hukum yang materiil, yang memberikan perluasan pada hukum yang hidup dalam masyarakat. R-KUHP memberikan peluang kepada penegak hukum untuk “memperkarakan” seseorang yang tidak saja didasarkan pada undang-undang hukum pidana, tetapi juga didasarkan pada hukum adat, hukum kebiasaan yang masih hidup dalam masyarakat. Hal ini “membuka” peluang bagi penegak hukum untuk menyeret seseorang ke pengadilan atas dasar melanggar hukum yang hidup dalam masyarakat. Penegak hukum akan menafsirkan sendiri, delik-delik yang masih hidup dan delik-delik yang sudah mati di dalam masyarakat, meskipun pasal 2 ayat 2 memberikan limitasi atas penggunaan ajaran melawan hukum meteriil yaitu harus sejalan dengan nilai-nilai Pancasila, hak asasi manusia, dan prinsip hukum umum. Secara lengkap bunyi pasal 2 ayat 2 sebagai berikut :

(2) Berlakunya hukum yang hidup dalam masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sepanjang sesuai dengan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila, hak asasi manusia, dan prinsip-prinsip hukum umum yang diakui oleh masyarakat bangsa-bangsa.

Namun nilai-nilai yang disebutkan dalam ayat 2 tersebut masih sangat abstrak yang membuka peluang untuk ditafsirkan. Karena itu, ajaran melawan hukum materiil ini bisa sangat membahayakan penegakan hukum jika digunakan oleh rejim yang ingin membungkam pihak-pihak yang dianggap sebagai lawan, atau bisa cenderung disalahgunakan oleh penegak hukum untuk delik-delik yang tidak diatur dalam hukum pidana positif. Kritik terhadap penggunaan ajaran hukum yang meteriil ini pernah dilontarkan oleh Simons dan Hazewinkel Suringa. Kedua tokoh hukum pidana Belanda ini sangat keberatan jika ajaran melawan hukum yang meteriil ini dimasukkan dalam hukum pidana positif. Simons bahkan memberikan kritik tajam, dia mengatakan :

“Hemat saya, pendapat mengenai sifat melawan hukum materiil tidak dapat diterima. Mereka yang mengikuti pendapat ini menempatkan kehendak pembentuk undang-undang yang telah nyata dalam hukum positif di bawah keyakinan hukum hakim pribadi. Lalu, bagaimanakah norma kebudayaan dan sebagainya diwujudkan ? Maka sangat tergantung pada pandangan subjektif hakim, yang dapat menggoyahkan dasar-dasar hukum positif.”[1]

Meskipun demikian, Simons dapat memahami ada pengecualian atas diberlakukannya ajaran melawan hukum yang formil , atas perbuatan-perbuatan yang tidak diatur dalam hukum pidana positif, namun menurutnya pengecualian tersebut hanya dapat diterima bilamana ada dasarnya dalam hukum positif itu sendiri.[2]  Hal yang hampir sama juga dikhawatirkan oleh Hazewinkel Suringa, dia mengatakan :

Dikhawatirkan akan timbul ketidaksamaan hukum yang sangat besar dalam putusan hakim, oleh karena hakim yang satu akan menerima sesuatu sebagai jalan yang benar yang oleh hakim yang lain hal tersebut ditolak. Pandangan subjektif hakim dan kemungkinan kesewenang-wenangan akan timbul karenanya”.[3]

Kekuatiran yang dikemukakan oleh kedua ilmuwan tersebut tidak disetujui oleh Roeslan Saleh. Menurutnya, sifat melawan hukum yang materiil justru sangat sesuai dengan fikiran bangsa Indonesia dimana terdapat peraturan-peraturan yang tidak tertulis. Baginya hakim harus mengikuti perubahan-perubahan yang terjadi di dalam masyarakat dan tumbuhnya perasaan keadilan yang baru, dan pembuat undang-undang selalu terbelakang dengan pertumbuhan tersebut.[4]

Namun demikian, Roeslan Saleh mengakui ada kesulitan dalam menegaskan bahwa suatu perbuatan sudah masuk dalam ranah perbuatan melawan hukum yang materiil, beliau hanya menyarankan agar menggunakan tolok ukur hukum adat sebagai jalan dalam menentukan ajaran melawan hukum yang materiil. Hukum adat yang masih hidup dan dipatuhi keberlakuaannya. [5]

Jalan Tengah

Ajaran melawan hukum yang meteriil ini memberikan angin segar, karena menjadikan hukum pidana adat sebagai salah satu sumber hukum pidana positif, yang seolah-olah hukum pidana adat ini dibumihanguskan keberlakuannya oleh KUHP peninggalan colonial. Namun pertanyaannya adalah hukum pidana adat mana yang masih di dalam masyarakat dan dipatuhi ? Hukum pidana adat manakah yang tidak bertentangan dengan nilai HAM dan prinsip hukum umum ? Selain itu, apakah hakim akan mengikuti putusan hakim sebelumnya yang berasal dari hukum pidana adat mengingat jurisprudensi tidak mengikat bagi hakim sebagai sumber hukum. Di samping itu, dalam hal penuntutan, jaksa akan menemukan kesulitan-kesulitan teknis dalam menggunakan ajaran melawan hukum yang materiil ini. Kesulitannya : pertama, dalam mengurai elemen-elemen delik, dan yang kedua adalah dalam hal memberikan ancaman hukuman kepada terdakwa yang sesuai dengan delik yang dilakukan terdakwa. Kesulitan-kesulitan teknis ini harus dipecahkan lebih dahulu sebelum diberlakukannya ajaran melawan hukum yang meteriil ini dalam hukum pidana positif.

Karena itu, langkah lain yang harus ditempuh pemerintah adalah menyusun kompilasi hukum pidana adat sebagai sumber hukum yang tidak bertentangan dengan pasal 2 ayat 2 R-KUHP, langkah ini pernah diusulkan oleh Barda Nawawi Arief, namun sayang, hingga sekarang belum ada perkembangan terbaru untuk mengkongkritisir gagasan ini, meskipun gagasan ini sendiri perlu diuji secara akademik.

Tulisan ini ditutup dengan pentingnya mendialogkan kembali ajaran melawan hukum formil dan ajaran melawan hukum materiil sehingga tidak perlu terjadi dikotomi antara kedua ajaran melawan hukum ini. Jalan tengah yang ditawarkan adalah : R-KUHP tetap mengedepankan ajaran melawan hukum formil sebagaimana dikehendaki oleh pasal 1 R-KUHP. Hakim tetap diperkenankan memutuskan berdasarkan hukum yang hidup di dalam masyarakat, namun formulasi hukum yang hidup dalam masyarakat tetap harus dibentuk oleh penyusun undang-undang, tidak dibebaskan begitu saja pada kehendak hakim atau penegak hukum. Jalan tengah yang kedua, memposisikan jurisprudensi sebagai sumber huku yang mengikat hakim. Hal ini, konsisten dengan kewenangan hakim dalam membuat hukum (judge made law) dan menjadikan jurisprudensi sebagai sumber hukum mengikat bagi hakim lain. Jalan tengah ini tentu saja masih perlu diperdebatkan, karena seolah-olah KUHP akan menciptakan sistem hukum hybrid antara common law dan civil law.

[1] Roeslan Saleh, Sifat Melawan Hukiu dari Perbuatan Pidana, Jakarta : Aksara Baru, 1987, hlm 8-9

[2] Ibid

[3] Ibid, hlm. 9

[4] Ibid, hlm. 17

[5] Ibid, hlm. 18-19

Leave a Reply