DPR dan Pemerintah Diminta Prioritaskan RUU Tunggakan

Dalam masa sidang U 2015-2016 (November-Desember) ini, DPR akan mengesahkan daftar prioritas legislasi untuk Program Legislasi (Prolegnas) 2016. Sejumlah usulan RUU telah diajukan, baik oleh pemerintah maupun DPR sebagai prioritas Prolegnas mendatang. Beberapa diantaranya, RUU tersebut merupakan warisan Prolegnas tahun sebelumnya (2015), yang belum sempat dibahas, lainnya berupa usulan baru yang diajukan untuk dibahas pada 2016.

Dalam periode legislasi 2015, capaian kinerja legislasi DPR bisa dikatakan sangat buruk. Dari 37 RUU yang masuk dalam daftar Prolegnas 2015, DPR hanya mampu menyelesaikan pembahasan revisi UU Pilkada dan UU Pemerintahan Daerah, yang materinya bermasalah, peninggalan periode DPR sebelumnya. Selain itu, pengesahan revisi UU MPR, DPR, DPD, dan DPRD, pasca-konflik berkepanjangan faksi-faksi di DPR. Selebihnya hanya pengesahan R-APBNP 2015 dan R-APBN 2016.

“Berangkat dari ca pain yang sedemikian minim, dalam penyusunan Prolegnas 2016 semestinya DPR dan pemerintah lebih memprioritaskan tunggakan RUU prioritas Prolegnas 2015 yang belum sempat dibahas, atau baru masih dalam proses pembahasan tingkat 1,” ujar Direktur Eksekutif Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM), Indriswati D. Saptaningrum, dalam siaran persnya yang diterima Suana Karya, Rabu (18/11).

Strategi ini, menurut dia, penting untuk memastikan RUU yang masuk dalam Prolegnas (2015-2019) bisa dibahas dan disahkan dalam periode tersebut. Di luar itu. Indri memandang, sejumlah RUU dalam Prolegnas 2015 memiliki implikasi yang sangat signifikan bagi pembaruan sistem hukum dan hak asasi manusia (HAM).

Oleh karenanya, kata dia, penting untuk dimasukan kembali dalam Prolegnas 2016, guna dilanjutkan pembahasannya dan disahkan, Beberapa RUU yang krusial bagi pembenahan sistem hukum dan HAM .tersebut, misalnya RUU KUHP yang telah masuk dalam proses pembahasan tingkat 1 di Komisi III DPR.

“Dibutuhkan komitmen, ketelitian, dan keseriusan DPR dalam proses pembahasan RUU KUHP, selain juga keharusan pertisipasi publik. Mengingat krusialnya dampak materi RUU tersebut, bagi perbaikan sistem hukum, juga terhadap perlindungan kebebasan sipil di Indonesia. Perumusan materinya harus benar-benar memperhatikan prinsip-prinsip perlindungan HAM, baik yang diatur dalam UUD 1945 maupun berbagai instrumen internasional HAM yang telah disahkan dalam hukum Indonesia, katanya.

Selain RUU KUHP, kata Indri, RUU lain dalam Prolegnas 2015 yang belum sempat dibahas dan memiliki arti penting bagi perlindungan kebebasan sipil adalah RUU Perubahan UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).

Ancaman pidana dalam UU ITE, khususnya pidana pencemaran nama baik yang diatur dalam Pasal 27 ayat (3), telah banyak disalahgunakan untuk mengkriminalisasi ekspresi yang sah. Oleh karenanya mendesak untuk mencabut ketentuan tersebut, untuk kemudian dikembalikan pada ketentuan KUHP, yang juga tengah dalam proses revisi,” kata dia.

Menurut Indri, meski pemerintah mengaku telah menyelesaikan naskah usulan perubahan dan siap membahasnya dengan DPR, namun dengan periode masa sidang yang tinggal dalam hitungan hari, katanya, sulit kiranya akan mendapatkan hasil pembahasan yang optimal.

Sumber: Suara Karya

Leave a Reply