DPR Kebut Pembahasan, RKUHP Ditargetkan Disahkan Juli
DPR dan pemerintah akan kembali membahas Rancangan KUHP pada Rabu (25/5/2022). Pemerintah mengklaim telah melakukan sejumlah perbaikan setelah mendapat masukan dari masyarakat.
JAKARTA, KOMPAS — Pembahasan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana atau RKUHP akan dikebut setelah hampir tiga tahun dihentikan. DPR tidak akan membahas ulang seluruh isu krusial karena ingin RKUHP sebagai pengganti regulasi hukum pidana yang berlaku saat ini dan merupakan warisan kolonial tersebut dapat segera disahkan pada Juli.
Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Eddy OS Hiariej, Selasa (24/5/2022), mengungkapkan, pemerintah dan DPR akan memulai kembali pembahasan RKUHP pada Rabu. ”Besok (Rabu) siang kami mulai merapatkan dengan teman dari DPR. Komisi III (DPR) minta untuk ini sudah disahkan bulan Juli. Jadi, kami membutuhkan masukan dari teman-teman,” katanya dalam diskusi daring membahas tentang politik hukum pidana mati di dalam RKUHP yang diselenggarakan oleh Institute for Criminal Justice Reform (ICJR).
Selain Eddy, diskusi juga menghadirkan narasumber anggota Komisi III DPR dari Fraksi Persatuan Pembangunan Arsul Sani, Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan HAM Kemenkumham Sri Puguh Budiarti, serta peneliti ICJR Iftita Sari.
Seperti diketahui, pemerintah dan DPR telah mengambil keputusan tingkat pertama terhadap draf RKUHP pada 2019. Namun, pada rapat paripurna 26 September 2019, draf yang sudah disetujui pada tingkat pertama itu batal disahkan karena ada sejumlah substansi yang mendapat penolakan dari masyarakat. Ada 14 isu krusial yang saat itu masih menjadi pro dan kontra di antara beberapa kalangan. Berkaitan dengan hal tersebut, pemerintah telah melakukan sosialisasi setidaknya di 12 kota di Indonesia yang diikuti oleh kalangan akademisi, praktisi hukum, dan masyarakat sipil.
Menurut Eddy, pemerintah sudah melakukan sejumlah perubahan terhadap rumusan draf RKUHP versi September 2019. Tidak terbatas pada 14 isu krusial, tetapi juga menyangkut sejumlah norma yang ada di dalam Buku Kesatu RKUHP. ”Kami akan melakukan lobi, semoga DPR mau menerima ini. Karena apa? Karena empat undang-undang yang carry over (pembahasannya dilanjutkan oleh DPR periode berikutnya melalui sistem luncuran), dua di antaranya itu tanpa pembahasan. Langsung diketok. Namun, khusus mengenai KUHP, kami minta pengertian dari DPR untuk tidak langsung tok (disahkan),” ujarnya.
Hingga saat ini, tambah Eddy, DPR sudah setuju 14 isu krusial tersebut untuk dibahas ulang. Namun, pemerintah masih berkeinginan menawar kembali agar draf RKUHP Buku Kesatu dapat ditinjau kembali mengingat adanya sejumlah masukan dari berbagai pihak.
Pemerintah sudah melakukan sejumlah perubahan terhadap rumusan draf RKUHP versi September 2019. Tidak terbatas pada 14 isu krusial, tetapi juga menyangkut sejumlah norma yang ada di dalam Buku Kesatu RKUHP
Adapun 14 isu krusial yang dimaksud adalah terkait dengan penyerangan harkat dan martabat presiden dan wakil presiden; perbuatan yang merendahkan martabat pengadilan/contempt of court; menyatakan diri dapat melakukan tindak pidana karena memiliki kekuatan gaib; dokter atau dokter gigi yang melaksanakan pekerjaannya tanpa izin; ungags yang merusak kebun yang ditaburi benih; advokat yang curang dalam melakukan pekerjaannya; penganiayaan hewan; penodaan agama; kontrasepsi; perzinahan; kohabitasi; aborsi; dan pemerkosaan dalam rumah tangga.
Anggota Komisi III DPR Arsul Sani membenarkan tentang adanya rencana rapat membahas RKUHP dengan tim pemerintah, khususnya mengenai apakah 14 isu tersebut akan dibahas ulang. Namun, menurut dia, ada suasana kebatinan di antara fraksi-fraksi yang ada di DPR untuk sepakat tidak akan membahas ulang secara keseluruhan. Sebab, apabila hal tersebut dilakukan, RKUHP tidak akan selesai dibahas bahkan sampai periode DPR ini berakhir.
Soal pemidanaan dalam praktik kedokteran gigi dan terhadap advokat, Arsul yakin anggota Komisi III DPR secara rasional dapat menerima pembahasan ulang yang diusulkan pemerintah. Sebab, tidak mungkin ada pasal saling bertabrakan. Terkait dengan praktik kedokteran gigi, Arsul mengaku bahwa dalam pembahasan RKUHP sebelumnya ada putusan Mahkamah Konstitusi terkait uji materi yang diajukan oleh tukang gigi terkait ancaman pemidanaan yang terlewat dipertimbangkan oleh DPR.
Namun, terkait dengan masukan berbagai pihak termasuk dalam uji publik yang digelar di 12 kota sebelumnya, Arsul mengatakan bahwa masukan-masukan tersebut akan diakomodasi di dalam bagian penjelasan pasal-pasal RKUHP. ”Kalau pertanyaannya apakah mungkin ditambah pasal baru, saya kira tidak,” ujarnya.
Direktur ICJR Erasmus AT Napitupulu mengapresiasi pemerintah dan DPR yang bersedia menjaring kembali masukan terkait RKUHP melakukan pembahasan lanjutan agar masukan itu dapat diakomodasi. Ia menyadari bahwa RKUHP sudah dibahas begitu lama dan seharusnya disahkan pada 2019. Namun, sebagai negara demokrasi yang termasuk terbesar di dunia, pemerintah dan DPR bersedia menunda dan membahas ulang sejumlah isu dalam hukum pidana.
Salah satu isu yang menjadi perhatian ICJR adalah terkait hukuman mati. Sebagai organisasi yang mendukung aliran abolisionis (penghapusan hukuman mati), ia mengapresiasi jalan tengah yang diambil pemerintah yaitu hukuman mati dengan percobaan 10 tahun. Namun, Ia meminta agar masa percobaan tersebut diberikan secara otomatis tanpa harus dinyatakan dalam putusan majelis hakim. “Mekanisme ini ada di China, mekanisme delay. Saya kira tidak salah sebagai negara Pancasila, Indonesia mengaturnya bisa lebih baik,” ujarnya.
Selain itu, ICJR juga mendorong adanya perubahan pidana mati yang dijatuhkan menjadi hukuman lain. Bagi terpidana mati yang sudah mendekam selama 10 tahun di penjara, perubahan hukuman tersebut diharapkan bisa dilakukan.
Berita selengkapnya klik di sini