Hak Perempuan dan Wacana Kriminalisasi Perzinaan dalam RKUHP

oleh: Cathryna Gabrielle Djoeng

 

Di tengah proses penyusunan RKUHP guna mereformasi hukum pidana, isu kriminalisasi perzinaan sebagaimana dirumuskan dalam RKUHP Pasal 417 menimbulkan perdebatan melihat adanya potensi overkriminalisasi. Disamping itu, Joint Statement the United Nations Working Group on discrimination against women in law and in practice tahun 2012 menyatakan bahwa “Adultery as a criminal offences violates women’s human rights.1 Hal ini semakin mendorong wacana mencegah kriminalisasi perzinaan untuk melindungi perempuan dari ancaman diskriminasi dalam sistem peradilan pidana di Indonesia. 

 

Pada dasarnya, kriminalisasi perzinaan tidak luput dari pengaruh budaya patriarki yang mendasari praktik diskriminasi terhadap perempuan. Adanya unsur nilai patriarki menjadi salah satu alasan penghapusan pasal perzinaan di India yang diatur dalam Pasal 497 Kitab Undang-undang Hukum Pidana India (Indian Penal Code). Dalam putusan Joseph Shine v. Union of India dinyatakan bahwa “…, Section 497 has proceeded on a hypothesis which is deeply offensive to the dignity of women. It is grounded in paternalism, solicitous of patriarchal values and subjugates the woman to a position where the law disregards her sexuality.2 Argument diatas konsisten dengan Joint Statement  the United Nations Working Group on discrimination against women in law and in practice yang menyatakan konsep perzinaan bersifat diskriminasi “Religious prohibitions of adultery, traditionalist cultural practices and legal history reveal the discriminatory nature of the concept of adultery under most traditions3  

 

Berdasarkan Pendapat Hakim Mahkamah Agung India Dhananjaya Y Chandrachud, “Section 497 has a significant social impact on the sexual agency of women. It builds on existing gender stereotypes and bias and further perpetuates them…, Section 497 legal recognition to socially discriminatory and gender-based norms. Sexual relations for a woman were legally and socially permissible when it was within her marriage. Women who committed adultery or non-marital sex were labeled immoral, shameful, and were criminally condemned.”4  Meskipun rumusan pasal perzinaan disusun secara gender neutral, hal ini tidak menjamin penerapan pasal perzinaan akan sama rata sebab dasar hukum kriminalisasi perzinaan membenarkan stereotip gender yang tentunya mempengaruhi sikap aparat penegak hukum.5 Akibatnya, perempuan cenderung tidak diperlakukan secara adil seperti kasus di Aceh dimana seorang perempuan yang mengaku berbuat zina dihukum cambuk sebanyak 100 kali sedangkan pasangannya yang menyangkal menerima 15 kali.6  

 

Sebagaimana dinyatakan oleh the United Nations Working Group on discrimination against women in law and in practice, “The HRC Committee has pointed out that adultery provisions must be repealed so that women are not deterred from reporting rapes by fears that their claims will be assosicated with the crime of adultery,”7 eksistensi pasal perzinaan berdampak buruk terhadap penanganan kasus kekerasan seksual  karena rumusan pasal perzinaan memidana individu yang melakukan hubungan seksual atas dasar persetujuan. Apabila korban tidak mampu membuktikan adanya tindak kekerasan seksual maka korban dapat dikenakan pasal perzinaan. Hal ini menimbulkan ketakutan bagi korban kekerasan seksual untuk melaporkan kasusnya ke pihak berwenang. 

 

Negara perlu mengambil langkah untuk mencegah kriminalisasi perzinaan dalam RKUHP guna melindungi perempuan dari ancaman overkriminalisasi seperti yang dilakukan oleh Negara India yang mana salah satu alasannya dikarenakan pasal perzinaan dinyatakan bertentangan dengan prinsip non-diskriminasi “Section 497 is based on gender stereotypes about the role of women and violates the non-discrimination principle embodied in Article 15 of the Constitution.”8 Demikian, hal ini menunjukkan bahwa mencegah kriminalisasi perzinaan dapat diterapkan sebagai bentuk komitmen Negara terhadap prinsip non-diskriminasi dan Konvensi CEDAW dalam upaya menghapus diskriminasi terhadap perempuan dalam sistem peradilan pidana. 

Leave a Reply