Hasil Rapat Marathon Panja R KUHP: Beberapa Pasal Masih Butuh Pendalaman Serius
Sejak 26 Oktober 2015 dan dilanjutkan pada 17 s/d 19 November 2015, Panitia Kerja (Panja) R KUHP telah membahas secara marathon R KUHP 2015 secara terbuka di Komisi III DPR. Sampai dengan Kamis 19 November 2015, Panja bersama pemerintah telah membahas sampai dengan No DIM 125 atau di Pasal 33 R KUHP.
Aliansi Nasional Reformasi KUHP mengapresiasi pembahasan yang dilakukan secara terbuka tersebut, namun Aliansi melihat kebutuhan yang besar untuk tetap menghadirkan pakar-pakar pidana dalam rapat pembahasan tersebut. Disamping itu rapat pembahasan juga wajib untuk terus melakukan pemantauan terhadap tim-tim khusus yang melakukan perumusan subtansi dan singkronisasi hasil pembahasan. Karena hampir semua DIM yang di sepakati diserahkan perumusan ulangnya kepada Tim subtansi dan Tim singkronisasi tersebut.
Aliansi juga melihat ada beberapa isu krusial yang menjadi perhatian Panja R KUHP, walaupun sebagian dari isu ini telah disepakati dalam rapat , namun Aliansi mendorong agar Panja tetap melakukan pendalaman karena pentingnya isu tersebut, beberapa isu tersebut yakni:
Asas legalitas versus hukum yang hidup dalam masyarakat
Mayoritas fraksi menilai, perlu ada aturan lebih lanjut terkait dengan pemberlakuan hukum adat atau hukum hidup. Hukum adat dapat diterima menjadi sumber hukum pidana selama dirumuskan atau ditetapkan dalam peraturan daerah (perda) yang diakui secara nasional. Hal tersebut dilakukan untuk menjamin agar dalam penerapannya nanti tidak menyulitkan. Ini karena R KUHP khususnya pasal 2 telah membuka peluang seperti yang dinyatakan: Pasal 2 (1) R KUHP: “Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (1) tidak mengurangi berlakunya hukum yang hidup dalam masyarakat yang menentukan bahwa seseorang patut dipidana walaupun perbuatan tersebut tidak diatur dalam peraturan perundang‑undangan”.
Aliansi Nasional Reformasi KUHP sepakat dengan beberapa tanggapan dari beberapa fraksi yang memberikan sanggahan kritis terhadap usul dari pemerintah. Akan tetapi, Aliansi menilai ketentuan ini sebaiknya dicabut karena bertentangan dengan asas legalitas.
Delik Aduan dan usia anak dalam R KUHP
Dalam Paragraf 7 Tindak Pidana Aduan Pasal 27 dinyatakan
(1) Dalam hal korban tindak pidana aduan belum berumur 16 (enam belas) tahun dan belum kawin atau berada di bawah pengampuan maka yang berhak mengadu adalah wakilnya yang sah.
(2) Dalam hal wakil yang sah dari korban tindak pidana aduan belum berumur 16 (enam belas) tahun dan belum kawin tidak ada, maka penuntutan dilakukan atas pengaduan wali pengawas atau majelis yang menjadi wali pengawas.
(3) Dalam hal wakil yang sah dari korban yang berada di bawah pengampuan tidak ada maka penuntutan dilakukan atas dasar pengaduan istrinya atau keluarga sedarah dalam garis lurus.
(4) Dalam hal wakil sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak ada maka pengaduan dilakukan oleh keluarga sedarah dalam garis menyamping sampai derajat ketiga atau majelis yang menjadi wali pengampu.
Aturan tersebut di muat dalam No DIM 109-122 dan banyak dikritik oleh beberapa fraksi. Fraksi Partai Gerindra mengusulkan usia 16 diganti usia 18, usulan ini juga disetujui oleh Fraksi PKS, Fraksi Partai Nasdem, dan Fraksi PKB. Walaupun Pemerintah bersikukuh bahwa pengaturan usia anak beda-beda karena konteksnya berbeda. Pemerintah berpandangan anak diturunkan jadi 16 tahun, supaya anak 16 tahun bisa melaporkan sendiri apabila menjadi korban. Namun beberapa fraksi tetap mempertahankan 18 tahun dengan alasan bahwa jika hendak memberikan perlindungan kepada anak seharusnya dilakukan secara menyeluruh.
Terkait delik aduan terkait tindak pidana zina yang diatur dalam Pasal 26 RKUHP juga sebaiknya ditinjau ulang karena ini akan berimplikasi serius dengan perkembangan tindak pidana zina dalam R KUHP. R KUHP memperluas tindak pidana zina (tidak terbatas kepada hubungan perkawinan) oleh karena itu delik aduan dalam pasal 26 akan membuka peluang pengaduan yang sangat luas khususnya dalam tindak pidana zina.