Hukuman mati dinilai jadi alat pencitraan politik penguasa
Merdeka.com – Dalam rangka memperingati Hari Anti Hukuman Mati Sedunia 10 Oktober 2015, Aliansi Nasional Reformasi KUHP bersama Koalisi Anti Hukuman Mati mendesak Presiden Jokowi untuk menghapus praktik hukuman mati dalam sistem hukum pidana Indonesia.
Pasalnya, dari negara-negara yang bergerak hendak meninggalkan hukuman mati dari hukuman pidananya, Indonesia diketahui masih tetap mempraktikkan hukuman mati.
Menurut Direktur Eksekutif Imparsial, Poengki Indarti, praktik hukuman mati yang diberlakukan di Indonesia tak lepas dari kepentingan para penguasa untuk menanamkan pengaruhnya.
“Kita melihat hukuman mati adalah kepentingan rezim dari yang berkuasa. Pada masa Orba itu, Soeharto banyak menghukum mati orang yang terlibat G-30 S/PKI. Hukuman mati hanya sebagai alat tontonan penguasa untuk menghajar lawan politik,” kata Poengki dalam diskusi yang bertajuk ‘Situasi Terkini Hukuman Mati di Pemerintahan Jokowi’ di Bakoel Cooffe, Jl. Cikini Raya, Jakarta, Kamis (8/10).
Selain sebagai alat kepentingan, hukuman mati juga dipakai sebagai alat pencitraan politik. Hukuman mati, kata dia hanya pengalihan isu di atas banyaknya kasus korupsi yang menggerogoti negeri ini yang hampir tak bisa diredam oleh pemerintah itu sendiri.
“Hukuman mati hanya untuk sebagai pencitraan di mana masyarakat melihat bahwa pemerintahan saat ini tegas, padahal banyak pemerintah kita yang korup,” tegas dia.
Sampai saat ini Presiden Jokowi telah memutuskan untuk mengeksekusi 14 terpidana mati yang semuanya terjerat kasus narkotika. Eksekusi perdana dilakukan pada 18 Januari 2015 terhadap WNA terpidana mati. Hukuman mati tahap II dilakukan pada 29 April 2015 atas delapan terpidana mati. Dan saat ini sedang menunggu prosesnya untuk eksekusi tahap III. Bagi Poengki, pelaksanaan hukuman mati atas tahanan narkoba tak juga memberi dampak menurunnya angka peredaran narkoba di Indonesia.
“Apakah ada eksekusi mati berdampak menurunkan jumlah narkoba, pembunuhan. Apakah dengan dieksekusi jumlahnya berkurang? Pemerintah harus menjawab hal ini,” tukas dia.
Meski prihatin atas maraknya peredaran narkoba dan korban yang ditimbulkannya, Poengki lebih setuju jika pemerintah menjadikan tahanan narkoba sebagai pintu untuk mencegah masuknya narkoba dari luar. Sebab dari kenyataan yang ada selama ini, peredaran narkoba banyak dikendalikan dari lapas dan angkanya pun tak turun-turun dari tahun ke tahun.
“Seharusnya orang-orang yang masuk ke dalam hukuman mati digunakan sebagai alat untuk membongkar peredaran jaringan narkoba yang besar. Itu yang seharusnya dilakukan Pemerintah kita,” pungkas dia.