Ini 12 Isu Pending dalam RKUHP
Panja DPR bersama pemerintah sepakat menunda pembahasan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP). Alasannya lantaran masih terdapat perdebatan pada sejumlah pasal sehingga rumusan normanya perlu diatur lebih detail. Termasuk pula dengan pola penentuan ancaman pidana dalam RKUHP. Atas dasar itu, DPR memperpanjang pembahasan RKUHP pada masa sidang berikutnya.
Tercatat, sebanyak 12 isu yang terpending dan menjadi fokus dalam pembahasan RKUHP. Pertama, terkait dengan rumusan hukum yang hidup di dalam masyarakat alias living law. Pengaturan living law dalam RKUHP diatur dalam Pasal 2 ayat (1). Kepala Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) Prof Enny Nurbaningsih selaku tim dari pemerintah berpendapat living law berlaku di tempat hukum hidup serta sepanjang tidak diatur dalam UU. Rumusan ini mesti sesuai dengan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila, UUD 45 dan asas-asas hukum umum sebagaimana diakui masyarakat yang beradab.
Fakta di tengah masyarakat, di beberapa daerah tertentu memang masih berlaku ketentuan hukum yang tidak tertulis. Bahkan, berlaku sebagai hukum pidana adat. Dalam rangka memberikan dasar hukum bagi pidana adat, maka diperlukan kompilasi dalam bentuk peraturan presiden yang berasal dari peraturan daerah. Namun perdebatan masih panjang antara Panja RKUHP dan tim pemerintah. Karena itu, living law masuk dalam daftar pending isu.
“Kompilasi tersebut memuat hukum yang berlaku dalam masyaarakat yang dikualifikasi sebagai tindak pidana adat,” ujarnya dalam dalam laporan singkat Rapat Timus dan Timsin Komisi III dengan pemerintah dalam pembagasan RKUHP sebagaimana dikutip dari situs resmi Aliansi Nasional Reformasi KUHP.
Kedua, ketentuan tentang pidana mati. Pengaturan pidana mati dituangkan dalam Pasal 67. Namun perkembangan pembahasan diperbaiki menjadi Pasal 73 dan 129 terkait pengaturan hukuman pidana mati. Pengaturan pidana mati dalam hukum positif memang menjadi pro kontra. Dalam RKUHP, pidana mati bukanlah pidana pokok, tetapi, pidana yang bersifat khusus dan diancamkan secara alternatif.
Menurut Prof Enny, penjelasan pengaturan pidana mati sudah dirumuskan. Karena itu, pidana mati tidak termasuk dalam urutan pidana pokok, namun ditentukan dalam pasal tersendiri. Dengan kata lain, pidana mati menjadi pidana pilihan terakhir sebagai upaya dalam melindungi masyarakat. Pidana mati merupakan jenis hukuman yang paling berat yang diancamkan secara alternatif dengan jenis pidana seumur hidup atau ancaman hukuman 20 tahun.
“Pidana mati dapat dijatuhkan secara bersyarat dengan masa percobaan. Sehingga dalam tenggang waktu percobaan terpidana bisa memperbaiki diri sehingga pidana mati tidak dilaksanakan, diganti dengan perampasan kemerdekaan, seumur hidup dan pidana 20 tahun,” ujarnya.
Ketiga, tentang usia. Dalam Pasal 76 ayat (1) huruf a menyebutkan, “Dengan tetap mempertimbangkan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 dan Pasal 60, pidana penjara sedapat mungkin tidak dijatuhkan jika ditemukan keadaan sebagai berikut: a. terdakwa berusia di bawah 18 (delapan belas) tahun atau di atas 75 (tujuh puluh lima) tahun;”.
Menurut Prof Enny, berdasarkan ketentuan pasal tersebut perlu dipertimbangkan batasan usia untuk tidak menjatuhkan pidana perampasan kemerdekaan yakni pemenjaraan. Karena itu, perlu disepakati diganti tetap dengan rumusan norma pasal sesuai dengan ketentuan Pasal 76 ayat (1) huruf a.
Keempat, tentang pengertian dan istilah. Tim pemerintah, kata Prof Enny, telah melakukan perbaikan terhadap semua pengertian dan istilah. Karena itu, tim pemerintah melakukan penyempurnaan dengan seluruh peraturan perundangan terkait.
Kelima, alasan memperingan dan memperberat pidana. Pemerintah berpendapat faktor memperingan dan memperberat ternyata tidak perlu pengaturan dalam bab khusus. Sebab dikhawatirkan bakal menimbulkan kesulitan hakim dalam menerapkan pemberian vonis hukuman.
Alasannya antara lain terdapat ketentuan terkait kewajiban hakim mempertimbangkan keadaan memberatkan dan meringankan terdakwa dalam Pasal 197 ayat (1) KUHAP. Begitu pula dengan Pasal 8 ayat (2) UU No.48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Hal lainnya, ketentuan pembatasan faktor meringankan atau memberatkan pidana dalam RKUHP malahan membatasi keebasan hakim dalam menjatuhkan putusan.
Keenam, mendirikan organisasi yang mengatur ajaran komunisme, marxisme, dan leninisme. Dalam perkembangan pembahasan memang telah dilakukan perbaikan dalam Pasal 220 -sebelumnya diatur dalam Pasal 207- khususnya huruf a, yakni mendirikan organisasi yang menganut ajaran Komunisme, Marxisme dan Leninisme. Alasannya, terhadap orang yang mendirikan organisasi jelas maksudnya, sehingga frasa diketahui atau patut diduga keras tidak diperlukan lagi. Begitu pula dengan rumusan huruf b.
Ketujuh, tindak pidana terhadap martabat presiden dan wakil presiden. Pengaturan terhadap tindak pidana martabat presiden dan wapres diatur dalam Pasal 238-240. Bila di draf sebelumnya, ancaman dalam Pasal 238 selama 5 tahun, kini menjadi 9 tahun. Begitu pula dengan Pasal 239 yang tadinya tidak terdapat ayat, kini menjadi dua ayat. Perbaikan rumusan pasal dilakukan dalam rangka mengakomodir putusan MK No.013-022 Tahun 2009 serta diskusi dengan berbagai ahli.
Kedelapan, aspek kesusilaan. Pasal tersebut belakangan memang menjadi sorotan publik. Tak saja soal pengaturan palarangan hubungan sejenis, namun juga delik yang dapat dijadikan mekanisme proses hukum. Misalnya, banyak masyarakat menyorot Pasal 484 ayat (1) huruf e.
Sebab melalui pengaturan pasal tersebut, perumus melakukan overkriminalisasi. Pasal tersebut yang dikhawatirkan adalah laki-laki dan perempuan yang masing-masing tidak terikat dalam perkawinan yang sah melakukan persetubuhan. Begitu pula dengan Pasal 488 dan 495 menjadi sorotan banyak masyarakat.
Kesembilan, tentang perjudian. Pengaturan pemidanaan terhadap tindak pidana perjudian diatur dalam Pasal 505. Kesepuluh, tentang ketentuan peralihan. Di masa transisi bagi lembaga penegak hukum terhadap tindak pidana khusus dari UU di luar KUHP diperlukan pembahasan mendalam. Karena itulah KPK tetap berwenang melakukan tugas penegakan hukum pro justicia terhadap kasus korupsi.
Kesebelas, terkait dengan judul Rancangan Undang-Undang (RUU). Internal tim pemerintah menyepakati judul ‘Undang-Undang Hukum Pidana’. Namun, kata Prof Enny, dapat disebut sebagai Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Keduabelas, tentang ketentuan bab tindak pidana khusus. Khusus delik khusus dalam RKUHP dibatasi dengan tindak pidana hak asasi manusia, terorisme, korupsi, pencucian uang, narkotika dan psikotropika. Alasannya mulai memiliki dampak viktimisasi besar, hingga didukung oleh konvensi internasional.
Terkait isu-isu pending ini, Anggota Panja RKUHP Arsul Sani mengatakan, pihaknya membuka ruang masukan dari masyarakat. Ia berharap masukan masyarakat tersebut sudah tidak dalam bentuk wacana, tetapi, masukan dalam bentuk rumusan pasal. “Kami membuka diri. Maka ajukan saja ke Komisi III untuk RDPU (rapat dengar pendapat umum). Tapi ketika datang, jangan dalam bentuk perspektif wacana. Tapi tawaran (konkrit) rumusan pasal-pasal alternatif,” pungkasnya.
Sumber: http://m.hukumonline.com/berita/baca/lt5a8aad8df2478/ini-12-isu-ipending-i-dalam-rkuhp