Inkonsistensi Wacana Moral Pemerintah: Judi Bisa Legal, Hubungan Privat Dipenjara
Inkonsistensi ini menunjukkan bahwa tidak ada indikator moral yang jelas dalam perumusan RKUHP. Di satu sisi sebagian fraksi di DPR dan Pemerintah sangat bersikeras mengatur kriminalisasi hubungan privasi warga negara untuk alasan moral, namun di sisi lain malah membuka celah legalisasi judi yang memiliki argumen kurang lebih sama, yaitu soal moral.
Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) direncanakan akan disahkan pada Februari 2018. Namun masih ada beberapa catatan yang harus digarisbawahi. Salah satunya adalah mengenai inkonsistensi wacana moral yang diejawantahkan dalam rumusan beberapa pasal-pasal RKUHP.
Pemerintah dan DPR menginisiasi untuk mengatur perilaku seksual seluruh warga negara berdasarkan standar moral yang konservatif. Sebagai contoh, dalam RKUHP, baik laki-laki maupun perempuan yang berhubungan seks di luar nikah dijatuhi hukuman pidana. Perluasan pasal terkait hubungan privat warga negara ini justru akan menyasar kelompok rentan. Seperti, korban perkosaan yang tak bisa membuktikan perkosaan atau jika pelaku perkosaan mengaku suka sama suka, pasangan tanpa surat nikah, termasuk nikah siri, poligami, dan nikah adat yang tak dapat membuktikan secara hukum perkawinan mereka, dan orang-orang yang tinggal bersama di satu tempat kontrakan atau sejenisnya. Sangat jauhnya negara mewacanakan konteks moral dan memasuki terlalu jauh urusan privat warga negaranya, jelas membuktikan bahwa akan timbul over kriminalisasi.
Menariknya, dalam pembahasan RKUHP juga, tepatnya dalam Pasal 505 RKUHP (draft Februari 2017, Pasal 478 draft 2 Februari 2018) mengenai Perjudian, DPR dan Pemerintah justru seakan menyimpangi pandangan moral dengan memasukkan ketentuan mengenai pidana untuk judi tanpa izin. Sehingga dapat dikatakan bahwa judi dapat dilegalkan selama memiliki izin.
Pasal Pidana Judi yaitu Pasal 505/478 RKUHP ayat (1) berbunyi :
(1) Dipidana dengan pidana penjara paling lama 9 (sembilan) tahun, Setiap Orang yang tanpa izin:
a) menawarkan atau memberi kesempatan untuk main judi dan menjadikannya sebagai mata pencahariannya atau turut serta dalam perusahaan perjudian;
b) menawarkan atau memberi kesempatan kepada umum untuk main judi atau turut serta dalam perusahaan perjudian, terlepas dari ada tidaknya suatu syarat atau tata cara yang harus dipenuhi untuk menggunakan kesempatan tersebut; atau
c) menjadikan turut serta pada permainan judi sebagai mata pencaharian.
Perdebatan yang dihadirkan dalam pembahasan oleh Tim Perumus dan Tim Sinkronisasi pada 5 Februari 2018 tersebut justru pada pemberian izin judi tersebut. Timus dan Timsin masih belum mendapatkan kesepakatan terkait pihak yang memberikan kewenangan perizinan perjudian pada siapa, apakah pemerintah pusat ataukah pemerintah daerah.
Ada beberapa catatan ICJR terkait hal ini, diantaranya ;
Pertama, terdapat inkonsistensi Pemerintah soal wacana moral. Dahulu, judi yang dilaksanakan tanpa izin dianggap sebagai pelanggaran saja. Barulah sejak 1911, statusnya dinaikkan menjadi kejahatan karena dianggap bertentangan dengan moral dalam arti luas. Pemikiran ini pun akhirnya berpengaruh ke Indonesia. Sejak 1974, judi dianggap bukan saja melanggar norma agama dan moral, tetapi juga membahayakan negara. Untuk itulah kemudian pemerintah mengeluarkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1974 tentang Penertiban Perjudian. Namun saat ini, dengan dimasukkannya pasal perjudian tanpa izin justru akan melegitimasi perjudian dengan izin yang seyogyanya kalau dilihat tetap bertentangan dengan moral bangsa.
Kedua, dengan adanya syarat Izin tersebut menunjukkan inkonsistensi Pemerintah soal tidak diaturnya delik-delik pidana yang bersifat administratif. Dengan memberikan syarat izin untuk melegalkan judi, maka dengan begitu Pemerintah dan DPR secara sadar memasukkan pidana yang bersifat administratif ke dalam KUHP.
Ketiga, Inkonsistensi ini menunjukkan bahwa tidak ada indikator moral yang jelas dalam perumusan dan pembahasan RKUHP. Di satu sisi sebagian fraksi di DPR dan Pemerintah sangat bersikeras mengatur kriminalisasi hubungan privasi warga negara untuk alasan moral, namun di sisi lain membuka celah legalisasi judi yang memiliki argumen kurang lebih sama, yaitu soal moral.
Atas dasar itu, Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) menilai baiknya DPR dan Pemerintah kembali duduk untuk membahas landasan moral yang sangat kental digunakan dalam RKUHP. Ketentuan pidana yang tidak memperhatikan syarat-syarat kriminalisasi dan tujuan pemidanaan justru membuka ruang pemenjaraan yang sangat tinggi. Inkonsistensi ini harus dijawab oleh Pemerintah dan DPR.