Kejahatan Luar Biasa, Tindak Pidana Khusus dan KUHP

Dalam berita ini seorang profesor hukum pidana menyatakan bahwa korupsi akan kehilangan sifat keluarbiasaannya jika dimasukan ke dalam KUHP. “Korupsi akan menjadi kejahatan biasa” katanya. Pernyataan tersebut merupakan respon atas akan dimasukannya delik-delik korupsi ke dalam Rancangan KUHP (RKUHP) yang saat ini draftnya telah diserahkan Presiden ke DPR untuk dibahas.

Terlepas dari bagaimana pandangan saya tentang RKUHP yang ada –yang mana saya sendiri juga tidak setuju RKUHP yang ada namun dengan alasan yang berbeda- menurut saya pandangan tersebut menarik. Apakah benar sifat keluarbiasaan suatu tindak pidana menjadi hilang karena pengaturannya dipindahkan ke dalam KUHP?

Menurut saya tidak. Mengapa?

Tipikor dan Tindak Pidana Khusus

Pandangan sang profesor sebenarnya bukan hal baru, sering juga saya mendengar pandangan tersebut dari pihak lain yang menganggap jika suatu ketentuan tindak pidana yang semula diatur di luar KUHP dimasukan dalam KUHP maka akan kehilangan sifat keluarbiasaannya. Pandangan ini umumnya berasal dari pandangan yang membagi dua jenis tindak pidana, tindak pidana umum dan tindak pidana khusus. Apa itu tindak pidana khusus?

Sebenarnya tidak ada definisi yang jelas juga tentang apa itu ‘tindak pidana khusus’. Tindak Pidana Khusus terkadang diartikan sebagai 1) tindak pidana yang pengaturannya diatur di luar KUHP, 2) tindak pidana yang pengaturannya diatur di luar KUHP akan tetapi undang-undang tersetbu merupakan UU yang secara khusus dibuat untuk mengatur tindak pidana yang dimaksud, 3) tindak pidana baik yang diatur di dalam maupun di luar KUHP yang tata cara penangannya memerlukan tata cara khusus (hukum acara khusus) yang memiliki perbedaan dari hukum acara yang berlaku umum.

Mengenai pengertian yang pertama, umum-khusus-nya suatu tindak pidana semata hanya dilihat dari dimana ketentuan pidana tersebut diatur, apakah di dalam KUHP atau di undang-undang di luar KUHP, seperti misalnya korupsi, pencucian uang, lalu lintas, dan banyak UU lainnya (saat ini ada lebih dari 150 UU yang mengatur tindak pidana).

Mengenai pengertian yang kedua, yang dimaksud UU yang secara khusus mengatur tindak pidana, yaitu UU yang memang dibuat untuk mengatur suatu tindak pidana, bukan hal lain yang walaupun di dalamnya memuat juga ketentuan pidana. Untuk lebih jelasnya saya akan berikan contoh 2 UU yang sama-sama memuat ketentuan pidana, namun hanya salah satunya yang dianggap menurut pandangan ini merupakan Tindak Pidana Khusus. Kedua UU tersebut yaitu UU No. 8 Tahun 2011 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang dan UU No. 4 Tahun 2009 tentang Petambangan Mineral dan Batu Bara. Dalam pandangan kedua ini hanya tindak pidana pencucian uang lah yang dianggap sebagai tindak pidana khusus, oleh karena UU yang mengaturnya secara khusus dibuat untuk mengatur mengenai tindak pidana tersebut. Sementara untuk tindak pidana yang diatur dalam UU Minerba bukan merupakan tindak pidana khusus, oleh karena UU Minerba tersebut dibuat tidak dimaksudkan untuk secara khusus mengatur mengenai tindak pidana dibidang mineral dan batu bara. UU Minerba tersebut dibuat untuk mengatur pertambangan mineral dan batu bara, dan ketentuan pidana yang diatur di dalamnya adalah salah satu bentuk upaya untuk memastikan pengaturan mengenai minerba tersebut ditaati.

Mengenai pandangan yang ketiga, pandangan ini lebih melihat bagaimana hukum acaranya, apakah hukum acara yang digunakan untuk tindak pidana tersebut hanya diatur dalam KUHAP atau hukum acara yang berlaku umum, atau apakah hukum acara yang diatur yang menyimpang dari hukum acara yang berlaku untuk tindak pidana pada umumnya. Pandangan ketiga ini tidak terlalu melihat apakah ketentuan tindak pidananya diatur di dalam atau di luar KUHP, namun hanya melihat apakah ketentuan pidananya hanya diatur di dalam KUHAP atau diatur juga di luar KUHAP.

Jika kita kaitkan dengan pembagian Tindak Pidana Umum dan Khusus di Mahkamah Agung dan Kejaksaan Agung terlihat juga bahwa terdapat perbedaan antara apa yang dimaksud “umum-khusus” di kedua lembaga tersebut. Di MA, perkara yang dianggap sebagai Tindak Pidana Khusus sehingga dalam register perkaranya diberikan kode ‘Pid.Sus’ (Pidana Khusus) tidak ada kriteria yang jelas apakah berdasarkan pengertian pertama, kedua, atau ketiga sebagaimana di atas, namun lebih campuran dari ketiganya. Ada perkara yang semata di atur di luar KUHP, tanpa ada kekhususan pada hukum acaranya masuk dalam bagian Pidana Khusus, misalnya tindak pidana pemalsuan ijazah (diatur di UU 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional), sementara ada juga perkara yang diatur dalam KUHP namun karena hukum acaranya khusus maka diberikan register “Sus” seperti tindak pidana yang dilakukan anak-anak. Sementara pembagian pidana umum dan khusus di Kejaksaan lain lagi.

Di Kejaksaan pembagian perkara yang kemudian menjadi kewenangan Jaksa Bidang Pidana Khusus adalah perkara yang penyelidikan dan penyidikannya dapat dilakukan oleh Jaksa. Misalnya korupsi, tindak pidana ekonomi, Kejahatan HAM Berat dll. Sementara itu terorisme misalnya, walaupun diatur di luar KUHP dan memiliki kekhususan dibidang hukum acara tetap menjadi wilayah Jaksa Bidang Pidana Umum. Perkara yang oleh kejaksaan ditangani oleh Bidang Pidana Umum ketika perkara tersebut masuk ke Mahkamah Agung karena kasasi atau PK bisa saja akan masuk ke kepaniteraan muda bidang tindak pidana khusus, sehingga kemudian diregister dengan kode Pid.Sus. Terorisme dan Pidana Anak misalnya.

Dari penjelasan di atas terlihat bahwa apa yang dimaksud dengan Tindak Pidana Umum dan Khusus sebenarnya tidak ada patokan yang jelas.

Sekarang mari kita masuk ke isu Tindak Pidana Korupsi. Apakah Tindak Pidana Korupsi merupakan tindak pidana khusus? Jika kita melihat 3 kriteria di atas, ya, tipikor masuk sebagai tindak pidana khusus dalam kriteria apapun. Tipikor di atur di luar KUHP, UU yang mengaturnya memang khusus mengatur tindak pidana ini (UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi), dan memiliki hukum acara yang khusus. Dilihat dari pembagian Pidana Umum berdasarkan kriteria penanganan perkara di Kejaksaan maupun Mahkamah Agung, di kedua lembaga tersebut juga dimasukan sebagai jenis perkara pidana khusus. Tapi ini hanya benar untuk sebagian. Mengapa?

Tipikor memang sejak tahun 1960 diatur dalam UU (Perpu) tersendiri. Lihat saja Perpu No. 24 Tahun 1960, UU No. 3 Tahun 1971, UU No. 31 Tahun 1999 dan UU No. 20 Tahun 2001. Namun jika dilihat secara seksama sebenarnya baru tahun 2001 lah tipikor benar-benar diatur di luar KUHP. Mengapa? Sejak tahun 1960 sebenarnya sebagian besar jenis tindak pidana yang diatur dalam UU/Perpu yang khusus mengatur tipikor tersebut berasal dan tetap berada dalam KUHP. Korupsi dalam bentuk suap misalnya, telah diatur dalam KUHP, pasal 209, 210, 418, 419 dan 420 KUHP. Hanya saja sejak tahun 1960 hingga tahun 1999 (UU 31/1999) ancaman hukumannya diperberat melalui UU atau Perpu tersebut, akan tetapi rumusan tindak pidananya tetap dalam KUHP. Lihat saja bagaimana pasal 5 UU 31 Tahun 1999 sebelum diubah oleh UU 20 Tahun 2001.

Pasal 5

Setiap orang yang melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam pasal 209 Kitab Undang-undang Hukum Pidana, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1(satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun atau denda paling sedikit Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah).

Sementara itu Pasal 209 KUHP tersebut berbunyi:

Pasal 209

Diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah :

  1. barang siapa memberi atau menjanjikan sesuatu kepada seorang pejabat dengan maksud menggerakkannya untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam jabatannya yang bertentangan dengan kewajibannya;
  2. barang siapa memberi sesuatu kepada seorang pejabat karena atau berhubung dengan sesuatu yang bertentangan dengan kewajiban, dilakukan atau tidak dilakukan dalam jabatannya. Pencabutan hak tersebut dalam pasal 35 No. 1- 4 dapat dijatuhkan.

Dengan rumusan demikian maka Tipikor tidak sepenuhnya berada di luar KUHP, hanya ancaman hukumannya (norma sekunder) yang diatur di luar KUHP, norma primairnya tetap ada dalam KUHP. Baru pada tahun 2001 melalui UU 20 Tahun 2001 semua tindak pidana korupsi yang ada dalam KUHP yang sebelumnya tetap ada dalam KUHP ditarik sepenuhnya ke UU Tipikor, tidak hanya norma sekundairnya, namun juga norma primairnya. Dan kemudian pasal yang ada dalam KUHP-nya dinyatakan tidak berlaku lagi. Perhatikan Pasal 5 dan Pasal 43B UU No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas UU No. 31 Tahun 1999 dibawah ini:

Pasal 5

(1) Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan atau pidana denda paling sedikit Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) setiap orang yang:

  1. memberi atau menjanjikan sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dengan maksud supaya pegawai negeri atau penyelenggara negara tersebut berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya; atau
  2. memberi sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara karena atau berhubungan dengan sesuatu yang bertentangan dengan kewajiban, dilakukan atau tidak dilakukan dalam jabatannya.

(2) Bagi pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima pemberian atau janji sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a atau huruf b, dipidana dengan pidana yang sama sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).

Pasal 43B

Pada saat mulai berlakunya Undang-undang ini, Pasal 209, Pasal 210, Pasal 387, Pasal 388, Pasal 415, Pasal 416, Pasal 417, Pasal 418, Pasal 419, Pasal 420, Pasal 423, Pasal 425, dan Pasal 435 Kitab Undang-undang Hukum Pidana jis. Undang-undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana (Berita Republik Indonesia II Nomor 9), Undang-undang Nomor 73 Tahun 1958 tentang Menyatakan Berlakunya Undang-undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana untuk Seluruh Wilayah Republik Indonesia dan Mengubah Kitab Undang-undang Hukum Pidana (Lembaran Negara Tahun 1958 Nomor 127, Tambahan Lembaran Negara Nomor 1660) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 27 Tahun 1999 tentang Perubahan Kitab Undang-undang Hukum Pidana Yang Berkaitan Dengan Kejahatan Terhadap Keamanan Negara, dinyatakan tidak berlaku.”

Tipikor dan Kejahatan Luar Biasa

Apakah korupsi merupakan kejahatan luar biasa? Ada dua pandangan sebenarnya mengenai hal ini. Ada yang beranggapan bahwa korupsi merupakan kejahatan biasa, namun di negara ini sifatnya telah masif dan endemik maka butuh penanganan khusus. Ordinary crimes that need extraordinary efforts to combat it. Kira-kira begitu bahasa inggrisnya. Sama halnya dengan ulat bulu misalnya. Ulat bulu hanya serangga biasa yang menimbulkan gatal-gatal biasa, tapi jika tiba-tiba ulat bulu menjadi mewabah seperti kejadian beberapa tahun yang lalu, maka butuh penanganan yang extra untuk mengatasinya, tidak cukup hanya mengandalkan daun pisang yang dihangatkan misalnya, tapi ya harus ada penanganan khusus atas ulat bulunya itu sendiri bukan semata gatal-gatal yang ditimbulkannya. Saya merupakan penganut pandangan ini. Korupsi adalah kejahatan biasa yang endemik yang membutuhkan penanganan yang ekstra.

Pandangan kedua menganggap korupsi memang merupakan kejahatan luar biasa, extra ordinary crimes. Pandangan ini mendasarkan pada UU KPK khususnya Penjelasan Umum UU 30 Tahun 2002 yang menyatakan bahwa korupsi adalah kejahatan luar biasa. Perhatikan kutipan penjelasan umum UU KPK dibawah ini:

Meningkatnya tindak pidana korupsi yang tidak terkendali akan membawa bencana tidak saja terhadap kehidupan perekonomian nasional tetapi juga pada kehidupan berbangsa dan bernegara pada umumnya. Tindak pidana korupsi yang meluas dan sistematis juga merupakan pelanggaran terhadap hak-hak sosial dan hak-hak ekonomi masyarakat, dan karena itu semua maka tindak pidana korupsi tidak lagi dapat digolongkan sebagai kejahatan biasa melainkan telah menjadi suatu kejahatan luar biasa.

Bandingkan misalnya dengan penjelasan Umum UU 20 Tahun 2001 dibawah ini:

Di samping hal tersebut, mengingat korupsi di Indonesia terjadi secara sistematik dan meluas sehingga tidak hanya merugikan keuangan negara, tetapi juga telah melanggar hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat secara luas, maka pemberantasan korupsi perlu dilakukan dengan cara luar biasa. Dengan demikian, pemberantasan tindak pidana korupsi harus dilakukan dengan cara yang khusus, antara lain penerapan sistem pembuktian terbalik yakni pembuktian yang dibebankan kepada terdakwa.

Tapi oke lah, kita lupakan pandangan saya pribadi, anggaplah korupsi adalah kejahatan luar biasa, lalu apakah dengan dipindahkannya pengaturannya dari suatu UU di luar KUHP ke dalam KUHP akan menghapuskan sifat keluarbiasaan jenis tindak pidana tersebut? Apakah dengan dimasukkan tindak pidana ‘luar biasa’ tersebut ke dalam KUHP akan menjadi ‘tindak pidana umum’ dimana ‘umum’ tersebut kemudian diartikan menjadi ‘kejahatan biasa’? Lebih jauh lagi, apakah benar seluruh tindak pidana yang diatur dalam KUHP berarti adalah ‘kejahatan biasa’?

Untuk menjawab pertanyaan terakhir mari kita uji dengan beberapa pertanyaan berikut.

  1. Apakah tindak pidana membunuh presiden atau kepala negara adalah kejahatan biasa?
  2. Apakah kejahatan Pemberontakan adalah kejahatan biasa?
  3. Apakah kejahatan makar dengan maksud untuk memisahkan sebagian wilayah dari negara ini adalah kejahatan biasa?

Jika anda menjawab kejahatan-kejahatan tersebut adalah kejahatan biasa, apalagi biasa-biasa saja, mungkin ada yang salah dengan jempol kaki anda, cantengan mungkin. Dalam KUHAP bahkan diatur khusus kejahatan-kejahatan ini saat pemeriksaan tersangka di tahap penyidikan, penasihat hukum tidak boleh mendengar pemeriksaan yang dilakukan, hanya melihat semata.

Jika dianggap kejahatan-kejahatan tersebut bukan jenis kejahatan biasa, pertanyaannya dimanakah jenis-jenis tindak pidana tersebut diatur? Di luar KUHP kah? Tidak, ada dalam KUHP. Buku Kedua Bab Kesatu tentang Kejahatan Terhadap Keamanan Negara.

Ok, sekali lagi pertanyaan di atas akan saya ulang. Apakah benar tindak pidana yang diatur dalam KUHP hanya tindak pidana biasa, atau biasa-biasa saja?

Sekarang pertanyaannya kita balik, apakah jika suatu tindak pidana diatur di luar KUHP maka berarti tindak pidana tersebut adalah tindak pidana yang bersifat luar biasa? Jika ya, lalu bagaimana dengan pelanggaran lalu lintas? Kejahatan luar biasa kah? Tindak Pidana terkait Lalu Lintas di atur dalam UU No. 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Umum lho, yang artinya di atur di luar KUHP. Apa luar biasanya ya pelanggaran maupun kejahatan lalu lintas, seperti melanggar rambu-rambu lalin atau menabrak orang karena lalai?

KUHP dan Kodifikasi

Pandangan yang menganggap bahwa tindak pidana yang diatur dalam KUHP adalah tindak pidana umum sementara di luar KUHP adalah khusus, kemudian umum-khusus tersebut dikaitkan juga dengan luar biasa atau tidaknya suatu kejahatan tidak terlepas dari bagaimana kita melihat apa itu KUHP itu sendiri. Pandangan tersebut biasanya terlalu melebih-lebih kan KUHP, seakan KUHP adalah mahluk tersendiri yang tak jarang dianggap tidak bisa diubah, tak jarang juga dianggap KUHP berpasang-pasangan dengan KUHAP. KUHAP hanya untuk KUHP dan KUHP hukum acaranya pasti hanya KUHAP, tidak bisa lebih. Suatu cara pandang yang keliru, sesat dan menyesatkan. Satu contoh kecil yang dapat membantah hal ini misalnya pencurian yang dilakukan oleh anak dibawah umur. Kejahatan ini diatur dalam KUHP (362 dst), namun karena pelakunya anak dibawah umur hukum acaranya tidak hanya KUHAP namun juga hukum acara pidana anak yang saat ini diatur dalam UU No. 11 Tahun 2012 tentang Siste Peradilan Pidana Anak.

KUHP atau Kitab Undang-Undang Hukum Pidana pada dasarnya hanyalah ketentuan-ketentuan pidana yang terkodifikasi. Apa itu kodifikasi? Menurut Black’s Law Dictionary kodifikasi (hanyalah) “The process of collecting and arranging the laws of a country or state into a code, t. e., into a complete system of positive law, scientifically ordered, and promulgated by legislative authority.” Suatu proses mengumpulkan, menyusun ketentuan-ketentuan sejenis dalam satu kitab secara sistematis dan ilmiah yang untuk kemudian dijadikan undang-undang. Kira-kira seperti itu terjemahan bebasnya. Tak ada urusannya dengan umum-atau khusus.

KUHP sama saja dengan undang-undang pada umumnya, ya dia juga undang-undang. Yang membedakan hanyalah bentuknya yang terkodifikasi. Untuk apa sih kodifikasi? Apa untuk keren-kerenan? Tidak, kodifikasi dibuat hanya untuk kebutuhan praktis. Tak lebih. Apa maksudnya? Mari kita bayangkan, bagaimana jika tidak ada sistem kodifikasi, apa yang akan terjadi?

Dalam KUHP diatur sangat banyak jenis tindak pidana, dari pembagian berdasarkan bab saja dalam Buku II terdapat 31 buah bab yang mengatur jenis-jenis tindak pidana yang berdiri sendiri. Belum lagi pelanggaran yang diatur dalam Buku III. Selain itu terdapat lebih dari 85 pasal yang mengatur ketentuan-ketentuan umum, yang didalamnya mengatur prinsip dan asas-asas hukum pidana. Tanpa ada sistem kodifikasi maka berarti masing-masing jenis tindak pidana membutuhkan undang-undang tersendiri. Konyol-konyolnya setidaknya ada 31 buah UU untuk mengatur semua tindak pidana yang saat ini ada dalam KUHP. Misalnya UU Pencurian, UU Pembunuhan, UU Pemalsuan dll. Tak hanya itu, masing-masing UU tersebut harus memuat 85 lebih prinsip-prinsip hukum pidana yang saat ini diatur dalam Buku I KUHP. Bisa dibayangkan kah seberapa tebal masing-masing UU tersebut? Bisa dibayangkan juga kah, seberapa banyak undang-undang yang harus tersedia di meja masing-masing penyidik, penuntut umum, hakim dll? Sangat tidak praktis bukan?

Dengan sistem kodifikasi puluhan UU yang mengatur tindak pidana dan prinsip-prinsipnya dapat disederhanakan dalam 1 buku kecil, seperti KUHP yang kita punya saat ini. Praktis bukan? Kalau aturan-aturan tersebut bisa disederhanakan dalam 1 UU, untuk apa dibuat rumit menjadi sekian puluh UU?

KUHP tidak bisa diubah, atau setidaknya sulit untuk diubah. Suatu pandangan yang keliru. Karena KUHP atau kodifikasi UU lainnya adalah undang-undang juga, maka ia bisa diubah. Bagaimana cara mengubahnya? Ya buat saja UU yang menyatakan atau didalamnya menyatakan bahwa terdapat suatu ketentuan di KUHP yang diubah. Praktik ini sudah sering terjadi kok, tidak hanya di Indonesia, tapi juga di seluruh negara yang menganut sistem kodifikasi. Apa buktinya? Lha, itu UU No. 20 Tahun 2001 sendiri telah mengubah KUHP, dengan menyatakan beberapa pasal di KUHP tidak berlaku lagi.

Contoh lainnya? Cek di KUHP yang anda pegang saat ini, bagaimana bisa ada kata “Presiden” di dalam Pasal 134 padahal katanya KUHP buatan belanda, sementara di belanda tidak ada jabatan Presiden. Kata ‘presiden’ ini masuk karena perubahan yang dilakukan oleh UU No. 1 Tahun 1946 tentang Hukum Pidana. Mau contoh lainnya? Cek Bab XXIXA KUHP tentang Kejahatan Penerbangan dan Kejahatan Terhadap Sarana /Prasarana Penerbangan. Apakah bab ini sudah ada sejak tahun 1915 ketika KUHP untuk hindia belanda ini dibuat? Tidak. Bab ini ditambahkan melalui UU No. 4 Tahun 1976. Banyak kok perubahan-perubahan terhadap KUHP. KUHP bukan benda sakral yang tidak bisa diubah, atau membutuhkan waktu 100 tahun untuk mengubahnya.

Apa kaitannya kodifikasi dengan luar biasa atau tidaknya suatu tindak pidana? Tidak ada. Jika korupsi dipindahkan ke dalam KUHP tidak akan menghilangkan sifat luar biasanya (kalau kita sepakat korupsi adalah kejahatan luar biasa). Normanya tetap setingkat UU karena KUHP ya undang-undang. Hukum acaranya tetap dapat diatur secara khusus, seperti halnya tindak pidana yang dilakukan anak dibawah umur. Sekali lagi kodifikasi tujuannya hanyalah untuk kegunaan praktis, agar ga repot aja bawa banyak UU.

Masih mikir jika korupsi dipindahkan ke KUHP akan kehilangan sifat keluarbiasaannya?

Tulisan diambil dari sini

Leave a Reply