Kemunduran Pengaturan Pidana Pelayaran & Pidana Lingkungan Hidup dalam RKUHP

Jakarta, 3 Juni 2016 – Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI akan kembali membahas Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana pekan depan. Panja Komisi III DPR-RI akan memulainya dengan kembali membahas Daftar Inventaris Masalah (DIM) Rancangan KUHP di Buku-I. Hal ini dilakukan karena masih banyak terdapat permasalah di Buku Ke-I yang belum terselesaikan pada masa sidang sebelumnya. Sehingga, masih ada waktu untuk membenahi ketentuan-ketentuan krusial yang ada di Buku I bagi DPR-RI. Setelah pembahasan buku I, tentu DPR akan melanjutkannya dengan pembahasan Buku II.

Aliansi Nasional Reformasi KUHP, bersama ELSAM, KNTI, dan PILNET memandang perlunya Panja Komisi III untuk kembali melihat sejumlah rumusan dalam Buku I KUHP, serta ketentuan-ketentuan Pidana yang diatur dalam Buku II. Dua isu yang menjadi perhatian Aliansi diantaranya adalah Tindak Pidana Pelayaran dan Tindak Pidana Lingkungan Hidup.

Ketidakjelasan Wilayah Laut & Lingkup Sempit Dari Tindak Pidana Pelayaran RKUHP

Dalam Buku I RKUHP, Pasal 4 mengenai asas wilayah atau teritorial menjelaskan mengenai keberlakuan ketentuan pidana menyangkut wilayah Indonesia, dalam kapal Indonesia, dan akibat yang dialami atau terjadi di wilayah indonesia atau dalam kapal indonesia. Selain itu, terdapat penjelasan mengenai mengenai awak kapal, definisi kapal dan kapal Indonesia, nakhoda, dan penumpang.

Dari buku I RKUHP tersebut, tidak ditemukan penjelasan mengenai wilayah laut Indonesia, berbeda dengan KUHP (saat ini) yang merujuk kepada “Territoriale zee en maritieme kringen ordonantie (TZMKO), S. 1939 442″ atau disebut Ordonansi  Laut  Teritorial  dan  Lingkungan­ lingkungan  Maritim  1939. Seharusnya RKUHP merujuk kepada berbagai peraturan-peraturaan terkait dengan kelautan untuk menentukan wilayah laut Indonesia, yakni UU No. 32 Tahun 2014 tentang Kelautan, disebutkan bahwa wilayah laut Indonesia yang terdiri atas wilayah perairan dan wilayah yurisdiksi. Persoalan penegakan hukum di dalam wilayah kedaulatan dan wilayah berdaulat memiliki perbedaan. Konsekuensinya adalah penegakan hukum terkait perikanan di wilayah perairan teritorial dengan wilayah yurisdiksi.

Dalam Buku II hanya terdapat bagian khusus mengenai Tindak Pidana Pelayaran, (Bab XXXIV) yang terbagi dalam delapan bagian dengan 35 ketentuan pasal ditambah 8 pasal lain terkait kegiatan kemaritiman.

Tabel 1.

Tindak Pidana Terkait Kegiatan Kemaritiman dalam RKUHP

No. Norma Pasal RKUHP
1. Tindak Pidana terkait Rambu Pelayaran Pasal 371 & Pasal 372
2. Tindak Pidana Perusakan Kapal Pasal 375 dan 376
3. Perdagangan Orang di Kapal Pasal 565
4. Pengangkutan Orang untuk Diperdagangkan dengan Menggunakan Kapal Pasal 567
5. Penghancuran dan Perusakan Bangunan Pasal 662
6. Perompakan dan Perampasan Kapal Pasal 707-713
7. Pemalsuan Surat Keterangan Kapal dan Laporan Palsu Pasal 714-717
8. Pembangkangan dan Pemberontakan di Kapal Pasal 718-721
9. Tindak Pidana Nakhoda Kapal Pasal 722-731
10. Perusakan Barang Muatan dan Keperluan Kapal Pasal 732
11. Menjalankan Profesi sebagai Awak Kapal Pasal 733-734
12. Penandatanganan Konosemen dan Tiket Perjalanan Pasal 735-736

Melihat rincian Pasal di atas, Tindak Pidana yang diatur dalam RKUHP sangat terbatas dalam sektor pelayaran semata. Tidak ada satupun pengaturan RKUHP terkait dengan bidang sektor dalam perikanan. Dalam sektor perikanan memiliki kekhususan dimana adanya tindak pidana administratif terhadap pelaku perikanan di luar nelayan kecil.

Subjek yang diatur dalam RKUHP terkait dengan tindak pidana kelautan dan kemaritiman meliputi setiap orang, nakhoda, awak kapal dan penumpang kapal Indonesia (Tabel 2). Hanya empat subyek yang diatur dalam RKUHP dimana tidak termasuk ketentuan sektoral yang khusus. Misalnya pemilik kapal, pelaku usaha skala kecil (nelayan kecil dan pembudidaya kecil), kapal berbendera asing, termasuk dalam hal ini pajabat yang memiliki kewenangan menerbitkan perizinan. Secara khusus dalam UU No. 31 Tahun 2004 tentang Perikanan telah mengalami perkembangan dengan revisi dan tambahan dalam UU No. 45 Tahun 2009 (UU Perikanan) terhadap pelaku skala kecil diberikan pembedaan pemidanaan yang diperingan.

Tabel 2.

Subyek Hukum Pelaku Tindak Pidana dalam RKUHP

No. Subyek Hukum Pasal
1. Setiap Orang Pasal 371-372, 375-376, 375-376, Pasal 565-567, Pasal 567, 662, Pasal 707-712, 715- 716, 719, 721, 732-737,
2. Nakhoda Pasal 713-714 ayat (1), 717, 722-724 ayat (1), 725-731 dam 738
3. Awak Kapal 714 ayat (2), Pasal 718 ayat (1) huruf b, Pasal 718 ayat (2)
4. Penumpang kapal Indonesia Pasal 718 ayat (1) huruf a, Pasal 718 ayat (2), 724 ayat (2)

Dari uraian di atas, setidaknya terdapat beberapa catatan, yakni: Pertama, RKUHP sangat minim dalam pengaturan mengenai kejahatan yang telah berkembang dalam sektor kelautan dan kemaritiman; Kedua, RKUHP tidak merujuk kepada penjelasan mengenai wilayah lautan Indonesia. Berbeda  dengan KUHP yang merujuk kepada TZMKO 1938 dalam menetapkan wilayah laut Indonesia. Padahal telah ada beberapa ketentuan perundan-undangan yang menetapkan wilayah laut Indonesia yang tidak; Ketiga, kejahatan yang diatur hanya terbatas dalam sektor pelayaran namun dengan membandingkan dengan pengaturan kejahatan pidana dalam UU Pelayaran RKUHP sangat minimalis dengan menghilangnya norma pidana yang lebih maju dan menjadi lebih sedikit. Secara khusus  subyek pelaku yang tidak mengikuti perkembangan pengaturan dalam hukum pelayaran. Keempat, tidak ada pengaturan khusus dalam kejahatan perikanan khususnya terkait dengan IUU Fishing, padahal dalam naskah akademik terdapat inventarisir atas Undang-Undang Perikanan yang termasuk menjadi bagian UU Sektoral yang mengatur mengenai tindak pidana perikanan; Kelima, RKUHP juga mengancam perkembangan upaya melawan IUU Fishing yang terjadi di Indonesia. Tindakan khusus dengan penenggelaman dan/atau pembakaran kapal terhadap kapal asing pelaku illegal fishing dapat bergerak mundur jika tidak diatur subyek pelaku “kapal asing”.

 Rekomendasinya adalah: 1) Mengenai wilayah laut, harus merujuk pada wilayah laut Indonesia yang terbagi dalam wilayah perairan dan wilayah yurisdiksi. Untuk menegaskan hak kedaulatan dan hak berdaulat Indonesia dalam penegakan hukum pidana, termasuk komitmen Indonesia dalam perjanjian internasional; 2) Melakukan perbandingan norma perbuatan yang diatur antara RKUHP dengan undang-undang sektor dalam bidang kelautan dan kemaritiman. Hal ini untuk memastikan perkembangan pengaturan tindak pidana yang ada di UU sektoral tidak terabaikan, khususnya yang memiliki karakteristik khusus. Misalnya dalam pengaturan terhadap pelaku kejahatan yang berbeda; 3) Demi memastikan upaya yang telah dilakukan dalam pemberantasan IUU Fishing tidak berjalan mundur, perlu memastikan ketentuan pidana khusus yang berkaitan dengan upaya memberantas IUU fishing menjadi norma yang diakui dalam ketentuan RKUHP.

 Kerancuan Delik Tindak Pidana Lingkungan Hidup, serta Pertanggung Jawaban Korporasi

Tindak Pidana lingkungan hidup diatur dalam buku 2 pasal 389 sampai 394 RUU KUHP. Beberapa pasal yang menjadi sorotan dalam R-KUHP adalah sebagai berikut:

Pasal 389:

(1)    Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan yang mengakibatkan pencemaran atau perusakan lingkungan hidup, dipidana dengan pidana penjara paling lama 9 (sembilan) tahun atau paling banyak Kategori IV.

(2)    Jika tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan luka berat, pembuat tindak pidana dipidana dengan pidana penjara paling lama 12 (dua belas) tahun atau paling banyak Kategori V.

(3)    Jika tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan orang mati, pembuat tindak pidana dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun atau paling banyak Kategori VI

Pasal 390:

(1)    Setiap orang yang karena kealpaannya melakukan perbuatan yang mengakibatkan pencemaran atau perusakan lingkungan hidup, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau pidana denda paling banyak Kategori III.

(2)    Jika tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan luka berat bagi orang, pembuat tindak pidana dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun atau pidana denda paling banyak Kategori IV.

(3)    Jika tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan orang mati, pembuat tindak pidana dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan pidana denda paling banyak Kategori V.

Pasal 391:

(1)    Setiap orang yang memasukkan suatu bahan ke dalam sumur, pompa air, mata air, atau ke dalam kelengkapan air minum untuk umum atau untuk dipakai oleh atau bersama‑sama dengan orang lain, padahal mengetahui bahwa perbuatan tersebut dapat mengakibatkan air menjadi bahaya bagi nyawa atau kesehatan orang, dipidana dengan pidana penja­ra paling lama 10 (sepuluh) tahun.

(2)    Jika tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan matinya  orang maka pembuat tindak pidana dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun.

Pasal 392:

(1)    Setiap orang yang karena kealpaannya mengakibatkan suatu bahan masuk ke dalam sumur, pompa air, mata air, atau ke dalam kelengkapan air minum untuk umum atau untuk dipakai oleh atau bersama‑sama dengan orang lain, yang mengakibatkan air menjadi berbahaya bagi nyawa atau kesehatan orang, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau pidana denda paling banyak Kategori IV.

(2)    Jika tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan matinya orang, maka pembuat tindak pidana dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling banyak Kategori IV.

Pasal 393

(1)    Setiap orang yang secara melawan hukum memasukkan suatu bahan di atas atau ke dalam tanah, ke dalam udara atau ke dalam air permukaan, padahal diketahui atau sangat beralasan untuk diduga bahwa  perbuatan tersebut dapat membahaya­kan kesehatan umum atau nyawa orang lain, dipidana dengan pidana penjara paling lama 12 (dua belas) tahun.

(2)    Jika perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menga­kibatkan  matinya orang maka pembuat tindak pidana dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun.

Pasal 394

(1)    Setiap orang yang karena kealpaannya mengakibatkan suatu bahan masuk di atas atau ke dalam tanah, ke dalam udara, atau ke dalam air permukaan, yang mengakibatkan bahaya bagi kesehatan umum atau nyawa orang lain,  dipida­na dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau pidana denda paling banyak Kategori IV;

(2)    Jika tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan matinya orang, maka pembuat tindak pidana dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling banyak Kategori IV;

Rumusan norma dalam tindak pidana lingkungan hidup dalam R-KUHP terdapat ketidakjelasan dan kerancuan, bahkan berpotensi menyulitkan pembuktian karena ketidakjelasan pengaturan delik pidana antara tindak pidana materiil dengan tindak pidana formil. Pidana materiil dalam pasal 389 disebutkan “secara melawan hukum  … mengakibatkan pencemaran atau perusakan lingkungan hidup”. Secara melawan hukum ini bisa dimaknai melawan hukum secara administrasi (administratively dependent crimes) maupun prosedural. Sehingga pembuktian unsur melawan hukum ini akan mirip dengan pidana materiil yang harus jelas perbuatan apa yang melawan hukum. Pasal 389 RKUHP juga mengandung kesengajaan melakukan tindak pidana lingkungan hidup – jika membandingkan dengan pasal 390 R-KUHP yang mengatur perbuataan tidak sengaja atau kealpaan (tidak disyaratkan melawan hukum).

Sedangkan jika kita melihat tindak pidana formil dalam pasal 391 dan pasal 393 RUU KUHP. Kedua pasal tersebut dengan jelas menyebutkan “..Padahal mengetahui bahwa perbuatan tersebut dapat mengakibatkan air menjadi bahaya bagi nyawa atau kesehatan orang..” (pasal 391) dan “… secara melawan hukum …padahal diketahui atau sangat beralasan untuk diduga bahwa perbuatan tersebut dapat membahayakan kesehatan umum atau nyawa ..” (pasal 393). Pertama, Rumusan kedua pasal tersebut adalah rumusan pidana dengan unsur kesengajaan (opzettelijk). Sengaja berarti juga adanya kehendak yang disadari yang ditujukan untuk melakukan kejahatan tertentu. Maka berkaitan dengan perbuatan yang dilakukan dengan sengaja, terkandung pengertian haruslah si pembuat (pelaku) haruslah mengerti dampak atau dampak dari apa yang ia perbuat. Jika melihat rumusan pada pasal 391 dan pasal 393 RUU KUHP, rumusan tindak pidananya adalah perbuatan pidana kesengajaan, akan tetapi tidak disertai dengan dampak (sangat jelas menyalahi unsur kesengajaan dalam tindak pidana kesengajaan). Kedua, Penegak hukum cukup membuktikan kesengajaan perbuatan pidananya saja tanpa harus dibuktikan dampaknya. Ketiga, Meskipun Pasal 391 dan pasal 393 adalah tindak pidana formil tetapi keduanya mensyaratkan berbeda. Pasal 391 tidak mensyaratkan adanya unsur melawan hukum (administratively independent crimes/yang dipidana adalah pencemaran (akibat perbuatan), tanpa memperhatikan ada atau tidaknya pelanggaran syarat administrasi oleh terdakwa) sedangkan Pasal 393 mensyaratkan perbuatan melawan hukum (administravtively dependent crimes/terlebih dahulu harus adanya pelanggaran administrasi).

Pasal 392 dan Pasal 394 dalam R-KUHP merupakan pidana kelalaian (kealpaan), tetapi rumusan justru terlihat seperti pidana materiil seperti yang terlihat dalam unsur “.. setiap orang karena kealpaannya….” …”yang mengakibatkan air menjadi berbahaya… “ (vide : pasal 392) sedang pada pasal 394 “… setiap orang karena kealpaannya” “… yang mengakibatkan bahaya bagi kesehatan umum atau nyawa orang lain..” rumusan tindak pidana ini mempunyai makna bahwa pasal tersebut merupakan tindak pidana materiil (membuktikan dampak atas perbuatan yang sulit dibuktikan). Dalam hukum pidana kelalaian, kesalahan, kurang hati-hati atau disebut dengan cula. Prof. Dr. Wirjono Prodjodikoro, S.H mengatakan bahwa arti culpa adalah “kesalahan pada umumnya” tetapi dalam ilmu pengetahuan hukum mempunyai arti teknis, yaitu suatu macam kesalahan si pelaku tindak pidana yang tidak seberat seperti kesengajaan, yaitu kurang berhati-hati sehingga akibat yang tidak disengaja terjadi. Jika tindak pidana kelalaian seperti yang dirumuskan dalam pasal 392 dan pasal 394 R-KUHP diberlakukan, maka pembuktian tindak pidana kealpaan semakin sulit dicari karena harus menyertakan bukti akibat dari perbuatan membahyakan tersebut.

Terkait kejahatan lingkungan yang notabene kerap dilakukan korporasi, juga terdapat kekeliruan penyusun RKUHP yang membebankan pertanggung jawaban pidana korporasi. Hal ini bisa dilihat dalam Pasal 49 RKUHP: Tindak pidana dilakukan oleh korporasi jika dilakukan oleh orang-orang yang mempunyai kedudukan fungsional dalam struktur organisasi korporasi yang bertindak untuk dan atas nama korporasi atau demi kepentingan korporasi, berdasarkan hubungan kerja atau berdasarkan hubungan lain, dalam lingkup usaha korporasi tersebut, baik sendiri-sendiri atau bersama-sama”.

Ketentuan tentang pertanggungjawaban korporasi ini justru akan sangat membatasi lingkup pertanggungjawaban korporasi. Dengan rumusan demikian, RKHUP justru mempersulit penerapan pertanggungjawab korporasi, karena menurut RUU (Pasal 49) tindak pidana korporasi terjadi hanya bila dilakukan oleh pengurus.

Leave a Reply