Laporan Singkat Rapat Panja Komisi III DPR RI Dengan Pemerintah Dalam Rangka Pembahasan R KUHP

LAPORAN SINGKAT

RAPAT PANJA KOMISI III DPR-RI DENGAN

PEMERINTAH DALAM RANGKA PEMBAHASAN

RUU TENTANG KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA

 

Tahun Sidang                     : 2017-2018

Masa Persidangan           : III

Sifat                                       : Terbuka

Jenis Rapat                         : Rapat Tim Perumus (Timus)

Dengan                                                : Tim Pemerintah (Kemenkumham)

Hari/tanggal                       : Selasa, 16 Januari 2018

Waktu                                   : Pukul 9.50 – 15.10 WIB

Tempat                                : Hotel Le Meridien, Jakarta.

Hadir                                     : 8 dari 10 Fraksi

Yang berpendapat 6 Fraksi

  1. Partai Nasional Demokrat
  2. Partai Demokrat
  3. Partai Persatuan Pembangunan
  4. Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan
  5. Partai Keadilan Sejahtera
  6. Partai Golongan Karya

Agenda                                : Melanjutkan Pembahasan Pending Issue dan Tindak Pidana Khusus

 

Benny K. Harman (Ketua Panja RKUHP/F-Demokrat)

Assalamu’alaikum wr.wb, sekarang pukul 10 pagi sesuai dengan kesepakatan kemarin kita, kita akan melanjutkan pembahasan pasal pending. Skors saya cabut. Ketok palu.

Baik tadi malam, kita berhenti di 12 pending issue, kita sudah bahas 4 ya.. sisanya 8 lagi. Sekarang kita lanjutkan pending issue yang kelima. Silahkan bu [Tim Pemerintah].

 

Prof. Enny Nurbaningsih (Kepala BPHN) :

Baik, Terimakasih, Assalamu’alaikum wr.wb.

Selamat pagi, salam sejahtera untuk kita semua, Bapak ketua yang saya hormati, Bapak Ibu Peserta Timus Timsin, hari ini kita akan lanjutkan, karena kita akan menyelesaikan 12 pending issue, dan masuk ke huruf h untuk pagi ini, setelah itu nanti yang seru-seru agak siang dikit ya. Itu kita masuk yang soal zina, cabul, ya gitulah ya. Soalnya sudah pada dateng nih [anggota DPR].

Jadi Pasal 234 ini pimpinan, sebetulnya Pasal 234 ini sangat krusial. Saya akan bacakan karena pada waktu itu diminta oleh Panja Pemerintah untuk menanyakan kepada TNI dan Polri terkait Pasal 234 ini.

Pasal 234

Dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau pidana denda paling banyak Kategori II, setiap orang yang tanpa wewenang:

  1. memasuki wilayah yang sedang dibangun untuk keperluan pertahanan keamanan negara dalam jarak kurang dari 500 (lima ratus) meter, kecuali pada jalan besar untuk lalu lintas umum;

 

Jadi itu aja diminta Pak TNI Polri soal ini termasuk tujuannya bagaimana. Terkait dengan hal ini, memang di KUHP hukumannya hanya 6 bulan, sementara dalam rancangan KUHP ini 1 tahun. Tapi nanti kami akan melakukan Delphy Methode-nya terhadap semua pasal. Tapi kemudian pasal ini tetap harus ada, karena ini adalah bicara mengenai pengamanan instalasi militer dari berbagai macam kemungkinan tindakan yang tidak diinginkan tanpa ijin. Hanya memang denda pidananya akan kita sesuaikan semua nanti apakah bisa dibawahnya.

 

Jadi sebetulnya itu saja intinya. Kalau kemudian dikonfirmasi kepada TNI, saya khawatir malah naikkan ancamannya pak. Nanti kata mereka, “wah ga boleh nih, ini harus sekian..”. kita kemudian mempertimbangkan hanya soal ancamannya saja ini pak. Jadi kalau itu diperkenankan, nanti kami sesuaikan apakah akan diturunkan atau dibuat yang sama dengan KUHP. Intinya disitu saja pak.

 

Benny K. Harman (Ketua Panja RKUHP/F-Demokrat) :

Tadi malam kan kita bahas faktor-faktor yang mempengaruhi .. yang memperberat..

 

Prof. Harkristuti Harkrisnowo:

Gak ini gak masuk pak.

 

Benny K. Harman (Ketua Panja RKUHP/F-Demokrat):

Oh, oke silahkan lanjut lagi. Tapi belum ditanya? [TNI/POLRI]

 

Prof. Enny Nurbaningsih (Kepala BPHN) :

Sudah pak, mereka ikut KUHP pak.

 

Benny K. Harman (Ketua Panja RKUHP/F-Demokrat)

Ya sudah, kita tentukan aja, gak usah konfirmasi kita. Nanti repot lagi. Lebih berat.

 

Prof. Enny Nurbaningsih (Kepala BPHN) :

Iya pak, jadi di RKUHP sudah diperberat, dari 6 bulan menjadi satu tahun.

 

Benny K. Harman (Ketua Panja RKUHP/F-Demokrat):

Kalau bisa diperberat.

 

Prof. Enny Nurbaningsih (Kepala BPHN) :

Eh jangan dong pak

 

Benny K. Harman (Ketua Panja RKUHP/F-Demokrat) :

Ya sudah, oke, kita setuju ya. Dari 6 bulan jadi setahun. Ketok palu.

Oke, lalu yang keenam. Ada?

 

Prof. Enny Nurbaningsih (Kepala BPHN) :

Disetujui ya itu ya, sudah ya, gak ada panjang-panjang lagi ya?

[issue pending huruf h disetujui Timus]

 

 

Taufiqulhadi (F-Nasdem) :

Sebentar, tapi gini, kalo.. ini bukan persoalan dengan pasal ya tapi ini fakta di lapangan. Banyak sekali angkatan tentara berkonflik dengan masyarakat. Saya ini datang ke sekolah di Perumnas? Kata orang lain ini diklaim mau menjadi tanah angkatan laut. Karena yang berapa puluh hektar itu dia bikin bangunan langsung. Dia minta hak, tapi pemiliknya sekarang ga berani berhadapan dengan angkatan laut. Nah di Bogor juga banyak sekali konflik dengan masyarakat, itu tuh maksud saya selain dari yang kita sepakat, tetapi itu adalah membuat kemudian klaim-klaim seperti itulah yang membuat mereka para angkatan tersebut lebih menguntungkan daripada masyarakat. Itu maksudnya harus dipahami dengan jelas itu.

Prof. Enny Nurbaningsih (Kepala BPHN) :

Jadi Pasal 234 ini tidak ada kaitan dengan apa yang pak taufiq jelaskan tadi. Jadi ini kaitannya bagaimana kita melindungi instalasi penting, seperti itu. Jadi ini kan termasuk instalasi strategis, didalam PP nya disebut sebagai objek vital nasional. Ketika itu disebut sebagai objek vital nasional, sejak KUHP Belanda pun sudah ada disitu. Nah, pasti untuk hari ini itu ada pasti harus dengan ijin yang diperuntukkan untuk itu. Sehingga kalau dia tanpa ijin, masuk, kena dia. Kalau ada ijin itu gak ada persoalan. Jadi ini memang tidak langsung berkaitan dengan yang pak taufiq tadi, tapi mungkin itu bisa dalam ketentuan lain terkait penyerobotan lahan, ada lagi bab tentang itu.

Ichsan Soelistio (F-PDIP) :

Jadi kalau terkait itu, yang ada rel kereta api yang masuk halim itu gimana? siap kena?

Prof. Enny Nurbaningsih (Kepala BPHN) :

Bisa kena dia pak, ini kan untuk melindungi objek vital nasional. Bahkan kalau dia dalam UU Terorisme itu, dia ini termasuk yang bisa menjadi ranah kewenangan TNI pak. Karena bicara objek vital nasional strategis. Gituloh pak. Saya lanjut ya pak ya. Kalau ini disetujui, selanjutnya, ini huruf i. Pasal 262 s.d. 264. Pasal 262 ini satu klause terkait Tindak pidana terhadap martabat presiden dan wakil presiden. Jadi disini ada semacam pertanyaan kemudian catatan untuk itu, yang kemudian perlu dijelaskan. Saya bacakan 262 nya.

Pasal 262

Setiap orang yang menyerang diri Presiden atau Wakil Presiden, yang tidak termasuk dalam ketentuan pidana yang lebih berat, dipidana dengan pidana penjara paling lama 9 (sembilan) tahun.

Kemudian catatannya pada waktu itu, ketentuan pidana yang lebih berat dalam kategori : jika ada perbuatan menyerang diri presiden dan wakil presiden yang ancaman pidananya lebih rendah, maka yang digunakan adalah ancaman dalam ketentuan ini.

Jadi ini hanya minta perbaikan penjelasan. Jadi maksudnya adalah ada ketentuan lain yang ancamannya mungkin sekali lebih ringan. Maka yang dipakai adalah ketentuan ini, misalnya terkait dengan lempar sepatu, atau lempar telor, itu kan masuk dalam Penganiayaan, yang hukumannya ringan, pak. Siapapun ringan itu disitu. Maka yang dipakai adalah pasal ini kalau itu menyangkut presiden. Jadi semua ketentuan yang ancamannya nanti 9 tahun, maka yang dipakai ketentuan ini, kecuali yang [ancaman pidana] diatasnya. Nah terkait ancamannya inikita akan perbaiki lagi menggunakan delphy methode. Kita melihatnya seperti itu pak, jadi ini adalah memang akan membedakan sedikit bagi presiden, yang digunakan yang lebih ringan adalah yang disini. Jadi itu, intinya pak.

Benny K. Harman (Ketua Panja RKUHP/F-Demokrat) :

Ya, ini kan ada kategori ketentuan pidana dengan ancaman yang lebih berat, dan ini ketentuan pidana yang ancamannya tidak berat. Misalnya tadi kalau lempar telor busuk masa ancamannya sampai 9 tahun? Apalagi kalau lempar telor busuk, ga kena lagi. Kena payung. Kalau 9 bulan ya masuk akal, ini 9 tahun??

Prof. Harkristuti Harkrisnowo:

Kalau sanksi belum pak, nanti di bahas di delphy methode.

 

Benny K. Harman (Ketua Panja RKUHP/F-Demokrat) :

Iya..iya maksud saya begini, kita kasih standar atasnya berapa. Ga usah lah begitu. Kecuali kalau pake senjata, menyerang pakai senjata. Kalau lempar telor busuk, sepatu, apa gitu, apalagi menyerang di medsos, kalau bisa ini… kalau pake senjata kan beda, itu kan makar. Poinnya itu lah, jangan 9 tahun pak.

Ichsan Soelistio (F-PDIP) :

Ijin pak, mungkin ditambahkan saja membahayakan jiwa presiden gimana?

Benny K. Harman (Ketua Panja RKUHP/F-Demokrat) :

Kalau itu masuk makar nanti, pake senjata. Lain lagi. Ini melempar telor busuk saja, presiden juga ga kena. 9 bulan paling lah. Penyerangan terhadap presiden dan wakil presiden. Jadi penyerangan yang tidak termasuk ketentuan pidana yang lebih berat diatas itu, bisa disini ancaman pidana penjara paling lama 9 tahun. Ini kan menyerang, kalau bisa bikin penjelasannya yang dimaksud dengan menyerang itu apa saja.

Prof. Enny Nurbaningsih (Kepala BPHN) :

Yang tidak membahayakan langsung..

 

Benny K. Harman (Ketua Panja RKUHP/F-Demokrat) :

Iya, melempar telor busuk, menyerang presiden dengan meme, presiden jaman now malah kalau tidak begitu, kalau dia masuk lubang, kemudian dia dirumah diserang ular, ularnya yang ditangkap. Hahaha.

Prof. Enny Nurbaningsih (Kepala BPHN) :

Penjelasan ini kaitannya kalau penyerangan itu tidak membahayakan nyawa bagi presiden, sehingga ancamannya itu bisa kita kategorikan ringan. Karena memang KUHP berat juga [ancamannya] yang lama itu. Gitu ya pak. Jadi tambahin aja ya pak [menyuruh anggota timnya] di penjelasan.

Pasal 262

Ketentuan pidana yang lebih berat dalam ketentuan ini jika ada perbuatan menyerang diri presiden dan wapres yang ancaman pidana yang lebih rendah maka yang digunakan ancaman pidana dalam ketentuan ini.

Tambahan penjelasan timus : 16 januari 2018

  • Ditambah dengan frasa “penyerangan tersebut tidak membahayakan nyawa Presiden dan Wakil Presiden”
  • Penyerangan diri terhadap presiden dan wakil presiden dimaksud dalam ketentuan ini termasuk penganiayaan
  • Ancamannya diturunkan menjadi ringan sesuai dengan delphy methode
  • Sanksi pidana disesuaikan dengan sanksi pidana penganiayaan
  1. Soemandjaya (F-PKS) :

Ringan itu gimana?

 

Prof. Enny Nurbaningsih (Kepala BPHN) :

Kedepan, delphy itu kan membahas kategorisasi, dengan kategorisasi kan ada persepsi pak. Semakin banyak persepsi, membantu kita mengembangkannya. Nilai rasa pasti ada perubahan pak, kaya dulu kan di dalam KUHP lama 8 tahun pak, sekarang nilai rasa kita terhadap presiden dan wakil presiden kan sudah menurun gitu pak. Jadi disini menyesuaikan.

 

 

Prof. Harkristuti Harkrisnowo:

Ijin pimpinan, menjelaskan singkat menanggapi pak Suman, jadi kami, kita itu punya masalah tidak punya parameter menentukan jenis dan besaran sanksi. Jadi kami, kemudian berinovasi dengan menggunakan delphy methode, dimana semua ketentuan pidana itu dinilai dari 8 variabel, mulai berkaitan dengan materil individu, imaterial individu dan lainnya itu, nah itu ada. Kemudian dikasih skor, skor ini kemudian dibicarakan dalam tim secara keseluruhan, sehingga kita dapat kesepakatan yang sama tentang keseriusan tindak pidana tersebut sehingga nanti akan muncul angkanya.

Jadi ini yang nanti akan menjadi landasan kami menentukan untuk tiap skor itu dikasih nilai berapa, begitu. Jadi landasannya nanti ini bisa sama, nanti ini yang kami diharapkan, kami berharap banyak ini bisa digunakan dalam penetapan sanksi pidana untuk undang-undang manapun. Sehingga ada kesamaan pandang dari pembentuk undang-undang tentang harusnya sanksinya seperti apa dan berapa. Sehingga tidak jomplang.

  1. Soemandjaya (F-PKS) :

Mohon ijin pimpinan, saya ingin bertanya tentang keberadaan delphy methode. Jadi si delphy methode ini masuk kemana? Lampiran di RKUHP atau dimana? Akan jadi aturan dimana dia? Supaya rakyat ini bisa merujuk, sebab undang-undang ini bukan hanya untuk hakim saja, polisi jaksa hakim saja, tapi berlaku untuk saudara-saudara seluruh masyarakat, mohon maaf ini, itu saja.

Prof. Enny Nurbaningsih (Kepala BPHN) :

Baik, jadi begini pak. Dalam naskah akademik itu memang ada pola pemidanaan. Mulai menentukan yang namanya sanksi ringan, berat dan seterusnya. Nah naskah akademik itu yang kemudian kami sempurnakan pak. Kami sempurnakan untuk kemudian bisa memahami kapan kita bisa menentukan sanksi ringan beratnya itu. Sehingga ada penyempurnaannya pak naskah akademik itu kan ini kita tuangkan dalam RUU ini pak kita terapkan, nah sekarang ini kami perbaiki semua. Jadi naskah akademik orang baca itu, nyambung terus dia dengan pasal per pasal nya, gitu pak. Termasuk tindak pidana khusus itu kita punya kategorisasi pak, kenapa kita masukkan kedalam tindak pidana khusus. Itu ada kriterianya. Jadi itu kemudian kita masukkan ke naskah akademik pak. Nah itu kemudian yang jadi reasoning kita untuk kapanpun menjelaskan mengenai kenapa pasal itu muncul dan dasarnya apa. Gituloh pak.

Kalau dalam lampiran, gaboleh. Rancangan KUHP ini gak ada lampirannya. Tapi reasoning setiap pasal itu ada dalam naskah akademik. Gituloh pak. Semoga dapat dipahami.

Benny K. Harman (Ketua Panja RKUHP/F-Demokrat) :

Ok, bisa dilanjutkan berarti ya.

Prof. Enny Nurbaningsih (Kepala BPHN) :

Baik.

Benny K. Harman (Ketua Panja RKUHP/F-Demokrat) :

Jadi sekarang, isu yang ketujuh. Itu pasal berapa?

Prof. Harkristuti Harkrisnowo:

Boleh ijin pimpinan, ini saya baru mendapatkan penjelasan KUHP. Rupanya kami salah kira.. tentang Pasal 262, yang tadinya Pasal 131 [KUHP]. Dalam penjelasan disebutkan bahwa “bila tindakan untuk membuat diri atau tubuh presiden atau presiden merasa sakit, tidak dipersoalkan ada atau tidak, tetap ada tindakan nyata untuk presiden dan wakil presiden. Yang bersangkutan harus tahu bahwa pihaknya adalah presiden. Apabila tidak tahu, maka ini termasuk kejahatan penganiayaan Pasal 351 dan seterusnya”.

Jadi kita hati-hati tadi, ibu enny, yang tidak membahayakan tubuh ternyata ini dapat membahayakan tubuh. Tindakan dimaksudkan untuk membuat diri, tubuh presiden atau wakil presiden merasa sakit. Jadi mungkin itu membahayakannya, membahayakan nyawanya hilang ya? Kalau makar kan tujuannya membunuh ya. Kalau ini tujuannya menyakiti. Masuknya menganiaya, bisa yang lebih besar lagi. Tapi termasuk penganiayaan.

Taufiqulhadi (F-Nasdem) :

Kalau mempermalukan?

Prof. Harkristuti Harkrisnowo:

Itu penghinaan pak, dibawahnya.

Benny K. Harman (Ketua Panja RKUHP/F-Demokrat) :

Ini berkaitan dengan fisik pak.

Taufiqulhadi (F-Nasdem) :

Maksudnya lempar sepatu itu masuknya penganiayaan atau penghinaan?

 

Benny K. Harman (Ketua Panja RKUHP/F-Demokrat) :

Nanti itu kita bahas pak. Ini memang tidak begitu jelas. Kalau maksudnya yang di KUHP itu maksudnya penganiayaan tapi tidak menyebabkan terancamnya nyawa.

 

Prof. Harkristuti Harkrisnowo:

Penganiayaan di KUHP, 2 tahun 8 bulan kalau biasa. Kalau Penyerangan, 7 tahun, 9 tahun.

Benny K. Harman (Ketua Panja RKUHP/F-Demokrat) :

Kalau gitu disesuaikan saja jenis sanksinya itu, disesuaikan dengan delphy methode.

Prof. Enny Nurbaningsih (Kepala BPHN) :

Tulis mas, [instruksi kepada tim pemerintah]. Penyerangan diri terhadap presiden dan wakil presiden dimaksud dalam ketentuan ini termasuk penganiayaan. Ancamannya bukan diturunkan, tapi disesuaikan, disesuaikan dengan delphy methode. Sanksi pidana disesuaikan dengan sanksi pidana pasal penganiayaan.

Benny K. Harman (Ketua Panja RKUHP/F-Demokrat) :

Oke, sudah ya? Jadi yang dimaksud dengan pasal itu adalah sama dengan ketentuan dalam pasal berapa KUHP tentang Penganiayaan. Oke. Ketok palu. Lanjut ketujuh. Pending ketujuh.

Prof. Enny Nurbaningsih (Kepala BPHN) :

Ini masih terkait dengan presiden semua ini. Pasal 263. Pasal ini berkaitan dengan putusan MK. Jadi putusan MK tentang penghinaan terhadap presiden telah dibatalkan MK, Pasal 134, Pasal 136 dan Pasal 137. Disini kemudian kami reformulasi pak. Dengan penambahan ayat, yang di Pasal 263 ini sebetulnya adalah Pasal 134 ayat (1). Bahwa :

Pasal 263

  • Setiap orang yang di muka umum menghina Presiden atau Wakil Presiden, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling banyak Kategori IV.

Ini tentang ancamannya. Kalau dalam KUHP lama, itu 6 tahun atau denda. Kemudian ayat (2) nya, ini yang baru :

(2)         Tidak merupakan penghinaan jika perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) jelas dilakukan untuk kepentingan umum, demi kebenaran, atau pembelaan diri.

Jadi ini dalam rangka perlindungan kepentingan umum, atau menyampaikan fakta-fakta yang benar, yang memang semua ini keterkaitan erat dengan penyelenggaraan negara. Jadi ini apa namanya yang coba kami luruskan dengan reformulasi, yang terkait dengan ayat (2) itu sebetulnya bentuk dari pembatasannya. Sehingga bisa menghapus sifat melawan hukum dari ayat (1) nya. Jika ada kriteria, “demi kepentingan umum”, “demi kebenaran”, ata “pembelaan diri”. Jadi itu kalau kritik tidak berarti harus dipidana. Kalau menyangkut presiden dan wakil presiden yang itu berkaitan dengan “demi kepentingan umum”, “demi kebenaran”, ata “pembelaan diri”. Itu kurang lebih … Benny K. Harman (Ketua Panja RKUHP/F-Demokrat)

Kalau tidak salah Pasal 263 ini sama dengan Pasal 264. Bukan sama, berkaitkan dengan Pasal 264.

Pasal 264

Setiap orang yang menyiarkan, mempertunjukkan, atau menempelkan tulisan atau gambar sehingga terlihat oleh umum, atau memperdengarkan rekaman sehingga terdengar oleh umum, yang berisi penghinaan terhadap Presiden atau Wakil Presiden dengan maksud agar isi penghinaan diketahui atau lebih diketahui umum, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling banyak Kategori IV.

Kalau tidak salah dulu, kita minta pemerintah untuk merumuskan apa yang dimaksud dengan penghinaan. Ini kan menghina presiden tidak merupakan penghinaan, kita setuju, tapi yang penting dibuat rumusan yang lebih pasti apa yang dimaksud dengan penghinaan. Termasuk Pasal 264 juga, ada disebutkan disitu, penyiaran, mepertunjukkan, tulisan-tulisan sehingga terdengar oleh ini, sehingga masuk penghinaan. Yang kita minta itu apa yang dimaksud dengan penghinaan. Di Pasal definisi apakah ada? Di pasal 127 apakah ada?

Kalau bisa mulai pasal ini dengan “Penghinaan presiden adalah…” jangan dimasukkan tidak begitu jelas, sehingga nanti berdasarkan subjektif penegak hukum, dimasukkan penghinaan padahal bukan, seperti juga misalnya presiden tidak merasa dihina, nah coba bagaimana, penjelasan ini jangan masuk di pasal.

 

Prof. Harkristuti Harkrisnowo:

Ini ada Pasal 540 yang baru itu, kita memang merumuskan ada beberapa jenis penghinaan, jika untuk orang biasa, mulai dari pencemaran, fitnah, penghinaan ringan, pengajuan fitnah, persangkaan palsu lalu ada pencemaran orang mati, jadi kita ada bermcama-macam. Mungkin yang membedakan presiden ini karena dipilih oleh seluruh rakyat Indonesia

 

Benny K. Harman (Ketua Panja RKUHP/F-Demokrat):

Berarti pidananya pada hakikatnya sama, perbuatannya sama, hanya kalau perbuatannya dilakukan terhadap presiden, maka hukumannya menjadi seperti ini. Jadi pasal penghinaan presiden itu sudah ada?

 

Prof. Enny Nurbaningsih (Kepala BPHN):

Ada Pak, Pasal 540.

 

Prof. Harkristuti Harkrisnowo:

Bab XIX Pasal 540 sampai dengan Pasal 550.

 

Benny K. Harman (Ketua Panja RKUHP/ F-Demokrat):

Sama juga diskusi kita dulu di Puncak, saya bilang kepada Pemerintah supaya disisir ulang dulu ini soal penghinaan ini apa. Pasal 263 itu kan hanya menyangkut alat dalam rangka diseminasi, tetapi tindakan menempelkan tulisan itu kan bukan penghinaan. Maka perlu dijelaskan isinya apa saja.

Yang penting kita sudah punya pemahaman yang sama, kalau penghinaan yang kita maksudkan dalam Pasal 540 itu dilakukan terhadap presiden maka menggunakan Pasal 263.

 

Erma Suryani Manik (F-Demokrat):

Ketua, di Pasal 263 ayat (2) itu selain kepentingan umum dan pembelaan diri, terdapat  frasa “demi kebenaran, jika kita bandingkan dengan Pasal 540, di pasal tersebut tidak ada frasa “demi kebenaran” tersebut.

Ini kan maksud ayat (2) direformulasi supaya kritik tidak menjadi suatu tindak pidan. Tetapi maksud frasa “demi kebenaran” ini apa. Karena kebenaran ini bisa jadi sepihak.

 

Prof. Enny Nurbanigsih (Kepala BPHN):

Jadi kalau kita lihat maka konteksnya adalah menyangkut penyelenggraan negara. Pokoknya yang terkait dengan kebijakan dalam negara, kalau itu diyakini sebagai kebenaran, maka dapat diuji kebenaran tersebut dalam proses peradilan. Kalau dia memang teruji karena kebenaran, maka ayat (1) tidak terbukti. Jadi intinya ada pembatasan, tiidak boleh kritik yang membangun demi kepentingan penyelenggraan negara yang lebih baik kemudian masuk ke dalam pidana, itu lah yang menyebabkan MK membatalkan Pasal tersebut. Makanya kita memberi pembatasan, jadi tidak timbul fitnah.

 

Erma Suryani Manik (F-Demokrat):

Baik Prof, saya minta hal tersebut dimasukkan ke dalam penjelasan, karena agak riskan juga kalau kita menyandingkan antara Pasal 263 dengan Pasal 540 ini, jadi ketika kita menjelaskan kenapa masuk frasa “demi kebenaran” jadi kita tahu bahwa alasannya adalah untuk melindungi kritik terhadp pemernintah. Dalam penjelasan dimasukkan

 

Prof. Harkristuti Harkrisnowo :

Pemimpinan izin berpikir ulang, definisi kita, konsep penghinaan sama disini, pembelaannya disini ada dua, kepentingan umum dan membekla diri. Waktu itu memang yang kita didiskusikan bahwa kritik tidak apa-apa, tapi kritik tersebut pun juga dalam kepentingan umum.

Padahal dalam penghinaan itu, walaupun yang dihinakan benar, saya ingat waktu itu saya memberikan contohnya misalnya “Ketua Panja Keluar dari Panti Pijat”, itu kan bukan tindak pidana, tetapi itu mencemarkan nama baik. Jadi hal tersebut sebenanrnya benar, tetapi itu mencemarkan nama baik.

Saya pikir perlu didiskusikan juga apakah demi kebenarann ini bagaimana, karena kalau penghinaan ini dimaksudkan untuk hal yang benar, sehingga perlu berpikir ulang, apakah demi kebenaran ini

 

Benny K. Harman (Ketua Panja/F-Demokrat):

Jadi kan standart umum ketentuan pidana tentang Penghinaan sebenarnya sudah diatur dalam Pasal 540. Jadi kalau penghinaan tersebut dilakukan terhadap Presiden, maka akan dijatuhkan hukuman seperti ini.

Kemudian yang kedua, kita harus menyesuaikan dengan Putusan MK, jadi bukan merupakan penghinaan apabila yang dimaksudkan penghinaan dilakukan untuk kepentingan umum, dalam rangka melaksanakan hak-hak demokrasi, jadi itu misalnya dia pulang dari panti pijat, ya memang betul panti pijatnya, kenapa tidak bilang begitu?

 

Prof. Harkristuti Harkrisnowo:

Kalau untuk orang biasa itu penghinaan Pak. Penghinaan itu istilahnya bukan something untrue, kalau kita baca Pasal 540.

Setiap orang yang dengan lisan menyerang kehormatan atau nama baik orang lain dengan cara menuduhkan suatu hal, dengan maksud supaya hal tersebut diketahui umum, dipidana karena pencemaran, so walaupun it’s true, Pak

 

Benny K. Harman (Ketua Panja RKUHP-F-Demokrat):

Justru kalau kebenaran maka dari itu bukan penghinaan, kalau saya mengarang cerita bahwa misalnya Presiden keluar dari panti pijat, itu baru penghinaan

 

Prof. Enny Nurbaningsih (Kepala BPHN):

Itu fitnah, Pak

 

Prof. Harkristuti Harkrisnowo:

Kalau pencemaran beda, Pak. Jadi fitnah itu menduga suatu hal yang tidak benar, kalau pencemaran itu benar, tapi itu mencemarkan nama baik seseorang, tindakan nya benar betul terjadi, itu konsep penghinaan yang selama ini kita pakai. Mempermalukan, istilahnya membuat orang lain tercemar

 

 

 

Benny K. Harman (Ketua Panja RKUHP/F-Demokrat):

Putusan MK apa Bu, jadi kan dulu dikasih contoh kasus, masyarakat sipil demonstarsis di Bundaran HI, bawa pantat kerbau dengan foto SBY, itu penghinaan, ya dong penghinaan, bukan untuk menunjukkan fakta, tapi itu adalah ekspresi hak demokrasi. Pertanyaan saya ekspresi hak demokrasi mengapa harus dikriminalkan?

Prof. Harkristuti Harkrisnowo:

Saya pikir pikiran pembentuk UU ketika itu, ini kan ramai diperbincangkan oleh LSM, mereka ingin kita seperti Amerika Serikat, kita menghina siapa saja diperbolehkan, nanti yang dihina itu boleh digagt secara perdata, tapi di Indonesia kan kondisi nya tidak persis sama, dan yang dibatalkan MK adalah bahwa ini menjadi delik aduan.

 

Benny K. Harman (Ketua Panjara RKUHP/F-Demokrat):

Itu kan menjadi penting, karena kita kan mungkin “saya tidak merasa terhina” itu aparat penegak hukum yang merasa tindakan itu mengihina presiden, maka kemudian itu dijadikan delik aduan, sya setuju dengan itu. Tetapi dia harus diturunkan levelnya, dari dleik umum ke delik aduan. Harus seperti itu.

Kalau presiden sendiri menghina dirinya, lalu kemudian aparat penegak hukum menilai ini penghinaan, itu ketakutannya, untuk mencegah hal tersebut, maka kita menurunkan menjadi delik aduan.

Untuk hukum jaman now, hal-hal yang menghinakan itu sekarang biasa, presiden pakai baju kaos itu penghinaan.

 

Taufiqulhadi (F-Nasdem):

Jadi begini, Pak Benny harus dalam perspektif masyarakat yang sangat luas, kalau orang timur memang egaliter sekali, orang sumatera mungkin tidak begitu, karena KUHP dalam konteks Indonesia, maka kita harus bedakan untuk hukum Indonesia, agar tidak seperti hukum di negara liberal seperti Amerika Serikat, harus jelas bahwa perlakuan penghinaan tersebut seperti misalnya dulu pada saat Pak SBY, dibawa kerbau dan dituliskan, hal ini tidak pantas dilakukan di negara Asean.

 

Benny K. Harman (Ketua Panja RKUHP/ F-Demokrat):

Pada saat itu sebenarnya teman-teman asosiasi juga mengatakan kalau membawa kerbau lemudian menuliskan SBY di pantatnyya, nah itu bukan serta-merta adalah SBY, asosiasi pikiran lah yang membuat itu menjadi SBY

 

Taufiqulhadi (F-Nasdem):

Nah namun hal itu harus dihentikan, karena konteks saat itu SBY adalah pimpinan negara.

 

Benny K. Harman (Ketua Panja/ F-Demokrat):

Coba bawa kerbau ke Bundaran HI kemudian di pantatnya ditulis JW, nah Pak Jokowi merasa terhina tidak? Ini lah yang menjadi permasalahannya, aparat penegak hukum nya yang mengasumsikan.

 

Prof. Enny Nurbangsih (Kepala BPHN):

Coba menyandingkan kembali, Pimpinan. Ini dengan Pasal 134 KUHP. Memang Pasal 134, 136 dan 137 sudah dibatalkan di MK, MK juga telah memberikan  pertimbangan yang mengatakan bahwa ini adalah yang perlu ditekankan adalah prinsip persamaan di depan hukum, kemudian jangan sampai mengurangi kebebasan berekspresi untuk pikiran dan pendapat, termasuk untuk akses informasi dan prinisip kepastian hukum, sehingga catatan MK sendiri disebutkan agar RUU KUHP dalam rangka pembaharuan juga harus tidak lagi memuat Pasal 134, Pasal 136 dan Pasal 137, itu yang kami pegang, terlebih lagi kok ancaman juga tinggi sekali sampai dengan 6 tahun, yaitu akan menghambat proses demokrasi. Oleh karena kami melihat rumusannya begitu dalam pertimbangan MK, maka dalam rumusan kami dimunculkan ada pembatasannya, untuk menghilangkan sifat melawan hukum dalam ayat (1) adalah jika dilakukan demi kepentingan umum, pembelaan diri.karena bagaimana pun juga ini dilakukan dalam rangka kepentingan presiden, karena kepentingan presiden di negar lain juga dilindungi, walaupun tidak boleh menghambat demiokrasi, tetapi kami juga berpikir untuk memasukkan kembali tetapi dengan pembatasan sama dengan Pasal 134 KUHP yang lama. S

Jadi Pimpinan, soal ancaman bisa kami turunkan, dan juga diatur mengenai pembatasan. Demi kebenearan juga akan kami bawa disitu, sehingga ini jika kita mau lihat penjelasan, bisa kita tambahkan kembali bahwa kritik itu sebagai bagian dari balancing kekuasaan, menyeimbangkan dan memperbaiki kekuasaan negara, sehingga harus dilindungi, sehingga ditambahkan demi kepentingan umum dan pembelaan. Demi keberan tadi masih menjadi perdebatan, walaupun itu juga berdasarkan fakta-fakta yang bisa diuji kebenarannya.

Apakah demi kebenaran masih perlu kita munculkan atau tidak.

 

Benny K. Harman (Ketua Panja RKUHP/F-Demokrat):

Ya demi kepentingan umum, itu juga bisa dihapus, tapi kalau bisa dimasukkan di dalam pejelasan, misalnya “dalam rangka menjalankan hak-hak demokrasi” nanti diformulasikan saja, intinya adalah, untuk melindungi hak-hak demokrasi, demi kepentingan umum dan dalam rangka menjalankan hak demokrasi.

Pasal 263

(1)         Setiap orang yang di muka umum menghina Presiden atau Wakil Presiden, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling banyak Kategori IV.

(2)         Tidak merupakan penghinaan jika perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) jelas dilakukan untuk kepentingan umum, demi kebenaran, atau pembelaan diri.

Alternatif

Usulan Timus 16 Januari 2018

(2) tidak merupakan penghinaan jika perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) jelas dilakukan untuk kepentingan umum atau pembelaan diri

Penjelasan ayat (2) :

Demi kepentingan harus dilindungi karena merupakan ekspresi dari hak berdemokrasi

 

Prof. Enny Nurbangsih (Kepala BPHN):

Jadi demi kebenaran dihapus ya?

 

Prof. Harkristuti Harkrisnowo:

Demi kebenaran hapus

 

Benny K. Harman (Ketua Panja RKHUP/F-Demokrat):

Membela diri itu maksudnya apa? Contohnya bagaimana? Kalau pembelaan diri pada tindak pidana lain kan ada, kalau ini bagaimana? Atau misalnya dia terancam oleh intel negara asing, atau apa atau bagaimana?

Jadi penghinaan presiden bila dilakukan perbuatan 1, perbuatan 2, perbuatan 3, perbuatan 4, perbuatan 5, tidak penghinaan presiden apabila dilakukan demi kepentingan umum dan dalam rangka menjalankan hak-hak demokrasi, nah pembelaan ini apa maksudnya?

 

Arsul Sani (F-PPP):

Boleh tanya Pak Ketua? Pertama boleh ditampilkan yang (…)

Ini kan yang menegasikan, berarti yang menjadikan tidak tindak pidana, dan di ayat (2), untuk Pasal 263. Lalu bagaimana dengan di Pasal 264?

Yang kedua, ini kemudian tidak besesuaian dengan Pasal 27 ayat (3) UU ITE, yang berlaku umum dan ancamannya tinggi sekali, yaitu 7 tahun, yang berikutnya kalau menurut kita ini adalah bagian dari menjaga demokratisasi, maka ancamannnya bukan 5 tahun, kalau kita melihat dari UU ITE ancaman pidana diturunkan dari 5 tahun ke 4 tahun, maka sebenarnya ini tidak serta merta menghilangkan kehilangan kewenangan kepada polri untuk melakukan penahanan. Menurut saya harus direndahkan, di bawah 5 tahun, di UU ITE itu dendanya Rp 1 Miliyar, disini itu kategori IV, Rp 500juta, maka dengan demikian ini yang dipakai, dalam ketentuan umum.

Karena itu, maka dalam sosialisasi hal tersebut yang harus dilakukan.

 

Prof. Enny Nurbangsih (Kepala BPHN):

Jadi memang ini disesuaikan dengan perlindungan Hak-hak demokrasi sesuai dengan pertimbangan MK, jadi oleh karena itu menurut kami, ini memang tetap harus ada, yaitu mengenai Tindak Pidana Penghinaan terhadap presiden,namun ancamannya yang perlu kita pertimbangkan, kalau dalam KUHP lama kan suasana kebatinannya kan berbeda, tapi kalau sekarang kan, kita harus mempertimbangkan demi penguatan demokratisasi, kita harus mempertimbangkan untuk menurunkan ancaman pidananya. Jadi mungkin bisa yang terkena yang sedang, bukan yang berat

 

Arsul Sani (F-PPP):

Izin Pak Ketua, saya ingin memberikan perbandingan, Pasal tentang penghinaan terhadap agama saja, itu saja sudah diturunkan menjadi 2 tahun, masa ini (…) ancaman nya lebih rendah dari pada presiden kita, ini juga sudah penghinaan juga.

 

Benny K. Harman (Ketua Panja RKUHP/F-Demokrat):

Pokoknya kalau bisa yang berbau maha kuasa, yang penghinaan, kalau bisa ancamannya lebih tinggi

 

Prof Harkristuti Harkrisnowo:

Izin pimpinan, disampaikan dalam penjelasan dalam RKUHP, contoh dari pembelaan diri, mari kita kaji misalnya si pelaku dihamili oleh bosnya, kemudian dia mengungkapkan “iya bos saya yang menghamili saya” menghamili kan merupaka suatu hal yang benar, dia mengatakan yang benar, dia bisa membela diri bahwa dia melakukan itu dalam rangka membela dirinya, lalu yang kedua, dia didesas-desuskan, menerima uang suap, kemudian dia mengatakan ada pihak ketiga yang menerima suap selain dirinya, jadi itu contoh dari pembelaan diri yang dirumuskan dalam rancangan ini.

 

Benny K. Harman (Ketua Panja RKUHP/ F-Demokrat):

Kalau itu kan dalam konteks yang umum, dalam konteks presiden misalnya ajudan presiden dituduh, kemudian ditangkap, itu mungkin bisa itu, yang penting kita (…) lanjutakan ya.

Demi kebenaran dihapus, kemudian dimasukkan dalam penjelasan, misalnya demi kepentingan umum dalam rangka melaksanakan hak-hak demokrasi.

Yang penting kita semua pembuat undang-undang ini paham, bahwa ini bukan tindak pidana kalau itu dilaksanakan demi kepentingan umum dan dalam rangka menjalankan hak-hak demokrasi.

Selanjutnya ketujuh

 

Prof. Enny Nurbaningsih (Kepala BPHN) :

Ini masih bab yang sama pimpinan, Pasal 264. Pasal ini berasal dari Pasal 136 [KUHP]. Jadi ini sudah dibatalkan juga tapi ini kaitannya dengan ketika kita menyetujui Pasal 263, berarti kita menyetujui yang Pasal 264, harusnya begitu. Karena intinya, mohon maaf [ralat] ini dari Pasal 137. Kenapa? Karena ini menyangkut penyebarluasannya. Kalau tadi kan, untuk pelakunya sendiri, kalau ini kan penyebarluasan. Kalau penyebarluasan ini kan bagian dari melindungi yang lebih luas lagi : kepentingan umum, termasuk upaya dari melakukan pembelaan diri. Jadi oleh karena itu, ini kalau disetujui yang Pasal 263, otomatis yang Pasal 264 harusnya berikut disetujui. Terimakasih.

 

 

Benny K. Harman (Ketua Panja RKUHP/F-Demokrat) :

Oke setuju, cuman itu kita usulkan, tadi menyebarluaskan infomasi di medsos, oleh apalah besok-besoknya, muncul selain itu. Oke, ancaman nanti disesuaikan.

Prof. Harkristuti Harkrisnowo:

Karena di UU ITE, Kalau orang biasa itu 4 tahun ancamannya. Kalau presiden kalau bisa lebih tinggi lagi, dinaikan lagi. Orang biasa itu 4 tahun pak ancamannya.

Benny K. Harman (Ketua Panja RKUHP/F-Demokrat) :

Jadi tetap aja bu, kalo tadi itu besarnya.. tapi ini kan penghinaan..

Prof. Harkristuti Harkrisnowo:

Iya makanya kalau bisa dinaikan sedikit.

Benny K. Harman (Ketua Panja RKUHP/F-Demokrat) :

Ini kalau saya menyebarluaskan itu, itu masuk penghinaan ga? Yang menyebarluaskan itu kan ada tindak pidananya sendiri? Itu kan ada Pihak ketiga. Itu yang dimaksudkan.

Prof. Enny Nurbaningsih (Kepala BPHN) :

Bukan presidennya yang bersangkutan pak, yang menyampaikan itu.

 

Benny K. Harman (Ketua Panja RKUHP/F-Demokrat) :

Iya, artinya kalau saya membocorkan rahasia bos saya juga, saya tidak bisa dituntut.

 

Prof. Enny Nurbaningsih (Kepala BPHN) :

Tapi itu juga maksudnya sepanjang demi kepentingan umum dan pembelaan diri.

 

Benny K. Harman (Ketua Panja RKUHP/F-Demokrat) :

Iya kepentingan umum kan seperti “supaya negara saya ini dipimpin oleh yang bermoral…”

Prof. Harkristuti Harkrisnowo:

Kalau itu kan bukan tindak pidana. Ijin lagi pimpinan, kenapa kemudian tim mempertahankan pasal ini, karena negara sahabat itu juga lindungi dari penghinaan. Kemudian PNS, juga dan dua-duanya merupakan delik pelaporan.

Benny K. Harman (Ketua Panja RKUHP/F-Demokrat) :

Oke, saya rasa oke, lanjutkan. Yang ke sembilan.

Prof. Enny Nurbaningsih (Kepala BPHN) :

Baik, yang ke sembilan ini kita sudah bicara tentang zina. Nah ini bagian pasal-pasal seru. Mohon ijin pimpinan, ini memang banyak sekali surat yang masuk. Termasuk juga kepada Komisi III saya yakin, karena ada perluasan dari yang kita maknai sebagai zina, pelaku zina disini. Yaitu didalam Pasal 484 ayat (1) huruf e. Perluasannya adalah :

 

Pasal 484

  • Dipidana karena zina,  dengan  pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun:
  1. laki-laki dan perempuan yang masing-masing tidak terikat dalam perkawinan yang sah melakukan persetubuhan.

Ini termasuk zina, yang penjaranya 5 tahun. Ini yang kemudian ada usulan untuk minta dihapuskan, karena nanti korbannya juga perempuan disini, salahsatunya. Ya jadi kata komnas perempuan juga demikian. Berkali-kali mereka melakukan tentang hal itu. Sementara yang kita maksudkan disini semuanya yang terkait dengan zina ini sebetulnya bukan delik biasa. Tapi delik aduan. Yang bisa mengadu itu kalau suami/istri yang sah dalam ikatan perkawinan, sementara kalau dia tidak sama-sama dalam ikatan perkawinan, ini adalah pihak yang tercemar atau yang berkepentingan.

Pasal 484 ayat (2)

(2)          Tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dilakukan penuntutan kecuali atas pengaduan suami, istri, atau pihak ketiga yang tercemar atau berkepentingan.

Ketakutannya adalah kalau nanti gara-gara pasal ini bisa terjadi pengeroyokan misal, persekusi seperti itulah. Jadi, kekhawatiran-kekhawatiran ini mohon kiranya ada pertimbangannya, pimpinan. Terimakasih.

Benny K. Harman (Ketua Panja RKUHP/F-Demokrat) :

Oke silahkan ada yang menanggapi? Waktu itu memang kita pending ya. Sebetulnya di dalam KUHP lama itu ada, kita revisi sedikit atau kita sesuaikan dengan perkembangan jaman sekarang ya. Ya pak kyai?

  1. Soemandjaya (F-PKS) :

Hmm.. Masalah zina ini kemarin sudah hadir ke Komisi III itu para ahli ulama dan tokoh-tokoh dari Madura. Dan kita diingatkan mengenai Pasal 284 lama itu [KUHP] ini, memang semulanya overspel ya. Dan saya juga berterimakasih pada kita semua yang sudah berusaha untuk menggabungkan antara hukum positif dengan hukum adat kita. Dan juga tradisi dan nilai agama pada umumnya. Kalau dalam kaidah agama ya, diketahui di muslim itu  zinah itu dianggap perilaku langsung ya. Bahkan mendekati zina pun sudah tidak boleh. Oleh karena itu ketika kita merancang pasal ini, ini ada satu kemajuan. Ini saya kira ini bukan karena perluasan atau apa, tapi mendudukkan permasalahan hukum di masyarakat kita. Karena kalau saja kita tidak hati-hati dalam merumuskan ini kedalam hukum positif kita, yang akan jadi korban adalah generasi kita. Generasi sesudah kita.

Didalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata atau dalam BW sudah menampung misalnya, bahwa apabila ada bayi yang lahir dari suatu hubungan itu diserahkan kepada ibunya. Karena jalur misan misal lagi soal perwalian, dan sebagainya. Dan ini untuk mencegah hal-hal seperti itu, kita harus mengantisipasi dengan hukum positif kita, UUD kita konstitusi kita mengatakan bahwa kita adalah negara hukum. Kepastian hukum.

Kemudian yang kedua seperti yang ibu sampaikan tadi, ini suatu periode yang cukup beralasan. Tapi kami memandang justru agar tidak terjadi hal seperti itu, penghakiman oleh masyarakat, tadi saya dicontohkan ada rumah kos atau rumah-rumah sewa yang panjang itu yang petak-petak itu pak ya. Hampir tidak diawasi atau tidak ada pengawasan oleh aparat setempat. Sampai tidak mengetahui ada komunitas khusus. Kalau kami memandang untuk ketertiban sosial, perlu hadirnya formula yang bisa membuat masyarakat ini lebih tenteram. Dan sekaligus juga untuk menghindari tindakan-tindakan yang tidak ada kontrol demikian.

Jadi pertama, kami memandang memang kita perlu duduk bersama, meninjau kembali, karena ini untuk dan demi ketertiban sosial masyarakat, dan mengontrol masyarakat, kita memformulasi pasal-pasal yang terkait zina ini. Karena dalam undang-undang yang lama, zina itu hanya terjadi bila keduanya atau salahsatunya sudah menikah. Dulu saya mendengar adagium tidak jelas darimana, susu tante itu. Kalau bujang dengan lajang, melakukan hal seperti itu, gak zina, apalagi katanya kalau Suka sama Suka Tanpa Tekanan (susu tante).

Jadi ini, iyaa itu adagium itu. Saya kira ini harus kita selesaikan, sebab masyarakat kita ini tidak bisa menutup kenyataan sudah bergeser ke individualistis, itu sama sekali tidak akan ada kontrol, sudah bergeser ke arah individualis sekali. Rumah-rumah kos, rumah-rumah susun, apartemen, itu sama sekali tidak akan ada kontrol seperti itu, individual sekali.

Kalaupun tidak menyangkut ke arah perilaku individu, sekali lagi saya mohon maaf, saya tidak bisa membayangkan generasi kita itu gimana. Padahal kita adalah orang-orang yang membutuhkan untuk mengawasi anak-anak kita, terutama jika kita sudah tidak ada. Nah kalau kita tidak punya generasi yang tidak baik seperti itu, kita tidak bisa membayangkan nantinya akan seperti apa.

Kami ingin bersama-sama untuk membuat seteliti mungkin, karena bapak ibu semua merupakan pakar-pakar dan kami juga menerima aspirasi dari rakyat agar dijelaskan bahwa Zina itu bukan diperluas, tapi didudukkan. Berbasis hukum positif, berbasis adat istiadat, dan berbasis kompilasi hukum islam. Demikian bapak ibu pemerintah. Terimakasih.

Arsul Sani (F-PPP) :

Ijin pak ketua.

Benny K. Harman (Ketua Panja RKUHP/F-Demokrat) :

Silahkan.

Arsul Sani (F-PPP) :

Pertama, kandungan pasal ini, masih menekankan laki-laki dan perempuan. Sementara sekarang ini persetubuhannya tidak hanya laki-laki dan perempuan. Bisa laki dengan laki. Kalau perempuan dengan perempuan saya tidak bisa membayangkan. Kalau laki-laki dengan laki-laki jelas. Kan cuman mohon maaf ini tidak masuk ke yang seharusnya dimasuki saja gituloh.

Jadi kalau kita mau menginikan pasal perzinahan ini, ya jangan tanggung-tanggung. Termasuk juga yang laki-laki dengan laki-laki. Terserah kalau perempuan, karena perempuan tidak bisa membayangkan gituloh bersetubuh itu menjadi satu tubuh. Itu kan karena nah begitu.

Prof. Harkristuti Harkrisnowo:

Gak usah diperagakan lah ya.

Arsul Sani (F-PPP) :

Nah begitu. Itu catatan saya. Yang kedua, saya memahami dengan kebhinneka-an kita, karena itu menurut saya memang pertama sudah tepat ini menjadi delik aduan ya.  Hanya ini perlu diperjelas yang soal hubungan yang berhak mengadu itu. Itu harus diperjelas nanti karena misal ada orang-orang kelompok tertentu dari jakarta dengar orang di lampung atau dimanapun, terus ikut mengadu orang lampung atas dasar apa? Alasannya dan lain sebagainya.

Ini  harus kita setujui supaya tidak menimbulkan ketegangan. Itu, paling enggak opsi PPP minta diperjelas ini laki-laki dengan laki-laki harus masuklah.

Taufiqulhadi (F-Nasdem) :

Jadi kalau menurut saya, pak Arsul.. itu gak masuk sini. Karena disini adalah “laki-laki dan perempuan yang terkait dengan Perkawinan”. Ini kan persoalannya adalah tidak ada perkawinan. Kalau maksud Pak Arsul, ini laki-laki dengan laki-laki kalau sudah berkawin itu kan tidak ada masalah, karena kita tidak melegitimasi itu perkawinan sesama jenis. Jadi jangan di pasal ini, pasal lain. Nanti itu, masa disini? Nanti malah call nya disuruh kawin antara laki-laki dengan laki-laki dong disini?

 

 

Prof. Harkristuti Harkrisnowo:

Ijin pak ketua, menjawab pertanyaan dari Pak Arsul. Saya mau bilang kalau seksualitas itu perkawinan cabul. Karena persetubuhan itu, gimana ya, jadi dianggap bahwa laki-laki dengan laki-laki itu kita masukkan pada Pasal 495 bukan pada pasal perzinahan.

Arsul Sani (F-PPP) :

Sudah ada ya?

Prof. Harkristuti Harkrisnowo:

Sampun, sudah ada. Namanya perbuatan cabul. Tapi yang dikriminalisasi adalah yang dilakukan dengan anak dibawah umur. Ini sama seperti dengan artikelnya prof. Muladi kemarin. Bahwa homoseksualitas itu dikriminalisasi apabila : pertama, Dilakukan terhadap anak dibawah umur. Kedua, dipublikasikan. Ketiga, dilakukan di muka umum, satu lagi apa ya? Keempat, dengan kekerasan. Itu dari Prof. Muladi di Kompas kemarin.

Prof. Enny Nurbaningsih (Kepala BPHN) :

Kalau pertanyaan yang tadi “siapa yang berhak mengadu?”

Prof. Harkristuti Harkrisnowo:

Kalau sudah kawin, jelas. Kalau ini?

  1. Soemandjaya (F-PKS) :

Dalam terminologi agama itu hubungan sesama jenis laki-laki dengan laki-laki atau perempuan dengan perempuan itu ada namanya Liwath. Saya kira dalam perjanjian lama juga diulas cukup ramai, bagaimana peristiwa Gomorah dan para nabi terdahulu ya. Oleh karena itu kita, maap saya lah masih belum bisa merumuskan delik yang itu seperti apa. Jadi mesti para ahli, bapak ibu sekalian dari pemerintah soal ini. Tapi itu ada harapan kepada kami supaya didraft sedemikian rupa agar perilaku menyimpang itu tidak terjadi.

Dan sekaligus juga apabila ada hal yang terjadi, agar tidak tidak terjadi penularan, makanya diperlukan penindakan. Baik dengan etika atau yang berhubungan dengan moral misalnya, tapi tidak sebatas itu. Bahkan perlu juga ranah hukum. Jadi, karena ini bukan kodrat ya, ini bukan takdir tapi penyakit. Bahkan di negara lain sudah disahkan, kemudian ada permintaan [dari masyarakat]. Dan saya malah salut sama Presiden Putin [Rusia] negara yang berdaulat, komunis dan atheis, ternyata beliau tidak menyetujui adanya perkawinan sejenis.

Nah kalau kita lalai pada saat ini, kalau tidak merefleksi dalam sejarah kita, bukan tidak mungkin generasi mendatang akan menghakimi kita. Setidaknya saya sudah bertahun-tahun didepan mereka nanti, atau depan masyarakat nanti bahwa saya berbuat, tidak boleh menutupi kebenaran, dan mengantisipasi tragedi kemanusiaan di masa yang akan datang. Berbuat atau tidak berbuat, sejarah yang mengadili kita.

Jadi rumusan-rumusan, saya tidak pandai membuatnya. Jadi delik apapun namanya itu, saya tidak ahli, tapi kiranya dapat ditawarkan dalam forum ini supaya kita bisa mengantisipasinya. Kalau kita melihat alquran, dan lain-lain ada yang berbeda, karena tidak kita semua juga satu agama. Jadi saya tidak hanya dari agama yang diyakini, tapi juga ada kompilasinya, ada aspirasinya juga. Malah yang menerima langsung kemarin, ada Pak Arsul Sani di Komisi III. Saya tidak bicara pasal-pasal karena terlalu berat gitu. Itu semuanya [Ulama yang datang dari Madura ketika RDPU], pake sorban itu. Dan mereka banyak doktor.

Jadi mohon kiranya, tidak apa kita agak bersabar sedikit gitu pak, mereformulasi itu ya. Sehingga hal-hal yang diharapkan oleh mereka tadi itu, kita semua harus mengerti dibawah kita ada. Tapi kalau kita baca tadi pak, tidak hanya Islam, di perjanjian lama juga ada, memang untuk membuktikan itu tidak mudah pak. Contoh dalam sejarah kemanusiaan, ketika Maria Magdalena itu diduga melakukan perzinahan dan semua masyarakat meminta agar Maria Magdalena dihukum mati. Baginda Yesus Allaihi Salam bersedia. Kemudian disediakan tempat tersebut, Maria Magdalena berdiri disana. Dan semua masyarakat sudah sedia dengan semua posisi masing, akan menghukum mereka merajam sampai mati.

Baginda Yesus mengatakan begini kalimatnya “Kita akan melaksanakan rajam. Kita akan tegakkan hukum dengan menghukum mati pezina ini. Dan saya persilahkan” kata Yesus, “yang pertama melempar batu kepada Maria Magdalena ini adalah orang yang tidak pernah berzina.” Seketika batu berjatuhan begitu saja.

Zina itu bukan hanya sekedar sexual intercourse, bukan sekedar pertemuan alat kelamin tapi di perjanjian lama itu lebih detail yang saya baca itu. Mata, tangan ada zinanya. Sampai Yesus mengatakan “Silahkan apabila ada yang tidak pernah berzina, lempar terlebih dahulu.” Dan saya yakin tidak ada satupun hakim yang melaksanakan penghukuman itu. Mungkin jaksa juga mundur. Tapi kita secara ius constituendum gitu kira-kira dan ius constitutumnya gak ada, kita harus berani gitu. Kita harus berani.

Apalagi kita bilang ini warisan belanda, saya keberatan, ini bukan warisan belanda. Ada dalam ketentuan peralihan, ini sudah menjadi untuk kita semua. Karena ada kesempatan saat ini kita untuk berbuat, saya menghimbau untuk kita semua, mari kita berbuat. Dan pak benny, tentu yang akan kita buat kita tidak akan bisa menyenangkan semua pihak. Orang yang punya hak konstitusi pun, bisa mengadu ke MK. Ini himbauan untuk bapak ibu sekalian yang terhormat, harapan kami dari fraksi PKS, yang begitu banyak menerima masukan-masukan, baik masukan aspirasi ke saya dan fraksi juga komisi III. Begitu pak ketua, Sekian.

Benny K. Harman (Ketua Panja RKUHP/F-Demokrat) :

Baiknya kita fokus ke rumusan saja, kan pasal tentang zina ini ada juga di KUHP lama. Tidak mungkin apakah ada dalam kehidupan bernegara ini apa yang dulu disebut dengan zina itu masih zina ga? Kan gitu. Kedua pada masa itu, praktek moral masyarakat itu seperti itu.

Pak Kyai [TB. Soemandjaya] contohnya bagus sekali. Tapi jangan lupa ketika kemudian diceritakan kedalam eksekusi itu semua nanya kan? Kalo saya ga salah. Menuduh bahwa Maria Magdalena itu zina, tidak ada satupun yang mau melempar merajam kan? Gak ada yang mau lempar toh?

Pointnya apa? Kau jangan menuduh orang sembarangan. Kan begitu. Itu pointnya. Sekarang ini mau tertibkan itu. Bahwa apa yang dinamakan zina pada masa itu adalah perbuatan yang tidak baik secara moral sosial. Kan begitu? Maka kita katakan bahwa yang berzina dilarang dan yang melakukannya itu harus dihukum.

Apakah pengertian zina yang dulu masih relevan pertahankan di jaman sekarang? Itu satu. Yang kedua, apa ada jenis zina baru di abad jaman now? Kalau memang ada, kita masukkan. Kalau gak ada, ya udah. Atau apa yang disebut dengan zina dulu ini? Masa kita kembali ke abad 15 / abad 16 itu? Gituloh.

Tapi kembali lagi, ini kan kesepakatan. Kalau bisa pemerintah kasih kita opsi-opsi aja gapapa. Lalu nanti kita bawa ke rapat yang lebih tinggi untuk diputuskan. Silahkan ibu.

Erma Suryani Ranik (F-Demokrat) :

Ini Sebenarnya Pasal 484 ini rumusannya kan sama, kecuali pada ayat (1) point e itu. Yang menyatakan bahwa laki-laki dan perempuan yang masing-masing tidak terikat pada perkawinan yang sah melakukan persetubuhan. Itu satu problem kita nanti.

Yang kedua, di ayat (2) siapa yang mengadu? Ini kan di ayat (2) dikatakan pihak yang merasa berkepentingan itu berhak mengadu. Jadi akan ada kemungkinan persekusi kaya di Banten yang kita tahu terjadi, kemudian problem lain adalah begini. Ukuran perkawinan yang sah ini yang mana?

Misalnya di konteks dapil saya ini di Kalimantan Barat ini coba cek berapa banyak orang-orang di kampung itu yang punya surat nikah? Tetapi secara adat, menikah. Secara adat Dayak itu menikah. Yang kawin sudah banyak.Tapi begitu dia kita cek, ada ga surat kawin? Gak ada.

Konsepnya adalah perkawinan yang sah ini gimana? Menetapkan dia sebagai perkawinan yang sah berarti kan pakai UU Perkawinan. Kemudian, itu satu.

Yang kedua, ini nanti saya bayangkan kalau ayat ini menjadi kita setujui, nanti ini kami akan bawa ke raker ya. Pilihan fraksi ini kan pilihan politik ya, ada yang pahit dan ada juga yang manis, kadang hambar juga. Ujung-ujungnya kita di JR kan juga di MK kan? Itu urusan lain lah kalo di MK.

Nah ketakutan saya ini kalau kita masukkan di Pasal 484 ayat (2) ini, atas nama orang-orang yang berkepentingan tadi contoh kasus bapak tadi [Pak Arsul], orang bisa mempersekusi antar provinsi antar kabupaten, antar kota dalam konteks ini wilayah NKRI, dia merasa punya kepentingan. Nanti kalau di kampung saya ada yang berantam, di Kalbar ada yang persekusi, masuk korbannya lebih panjang lagi. Yang kaya gitu kan kita berpikir dalam konteks Indonesia yang beragam, dst.

Saya usulkan nih Pak Ketua, bahwa pilihan-pilihan untuk keputusan yang akan diambil oleh kita bersama, adalah pilihan2 fraksi2, dan pilihan komisi III, itulah yang nanti akan menjadi final dari RUU KUHP.

Tapi catatan saya atas Pasal 484 ini, satu : soal perkawinan yang sah ini harus serius dilihat dan kedua : pihak yang mengadu ini akan mengarah dan menimbulkan dampak persekusi. Begitu pak ketua dari saya.

Risa Mariska (F-PDIP) :

Tambahan sedikit pak ketua, masih soal yang sama. Pasal 484 ayat (1) huruf e. Ini saya mau nanya, Prof. kalo saya janda, kemudian saya pacaran sama duda. Bisa kena ayat (1) huruf e? Berarti saya gaboleh punya pacar dong? yang tidak terikat perkawinan bisa nyasar yang pacaran kaya saya? Saya bisa gugat ke MK kalo gini.

Kalau saya sih lebih setuju, pasal ini lebih baik dihapus saja, Pak Ketua. Begitu Prof, terimakasih.

Benny K. Harman (Ketua Panja RKUHP/F-Demokrat) :

Baik, saya rasa semangatnya gini loh, kita setuju ini buat tertib orang juga penting. Tapi juga jangan begitu, jangan dia… motif kita adalah ke ranah tertib politik tertib sosial kemasyarakatan penting. Yang kedua, hargai hak-hak privat. Yang ketiga, tidak boleh aparat penegak hukum nanti bisa bertindak seperti [persekusi]. Nah oleh sebab itu, ada batasannya. Batasannya itu adalah Pasal 484 itu menjadi delik aduan. Itu kan maunya ini, gituloh. Mengakomodir semua tadi, bahwa kita setuju ini gaboleh. Tidak boleh delik umum. Coba bayangkan kalau delik umum, Prof.. polisi nanti masuk ini semua ke kamar hotel. Bahaya ini. Iya kan?

Saya rasa saya tetap ini..

 

Prof. Harkristuti Harkrisnowo:

Ijin bertanya saja saya ke Ibu Erma, menurut ibu, yang bisa melakukan pengaduan itu selain suami istri, adalagi ngga? Karena memang ini yang dikhawatirkan oleh teman-teman juga, seperti pak Arsul tadi. Tiba-tiba orang di Banten, datang ke tempat ibu. Mempersekusi orang yang sedang melakukan atau.. apakah diberikan pada suami atau istri saja?

 

  1. Soemandjaya (F-PKS) :

Boleh ijin pak ketua, saya sedikit saja ada pandangan.

Hukuman rajam, dalam sejarah hukum islam itu hanya terjadi pada seorang perempuan daripada makzuh (?) dia datang pada Rasul saat itu, Ya Rasulullah, saya mohon dihukum. Mengapa kamu? Kata Rasulullah. Saya sudah berzina, Rasul. Laki-lakinya sudah tidak ada. Dan dia sudah hamil. Rasul menyatakan begini, Kalau kau sudah hamil, lahirkan dulu bayimu itu. Sesungguhnya bayi itu punya hak hidup atas dirimu. Setelah 9 bulan dan melahirkan, dia datang menghadap Rasul. Perempuan itu mengatakan, Wahai Rasulullah saya siap dihukum. Inilah bukti perzinahan saya. Rasul menyatakan, ketahuilah bahwa sesungguhnya bayimu itu punya hak susu dari kamu. Susuilah dia hingga disapihnya selama 2 tahun atau 30 bulan, pas dua tahun setengah. Kemudian dilaksanakannya itu. Setelah melaksanakan semua kewajiban-kewajiban pada anak kandungnya itu, dia datang kembali ke Rasulullah. Kemudian wanita itu minta kembali dihukum. Dihadapan masyarakat, diusunglah penghukuman itu. Ketika akan dieksekusi rajam, ada seorang laki-laki yang begitu emosi. Ditahanlah dia. Sambil dia mengatakan, Engkau perempuan pezina. Kata nabi, Tidak. Dia adalah orang ahli sorga.

1 hari saja itu hukum itu, dan tidak pernah terjadi lagi. Karena jadi saksi berzina itu sangat berat sekali. Dia harus memang yang melihat kepada kejadian itu, mohon maaf ini saya contohkan pake ini [menunjuk cangkir dan sendok]. Seorang saksi mata yang melihat langsung dan menyatakan ia itu adalah zina, maka seperti masuknya sendok ini kedalam cangkir.  Itu saksi. Nah beda, harus 4 orang saksi. Jadi tidak sembarang orang boleh mengadu. Dan kalau tidak bisa membuktikan ini, maka orang yang melapornya yang kena hukum. Demikian, kami melihat betapa pentingnya soal zinah. Bahwa kalau di ilustrasikan ini adalah jaman now, sekarang jaman sudah berubah, tapi wahyu atau firmannya tidak berubah. Ini sumber nilai, sumber inspirasi dan motivasi kita semua. Dan kemudian bentuk-bentuknya bisa berubah memang. Tapi substansi dan esensinya dia akan tetap sama. mungkin itu tambahan. Terimakasih.

Oiya sedikit pak, ibu, tambahan. Mengenai saudara-saudara kita yang sudah beranak pinak tapi belum punya surat nikah, itu ada penyelesaian dalam Kompilasi Hukum Islam, ada itsbat diantaranya. Jadi surat itu bu, diberikanlah kita itu oleh Hakim agama. Karena betul ini harus melalui persyaratan Undang-undang..

Prof. Harkristuti Harkrisnowo:

Kalau bukan islam?

  1. Soemandjaya (F-PKS) :

Kan ada ketentuan-ketentuan di catatan sipil nanti bu.

Begini bu, ini soal pertanggungjawaban di muka hakim. Ada saksi-saksi. Undnag-undang No. 1 Tahun 1974, Pasal 1 ituloh yang mengatakan di awal kalimatnya itu, dicatat oleh petugas agama. Sebenarnya Sudah sah berdasarkan agama dan keyakinannya dan DICATAT. Nah karena ini mohon jadi pengingat kita semua. itu satu hal yang sangat baik sekali. Nah kalau tidak dicatat, bisa lihat ya tidak tahu diantara suami atau istri yang begitu. Terimakasih.

Erma Suryani Ranik (F-Demokrat) :

Saya sedikit.

Enggak. Saya mau kita semua ini memikirkan dengan serius konsekuensi Pasal 484 ayat (2) ini ada frasa  disini, oleh ya sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak dilakukan penuntutan kecuali atas pengaduan suami, istri, atau pihak ketiga yang tercemar atau yang berkepentingan. Saya tidak mempermasalahkan suami atau istri. Tapi pihak ketiga yang merasa tercemar atau berkepentingan ini. Ini definisinya bisa saaaaaangat luas.

Kalo Prof Tuti tadi nanya saya, siapa nanti yang berhak untuk melakukan pengaduan? Ini bukan hanya melakukan pengaduan loh. Tapi menarik kembali pemeriksaan di sidang pengadilan sebelum dia mulai. Lihat ayat (4), kalau ada sekelompok orang yang kemudian karena ada undang-undang ini kita berikan ruang untuk melakukan pengaduan terhadap konsep sebagaimana dimaksud Pasal 484 ayat (1) huruf e, kemudian sekelompok orang ini ada perpecahan dalam pengaduan itu. Ada yang menarik, ada yang mau lanjut. Bagaimana konstruksi hukumnya? Begitu.

Saya tahu ini akan kita bawa ke raker, cuman gimana ini menyiapkan formulasinya? Tapi saya minta ke teman-teman pemerintah untuk menyiapkan simulasi. Simulasinya dengan catatan, Pasal 484 ayat (2) ini seperti yang sudah ada di depan kita ini, bahasanya. Artinya ada definisi yang dimaksud pihak ketiga adalah ini.. ini.. ini.. yang tercemar.. pak lurah merasa tercemar? apakah misal pak rt, pak rw, atau sekelompok masyarakat disitu merasa tercemar? Atau bagaimana?

Kemudian simulasi lain misalnya ayat ini gak ada. Jadi kita bisa nanti tinggal tentukan pilihannya terhadap pilihan-pilihan nya. Saya kira itu catatannya.

Benny K. Harman (Ketua Panja RKUHP/F-Demokrat) :

Kita luruskan saja pihak ketiga ini sebetulnya apa? anak-anaknya kah? Atau orangtuanya? Itu batasannya. Bukan pihak ketiga yang lain-lain, bukan masyarakat umum. Itu sudah kita putuskan kok tadi batasannya itu anak atau orang tua.

Prof. Enny Nurbaningsih (Kepala BPHN) :

Suami, istri, anak atau orangtua?

Taufiqulhadi (F-Nasdem) :

Ijin ketua, apakah pasal ini sebenarnya pasal ini menjawab penghakiman sendiri ga? Jika masyarakat menggerebek rumah tertentu karena mereka menganggap didalamnya ada perzinahan.

Benny K. Harman (Ketua Panja RKUHP/F-Demokrat) :

Kalau itu ga masuk disini, kalau isu itu pak, sudah diatur di dalam.. sudah masuk ke administrasi pemerintahan. Kalau setiap RT/RW itu wajib mendata, kan gitu pak. Nah ini nanti.. ini kan begini pak.. pertanyaan pak taufiq juga penting, misal-misalnya rumah kos, pelacuran/rumah prostitusi, atau rumah spa, alexis atau apa lah..

Arsul Sani (F-PPP) :

Saritem.. Saritem..

Benny K. Harman (Ketua Panja RKUHP/F-Demokrat) :

Iya, masih ada ga itu di hotel yang suka didatangi bapak itu misalnya. Makanya itu yang saya sebutkan tadi kehidupan yang modern. Kalau di masyarakat udah ada kurungan begitu, udah otomatis itu hukum yang hidup dalam masyarakat itu berlaku. Yang kita gak bisa bayangkan kalau di kampung, kalau di kampung kan gampang itu

Intinya itu tadi, kita sudah atur disini itu ya.

Prof. Enny Nurbaningsih (Kepala BPHN) :

Jadi kami akan buat formulasinya, beberapa kemungkinan-kemungkinan alternatif, karena salahsatu pasal yang kemungkinan besar akan di MK kan. Karena kita sudah mendapatkan bertubi-tubi surat yang sama.

Oleh karena itu kami melihatnya, Komnas Perempuan terakhir ini bahwa kekhawatiran itu akan mengundang ada persekusi oleh aparat. Sebenarnya Itu gak bisa karena ini adalah delik aduan.

Jadi delik aduan, tanpa ada yang mengadu ya gak akan mungkin bisa [diproses]. Oleh karena itu, hal itu bisa kita patahkan. Nah kemudian kita bisa memperbaiki “siapa pihak ketiga yang tercemar”, “pihak ketiga yang berkepentingan” itu? Supaya memberikan kemudahan untuk siapapun yang melakukan itu kita batasi kalau dalam suatu perkawinan, itu suami atau istri atau kemudian anak bila dia janda, atau orang tua. Kalau orang tuanya ga mau mengadukan anaknya yang kumpul kebo ya biarin aja. Ga usah diinikan. Jadi ini dalam rangka memperbaiki moral kita. Jadi kurang lebih begitu pimpinan.

 

Benny K. Harman (Ketua Panja RKUHP/F-Demokrat) :

Jadi apa yang dikhawatirkan sudah kita jawab, jadi kalian ga perlu takut polisi itu masuk, buat komnas perempuan, ga perlu. karena ini delik aduan loh. Memang Ini bisa saja dimanfaatkan anak atau orangtuanya. Tapi itu kan soal lain gituloh.

Prof. Harkristuti Harkrisnowo:

Anaknya yang sudah dewasa pak. Kalo masih kecil, disuruh pak Muzakkir ituu..

Benny K. Harman (Ketua Panja RKUHP/F-Demokrat) :

Ini kan kasus begini teman-teman itu masuk akal, saya juga, terutama kalau kasus-kasus urusan duit-lah.

Kita batasi jadi delik aduan.

  1. Zaky Siradj (F-Golkar) :

Pak ketua, untuk anak yang telah dewasa dan orangtua saya ingin menambahkan, kalau orangtuanya sudah meninggal, itu kalau saudara kandung gimana?

Prof. Enny Nurbaningsih (Kepala BPHN) :

Gak usah, gak usah.

Benny K. Harman (Ketua Panja RKUHP/F-Demokrat) :

Sebetulnya kan gini pak, kalo orang tua itu masuk akal, kalo anak-anak jangan yang telah dewasa, kalau udah dewasa, apa urusan dia? Kalau anak-anaknya yang belum dewasa mengandung itu pak, itu masuk akal karena ada kepentingan dia [si anak yang belum dewasa]. Kalau lebih dari itu, apa urusannya? Toh sudah dewasa.

Dikasih catatan ajalah yang menghendaki supaya itu dihapus. Ini yang menurut teman-teman komnas perempuan rentan disalah gunakan. Mohon diperhatikan juga poinnya. Tapi kalau anak-anak yang masih anak itu masuk akal, karena punya kepentingan. Itu poinnya. Tapi kalau anak-anak yang sudah dewasa this is not your own bussiness gituloh.

Usulan alternatif 16 Januari 2018

  • tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dilakukan penuntutan kecuali atas pengaduan suami istri, orang tua atau anak yang telah dewasa

Catatan :

ada usulan frasa “yang telah dewasa” nya dihapus. “anak” nya tetap, “Orang tua”nya tetap.

Jadi begitu ya, setuju ya? Jadi ini tinggal dibawa ke Panja.

Ketok palu.

 

 

 

 

  1. Soemandjaya (F-PKS) :

 

(…) Sebenarnya kalau dalam hukum islam, itu ada yang namanya wali (…), itu adalah orang tua kandung, kakeknya, bisa juga…

 

Saya mohon untuk tetap memasukkan perwalian. Itu tidak dihapuskan

Perwalian itu ada wali hakim, wali muslim,

 

Prof. Enny Nurbaningsih (Kepala BPHN) :

Bailk izin pimpinan, jadi begini, kalau kemudian kita membuat alternatif yang mengadu itu dibatasi, jadi suami, istri, orang tua, anak, berarti hanya ayat (3) di Pasal 484 ini perlu kita tinjau kembali, karena Pasal 484 ayat (3) ini meniadakan tentang bagaimana bekerjanya tindak pidana aduan dalam Pasal 26, Pasal 27, Pasal 29 buku I, jadi ini perlu ditinjau kembali, begitu pimpinan. Ya karena ga sesuai, karena kita kan batasi, anak bisa mengadu, kalau dia batasnya (…pakai anak dibawah umur..)

Prof. Harkristuti Harkrisnowo:

Mungkin ini bisa dikecualikan, karena pengadu kan biasanya korban? Sedangkan ini kan victimless crime

Benny K. Harman (Ketua Panja RKUHP/F-Demokrat) :

Ini memang seperti yang saya tadi bilang, mestinya kan…

 

Prof. Harkristuti Harkrisnowo:

Ini bisa banyak, sampai derajat ketiga

Benny K. Harman (Ketua Panja RKUHP/F-Demokrat) :

Pengaduan suami… suami

Prof. Harkristuti Harkrisnowo:

Yaudah ga usah dibahas lah

Benny K. Harman (Ketua Panja RKUHP/F-Demokrat) :

Kalau suami/istri kan itu jelas masih dalam ikatan perkawinan. Cuma yang jadi masalahnya adalah kalau anak sudah dewasa, maka dia tidak berkepentingan lagi dia.

Disini kan sudah dibatasi suami atau istri, sehingga tentu perlu anaknya kan itu, Persoalannya kan adalah yang berhak untuk mengadu adalah siapa? Apakah anak dibawah umur atau siapa?

Atau bisa ga?

Soalnya kan gini, kalau suaminya tidak peduli, atau istrinya tidak peduli begitu loh, jadi itu.

Prof. Harkristuti Harkrisnowo:

Mungkin yang saya khawatirkan cerita bu risa tadi, misalnya janda, terus anaknya umur 5 tahun, apa benar 5 tahun tersebut mereka berhak mengajukan pengaduan, karena berdasarkan Pasal 26 itu kan yanng berhak mengajukan pengaduan kan adalah korban, jadi anak ini menurut saya perlu jelas, karena kalau nanti walinya tidak ada, terlalu luas sampai dengan keluarga derajat ketiga,

Jadi kasian Bu Risa tadi, (tertawa)

 

Benny K. Harman (Ketua Panja RKUHP/F-Demokrat) :

Atau misalnya atau pengaduan suami istri atau siapa

Kalau kita rumuskan jadi pihak ketiga yang berkepentingan itu ka susah juga kan ya, itu bisa luas, karena itu kita batasi saja, suami istri dan anak, orang tua  atau anaknya..

Persoalan saya adalah kalau anaknya, maksudnya begini loh poinnya, kalau orangtuanya gak ada, maka itu anaknya. Kalau orangtuanya masih ada ya orang tuanya, jangan dulu anaknya.

 

Prof. Harkristuti Harkrisnowo:

Yang saya khawatirkan itu kan kalau tidak ada istri, tidak ada suami, gak ada istri suami itu kan ke anak?

Nanti si anak is only 5 years old

Benny K. Harman (Ketua Panja RKUHP/F-Demokrat) :

Yaudah kalau tidak ada anak ya tidak bisa, tidak ada orang tua, tidak ada anaknya, ya

 

Prof. Harkristuti Harkrisnowo:

Anak dibawah umur boleh ga jadi pengadu? Itu yang menjadi pertanyaan saya

 

Benny K. Harman (Ketua Panja RKUHP/F-Demokrat) :

Ya gabisa, bagaimana dia bisa tahu

 

(membaca bunyi pasal)

 

Taufiqulhadi (F-Nasdem) :

Sekarang ini memang  walaupun agama digeluti,

Ini memang menjadi paradoks di Indonesia. Paradoksnya itu ada, ada Ada sikap yang kembali pada puritanisme, nah kelompok-kelompok tersebut menggunakan, mengatasnamakan, atas nama apa saja melakukan tindak sendiri.

Nah sekarang Ibu berpikir bahwa Pasal perzinahan ini untuk mengatisipasi ini, kelompok-kelompok yang demikian mudahnya mengatasnamakan islam untuk melakukan sweeping, seperti itu.

Tetapi kalau ini barangkali ketertiban sosial dalam konteks keterbuakaan sosial tidak akan mengantisipasi apapun, padahal kita berpikir kalau ini adalah Pasal Perzinahan, yang kita sepakati akan mengantisipasi kemunginan-kemungkinan persoalan dalam konteks ketertiban sosial.

Namun kalau ini menurut saya mungkin ini tidak akan mengantisipasi apapun, dalam masalah kepentingan sosial, orang akan dengan mudah melakukan sweeping dan sebagainya, karena masih ada kekosogan hukum di dalamnya.

Kalau dipikir yang lebih luas.

 

  1. Soemandjaya (F-PKS) :

Ini Pak Taufiq menurut saya harus menggunakan dasar-dasar yang jelas, karena jelas tidak boleh. Kita bisa berdua ini Pak.

Bapak Taufilqulhadi jangan halusinasi, tidak boleh. jangan sembarangan kita ini, Jadi tolong Pak, apa itu puritanisme itu, Saya bawa quran, ini …

(membicarakan nama-nama orang)

sekali lagi kita ini ada apa, banyak kepentingan apa, saat ini kita membuat sejarah,

mengatisipasi…. ius constituendum

mudah-mudahan tidak terjadi Pak peristiwa hukum itu, tapi itu justru yang menjadi dikhawatirkan, karena kekosongan hukum maka orang bisa sweeping tadi, ini kan tidak seperti itu.

Ini supaya tidak terjadi seperti itu maka kita sambut itu dengan statement hukum positif kita, kalau pun kita belum berhasil merumuskannya, kita bilang, kita belum bisa ini, kita sampaikan,  tapi kalau bisa, mengapa tidak. Ini bukan semata-mata karena kita orang fundamentalis, atau kalau saya dikatakan teroris, karena saya makan terong sejak kecil, (menggurau) tapi kan ini sejarah kita berangkat dari data dan fakta…

Ada sejumlah orang yang begitu, orang yang berpendidikan tinggi, doktor bahkan pak, mengibarkan…

(tidak terdengar)

Kita harus mengantisipasi masa esok. (tidak terdengar)

Begitu Pak, mohon maaf lahir batin

 

Arsul Sani (F-PPP) :

Menambah sedikit, hanya mengingatkan kita semua, bukan subtansi.  saya kira bagi beberapa fraksi, ini harus saya sampaikan bahwa ini pasal mahapenting di beberapa fraksi, kalau begitu saya berkeinginan menuntaskan pasal ini di bahasan kecil ini, karena kalau terlalu (clash)  saya yakin fraksinya akan cuma fraksi saya, mungkin Bang itu ya, itu politik, paling tidak kita tidak ingin dihujat soal ini, karena begitu banyak aspirasi yang masuk ke kami.

Tetapi kalau misalnya pun tidak mau menemui rumusannya, ini sudah sebuah progress, kalau di agama itu berarti sudah (membaca ayat alquran) kalau Anda tidak bisa dapat semuanya, paling ngga ada yang bisa Anda dapatkan, Mas.

Itu begitu.

 

Benny K. Harman (Ketua Panja RKUHP/F-Demokrat) :

Jadi Pak makanya kita akomodir itu, dengan membuat opsi rumusan, nanti tinggal dipilih, dan diputuskan sesuai dengan penyesuaian, begitu kan?

 

Prof. Harkristuti Harkrisnowo:

Sedikit, Pak. Itu yang Ayat (3), mungkin hanya Pasal 26 dan Pasal 27 saja, karena Pasal 29 tentang cara mengajukan pengaduan. Yang tidak ada hubungannya dengan siapa yang mengadu.

Benny K. Harman (Ketua Panja RKUHP/F-Demokrat) :

Oke setuju.

Benny K. Harman (Ketua Panja RKUHP/F-Demokrat) :

Selanjutnya, kesepuluh.

 

 

Prof Enny Nurbangsih (Kepala BPHN)

Baik, Pak ini yang sepuluh sama juga ini Pak, yaitu terkait dengan sammenleven, terkait orang yang melakukan hidup bersama sebagai suami istri di luar perkawinan dipidana penjara paling lama 1 tahun atau pidana denda paling banyak kategori II

Pasal 488

Setiap orang yang melakukan hidup bersama sebagai suami istri dilaur perkawinan yang sah, dipidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau pidana denda paling banyak kategori II.

Jadi ini banyak yang mempermasalahkan, nanti kalau ada kos-kosan bagaimana, laki-laki perempuan kemudian bagaimana, itu bisa kena, ya walaupun kita tidak bsia tahu mereka berzinah atau tidak, tapi kalau sammenleven itu sendiri sudah memiliki ancaman, jadi mohon ada pertibangan, apakah akan didtetapkan atau diberikan satu perubahan.

Pasal 488

Nah ini kemarin yang didiskusikan di Panja, kok sammmen leven nya cuma 1 tahun sedangkan zinahnya tinggi sekali. Ini yang kami kemarin diskusikan dengan zinah, kalau zinah kan delik aduan, kalau ini delik biasa.

 

Benny K. Harman (Ketua Panja RKUHP/F-Demokrat) :

ini kalau di KUHP lama ada?

 

(peserta merespon tidak ada, baru)

 

Saya kira ini penting ini, untuk melindungi lembaga perkawinan, kalau misalnya… (mendengar orang lain)

 

Prof Harkristuti Harkrisnowo

Kalau misalnya turis asing?

 

 

(laki-laki)

Kalau semisalnya turis asing datang ke Indonesia, menginap di hotel? Dipidana juga berarti?

 

Benny K. Harman (Ketua Panja RKUHP/F-Demokrat) :

Itu kan kalau satu dua malam, jadi tidak apa-apa

(tertawa)

kalau itu perzinahan, kalau ini kan hidup bersama sebagai suami istri

 

(ramai)

 

saya usulkan pasal ini dihapus saja, jadi hidup bersama, kalau dia tidak hidup bersama, bagaimana, yang penting kejelasannya, hidup bersama sebagai… kalau, jangan.. kalau “hidup bersama sebagai suami istri dalam tempo lama” nah itu boleh, ya kan

 

(tertawa)

nah nanti jadinya kawin mut’ah

 

Menurut saya hapus lah ini

 

 

Prof Harkristuti Harkrisnowo

Dari Komnas Perempuan si minta dihapus

 

 

Benny K. Harman (Ketua Panja RKUHP/F-Demokrat) :

Skip saja, Ibu. Nanti kita tulis saja catatan di bawah.

 

 

Prof Harkristuti Harkrisnowo

Dan pidananya 1 tahun Pak, itu sama dengan pelanggaran jika merujuk KUHP sekarang

 

 

(laki-laki) 2:00:53

kalau menurut saya jangan, kalau menurut saya ini adalah pasal yang harus ada di KUHP, pasal ini menunjukkan bahwa kita membuat KUHP ini dalam sebuah proses (musyawarah, tidak terengar) jadi kita di dalam ideologi Pancasila,kita berbicara tentang “Indonesia itu apa” karena itu menurut saya ini perlu dipertahankan

 

(sendah gurau, dalam rekaman ada yang berbicara)

 

 

 

Benny K. Harman (Ketua Panja RKUHP/F-Demokrat) :

Karena  itu dia, di daerah-daerah yang masih memberlakukan sistem (tidak terdengar 2:02:17)

Jadi kalau menurut saya yang..

 

Masa saya hidup bersama kok..

 

 

Prof Harkristuti Harkrisnowo:

Masa dikasih tindakan

 

Benny K. Harman (Ketua Panja RKUHP/F-Demokrat) :

Nah iya.

 

Arsul Sani (F-PPP)

Saya setuju tadi dengan statement Bapak tadi, maksud passl tujuannya baik, untuk menjaga kesucian perkawinan, namun dari pserspektif hukum pidana ini menjadi terbuka sekali, apa si yang disebut melakukan hidup bersama sebagai suami istri itu.

Jadi dari segi perumusan harus jelas

 

Prof Enny Nurbangsih (Kepala BPHN):

Mohon izin pimpinan, jadi tadi kalau di Pasal 484 ayat (1) huruf e kita pertahanakna dengan delik aduan dan siapa yang mengadu, artinya sudah melindungi, tanpa harus ada pasal ini, artinya karena memang pasal ini menjadi overkriminalisasi, karena banyak sekali kos-kosan di Jogja itu Pak yang dia (tertawa)

 

Nah itu, Pak. Itu bisa kena. Jadi dikarenakan sudah ada Pasal 484 ayat (1) hurufe maka ada kemngkinan untuk kita menghapus pasal ini Pak. Karena kalaupun dimasukkan kita punya ancaman dari Komnas Perempuan ini, Pak, kita harus menjaga gitu loh

 

(Laki-laki, 2:04:50), Mudzakkir?

Izin ketua, mohon izin, karena saya mengikuti history pasal ini. Ini kan dikarenakan terjadi arak keliling, karena dia melakukan kumpul kebo itu, terus kemudian sudah diperingatkan RT RW namun tetap juga, kemudian digrebek, diarak keliling dan dilaporkan ke lurah. Jadi Pasal ini pun diriset juga kalau tidak salah dengan Pak Tenngku Muhammad R. Kepala BPHN dalam rangka persiapan perumusan ini, hampir semua masyarakat, sebagian besar  masyarakat berdasarkan riset perbuatan kumpul kebo, pada saat itu disebut kumpul kebo, sebagaian besar menolak adanya itu. Dan tealah terjadi reaksi di luar struktur hukum, pada saat itu seperti itu, sehingga ketika kita sosialisasi ke Bukittinggi, orang ada disana berkata seperti itu, ketika saya diminta secara pribadi sosislisasi hukum adat, mereka juga menuntut rumusannya yang seperti itu.

 

 

(Laki-laki 2:06:00)

di bagian mana itu?

 

 

Prof Harkristuti Harkrisnowo:

Belum ke Menado dia itu.

 

(tertawa, sendah gurau)

 

 

Benny K. Harman (Ketua Panja RKUHP/F-Demokrat) :

Menurut saya pilihan, kita akan ke aturan hukum ini, atau kita serahkan itu ke…

 

Kita kan sudah sepakat untuk menghargai (masyarakat adat), kalau misalnya di Padang itu memang mengakui itu, maka ditegakkan, kalau misalnya di Menado sudah biasa, ya sudah biasa, begitu saja.

 

Jadi kita gunakan hukum yang hidup di masyarakat itu, konsekuensi dari hukum yang hidup di masyarakat, kesepakatan kita tadi malam unuk hukum yang hidup di masyarakat.

Jadi begitu

 

 

(Laki-laki 2:07)

mohon izin ketua untuk memberikan alternatif

 

Benny K. Harman (Ketua Panja RKUHP/F-Demokrat) :

Iya memang, kita tidak putuskan, kita alternatifkan, ada yang setuju ini dihapus, tidak dihapus, buka dihapus, ini diserahkan kepada hukum adat masing-masing.

 

 

Arsul Sani (F-PPP) :

Pak Ketua saya kira, kalau ini ditidakan, saya kira kami akan usul dibongkar lagi perzinahan sibuat lebih luas siapa lagi yang berhak mengadu, saya kira begitu, tapi bentuknya apa nanti kita pikirkan lagi.

Benny K. Harman (Ketua Panja RKUHP/F-Demokrat) :

Jadi Alternatifnya ada 3:

  • dihapus
  • tetap
  • yang ketiga yang moderat itu adalah diserahkan ke hukum yang hidup di masyarakat

kecuali kalau kita mau hapus yang hukum adat itu.

Memang itu Pak, saya setuju Pak kita harus atur ini,  juga untuk supaya penyakit sosial tidak ini.

 

Taufiqulhadi (F-Nasdem) :

Saya tidak bawa UU No. 1 tahun 1974 jadi karena lembaga suci pernikahan, maka..

 

(Laki-laki 2:09:14)

apakah memang ada lembaga masyarakat yang memang memperkenalkan hidup bersama?

(peserta menjawab, ada di Papua)

Taufiqulhadi (F-Nasdem) :

Berarti kalau begitu hukumannya tetap berlaku secara nasional, kecuali kalau ada masyarakat yang tidak setuju tentang pemberlakuan hukum ini.

Benny K. Harman (Ketua Panja RKUHP/F-Demokrat) :

Loh ya kan berarti ya kita serahkan kepada hukum yang berlaku masing-masing

Taufiqulhadi (F-Nasdem) :

Kalau menurut saya ini harus diatur dalam hukum secara nasional karena ini KUHP, kecuali ada masyarakat yang memberlakukan hal tersebut.

 

Benny K. Harman (Ketua Panja RKUHP/F-Demokrat) :

Maka kita kan sudah sepakat soal itu, sepakat dengan hukum adat, saya termasuk pihak yang menolak, namun kan ada masalah yang begini, tidak boleh dilakukan, tapi kan untuk ini, biarlah kita putuskan ke tingkat yang lebih atas (tingkat Panja).

 

Prof. Harkristuti Harkrisnowo:

Catatan sedikit, Pimpinan, kalau usulnya Pak Taufiq, diatur secara nasional, lalu dikecualikan jika diatur dalam Perda, itu tidak boleh, berarti hukum yang rendah mengesampingkan hukum yang berlaku nasional, maka tadi usulanya perda yang mengatur, yaitu living law yang diakui dalam Pasal 2 dan Pasal 12 (RKUHP)

Taufiqulhadi (F-Nasdem) :

Konsep living law bagaimana??

Prof. Harkristuti Harkrisnowo:

Konsep living law itu nanti melalui Perda, jadi perda yang menetapkan apa itu living law yang berlaku di daerah (tersebut). Dan diharapkan itu berasal dari hukum adat, intinya itu Pak.

 

  1. Soemandjaya (F-PKS) :

Bahwa kita kan menyusun KUHP ini justru ingin ada unifikasi, ada hukum nasional. Bahwa seperti di Aceh ada Qanun misalnya ini kita hormati. Jadi solusinya mungkin begini, ketua, Misal rumusan ini pada ayat (1), ada ayat (2) di perda ada yang mengatur tentang ini samenleven maka hanya provinsi tertentu saja yang mengatur. Dalam hal di suatu wilayah hukum adat tertentu, berlaku hukum yang berlaku di wilayah ini, dibenarkan itu, diizinkan atau misalnya tidak diatur, tapi prinsipnya karena mayoritas suku bangsa di indonesia ini kalo liat pendataan survei misalnya cenderung memang tidak setuju adanya samenleven itu.

Mungkin di beberapa sistem sosial atau suku tertentu dibolehkan, tapi kalau itu sampai diatur di perda, hanya perda provinsi tertentu lah yang mengatur. Tapi kalau disini payung hukumnya, pak ketua.. nanti baru di ayat berikutnya pengecualian. Terimakasih.

Benny K. Harman (Ketua Panja RKUHP/F-Demokrat) :

Menurut saya, Gak usah lah kita ini, tinggal setuju atau tidak setuju?

Karena kita sudah menyetujui pemberlakuan hukum setempat, gitu kan. Hanya berlaku di tempat itu, dan tidak otomatis juga tergantung pada peraturan daerah. Bisa saja dia hendak mengakomodir atau tidaknya. Itu saja pointnya. Gitu ya. Silahkan nanti dibawa ke atas [Rapat Panja]. Selanjutnya.

Prof. Enny Nurbaningsih (Kepala BPHN) :

Pasal 495. Jadi ini mohon ijin pimpinan tanpa terasa ini sudah jam 12 lewat, kita sampai jam berapa pak?

Benny K. Harman (Ketua Panja RKUHP/F-Demokrat) :

Setengah satu aja ya. Silahkan.

Prof. Enny Nurbaningsih (Kepala BPHN) :

Baik, Pasal 495. Jadi pasal ini ada kaitan dengan isu terkini yaitu isu LGBT. Jadi ini, Pasal 495 saya bacakan ya

Pasal 495

  • Setiap orang yang melakukan perbuatan cabul dengan orang lain yang sama jenis kelaminnya yang diketahui atau patut diduga belum berumur 18 (delapan belas) tahun, dipidana dengan pidana penjara paling lama 9 (sembilan) tahun.
  • Dipidana dengan pidana yang sama ditambah dengan sepertiga jika perbuatan cabul sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan cara seks oral atau seks anal atau semua bentuk pertemuan organ non-kelamin dengan alat kelamin yang dilakukan secara homoseksual.

 

Benny K. Harman (Ketua Panja RKUHP/F-Demokrat) :

Saya kira Pasal 495 ayat (1) ini kan seolah-olah dibenarkan kecuali untuk mereka yang berusia dibawah 18 tahun dan ayat (2) adalah pemberatannya. Ya kan?

Prof. Harkristuti Harkrisnowo:

saya berpikir ayat (2) apa perlu ya?

Benny K. Harman (Ketua Panja RKUHP/F-Demokrat) :

Saya pikir ga perlu lagi.

Prof. Harkristuti Harkrisnowo :

Apakah mungkin dari pak arsul nanti apakah perbuatan cabul homoseksual itu bisa dilakukan dengan seks oral atau seks anal? Atau semua bentuk pertemuan organ non kelamin?

Arsul Sani (F-PPP) :

Sekarang ada phonesex bu.

Semua peserta rapat :

Hahahahhahahaha

Benny K. Harman (Ketua Panja RKUHP/F-Demokrat) :

Ayat (2) ini, menurut saya kecuali pemberatan lah. Tapi ini kan perbuatan cabul untuk sesama jenis, kalau usia dibawah 18 tahun. Kalau usia 18 tahun, boleh. Iya kan? Kita gabisa menghukum orang juga. Saya rasa benar itu, kalau dibawah itu gaboleh.

Ayat (2) ini ditambah dengan sepertiga apabila dilakukan oleh orang dewasa kepada anak itu gapapa.

Prof. Enny Nurbaningsih (Kepala BPHN) :

Menimbulkan luka misalnya?

Benny K. Harman (Ketua Panja RKUHP/F-Demokrat) :

Iya, menimbulkan luka misalnya atau apaa.. menimbulkan kematian, itu bisa. Ini bisa untuk ini, bisa juga pihaknya salahsatunya dewasa, bisa kan?

Prof. Harkristuti Harkrisnowo:

Ijin pimpinan, jadi yang ayat (1) ini seluruh bentuk perbuatan cabul dihukum 9 tahun. Dan kalau kemarin dari Prof Muladi, informasi saja dalam tulisan di kompas 15 Januari 2018 ini menyarankan aktifitas homoseksual itu dikriminalisasi, pertama : apabila dilakukan dengan anak dibawah umur, kedua : dipublikasikan, ketiga : dimuka umum, keempat : dilakukan dengan kekerasan.

Tapi itu memang sudah masuk dalam beberapa pasal lain.

  1. Soemandjaya (F-PKS) :

Ibu, Prof.. Bentar dulu, ini pada dasarnya hubungan kelamin itu tanpa batasan usia, itu tidak boleh. Jadi, tidak ada pengecualian. Bukan berarti kalau liat pasal ini, diatas 18 tahun dia boleh. Kan kesannya membuka, membolehkan. Negara mengijinkan. Seperti waktu overspeel itu untuk anak-anak yang belum terikat perkawinan itu. Ini juga akan dimanfaatkan oleh anak-anak muda. Demikian. Ini mohon ada pemikiran lebih dalam dari kita. Sekarang kesannya negara mengijinkan, menghormati kelakuan ini bagi mereka yang diatas 18 tahun. Demikian.

Taufiqulhadi (F-Nasdem) :

Dan juga begini, kalau fraksi kami memang dari daerah yang datang ke fraksi kami memang beragam. Ada memang Komnas Perempuan, berbagai Komnas lainnya ini mungkin harus di… tetapi, kamu juga menemerima sejumlah tokoh-tokoh masyarakat yang menghendaki sebetulnya persoalannya di Indonesia ini jangan dibenarkan praktik ataupun kehidupan homoseksual. Kalau misalnya itu hadir, kemudian permisif karena ada dengan rumusan kalimat itu yang sebetulnya menghendaki tetap hidup kehidupan homoseksual. Itu mereka yang hadir ke Komisi III kemarin, itu adalah sebetulnya adalah penghinaan terhadap sebuah tatanan sosial yang dibangun berlandaskan pancasila dan pemahaman mereka sebagai masyarakat beragama. Inilah yang seharusnya kita antisipasi apakah seperti dalam ayat (2) dan ayat (1) pasal ini adalah mengantisipasi permintaan-permintaan seperti itu?

Kalau kami berpikir bahwa pemikiran-pemikiran seperti yang dibawa oleh sejumlah komnas seperti komnas perempuan dan lain-lain itu bahkan tidak menunjukkan pemikiran partikularis, dan itu mungkin pemikiran mereka pemikiran yang jauh tidak berada dalam konteks indonesia. Nah inilah yang harus kemudian kita antisipasi menurut saya, demikian.

 

  1. Soemandjaya (F-PKS) :

Pak ketua, kalau kita lihat DIM 1531, buku kedua… disini ada fraksi PDIP yang memberikan usul perubahan, fraksi Golkar tidak ada, Gerindra ada perubahan, kemudian Demokrat tidak, PAN juga tidak, PKB ada perubahan, PKS ada. Memang substansinya pada usia itu, mengapa? Kan gitu pertanyaannya. Jadi Kita perlu mendengar lah ya pak ketua, Jangan sampai kita ini melegitimasi perilaku homoseksual itu karena ukurannya usia.

Prof. Enny Nurbaningsih (Kepala BPHN) :

Ijiin pimpinan, saya kira ini memang perlu untuk membuat catatan kesepakatan lebih tinggi di raker. Kenapa? Karena Kita juga harus memberikan kesepakatan dan pertimbangan putusan MK. Walaupun tidak memutuskan dengan jelas itu kepada DPR dan Pemerintah untuk menetapkan apa dan bagaimana formulanya, karena lihat dalam dissenting opinion nya, ini putusan konstitusional kondisional gitu. Tapi putusannya sendiri diserahkan ini kepada pembentuk undang-undang.

Oleh karena itu memang ada baiknya nanti buat semacam alternatif, kita akan membuat alternatifnya adalah yang pertama seperti ini tetap, yang kedua adalah manakala kemudian kita membuka satu rumusan lagi bahwa setiap orang yang melakukan perbuatan cabul dengan orang lain yang sesama jenis, dipidana. Hanya pidananya nanti berapa, tetap kita tentukan, tidak seberat ini, dikurangi ancamannya saja.

Kemudian kalau terhadap anak, itu pemberatan. Kalau kemudian terhadap anak itu dengan menggunakan misalnya dengan misalnya berbagai cara atau alat, yang kemudian menyebabkan luka, sampai mati, itu bisa ditambah [hukumannya] seperti itu. Jadi ada kualifikasi deliknya. Itu kalau diijinkan, kami buatkan itu pimpinan.  Jadi nanti kita tinggal memilih, mana yang kemudian akan kita rumuskan disini, begitu pimpinan.

Benny K. Harman (Ketua Panja RKUHP/F-Demokrat) :

Oke, Kita tetap aja bawa ini ke panja ya. Kita gak usah debat rumusannya, substansinya setuju atau tidak. Karena ini menyangkut hal-hal yang tadi disampaikan. Gitu ya pak?

  1. Soemandjaya (F-PKS) :

Rumusan alternatifnya gimana?

Prof. Harkristuti Harkrisnowo:

Ya tidak dibatasi usia mungkin.

  1. Soemandjaya (F-PKS) :

Hmm.

Benny K. Harman (Ketua Panja RKUHP/F-Demokrat) :

Oh jangan. Ini kan masuk dalam lingkup, untuk melindungi dari penahanan kan gitu.

 

  1. Soemandjaya (F-PKS) :

Jadi gini pak ketua, saya sedikit. Pertama soal usia, pak ketua. Kedua, Apabila terjadi pada anak dibawah umur, kita kasih pemberatan. Kalau ada luka, itu harus pemberatan lagi. Tapi luka yang diakibatkan oleh perbuatan itu ya, bukan luka yang luka dengan sendirinya. Luka itu tentu ada kualifikasinya.

Benny K. Harman (Ketua Panja RKUHP/F-Demokrat) :

Oke, setuju saya. Jadi ada pemberatan.

Jadi sekali lagi, pasal ini membolehkan kan begitu kalau sesama usia dewasa, kalau dibawah usia 18 tahun itu ada pemberatan. Kenapa hilangkan usianya?

Prof. Enny Nurbaningsih (Kepala BPHN) :

Ya, karena ini alternatif pak.

Benny K. Harman (Ketua Panja RKUHP/F-Demokrat) :

Ooh alternatif.

Prof. Enny Nurbaningsih (Kepala BPHN) :

Yang pertama, sudah ada usia. Yang kedua ini tanpa batas usia. Nah kalo tanpa usia ini kemudian tanpa anak dan menimbulkan luka itu ada pemberatan. Gitu aja pak kualifikasinya.

Arsul Sani (F-PPP) :

Ya, tapi…

 

Prof. Enny Nurbaningsih (Kepala BPHN) :

Ya, terserah kepada pemerintah dong, pemerintah yang bikin kan?

Prof. Harkristuti Harkrisnowo:

Ijin pimpinan, apakah masukan tulisan prof. Muladi dalam harian kompas 15 januari 2018 ini akan dimasukkan?

Benny K. Harman (Ketua Panja RKUHP/F-Demokrat) :

Itu di penjelasan. Pak Muladi itu kan menyetujui begitu, asal tidak dilakukan di muka umum, tidak boleh dipublikasikan, tidak boleh disebarluaskan, kan gitu.

Prof. Harkristuti Harkrisnowo:

Tapi dengan batasan usia?

Benny K. Harman (Ketua Panja RKUHP/F-Demokrat) :

Dan yang ketiga itu, tadi dengan batasan usia. Sama seperti pada mereka tidak boleh dilakukan pada usia dibawah 18 tahun. Kan gitu pak.

Boleh diatas itu, tapi tidak boleh didepan umum, tidak boleh dipublikasikan, tidak boleh disebarluaskan. Ya?

Oke gitu ya. Poin-poin Prof Muladi itu masukin di penjelasan. Jadi dari pemerintah yang menyetujui lgbt, ya? Intinya kami ikut pemerintah saja.

Arsul Sani (F-PPP) :

Kalau ini tidak sesuai dengan masyarakat, kita….

Benny K. Harman (Ketua Panja RKUHP/F-Demokrat) :

Iya itu nanti..

Arsul Sani (F-PPP) :

Saya protes ini kampanye negatif buat calon presiden yang nanti sudah kami tetapkan..

Benny K. Harman (Ketua Panja RKUHP/F-Demokrat) :

Iya, bahaya itu presiden, [lgbt] ini banyak loh di indonesia. Oke, nanti ada alternatifnya saja ya ini.

Prof. Enny Nurbaningsih (Kepala BPHN) :

Sesuai hasil ini kan kalo tadi yang disampaikan ada batasan usia.

Benny K. Harman (Ketua Panja RKUHP/F-Demokrat) :

Satu, [frasa nya] tetap ini [Pasal 495] ditambah penjelasan pak Muladi.

Kedua, cabut.

Itu aja intinya.

Prof. Enny Nurbaningsih (Kepala BPHN) :

Nah ini Pak Muladi… [Prof Muladi baru datang]

Prof. Harkristuti Harkrisnowo:

[tepuk tangan].. nah ini pas banget nih. Pas banget pak. Ini pak tentang homoseksualitas pak, terkait tulisan bapak kemarin.

Benny K. Harman (Ketua Panja RKUHP/F-Demokrat) :

Kita selesaikan dulu 12 issue pending ini ya.

Jadi gini prof, usul pemerintah, Pasal 495 ini jadinya pemerintah membenarkan perkawinan sesama jenis.

Prof. Enny Nurbaningsih (Kepala BPHN)  dan Prof. Harkristuti Harkrisnowo:

Tidak, bukan perkawinan. Hubungan..

Benny K. Harman (Ketua Panja RKUHP/F-Demokrat) :

Nah iya, “Hubungan” itu tadi, “hubungan”. bukan perkawinan. Kalau perkawinan ini seolah-olah di… ini “hubungan”.

Prof. Enny Nurbaningsih (Kepala BPHN)  dan Prof. Harkristuti Harkrisnowo:

Bukan membolehkan pak, hanya mengkriminalisasi..

Prof. Harkristuti Harkrisnowo:

Memperluas sesama jenis apabilaa..

Benny K. Harman (Ketua Panja RKUHP/F-Demokrat) :

Iyaa.. Dibalik itu rumusannya. Boleh. Kriminalisasi itu hanya berlaku untuk mereka yang menjadi korbannya adalah dibawah 18 tahun. Kan gitu. Bahasa positifnya berarti “boleh”. Asal usianya sudah 18 tahun. Kan gitu. Sama gak kesimpulan saya?

Arsul Sani (F-PPP) :

A contrario nya begitu.

Benny K. Harman (Ketua Panja RKUHP/F-Demokrat) :

Iya, ada rumusan negatif, ada rumusan positif. Saya mempositifkan. ini kan masalah bahasa. Berarti artinya boleh kalau dewasa.

Nah tadi teman-teman mengusulkan hapus ini pak, gaboleh. Tidak diperbolehkan. Gitu kan? Ya silahkan pak Muladi.

Prof. Muladi

Jadi yang kemarin saya tulis, itu suatu perkembangan di negara liberal, rusia yang komunis, eropa itu melakukan dekriminalisasi mengenai kejahatan tanpa korban, atau victimless crime. Antara lain adalah masalah LGBT, perzinahan, bigami, perjudian, pornografi. Asal tidak dilakukan dimuka umum, tidak berkeliaran, kemudian tidak ada korbannya langsung, para pesertanya saling menguntungkan, tidak ada objek dibawah umur dan juga tidak ada kekerasan. Bukan karena rame-rame itu telanjang masuk pornografi, itu bukan.

Dengan demikian, kita kembali pada definisi korban, karena korban itu individual seperti itu. Ternyata di timur ini ada korban indivdual dan sosial, misal ada lgbt di suatu kampung ada tokoh-tokoh religius di kampung, sekalipun itu di kamar tertutup itu menyentuh perasaan standart moral yang bersangkutan.

Jadi akhirnya, kita kembali pada Pasal 296 kuhp lama. Homoseksual itu hanya dipidana, dikriminalisasi hanya untuk anak dibawah umur. Pesertanya itu ada anak dibawah umur, dengan kekerasan.

Nah sekarang, apakah kita akan perluas masalah ini? Bahwa lgbt itu dilarang.

Mahkamah Konstitusi ini sendiri pada akhirnya juga ragu karena ini berkaitan dengan right to privacy, hak privasi, hak personalitasi karena tidak dimuka umum. Dan itu sulit dipidana. Karena kalau kita menyentuh itu, memidana lgbt misalkan itu akan menimbulkan reaksi keras dari para pegiat ham karena itu hak asasi. Dan sementara kita bertahan diatur dalam RKUHP dan stay pada usia dibawah umur. Kalau perkawinan jelas dilarang oleh UU Perkawinan. Perkawinan sesama jenis tidak boleh. Jadi waktu itu tim perancangan kuhp itu menyatakan “ya kita ikutin saja yang ada dalam KUHP”.

Dan waktu saya berangkat tadi ada protes dari komnas perempuan, mengenai Pasal 484 ayat (1) huruf e, persetubuhan dengan orang dewasa yang belum kawin, itu dianggap merugikan perempuan. Saya juga heran, dulu waktu merumuskan pasal itu, yang beri informasi itu adalah ahli agama dari IAIN, Professor Suma itu, dosen IAIN, “tidak lagi perzinahan itu adalah antar orang yang kawin dan sebagainya dan sebagainya, tapi orang yang hidup bersama-sama menurut islam itu adalah perzinahan.”

Tapi komnas perempuan juga menyatakan dari seorang ulama itu tidak ada yang perlu dipidana.

Ini aliran islam yang mana yang kita… ini kan beda-beda?

Jadi maka kita rumuskan fornication atau perzinahan itu sebagai tindak pidana batasannya delik aduan. Itu juga sebagai mitigasi seperti yang saya katakan.

Kalau LGBT menurut saya, terserah nanti kalau.. yang kita ikuti adalah KUHP lama, sesuai kriteria tadi, terbatas pada korbannya dibawah umur, bukan pornografi dimuka umum, tidak dilakukan dengan kekerasan, tidak ada pemaksaan, dan sifatnya konsensual. Jadi begitu.

Benny K. Harman (Ketua Panja RKUHP/F-Demokrat) :

Oke, saya rasa tambah makin jelas ya.

Taufiqulhadi (F-Nasdem) :

Kemarin juga saya membaca sangat hati-hati dan berkali-kali tentang tulisan Prof Muladi. Tetapi kemudian kemarin saya akhirnya juga, Prof Muladi.. didalam konteks kita membuat undang-undang KUHP ini, Kita harus membuat perspektif kita, indonesia sekarang, Kalau saya melihat tulisan Prof Muladi kemarin itu masih didalam konteks negara-negara liberal. Nah saya ingin tanyakan dalam kesempatan ini pada Prof Muladi, kalau demikian, masalah lgbt dan masalah perzinahan itu dalam konteks indonesia ini dimana prof?

Prof. Muladi

Jadi pak, Kalau bapak lihat di koran-koran ini mereka itu komunitas yang berjumlah besar. Tidak hanya disini tapi juga internasional. Saya pribadi sendiri juga tidak setuju itu homo. Tapi kenyataan pak di Australia, Thailand, itu baru diresmikan perkawinan sejenis, kalau kita tetap anti tapi dalam batas-batas tertentu. Kita harus bisa batasi tidak menyangkut pornografi dimuka umum, tidak menyangkut IT [publikasi], dan tidak menyangkut anak dibawah umur.

Kalau mereka yang dewasa di kamar-kamar sendiri yang kemarin telanjang di tangerang itu, saya kira itu sulit untuk memidana. Jadi Itu yang disebut kejahatan tanpa korban. Yang saya katakan ada mitigasi terhadap persekusi itu, jadi kita betul-betul membatasi. Kalau di muka umum, terhadap anak dibawah umur, kita pidanakan. Kalau korbannya dengan kekerasan, katakanlah, kita pidana.

Tapi untuk memidana betul, kita akan diprotes kita. Protesnya tidak hanya nasional tapi juga internasional. Di Indonesia komunitasnya cukup besar. Jadi mitigasi pelunakan dari konsep kejahatan tanpa korban itu dengan batasan-batasan tadi yang saya katakan itu. Kita anti [lgbt] tapi mengkriminalisasi itu sulit dilakukan. Kita lokalisir tempat tertentu, itu tidak boleh. Cuma didepan umum saja.

Coba nanti bapak perlu kriminalisasikan, LGBT harus dikriminalisasi. Mahkamah Konstitusi saja tidak berani. Makanya diserahkan ke DPR. Karena ini organisasinya besar, terus terang.

Benny K. Harman (Ketua Panja RKUHP/F-Demokrat) :

Jadi isu ini kita sudah dapatkan penjelasan. Kita masukkan ini ke Raker Panja, kalau Raker tidak bisa putuskan, kita bawa ke Paripurna.

Karena ini isu dunia juga. Isu LGBT dan Samenleven ini pak.

Oke, kita bawa ke itu yaa [raker]. Ketok palu.

Kita masih ada satu lagi pending issue. Supaya kita selesaikan sebelum…

Prof. Enny Nurbaningsih (Kepala BPHN) :

Ada satu lagi pak ini terkait Judi.

Benny K. Harman (Ketua Panja RKUHP/F-Demokrat) :

Baik, kita istirahat makan dulu, Jangan lama-lama makannya.

Baik kita skors setengah jam ya, Jam 13 dimulai lagi.

Ketuk palu.

 

 

 

Sesi II [rekaman 16 Januari siang]

 

Prof. Muladi

Gimana kalo diantara yang ekstrim pro dan kontra LGBT ini dibikin jalan tengah. Jadi pasal 495 ayat (2)

 

Benny K. Harman (Ketua Panja RKUHP/F-Demokrat) :

Jadi Pasal 495 ayat (2). Kita tambahin jadi ayat (3)

 

Prof. Enny Nurbaningsih (Kepala BPHN) :

Pasal 495

  • Dipidana dengan pidana yang sama ditambah dengan sepertiga jika perbuatan cabul sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan cara seks oral atau seks anal atau semua bentuk pertemuan organ non-kelamin dengan alat kelamin yang dilakukan secara homoseksual.

Kalo kita ayat (2) ini hilangkan gimana? Masih perlu ?

Usulan perubahan

(2)          Dipidana dengan pidana yang sama ditambah dengan sepertiga jika perbuatan cabul sebagaimana dimaksud pada ayat (1) setiap orang yan gmelakukan perbuatan cabul dengan orang lain yang sama jenis kelaminnya terhadap orang yang berumur diatas 18 tahun dengan :

  1. Kekerasan atau ancaman kekerasan
  2. Melanggar kesusilaan dimuka umum
  3. Publikasi
  4. Mengandung unsur pornografi

Usulan ahli bahasa  :

(2) Setiap orang yang melakukan perbuatan cabul dengan orang lain yang sama jenis kelaminnya terhadap orang yang berumur diatas 18 tahun dipidana dengan pidana yang sama perbuatan jika :

  1. Menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan
  2. Melanggar kesusilaan di muka umum
  3. Mempublikasikan atau
  4. Mengandung unsur pornografi

 

Benny K. Harman (Ketua Panja RKUHP/F-Demokrat) :

Tetap saja, tambah ayat aja. Ayat (3) untuk pembatasan

  • Dalam hal tindak pidana sebagaimana menimbulkan luka,

Pasal 495

  • Setiap orang yang melakukan perbuatan cabul dengan orang lain yang sama jenis kelaminnya  yang diketahui atau patut diduga belum berumur 18 (delapan belas) tahun, dipidana dengan pidana penjara paling lama 9 (sembilan) tahun.
  • Dipidana dengan pidana yang sama ditambah dengan sepertiga jika perbuatan cabul sebagaimana dimaksud pada ayat (1) setiap orang yang melakukan perbuatan cabul dengan orang lain yang sama jenis kelaminnya terhadap orang yang berumur diatas 18 tahun dengan:
  1. Kekerasan atau ancaman kekerasan
  2. Melanggar kesusilaan dimuka umum
  3. Publikasi
  4. Mengandung unsur pornografi

 

Usulan ahli bahasa  :

  • Setiap orang yang melakukan perbuatan cabul dengan orang lain yang sama jenis kelaminnya terhadap orang yang berumur diatas 18 tahun dipidana dengan pidana yang sama perbuatan jika :
  1. Menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan
  2. Melanggar kesusilaan di muka umum
  3. Mempublikasikan atau
  4. Mengandung unsur pornografi

 

Catatan 16 Januari 2018, Pasal ini akan diambil keputusan di Rapat Kerja

Benny K. Harman (Ketua Panja RKUHP/F-Demokrat) :

Usulan prof muladi itu tetap, untuk anak berat, untuk dewasa tidak boleh, batasannya jelas yang empat tadi.

 

Taufiqulhadi (F-Nasdem) :

Dengan demikian, homoseksual berarti boleh?

 

Arsul Sani (F-PPP) :

Kalo ini, kita tidak konsisten dengan pasal perzinahannya. Berarti kalo gini, boleh, hubungan laki dengan laki. Tapi zinah ga boleh. Kalo mau engga, ngga semuanya, iya? iya semuanya. Paling nanti pertanyaannya adalah kalau orang yang sudah nikah sah di belanda? Kalo ke indonesia terus gimana? Ketika belanda dikabulkan perkawinan sejenis, di itali engga.

 

Benny K. Harman (Ketua Panja RKUHP/F-Demokrat) :

Poinnya kita tidak bisa memutuskan disini, di atas, di panja. Kalo oke gini rumusannya, kalo ga oke gini rumusannya. Masing-masing partai ya silahkan saja. Jadi diatur berdasarkan batasan-batasan.

 

Taufiqulhadi (F-Nasdem) :

Misalnya di Luxemburg, perdana menteri bawa istrinya yang laki-laki. Sampai pada perkawinan, kita tidak menyetujui perkawinan.

 

Benny K. Harman (Ketua Panja RKUHP/F-Demokrat) :

Kalau perkawinan itu kan uu perkawinan tidak boleh perkawinan sesama jenis. Ini kan yang kita bahas tentang pidana. Udah kita bawa ke forum yang punya hak untuk memutuskan ya

 

  1. Zaky Siradj (F-Golkar) :

Termasuk yang alternatif tadi diputuskan di tingkat atas, Rapat Kerja. Kalau tidak setuju, hapus semua. Kalau setuju, ya masuklah itu.

 

Judi

  1. Pasal 505 dan Pasal 506

Prof. Enny Nurbaningsih (Kepala BPHN) :

jadi ini problemnya berkaitan dengan ijin. Jadi 505 ini sama dengan 303 ini diperbaiki,

Pasal 505

(1) Dipidana dengan pidana penjara  paling lama 9 (sembilan) tahun, setiap orang yang:

  1. menawarkan atau memberi kesempatan untuk main judi dan menjadikannya sebagai mata pencahariannya atau turut serta dalam perusahaan perjudian;
  2. menawarkan atau memberi kesempatan kepada umum untuk main judi atau turut serta dalam perusahaan perjudian, terlepas dari ada tidaknya suatu syarat atau tata cara yang harus dipenuhi untuk menggunakan kesempatan tersebut; atau
  3. menjadikan turut serta pada permainan judi sebagai mata pencaharian.

(2)    Jika pembuat tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) melakukan perbuatan tersebut dalam menjalankan profesinya, maka dapat dijatuhi pidana tambahan berupa pencabutan hak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 92 ayat (1) huruf g.

 

Pasal 506

Setiap orang yang menggunakan kesempatan main judi, dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun atau pidana denda paling banyak Kategori IV.

 

Pasal perjudian yang telah dirubah dengan UU 7/74 ini kalau ada ijin diperbolehkan. Kalau tidak ada ijin, dikriminalisasikan.

 

Ichsan Soelistio (F-PDIP) :

Daripada kita bersembunyi, ada ijin tertentu di wilayah tertentu.

 

Prof. Muladi

Termasuk victimless crime, pasal 363 KUHP itu barang siapa tanpa ijin, kecuali jaman ali sadikin. Ada gambling yang kemungkinan diijinkan. Sekalipun itu tanpa ijin itu dikemukakan, harus sangat ketat, dan perjudian liar itu yang dilarang.

 

Benny K. Harman (Ketua Panja RKUHP/F-Demokrat) :

Usulan 16 Januari 2018

  • Tidak dipidana perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dengan izin dari pejabat yang berwenang.

 

Prof. Muladi

Disertasi Dr. Aziz Syamsudin, mengusulkan perjudian berijin.

 

Prof. Harkristuti Harkrisnowo:

Living law yang kami maksudkan di pasal 2 itu kan ditujukan untuk mengkriminalisasi suatu perbuatan yang tidak dikriminalisasi disini. Jadi kalo nanti perdanya berizin ya gapapa, tapi dasarnya bukan living law.

 

Benny K. Harman (Ketua Panja RKUHP/F-Demokrat) :

Nah yang beda-beda gitu silahkan diberikan ke penguasa setempat.

 

Arsul Sani (F-PPP) :

Saya tidak sepakat dengan pejabat setempat, nanti bisa sendiri-sendiri pemerintah. Kalau mau konsisten ya pejabat yang berwenang berdasarkan peraturan perundang-undangan.

 

Taufiqulhadi (F-Nasdem) :

Menurut saya ini berbahaya sekali. Jangan dengan ijin, kalau dengan ijinnya itu harus ada radius dari tempat pemukiman.

 

Prof. Enny Nurbaningsih (Kepala BPHN) :

Memang “tanpa ijin” ini menjadi unsurnya.  Kalo yang kita rumuskan saat ini menjadi alasan pembenar. Kalau kita rumuskan setiap orang tanpa ijin itu lebih aman. Itu dia ancamannya 2 tahun 8 bulan.  Kalau kita pake delphy, perlu kita pikirkan.  Kondisi yang dulunya ringan , sekarang sangat berat itu gimana?  Pake delphy methode dimasukkan

 

Benny K. Harman (Ketua Panja RKUHP/F-Demokrat) :

Prinsipnya itu tanpa ijinnya. Dan kalau bisa dalam penjelasan ada mengenai ijin.

 

Prof. Enny Nurbaningsih (Kepala BPHN) :

Ini politik hukum kita bagaimana pak? Tadinya 2 tahun 8 bulan. UU yang baru, no. 7 itu 10 tahun pak. Walaupun kita ada delphy, gambaran pimpinan bagaimana.

 

Benny K. Harman (Ketua Panja RKUHP/F-Demokrat) :

9 tahun tanpa ijin itu udah berat itu merusak kehidupan sosial.

  1. ancaman pidana disesuaikan dengan pola pemidanaan pemerintah.
  2. Buat penjelasan siapa yang berhak memberikan izin?

 

Prof. Harkristuti Harkrisnowo:

Dalam pasal yang baru ini menawarkan atau memberikan kesempatan dan menjadikannya sebagai mata pencahariannya atau turut serta dalam perusahaan, jadi yang menjaga ga kena.

 

Prof. Enny Nurbaningsih (Kepala BPHN) :

Yang Pasal 506 itu tidak perlu lagi karena terkait dengan pasal 505

 

Benny K. Harman (Ketua Panja RKUHP/F-Demokrat) :

Ya ya ya

 

Prof. Enny Nurbaningsih (Kepala BPHN) :

Yang Pasal 469 ini “hidup terlalu boros” ini ukurannya apa? Hahahhaa

Perbuatan Merugikan dan Penipuan terhadap Kreditor

Pasal 649

Dipidana karena merugikan kreditor, dengan pidana  penjara  paling  lama  2 (dua) tahun atau pidana denda paling banyak Kategori III, jika pengusaha yang dinyatakan pailit atau yang diizinkan melepaskan harta bendanya menurut putusan pengadilan:

 

  1. hidup terlalu boros;

Benny K. Harman (Ketua Panja RKUHP/F-Demokrat) :

Memang ini masuk ke pending isu?

 

Prof. Harkristuti Harkrisnowo:

Tadi ada selentingan dari kawan TA. Tolak ukur boros ini apa?

 

Prof. Enny Nurbaningsih (Kepala BPHN) :

Ancaman hukum yang hidup ini yang berlaku dan menjadi ruang pengaturan dalam perda. Kalau itu sudah disepakati berarti yang selainnya udah bersih semua.

 

Prof. Harkristuti Harkrisnowo:

Hukum adat, ganti rugi gak boleh lebih dari 10 juta.

Prof. Enny Nurbaningsih (Kepala BPHN) :

Jadi prinsipnya pending issue krusial yang kita bahas, sudah . dan ini tinggal 1 issue, tinggal tindak pidana khusus. Gimana kita malam ini jam 19.00?

 

Benny K. Harman (Ketua Panja RKUHP/F-Demokrat) :

Dengan demikian, selesai malam ini, 19.30. Mulai minggu depan kita bawa ke panja. Dan isu-isu ini untuk mengakomodir pandangan tadi.

 

Ichsan Soelistio (F-PDIP) :

Maaf pimpinan, ini jadi mundur, terkait korporasi. Saya agak khawatir dengan frase “diluar struktur” . roh nya saya setuju Cuma tinggal kata-katanya ini.

 

Benny K. Harman (Ketua Panja RKUHP/F-Demokrat) :

Jadi saya skorskan hari ini, untuk merumuskan tindak pidana khusus atau tindak pidana tertentu, dan dilanjutkan 19.30. bahas tipsus dan ketentuan peralihan.

 

 

Sesi III

Benny K. Harman (Ketua Panja/F-Demokrat):

Sesuai dengan kesepakatan tadi sesi malam ini ada dua pokok, tentang tindak pidana khusus dan part mengenai peraturan peralihan, tadi malam kita sudah sepakat pemerintah yang akan membahas. Malam ini kita akan membahas hingga 10.30, ketuk palu, pemerintah silahkan menyampaikan concernnya

 

Prof. Enny (Tim Pemerintah):

terkait dengan tindak pidana khusus kami lakukan review karena kita sepakati adalah core crimenya sehingga terangkumlah hanya dalam bentuk dua pasal untuk hal itu. Kemudian yang kalau yang terkait dengan genocide dan kejahatan terhadap kemanusiaan itu sudah ada di dalam Undang-undang 26 dan itu kemudian sudah kita perbaiki beberapa perumusannya. Yang saya kira perlu segera ditampilkan ini adalah khusus terkait dengan korupsi saya kira. Karena korupsi ini sesuatu yang selama ini kita bahas agak rame gitu, jadi kami mohon yang tim anti korupsi, monggo Pak Huda menyampaikan yang hasil pembahasan kita tadi. Silahkan.

 

 

Chairul Huda:

Terima kasih saudara pimpinan yang saya hormati. Ada sejumlah delik yang dipandang masuk kualifikasi sebagai core crime tindak pidana korupsi polanya adalah hanya sekedar mengambil beberapa ketentuan yang ada di dalam undang-undang yang ada, dan meninggalkan beberapa ketentuan yang lain, tetap di dalam undang undang korupsi tanpa mengadakan perubahan-perubahan yang lebih mendasar karena nanti dikhawatirkan terjadi kontroversi baru, cuma mungkin nanti akan ada penyesuaian mengenai jumlah sanksi pidananya karena mengikuiti pola yang sedang dibangun. Yang pertama yang diusulkan oleh tim pemerintah berkenaan dengan menjadi core crime dan tindak pidana korupsi yang ada di dalam KUHP adalah eks atau yang diambil dari pasal 2 ayat 1 undang-undang tindak pidana  korupsi, ini disebut dengan tindak pidana korupsi berkaitan dengan perbuatan yang merugikan keuangan negara dan atau perekonomian negara. Tidak ada perubahan yang signifikan selain mengambil alih pasal tersebut dan juga tentunya pasangannya yg kedua adalah pasal 3 dari undang-undang korupsi yang ada, atau dalam draft itu pasal 688 di dalam ruu pasal 688, memang dalam diskusi tadi menjadi catatan adalah jumlah pidananya karena disini dalam undang-undang yang ada pasal 3 nya pidana lebih ringan daripada lebih berat dan khusus yang kemudian kemungkinan akan dibalik nanti. Jadi pasal 2 pasal 3 ini adalah yang mnenjadi core crime tindak pidana korupsi terkait dengan perbuatan yang merugikan bukan negara. Core crime yg berikutnya adalah tindak pidana penyuapan, tindak pidana korupsi dalam bentuk penyuapan, ini yg berasal dari pasal 5 undang-undang tindak pidana korupsi yg ada atau di dalam ruu pasal 690. Ini pun  diambil dan dipindahkan menjadi core crime yang dalam KUHP ini tanpa mengadakan perubahan-perubahan yang berarti karena memang aslinya penyuapan adalah core crimenya di pasal 5 ini, baik penyuapnya pesuap aktif maupun pesuap pasif, pesuap pasifnya dirumuskan di ayat 2 dari pasal ini. Lanjut, masih di dalam bagian tindak pidana korupsi berupa penyuapan adalah tindak pidana suap yang sekarang dirumuskan di pasal 13 uu tindak pidana korupsi yaitu atau pasal 701 di ruu KUHP. Perbedaan dengan ketentuan yang sebelumnya berasal dari pasal 5 adalah kalau tindak pidana suap dalam pasal 5 ini ada hubungan sebab akibat antara pemberiannya dengan tindakan yang harus dilakukan atau telah dilakukan penerima suap, sedangkan di dalam pasal 701 RUU KUHP atau pasal 13 uu tindak pidana korupsi ini tidak ada hubungan sebab-akibat itu, jadi memang pemberian hadiah atau janji itu hanya semata-mata mengingat atau berkenaan dengan jabatan atau kewenangan yang menerima, tanpa harus dia melakukan perbuatan tertentu yang bertentangan dengan kewajibannya dalam jabatannya. Pasangan pasal 701 atau pasal 13 uu tindak pidana korupsi adalah pasal 698 di ruu KUHP atau pasal 11 uu pidana korupsi ini untuk penerimanya, jadi nanti teknisnya terserah mau dijadikan ayat 1 ayat 2 juga bisa saja tapi ini semata-mata dihentikan dulu supaya kemudian nanti membuat aturan peradilannya lebih mudah kalau tinggal mencampur beberapa pasal yang sudah di sebutkan disitu. Selanjutnya adalah delik korupsi gratifikasi, ini juga kami berpandangan bahwa gratifikasi termasuk tindak pidana korupsi yang sifatnya core crime, tindak pidana gratifikasi ini berasal dari pasal 12 B besar, tindak pidana korupsi yang di dalam ruu pasal 699, ini juga nanti pasti tentu perlu penyesuaian mengenai ancaman pidananya. Lanjut, delik yang lain adalah delik korupsi yang berasal dari United Nation Convention Against Corruption ada 4 yang di rumusin disini, jadi tadi 6 delik berasal dari uu korupsi yg ada, dan 4 delik dari konvensi, yang pertama adalah delik memperkaya diri secara tidak sah, ini rumusan yang kita coba adopsi dari konvensi, setiap pegawai negeri atau pejabat negara yang memperkaya diri sendiri secara tidak sah dengan adanya pertambahan kekayaaan yang tidak dapat dijelaskan secara masuk akal berkaitan dengan pendapatan yang sah dipidana dan seterusnya. Dan juga ada beberapa alternatif dan alternatif yang lain adalah setiap pegawai negeri atau penyelenggara negara yang memperkaya diri secara tidak sah dengan adanya pertambahan kekayaan yang signifikan dan tidak wajar atau tidak sebanding dengan penghasilan atau dengan sumber penambahan kekayaan yang tidak dapat dibuktikan asal usul perolehannya secara sah dan diduga terkait dengan tidak pidana korupsi dipidana dengan pidana penjara dan seterusnya, jadi memang ada beberapa penambahan unsur dari alternatif ini. Yang selanjutnya ini catatannya sudah diatur dalam pasal 37A ayat 2 dan pasal 38B uu tipikor yang mewajibkan pembuktian terbalik yang kedua adalah apabila dirumuskan sendiri akan menyulitkan penegak hukum karena harus lebih dahulu membuktikan adanya tindak pidana korupsi, jadi kalau catatannya perumusan alternatif tadi memang lebih mendekati perumusan tppu ya, pencucian uang karena ada harus pembuktian hasil tindak pidana korupsi. Lanjut, ini berasal dari artikel 18 konvensi apa yang dikenal dengan  trading influence atau memperdagangkan pengaruh terdiri dari dua ayat yaitu orang yang menjanjikan, setiap orang yang menjanjikan, menawarkan, atau memberikan sesuatu atau suatu keuntungan yang tidak sah secara langsung atau tidak langsung  kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dengan maksud menyalahgunakan pengaruhnya, baik yang nyata maupun diduga dimilikinya dipidana dalam penjara, jadi ini adalah orang yg menggerakkan, orang yg mempunyai pengaruh untuk melakukan perbuatan penyalahgunaan pengaruh dalam beberapa kasus misalnya ini yang jadi perantara dan sebagainya. Lalu bagi pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima janji tawaran atau pemberian sesuatu atau suatu keuntungan yang tidak semestinya secara langsung atau tidak langsung untuk menyalahgunakan pengaruhnya baik yang nyata maupun yang diduga dimilikinya sebagaimana tersebut dalam ayat 1, ini untuk pejabatnya. Jadi tindak pidana memperdagangkan pengaruh ini adalah orang yg menggerakkan ada juga yang pejabat yang kemudian menyalahgunakan pengaruhnya tersebut. Ini berasal dari konvensi pasal 18, artikel 18. Lalu ini juga berasal dari konvensi pasal 16 artikel 16 penyuapan pejabat publik asing, ini baru pertama kali, belum pernah ada diterapkan, kalau memperdagangkan pengaruh sekarang sudah cukup banyak sebenarnya diterapkan pasal suap, ini juga sama cuma bedanya subjeknya  penyuapan pada dasarnya penyuapan tetapi perbedaannya pertama adalah subjeknya yaitu pemberinya setiap orang secara langsung atau tidak langsung menjanjikan menawarkan memberikan sesuatu atau suatu keuntungan yang tidak sah kepada pejabat publik asing atau seorang pejabat suatu organisasi internasional publik dengan maksud supaya pejabat itu berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam jabatannya untuk memperoleh atau mempertahankan usaha atau bisnis atau keuntungan lain yang tidak sah dalam usaha atau bisnis internasional. Jadi memang dimaksudkan agar lebih terkait dengan bisnis crime dalam rangka untuk mempertahankan atau memperoleh hubungan-hubungan bisnis. Subjek penerimanya adalah pejabat publik asing, perbuatannya sama tapi ini pejabat publik asing, tentu nanti di dalam definisi di buku satu harus ditambahkan apa yang dimaksud dengan pejabat publik asing, dan juga organisasi internasional dan seterusnya itu nanti tentu harus ditambahkan supaya tidak menimbulkan masalah di dalam penerapannya. Lanjut terakhir adalah penyuapan di sektor swasta, ini juga berasal dari UNCAC artikel 21, ada dua pasal penyuap itu selalu berpasangan delik pernyataan mutlak perlu, jadi selalu ada pemberi dan ada penerima. Nah ini alternatif yang disusun dari rumusan asli adalah rumusan terjemahan dari konvensi ini yang ditambahkan dipidana dalam pidana yang sama dengan ayat 1 setiap orang yang mengelola atau bekerja di sektor swasta dalam bidang ekonomi keuangan atau komersial yang secara langsung atau tidak langsung menjanjikan, menawarkan, atau memberi keuntungan yang tidak sah kepada seseorang yang memimpin atau bekerja pada suatu badan sektor swasta agar melakukan atau tidak melakukan sesuatu yang  bertentangan dengan kewajibannya, b secara langsung atau tidak langsung menerima janji, tawaran atau pemberian keuntungan yang tidak sah sebagaimana yang dimaksud dalam huruf a, jadi ini penyuapan di sektor swasta ini juga baru dan ada dalam konvensi walaupun tidak wajib sifatnya. Lanjut, begitu saja Bapak dan Ibu sekalian. Bapak pimpinan, jadi ada 9 core crime tindak pidana korupsi walaupun satu pasal itu ada dua ayat jadi kalau dijumlah sebenarnya lebih, karena kalau suap ada dua jadi kalau dihitung ya lebih dari itu, yan paling penting cuma intinya adalah tindak pidana korupsi yang berupa perbuatan kerugian keuangan negara, suap, gratifikasi, suap pejabat internasional, pejabat publik asing, memperdagangkan pengaruh, dan  penyuapan di sektor swasta itulah yang menjadi core crime, sedangkan sisanya jadi misalnya ada penyuapan hakim, itu tetap di uu korupsi karena sifatnya spesialis, yang khusus karena ada pemberatan juga. Atau misalnya pemerasan dalam jabatan itu juga tetap dipertahankan dalam uu korupsi juga penggelapan barang dan atau jabatan itu juga atau pemalsuan buku-buku yang diperuntukkan untuk pembuktian laporan keuangan itu juga tetap di dalam uu korupsi. Jadi memang ini yang inti-inti saja sedangkan yang merupakan turunan-turunan deliknya itu ada di dalam uu korupsi. Saya kira itu bapak pimpinan, terima kasih.

 

Prof. Enny Nurbangsih (Kepala BPHN):

Selanjutnya adalah yang HAM, jadi yang tindak pidana yang berat terhadap HAM. Sebetulnya sudah dibahas dan sudah diperbaiki juga di dalam timus timsin terkait dengan genocide ini kita sepakati. Kemudian yang tindak pidana terhadap kemanusiaan juga sudah disepakati juga, hanya yang memang belum masuk di dalam hukum nasional kita adalah terkait dengan war crime atau terhadap masa perang atau konflik bersenjata dan agresi. Semula ini banyak sekali pasalnya dan panjang rumusan setiap normanya oleh prof. muladi dibuatkan lebih simpel artinya core yang diambil disitu sehingga untuk yang terkait dengan war crime ini dipidana dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 5 tahun dan paling lama 20 tahun, setiap orang yang pada masa konflik bersenjata melakukan perbuatan pelanggaran berat terhadap orang atau harta kekayaan berupa, a) pembunuhan yang dilakukan dengan sengaja, b) penyiksaan, c) mengingkari proses peradilan yang adil, kemudian melakukan deportasi atau pengusiran, e) melakukan perampasan kemerdekaan, f) melakukan penyanderaan, g) penyerangan terhadap penduduk sipil, h) penyerangan personil atau objek yang terllibat dalam bantuan kemanusiaan atau misi perdamaian, i) penyeraangan secara berlebihan menimbulkan kematian luka-luka atau kerusakan, j) penyerangan tempat-tempat yang hendak dipertahankan, k) membunuh atau melukai  orang orang yang tidak lagi terlibat dalam peperangan, l) penggunaan secara tidak benar bendera dan lencata atau senjata, m) penggunaan secara tidak benar bendera lencana atau pakaian seragam dari pihak yang bermusuhan, n) penggunaan secara tidak benar bendera lencana atau pakaian seragam PBB, o) penggunaan secara tidak benar lambang khas dari konvensi jenewa, p) pemindahan penduduk sipil langsung atau tidak langsung oleh kekuatan digantikan penduduk sendiri terhadap wilayah kependudukan, kemudian q) melakukan penyerangan terhadap objek-objek yang dilindungi, r) melakukan mutilasi, s) melakukan eksperimen medis atau ilmiah terhadap orang, t) melakukan pembunuhan atau menipu orang yang didakwa pengkhianat, u) menyatakan tidak akan ada yang selamat untuk menakut-nakuti musuh, v) merusak atau merampas harta atau hak milik musuh, w) secara paksa melibatkan orang-orang sipil dalam operasi militer, x) perampokan harta pribadi, y) menggunakan racun atau senjata beracun, z) menggunakan gas cairan kimia yang dilarang, kemudian dobel a, menggunakan peluru yang dilarang, bb) menggunakan senjata atau proyektil atau material serta cara perang yang dilarang, cc) menghina martabat pribadi, dd) perkosaan, ee) perbudakan seksual, ff) prostitusi paksa, gg) penghamilan paksa, hh) sterilisasi paksa, ii) kekerasan seksual, jj) menggunakan orang lain yang dilindungi sebagai pelindung dalam perang, kk) penyerangan objek atau orang-orang dengan menggunakan lencana-lencana konvensi jenewa, ll) menimbulkan kelaparan sebagai cara perang, mm) melakukan wajib militer terhadap anak-anak, nn) perlakuan kejam, serta oo) penghukuman atau eksekusi tanpa proses hukum yang adil. Sementara itu tentang tindak pidana agresi ini ditetapkan sebagai berikut: dipidana dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling lama 20 tahun atau paling singkat 5 tahun karena tindak pidana agresi yaitu setiap orang dalam posisi efektif untuk mengendalikan atau memerintahkan secara langsung politik atau tindakan militer suatu negara, merencanakan, mempersiapkan, memprakarsai atau mengeksekusi tindakan agresi yaitu perbuatan menggunakan kekuatan bersenjata suatu negara terhadap kedaulatan integritas wilayah atau kemerdekaan politik negara lain baik dengan atau tanpa pernyataan perang berupa a) invasi atau serangan oleh kekuatan bersenjata dari suatu negara terhadap wilayah atau sebagian wilayah negara lain atau suatu bentukan militer atau aneksasi sekalipun sementara, b) pengeboman oleh kekuatan bersenjata dari suatu negara terhadap wilayah negara lain, c) blokade pelabuhan-pelabuhan atau wilayah pantai dari suatau negara oleh kekuatan bersenjata negara lain, d) suatu serangan oleh kekuatan bersenjata suatu negara terhadap kekuatan darat, laut atau armada laut, atau udara negara lain, e) pengguanaan kekuatan bersenjata dari suatu negara yang berada dalam wilayah negara lain berdasarkan perjanjian dengan negara tersebut bertentangan dengan syarat-syarat yang tercantum dalam perjanjian atau merupakan suatu perluasan dari keberadaannya dalam wilayah tersebut diluar penghentian perjanjian tersebut, f) tindakan dari suatu negara yang mengijinkan wilayahnya untuk digunakan oleh negara lain untuk melakukan suatu tindakan agresi terhadap negara ketiga, g) pengiriman atas nama suatu negara satu satuan atau kelompok-kelompok bersenjata tidak resmi atau tentara bayaran yang melakukan tindakan dalam kekuatan bersenjata suatu negara lain yang kegawatannya sesuai dengan perbuatan-perbuatan diatas atau keterlibatannya secara substansial sesuai dengan yang ada di dalamnya. Rumusan dua pasal ini memang belum melibatkan alih bahasa karena direformasi oleh Prof. Muladi baru selesai tadi siang, pas setelah makan siang. Kemudian terkait dengan tindak pidana terorisme juga ditarik core-nya hanya 3 pasal saja, pasal ini ada dalam UU pemberantasan tindak pidana terorisme, yaitu setiap orang yang dengan sengaja menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan yang ini kebetulan dengan sengajanya ini nanti kami sesuaikan karena di dalam UU yang lama masih ada, kemudian yang a) menimbulkan suasana teror atau rasa takut terhadap orang secara meluas, b) menimbulkan korban secara massal, merampas kemerdekaan atau hilangnya nyawa dan harta benda orang lain, dan atau c) mengakibatkan kerusakan atau kehancuran terhadap objek vital yang strategis, lingkungan hidup, fasilitas publik dan atau fasilitas militer nasional dipidana dengan pidana mati, penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 tahun dan paling lama 21 tahun, kemudian pasal berikutnya setiap orang yang dengan sengaja menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan bermaksud untuk menimbulkan suasana teror atau rasa takut terhadap orang  secara meluas atau menimbulkan korban yang bersifat massal dengan cara merampas kemerdekaan atau hilangnya nyawa atau harta benda orang lain atau untuk menimbulkan kerusakan atau kehancuran tehadap objek vital yang strategis atau lingkungan hidup, atau fasiltas publik, atau fasilitas militer nasional dipidana dengan pidana penjara paling lama seumur hidup, kemudian ini terkait dengan core dari pendanaan terorisme, setiap orang yang menyediakan, mengumpulkan, atau meminjamkan dana baik langsung maupun tidak langsung dengan maksud agar digunakan seluruhnya atau sebagian untu melakukan tindak pidana terorisme, organisasi teroris atau teroris dipidana karena melakukan tindak pidana, pendanaan tsb dengan pidana penjara paling lama 15 tahun, dan pidana denda paling banyak kategori 4. Ini tadi sudah disampaikan kemudian yang terkait dengan tindak pidana pencucian uang ini formnya ada 3 pasal kalau 3 pasal ini kemudian diambil UU pencucian uang harus pikirkan bahwa itu nanti akan dicabut semua ketentuan pidananya karena pidananya hanya 3 pasal dalam UU pencucian uang sehingga masuk kesini dan ada penyesuaian terkait dengan ancamannya, saya kira. Jadi ini pasalnya adalah dari pasal 760 yaitu setiap orang yang menempatkan, mentransfer, mengalihkan, membelanjakan, membayarkan, menghibahkan,  menitipkan, membawa ke luar negeri, mengubah bentuk, menukarkan dengan mata uang atau surat berharga atau perbuatan lain atas harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduga merupakan hasil tindak pidana dengan tujuan menyembunyikan atau menyamarkan asal-usul harta kekayaan yg dipidanakan karena tindak pencucian uang dengan pidana penjara paling lama 15 tahun dan denda paling banyak kategori 6, tindak pidana sebagaimana yang dimaksud pada satu diatas, a) korupsi, b) penyuapan, c) narkotika, d) psikotropika, e) penyelundupan tenaga kerja, f) penyelundupan imigran, g) di bidang perbankan, kemudian di bidang pasar modal, di bidang perasuransian, kepabean, cukai, perdagangan orang, perdagangan senjata gelap, terorisme, penculikan, pencurian, penggelapan, penipuan, pemalsuan uang, perjudian, prostitusi, kemudian di bidang perpajakan, di bidang kehutanan, di bidang lingkungan hidup, di bidang kelautan dan perikanan atau tindak pidana lain yang diancam dengan pidana penjara 4 tahun atau lebih, yang dilakukan di wilayah negara kesatuan Republik Indonesia atau di luar wilayah negara kesatuan Republik Indonesia, dan tindak pidana tersebut juga merupakan tindak pidana menurut hukum Indonesia. Kemudian pasal berikutnya setiap orang yang menyembunyikan atau menyamarkan asal-usul sumber lokasi peruntukkan pengalihan hak-hak atau kepemilikan yang sebenarnya atas harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduga merupakan hasil tindak pidana, di pidana karena tindak pidana pencucian uang dengan pidana penjara paling lama 15 tahun dan denda paling banyak kategori 6, kemudian yang terakhir setiap orang yang menerima atau menguasai penempatan, pentransferan, pembayaran, hibah, penitipan, penukaran, atau menggunakan harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduga merupakan hasil tindak pidana, di pidana dengan pidana penjara paling lama 5 tahun, dan denda paling banyak kategori 4. Ayat berikutnya, ayat dua ketentuan sebagaimana yang dimaksud bait satu tidak berlaku bagi pihak pelapor yang melaksanakan kewajiban pelaporan sebagaimana yang diatur dalam UU tentang pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang, jadi masih ada satu lagi yaitu terkait dengan tindak pidana narkotika. Untuk tindak pidana narkotika ini mohon ijin pimpinan ini karena ini hampir sama banyaknya dengan yg ada karena ini bicara penggolongan, jadi agak susah kita mengambil core-nya hanya dua atau empat pasal karena ada golongan satu sampai golongan empat, oleh karena itu hampir semuanya merupakan core jadi hampir sama dengan yang sudah dirumuskan tedahulu  ini tidak saya bacakan, sementara untuk golongan yang pernah kita diskusikan panjang lebar ini pada waktu rapat panja beberapa waktu lalu nanti penggolongannya dimasukkan dalam penjelasan, itu diatur dalam ketentuan perundang-undangan. Jadi kebetulan bersama dengan ini kami juga sedang menyiapkan perubahan bahkan pencabutan kemungkinan besar undang-undang narkotika dan psikotropika. Demikian pimpinan. Terima kasih.

 

Benny K. Harman (Ketua Panja/F-Demokrat):

Yang narkotika sama psikotropika, diambil saja yang poin poin yang bisa diambil.  Kita akan bahas satu persatu. Kita mulai dengan tindak pidana korupsi.

 

Taufiqulhadi (F-Nasdem):

Sebelum mungkin masuk kesana, saya akan bertanya sedikit. Kenapa tiba-tiba muncul konsen core crime. Karena dalam wacana kita sebelumnya itu cukup menjadi catatan saja. Jadi kemudian itu memperumit sendiri, seperti misalnya kita berhadapan dengan undang-undang narkotika kan tidak ada corenya, itu core semua malah, saya ingin tau sedikit alasan kenapa itu muncul konsep penggunaan core ini.

 

Prof. Enny (Tim Pemerintah):

Ini memang kemarin kan sudah disampaikan ada 3 pola pak, kalau kita mau menentukan untuk tindak pidana khusus. Apakah pola itu terkait dengan sifatnya braging. Jadi braging ini dia hanya menyebutkan umum tindak pidananya, tapi ancamannya tidak dimasukkan, jadi ancamannya nanti merujuk pada undang undang khususnya ,tetapi persoalannya adalah kalau ini melekat di buku 2, sementara buku dua itu kita bicara terkait dengan subjeknya, kemudian perbuatannya dan saksinya, saksinya disitu pertanggung jawabannya jadi itu yang kemudian agak kerepotan apakah kita akan bikin buku yang lain kalua itu kan agak susah juga kan kita, kemudian alternative ke dua ini muncul sebaiknya memang harus core crime nya saja supaya tidak resisten juga, la ini yang kemudian kalua kita bicara core crime sebetulnya akhirnya, ini hampir sama dengan yang sebelumnya hanya disempurnakan, disempurnakan artinya yang pendapat dari dia tu adalah cornya atau yang utamanya pokoknya dari tindak pidana khusus itu sehingga tadi banyak berubah itu adalah pada terkait dengan HAM berat itu yang paling banyak perubahan, karna kalua HAM berat kita lihat terkait apa namanya genoceide eh bukan world crime dan kemudian agresi itu memang kalau itu statuta roma kita lihat, banyak sekali panjang sekali ya ini kemudian diambil cord nya yang apa namanya sudah bisa mewakili disitu walaupun nanti kedapannya kalua ada nanti perubahan UU 26 kita lengkapi disitu walaupun tidak ini sudah mencukupi untuk kemudian melihat corenya dari statuta roma yang ketiga ini yang lebih radikal artinya kita tarik semuanya, apalagi ni smuanya kita tarik kita masukan kesini ya berarti disana harus semuanya tidak ada lagi terkait dengan kepidanaannya ini saya kira sangat resisten sekali kalau mungkin di munculkan jadi kita sudah coba membuat dengan tiga alternative sehingga pilihannya adalah yang warna kuning ini adalah core crime nya jadi sebetulnya ini juga hampir sama dengan yang dulu pak topik kok corenya cuma yang kemarin itu, sehingga di ulangi – di ulangi lagi ketemulah rumusan yang saya tadi bacakan terimakasih.

 

Benny K. Harman (Ketua Panja/F-Demokrat):

Ok pak taufik itu tadi malah penjelasan yang sudah disampaikan oleh pemerintah jadi kita lanjutkan ke mulai dengan, jadi bab tentang kitab pidana khusus ini adalah bab terakhir dari buku dua sebelum bab tentang peralihan, ok kita mulai dengan kitab pidana khusus kitab pidana korupsi jadikan tinggal di sesuaikan pasalnya, urutannya kaya apa, apakah kita tulis bab tindak pidana khusus, tidak pidana khusus saja? khusus menuju kepada kekhususan kasus the case,  lalu bagian besar, urutannya gimana.

 

Prof. Enny Nurbangsih (Kepala BPHN):

Urutannya adalah yang pertama ini adalah terkait dengan HAM dulu, terorisme, kemudian korupsi, tindak pidana pencucian uang, kemudian narkotika dan psitropika

 

Benny K. Harman (Ketua Panja/F-Demokrat):

Yang terakhir narkotika dan psikotropika, ok, kalau kitab pidana perbankan bukan tindak pidana khusus

 

Prof. Harkristuti Harkrisnowo (Tim Pemerintah):

Oh bukan, administrative pak

 

Benny K. Harman (Ketua Panja/F-Demokrat):

Biasa saja, OK

 

Prof. Enny (Tim Pemerintah):

Kita kan sudah pernah diskusi, apa sih parameternya untuk menetapkan tindak pidana khusus itu jadi parameternya sudah pernah diskusikan panjang lebar pada waktu itu pak, nanti kita masukan dalam penjalasan nanti pak

 

Benny K. Harman (Ketua Panja/F-Demokrat):

nanti di bagian penjelasan umum , dan penjelasan, penjelasan umum OK kita lanjutkan di BAB Kitab pidana khusus bagian kesatu tindak pidana, genocida.

 

Prof. Harkristuti Harkrisnowo (Tim Pemerintah):

Tindak pidana berat HAM.

 

Benny K. Harman (Ketua Panja/F-Demokrat:

Waktu itu kan ada yang tidak setuju kalau namanya tindak pidana pelanggaran HAM, tindak pidana genocida ya, ok tindak pidana, OK setuju ya urutan, lanjut bagian kesatu, tindak pidana, namanya apa? Genosida, oke itu kan tindak pidana genosida tidak usah lagi pidana berat terhadap HAM. Itu dulu oke ya, ketok palu. Lalu bagian kesatu paragraf satu tindak pidana genosida, setujui ok, ok, pasal nanti sesuaikan, ini kan kita sudah sepakat, pasal ayat 1, Ok sudah dipidana dengan dipidana mati atau seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 5 tahun, ini sesuaikan dengan metode yang semalam. Ketok palu, jadi jangan lupa penjelasan dibawah ini, dimasukin, kemudian ayat 2 juga sudah setujui, selanjutnya paragraf dua.

 

Prof. Harkristuti Harkrisnowo (Tim Pemerintah):

Izin pimpinan mungkin gak perlu paragraph karna isinya ada 4 pasal kan, masa satu paragraf satu pasal.

 

Benny K. Harman (Ketua Panja/F-Demokrat):

Kalau begitu gak usah pakai, bagaimana bisa membedakan hak asasi manusia berat, menurut saya judulnya genocida itu, dibawahnya itu atau pelanggaran HAM Berat katankanlah.

 

Ichsan Soelistio (F-PDIP):

Kalau undang-undang 26 itu kan B1, genosida, itukan ngambilnya dari statuta roma kan.

 

Prof. Harkristuti Harkrisnowo (Tim Pemerintah):

Izin pimpinan hanya di coret kata paragrafnya saja jadi babnya tetap dan bagiannya adalah tindak pidana berat terhadap HAM jadi inikan judul bab khusus dalam KUHP tentang tindak pidana khusus bagian kesatu adalah tindak pidana terhadap HAM isinya adalah genosida, kejahatan terhadap kemanusiaan, kejahatan perang, dan agresi 4 pasal, jadi paragraph kata paragrapnya mungkin tidak diperlukan langsung kepasalnya saja, tapi judul pasalnya tetap ada, kan paragrafnya jadi pasal. Padahal itu menarik sekali. Sebenarnya bisa kalau kita mau

 

Benny K. Harman (Ketua Panja/F-Demokrat):

memang lucu si bagi saya

 

Prof. Harkristuti Harkrisnowo (Tim Pemerintah):

Paragraf satu pasal jadi bagian 4 pasal 4 paragraf

 

Benny K. Harman (Ketua Panja/F-Demokrat):

Coba ahli bahasa jelaskan lah, mas ahli bahasa maksudnya apa ini. Ada manfaatnya gak itu kita tulis begitu, kalau gak ada manfaatnya kita buang, ya.

 

Ahli bahasa:

Kalau pasal ndak boleh.

 

Prof. Harkristuti Harkrisnowo (Tim Pemerintah):

Dipidana karena, kalau dipidana karena melakukan tindak pidana genosida.

 

Benny K. Harman (Ketua Panja/F-Demokrat):

Langsung saya kalau begitu, Langsung setiap orang yang melakukan tindak pidana genosida dengan maksud menghancurkan atau memusnahkan seluruh, setiap orang yang melakukan tindak pidana genosida dengan maksud.

 

Prof. Harkristuti Harkrisnowo (Tim Pemerintah):

Ada alternative lain pimpinan boleh kami bawah jadi ini tetap, pasal yang sama itu genosida naik ini ayat dua , ini ayat satu, boleh ayat satu, di pidana karna melakukan tindak pidana genosida, dengan jadi genosidanya di belakang kalau didepan maka dipidana karna melakukan tindak pidana melakukan tindak pidana genosida koma setiap orang yang, jadi mulai dengan pidana yang ini agak protes sama ahli Bahasa, jadi kalau tindak pidana nama tindak pidananya atau kualifikasinya diatas.

 

Benny K. Harman (Ketua Panja/F-Demokrat):

Jd setiap orang yang melakukan tindak pidana genosida, genosida itu adalah tindak pidana memusnahkan seluruh manusia etnis, harus begitu tulisannya, setiap orang yang melakukan tindak pidana genosida untuk menghancurkan atau memusnahkan seluruhnya, harus begitu, jadi ini memang kan bukan tulisan setiap orang yang dengan maksud, tindak pidanaya menghapuskan sebuah kelompok tersebut.

 

Prof. Harkristuti Harkrisnowo (Tim Pemerintah):

Jadi di ujungnya itu dipidana karna melakukan genosida dengan pidana blablabla, jadi kuanfikasinya ada di belakang karna rumusnya didepan sama bab pencurian, pencurian begitu setiap orang mengambil barang orang lain sebagian atau sebelumnya dipidana karna pencurian, biasanya begitu pak, Cuma satu pak, coba alternative dipidana karna genosida, pakai tidak pidana gak?, jadi izin pimpinan salah satu alternatifnya seperti ini di pidana karena genosida dengan pidana, nanti namanya harus begitu,

 

Benny K. Harman (Ketua Panja/F-Demokrat):

Di pengertian ada gak, genosida, tindak pidana genosida adalah.

 

Prof. Harkristuti Harkrisnowo (Tim Pemerintah):

kita memakainya dipidana karna melakukan genosida setiap orang yang, tp td ahli bahasanya complain

 

Benny K. Harman (Ketua Panja/F-Demokrat:

Coba ahli Bahasa tolong putuskan ini…

 

Prof. Enny (Tim Pemerintah):

Izin pimpinan, karna yang di pertanyakan ibu tuti sebetulnya apakah ia boleh satu paragraf satu pasal itu isinya boleh. gak ada masalah bahkan satu bab satu pasal pun boleh

 

Benny K. Harman (Ketua Panja/F-Demokrat):

itu dianggap tidak penting tapi isinya ini yang kita bahas, jadi segi yang melakukan perbuatan A-E dan di pidana dengan pidana.

 

Prof. Harkristuti Harkrisnowo (Tim Pemerintah):

jadi ujungnya di pidana karna bisa genosida bisa tindak pidana genosida, dengan pidana mati

 

Benny K. Harman (Ketua Panja/F-Demokrat):

Jadi kan begini aja. Setiap orang yang melakukan tindak pidana genosida di pidana dengan ini ini ini, ayat 1. Yang kedua tindak pidana genosida sebagaimana disebut ayat 1 adalah ini ini a-e, sehingga urut begitu, coba pake logika aja dulu.

 

Prof. Harkristuti Harkrisnowo (Tim Pemerintah):

Pak ahli bahasa silahkan

 

Bapak Ahli Bahasa:

bisa dijadikan dua seperti yang disarankan ketua, bisa juga satu ini tetapi dengan catatan dipidana dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 5 taun dan paling lama itu karena melakukan genosida. Jadi yang pertama itu bisa terus yg kedua seperti ini hanya setelah tahun itu ditambah karena melakukan genosida, itu jg bisa.

 

Benny K. Harman (Ketua Panja/F-Demokrat):

Lalu genosida itu dimana, A-E dimana

 

Prof. Harkristuti Harkrisnowo (Tim Pemerintah):

perumusannya pak, yg dari A sampai E

 

Bapak Ahli Bahasa:

Yang A sampai E itu kan termasuk genosida, lalu ditutup dengan dibawah itu, jd setiap orang yang itu sampai ABC, lalu dipidana dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup, atau pidana paling singkat 5 tahun dan paling lama 20 tahun karena melakukan genosida. Begitu.

 

Benny K. Harman (Ketua Panja/F-Demokrat):

Coba di bagi dua, Saya usulkan setiap orang yang melakukan tindak pidana genosida, di pidana dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup dan seterusnya. Jadi setiap orang yang melakukan tindak pidana genosida dipidana dengan pidana mati dan seterusnya. Ayat 2. Dua nya, masuk tindak pidana genosida yang dimaksud ayat 1 adalah ABCDE dengan maksud menghancurkan dan memusnahkan dan seterusnya coba dulu pak. Jadi ayat 1 kan setiap orang yang melakukan tindak pidana genosida dipidana dengan pidana mati dan seterusnya. Ayat ke-2 kita menjelaskan yang masuk dalam kelompok tindak pidana genosida itu apa itulah yg dijelaskan dalam ayat 2. Tindak pidana genosida sebagaimana yg dimaksud pada ayat 1 adalah perbuatan ABCDE dengan maksud menghancurkan atau memusnahkan seluruh. Adalah perbuatan, ABCDE dengan maksud menghancurkan, ini bahasa indonesia bukan dengan bahasa hukum. Tindak pidana genosida adalah perbuatan, dengan maksud. Kan gitu. Kalau mau pecah dua, rumusan hukumnya kaya apa. Jadi ada tindak pidana genosida, bisa juga dua jadi satu, bisa juga kalau mau, bisa juga ayat 1 tindak pidana genosida perbuatan dengan maksud ini ini, ayat 2 nya tindak pidana dengan maksud ini ini, lalu setiap orang yang melakukan itu dipisah.

 

Prof. Harkristuti Harkrisnowo (Tim Pemerintah):

Itu tidak bisa dipotong gitu loh

 

Benny K. Harman (Ketua Panja/F-Demokrat):

Jadi ayat 1 kan dengan tindak pidana genosida dituntut dengan hukum mati dan seterusnya, ayat 2 kita harus jelaskan apa yang masuk dalam tindak pidana genosida itu apa, itulah yang kita jelaskan di ayat 2, genosida sebagaimana yang dimaksud pada ayat satu adalah ABCDE dengan maksud memusnahkan dan menghancurkan dan seterusnya. Masuk akal kan yah. Lebih jelas kan ini. Yang saya usulkan ini dengan gampang dipahami. Setiap orang yang melakukan yg melakukan tindak pidana genosida yaitu perbuatan ABCDE dengan maksud ini ini. Dipidana dengan itu, kalau mau disatukan.

 

Yudi Jaksa:

Kalau jaksa mendakwakan berarti dua ayat. Kalau jaksa mendakwakan dua ayat, karena diatas itu bukan unsur tapi disebut genosida. Unsurnya kan ada di ayat 2. Kalau dipecah seperti itu.

 

Benny K. Harman (Ketua Panja/F-Demokrat):

Tidak masalah. Tapi kalau sama, tidak berarti dipecahkan itu tidak masuk dong, ini kan penjelasan pak, kalau ibu Tuti menjelaskan ini satu itu norma explanando, ayat dua ini norma expalanas, jadi norma yang menjelaskan norma ayat 1. Ayat 1 kan dijelaskan oleh dua begitu kan.

 

Prof. Harkristuti Harkrisnowo (Tim Pemerintah):

Maksudnya pak Yudi itu pak dalam penegakan hukum kan mereka harus membuktikan unsurnya, ada di ayat 2, sanksinya ada di ayat 1, jadi keduanya harus dimasukkan, kenapa gak jadi satu aja gitu untuk memudahkan, gitu aja. Boleh kembali ke awal yang tadi. Ini coba itu yang dibuang itu dibuang dulu deh. Yang ada di pidana.

 

Benny K. Harman (Ketua Panja/F-Demokrat):

Saya usulkan begini yah. Mau disatukan itu tadi. Saya coba satukan. Jadi, Setiap orang yang melakukan tindak pidana genosida dengan maksud terpisah karena satu ciri itu dengan maksud. Bisa nggak kalau dalam bahasa hukum begini, setiap orang yang dengan maksud melakukan tindak pidana genosida yaitu melakukan perbuatan pembunuhan yaitu membunuh anggota B yang mengakibatkan BD, bisa nggak?

 

Prof. Harkristuti Harkrisnowo (Tim Pemerintah):

Memang tidak biasa Pak, tapi kalau kembali ke yang agak passion orisinil, original, Kentucky Originial. Nah ini, jadi ini kan setiap orang yang dengan maksud menghancurkan atau memusnahkan seluruh atau sebagian dengan melakukan perbuatan A-E dipidana karena genosida dengan pidana mati.

Benny K. Harman (Ketua Panja/F-Demokrat):

Sama lagi, nggak usah lagi pakai kata genosidanya. Kan genosida itu A B C D E juga bagian genosida.

 

Prof. Harkristuti Harkrisnowo (Tim Pemerintah):

Ya dikasih nama kan Pak, kalau nggak, orang nggak tahu kalau ini genosida.

 

Yudi Jaksa:

Berarti namanya di paragraph saja, walaupun itu cuman satu pasal. Kalu di UU nomor 26 yang terjadi itu adalah caranya.

 

Taufik DPR:

Genosida itu memangnya harus ada?

 

Yudi Jaksa:

Unsur dengan maksudnya ada, yang A sampai E dalam UU nomor 26 itu cara, cara untuk mencapai maksud itu.

 

Benny K. Harman (Ketua Panja/F-Demokrat):

Emang benar, tercampur aduk, ada yang tindakannya, ada akibat dari tindakannya, ada cara untuk mencapainya. Gamau dia di pecah.

 

Prof. Harkristuti Harkrisnowo (Tim Pemerintah):

Ini jadi semuanya adalah kata kerja, membunuh, mengakibatkan, menciptakan, memaksakan, memindahkan. Ini jadi ada agreement of sentence nya memang rumusannya dari statuta roma, element of crimenya memang seperti itu.

 

Benny K. Harman (Ketua Panja/F-Demokrat):

Ya kan begini bu, kalau misalnya, dengan melakukan perbuatan mengakibatkan penderitaan fisik atau mental berat terhadap anggota, tapi apa perbuatan itu, tidak disebut.

 

Prof. Harkristuti Harkrisnowo (Tim Pemerintah):

Alternatifnya tadi adalagi, dipidana karena genosida setiap orang yang, udah. Boleh nggak dipidana coba diatas lagi. Langsung dipidana karena genosida, yang atas, paling atas lagi, dimasukkan karena inversi tertentu.

 

Benny K. Harman (Ketua Panja/F-Demokrat):

Jadi, dipidana karena melakukan tindak pidana genosida, setiap orang yang dengan maksud menghancurkan atau memusnahkan itu melakukan, itu boleh. Jadi benar, nah ini lebih baik daripada kita debat akhir kalimat tadi. Bukan manis pak, sama kayak yang tadi. OK? Jelas? Hapus yang lain lagi, ini aja yang dibuat. Malam ini kita. Oke.

 

Prof. Marcus:

Nah begitu harus dipakai untuk semuanya. Yang ini yang khusus pelanggaran ham berat.

 

Benny K. Harman (Ketua Panja/F-Demokrat):

Kalau bisa semuanya.

 

Prof. Enny (Tim Pemerintah):

Izin pimpinan, ini kan model inversi artinya predikat baru subjek. Artinya kita jadi piihan yang konsisten, apakah seluruh pasal membuat arah yang kesana.

 

Benny K. Harman (Ketua Panja/F-Demokrat):

Kalau kita ini kan yang penting, mana yang mau ditekankan jadi fokus. Bisa setiap orang, bisa yang tepat.

 

Prof. Enny (Tim Pemerintah):

Jadi kami punya pola pimpinan, Polanya adalah kalau yang model begini kan nanti ada model tabulasi. Tabulasi itu kami menekankannya pada model inversi, Jadi predikat kemudian subjek, tetapi kalau dia tunggal bisa langsung setiap orang. Tapi konsisten nanti semuanya.

 

Benny K. Harman (Ketua Panja/F-Demokrat):

Kalau mau pakai gitu kan berarti setiap orang yang melakukan tindak pidana genosida seperti membunuh atau da kelompok tersebut, perbuatan yang mengakibatkan itu bisa, tapi kenapa, kalau saya lebih senang yang ini, ini soal rasa bahasa pak. Ok? Lanjut Ketok palu, dipidana dengan pidana yang sama.  Ini pasal 55 yang lama ini itu lohmaksudnya.

 

Prof. Harkristuti Harkrisnowo (Tim Pemerintah):

Ya pimpinan tadi kami sedang berfikir, karena rata-rata tindak pidana khusus itu percobaan pembantuan ditindak pidana yang sama karena ada persiapan dan pemufakatan jahat. Jadi nanti diujung bab akan kami luruskan yang akan mengcover semua pasal di dalam bab khusus.

 

Benny K. Harman (Ketua Panja/F-Demokrat):

Kita konsisiten saja, dipidana dengan pidana yang sama setiap orang yang terkait, yah begitu? Jadi untuk di bab yang sama populasinya bisa sama. Di pidana dengan pidana yang sama. Ok? Tapi itu yang ibu tuti tadi jangan lupa. Karena seolah-olah ini kan yang melakukan dipidana dengan pidana yang sama setiap orang yang melakukan percobaan dengan perbantuan untuk melakukan tindak pidana khusus. Catatan yang diberikan ibu tadi, dimasukkan.

 

Prof. Harkristuti Harkrisnowo (Tim Pemerintah):

Pasal yang semacam ini akan diletakkan di akhir bab tentang tindak pidana khusus.

 

Benny K. Harman (Ketua Panja/F-Demokrat):

Ok Lanjut, Bagian kedua. Bagian kedua bu.

 

Prof. Harkristuti Harkrisnowo (Tim Pemerintah):

Judulnya bagian tadi adalah tindak pidana berat terhadap HAM. Kedua tindak pidana terhadap kemanusiaan. Kalau judulnya sudah masuk pasal, berarti gak perlu judul paragraph.

 

Benny K. Harman (Ketua Panja/F-Demokrat):

Kalau yang masuk orang?

 

Prof. Harkristuti Harkrisnowo (Tim Pemerintah):

Oh belum Pak, itu yang ketiga nanti, ini yang kedua. Pidana karena melakukan tindak pidana terhadap kemanusiaan.

 

Benny K. Harman (Ketua Panja/F-Demokrat):

Oke jadi ini jelas ini bab ibu ini, ini bab bapak ini.

 

Prof. Enny (Tim Pemerintah):

Jadi kalau kita digugat ke Mahkamah Konstitusi, Pemerintah udah siap gak jawaban yang akan di bawa

 

Arsul Sani (F-PPP):

Bukan, Saksi ahlinya beliau nanti.

 

Benny K. Harman (Ketua Panja/F-Demokrat):

Kalau nggak ada yang gugat ya kita sendiri yang gugat. Bayar temen-temen anggota dewan agar dapat honor. Jadi di pidana oke? Ketok palu. Isinya sudah oke tinggal pola. Ayat dua, tolong penjelasan bu, penjelasan jangan lupa, ayat dua? di pidana dengan pidana yang sama, yang lain-lainnya sama aja. Oke? Ketok palu. Bagian tiga, kalau begini kan bagus di pidana dengan pidana, ini bagus bu, di pidana dengan pidana mati.

 

Prof. Harkristuti Harkrisnowo (Tim Pemerintah):

Di sesuaikan ya pak, di pidana dengan, di atas tuh di tampilkan, tau-tau yang mengguagat ke MK pak ahli bahasa

 

Prof. Enny (Pemerintah):

Tapi intinya konsistensi, konsitensi tabulasi begini semua

 

Arsul Sani (F-PPP):

Oke jadi gampang dipahami juga, kita memang gak bisa berevolusi dengan ahli bahasa

 

Prof. Harkristuti Harkrisnowo (Tim Pemerintah):

Jadi intinya begini pimpinan. Tolong di ulang dari awal, Dipidana karena tindak pidana dalam masa perang atau konflik bersenjata, perangnya satu aja atau konflik bersenjata, Setiap orang yang pada masa perang lagi, setiap orang yang, tapi masa perangnya gaboleh ilang, gapapa pak dua kali, setiap orang yang pada masa interupsi senjata, melakukan perbuatan pelanggaran, kok jadi pelanggaran yah, melakukan perbuatan terhadap, gakusah pelanggaran berarti, terhadap orang atau harta, pake kekayaan gak? maksudnya, wealth or property itu apa ya, harta, kekayaannya gak usah dulu, berupa pembunuhan yang dilakukan dengan sengaja, gakusah make dengan sengaja ya yang nanti, penyiksaan, mengingkari proses peradilan yang adil. yang dibacakan oleh ibu itu ada 41 jenis. Kita mengambil dari statuta roma pak. Mohon maaf tadi ini belum sempat kami revisi, jadi ini masih asli.

 

Benny K. Harman (Ketua Panja/F-Demokrat):

Di pidana karena tindak pidana dalam masa perang atau konflik bersenjata, setiap orang yang melakukan perbuatan, terhadap orang, jangan mengulang lagi ya bu. Jangan terulang lagi.

 

Prof. Harkristuti Harkrisnowo (Tim Pemerintah):

Memang harus di kasih nama pak deliknya, kalau gak delik nanti, Jadi pembunuhannya memang dilakukan pada perang atau konflik, jadi bukan pembunuhan biasa.

 

Benny K. Harman (Ketua Panja/F-Demokrat):

Jangan dobel gitu

 

Prof. Harkristuti Harkrisnowo (Tim Pemerintah):

tapi harus ada Pak unsurnya itu. Kalau di atas namanya, kalau pada masa itu yang harus dibuktikan. Durung, ora ono, itu judulnya.

 

Benny K. Harman (Ketua Panja/F-Demokrat):

Di pidana karena tindak pidana dalam masa perang ataupun konflik, setiap orang yang pada masa perang, okeoke, tidak masalah, lanjut lanjut, lanjutkan yah. Lanjut anjut

 

Prof. Harkristuti Harkrisnowo (Tim Pemerintah):

Lanjut terus ini A sampai O, apa ya tadi ya OO, dengan pidana mati atau seumur hidup, atau pidana penjara paling singkat lima tahun paling lama dua puluh tahun. Ya, oh enggak pak emang itu paling ujung, Jadi, kualifikasinya di paling atas, sanksinya di paling bawah. Oke, nah ini agresi.

 

Benny K. Harman (Ketua Panja/F-Demokrat):

Ok, ketok palu, lanjut, mana lagi?

 

Prof. Harkristuti Harkrisnowo (Tim Pemerintah):

Agresi Pak.

 

Benny K. Harman (Ketua Panja/F-Demokrat):

Lanjut lanjut, di pidana dengan tindak pidana agresi.

 

Prof. Harkristuti Harkrisnowo (Tim Pemerintah):

Dipidana karena agresi, terus sanksinya ditaruh paling bawah ya.

 

Benny K. Harman (Ketua Panja/F-Demokrat):

Mantap ini rumusan bagus

 

Prof. Harkristuti Harkrisnowo (Tim Pemerintah):

Dipidana karena tindak pidana agresi huruf jadi pidana, sampai 5 nya hilang, oh udah ada itu, di pidana karena tindak pidana agresinya udah ada itu, yang dibuang yang kiri aja, karena itu rumusan. Di pidana karena dong, dengannya hilang itu, mas dengannya hilang. Di pidana karena tindak pidana agresi huruf kecil semua. Tindak pidana agresi di kecilin. Setiap orang yang dalam posisi efektif untuk mengendalikan atau memerintah secara langsung politik. Mohon maaf kita belum melakukan editing. Ini dari Prof. Muladi, ganti topic lainnya Pak, tapi intinya ya.

 

Benny K. Harman (Ketua Panja/F-Demokrat):

Mengendalikan secara langsung tindakan politik atau tindakan militer seluruhnya, merencanakan, mempersiapkan ya itu, dilanjutkan.

 

Prof. Harkristuti Harkrisnowo (Tim Pemerintah):

Kami izin untuk didelay karena belum sempat itu tadi. Jadi war crime ataupun aggression belum sempat kami, tapi intinya begitu.

 

Yudi Jaksa:

Secara langsung tindakan politik atau tindakan militer ya itu.

 

Benny K. Harman (Ketua Panja/F-Demokrat):

Aslinya begitu, tindakan politik atau tindakan militer, kebijakan juga bisa nanti kebijakan politik, kebijakan politik juga bisa. Merencanakan, memperisiapkan, memprakarsai, mengeksekusi tindakan agresi yaitu tindakan menggunakan kekuatan senjata, bisa juga ini. Di tulis ulang ya bu ya.

 

Prof. Harkristuti Harkrisnowo (Tim Pemerintah):

Ijin kami untuk rewrite supaya lebih enak bacanya dan supaya enggak stres.

 

Benny K. Harman (Ketua Panja/F-Demokrat):

OK, substansi kita setujui. OK bagian apalagi?

 

Prof. Harkristuti Harkrisnowo (Tim Pemerintah):

Tindak pidana terorisme bagian kedua.

 

Benny K. Harman (Ketua Panja/F-Demokrat):

OK, bagian kedua, apa ditulis sebalah lagi, di tulis ulang lagi? bisa juga dipidana karena melakukan tindak pidana ini setiap orang yang dengan sengaja menggunakan kalau mau makai itu tadi, bisa juga kan?

 

Prof. Harkristuti Harkrisnowo (Tim Pemerintah):

Ini ya yang 249, tadi dimasukkin pak ya, tadi dipidana karena melakukan terorisme. Di pidana karena melakukan teroisme. Oke, karena melakukan tindak pidana terorisme, oh tidak make melakukan, tindak pidana

 

Prof. Marcus (Tim Pemerintah):

Ini nggak perlu harus sama dengan pola yang tadi Bu, karena nanti akan ada kesulitan dalam membuktikan

 

Prof. Harkristuti Harkrisnowo (Tim Pemerintah):

Ini karena ada tabulasi pak, ada ABC Pak. Tadi kan kalau ABC kesepakatannya kita inversi mulai dengan dipidana.

 

Prof. Marcus (Tim Pemerintah):

Tapi nanti ada satu tindak pidana yang disamakan dengan terorisme.

 

Prof. Harkristuti Harkrisnowo (Tim Pemerintah):

Oh nanti ada di dalam Undang-Undang pak, bukan core crime, tindak pidananya nanti ada dibawah ya, jangan ilang semua, di pidananya aja, di pidana mati

 

Arsul Sani (F-PPP):

Izin pak, Ini di RUU terorisme ada tidak? Lahiya, maksud saya, kalau ini ada yang disitu harus dihapus gak? Artinya ini kan akan duluan RUU Terorisme kan, iya, enggak, maksud saya kalau disni di ambil, di RUU Terorsime di hilangkan gak, kan ini sama-sama belum disahkan, masih di bahas ini, gitu, kalau gak kan pengulangan atau mau tetap kita biarkan dobel nanti.

 

Prof. Enny (Pemerintah):

Sementara iya pak, nanti ketentuan peralihannya berbunyi

 

Arsul Sani (F-PPP):

Yang penting sentencingnya sama aja

 

Benny K. Harman (Ketua Panja/F-Demokrat):

Sebenarnya yang penting substansinya saja. Oke dengan pidana sekian. Ketok palu. Disetujui gak, lanjut, apalagi, pasal berikutnya.

 

Prof. Harkristuti Harkrisnowo (Tim Pemerintah):

Kalau ini karena tidak ada tabulasi maka dirumuskan seperti biasa. Setiap orang yang dengan sengaja dan lain-lain. Nanti dengan sengajanya hilang yah.

 

Benny K. Harman (Ketua Panja/F-Demokrat):

Ok? Disetujui. Lanjut pasal berikutnya

 

Prof. Harkristuti Harkrisnowo (Tim Pemerintah):

Ini tentang pendanaan terorisme diambil dari pasal 4 UU 9/2013

 

Benny K. Harman (Ketua Panja/F-Demokrat):

Ok ya disetujui. Bukan dong, lanjut ke bagian ketiga, korupsi.

 

Prof. Harkristuti Harkrisnowo (Tim Pemerintah):

Ya maksudnya kalau memperkaya diri sendiri ya boleh-boleh saja kalau tidak melawan hukum, jadi penekanannya.

 

Taufik DPR:

Memperkaya diri melawan hukum yang merugikan keuangan negara. Bisa jadi ada kerugian negara namun tidak ada perbuatan melawan hukum

 

Benny K. Harman (Ketua Panja/F-Demokrat):

Bisa juga kerugian negara tapi belum tentu melawan hukum. Kalau ada kerugian tidak melawan hukum tidak bisa kena pasal ini, ya kan? Begitu pak hanya, tidak melawan hukum tidak bisa kena pasal ini, tapi dalam praktik selama ini merugian keuangan negara, walaupun tidak melawan hukum namun kena pasal ini. Suap, tidak merugikan keuangan negara namun kena pasal ini.

 

Taufik DPR:

Contohnya apa?

 

Benny K. Harman (Ketua Panja/F-Demokrat):

Suap, ya kan? Saya kira melawan hukum kata kuncinya.

 

Asrul Sani (F-PPP):

Siap, klarifikasi, Kalau yang dua puluh tahun ini sudah dianggap ada pemberatan kan?

 

Prof. Harkristuti Harkrisnowo (Tim Pemerintah):

Ini yang memang masih akan kami bereskan Pak dengan metode delph tadi. Jadi di dalam buku satu itu, tindak pidana paling berat itu kan lima belas tahun. Boleh dua puluh tahun kalau ada pemberatan 1/3. Tapi ternyata kecenderungan RUU ini banyak sekali yang dua puluh tahun. Jadi mau kita sisir lagi, karena kalau dua puluh tahun semua, pemberatannya apa dong.

 

Asrul Sani (F-PPP):

Kita hanya mengingatkan saja, yang jelas maka lama berlaku upahnya dirjen lapas akan membengkak

 

Benny K. Harman (Ketua Panja/F-Demokrat):

Jadi di sini unsurnya melawan hukum memperkaya orang lain atau diri sendiri atau korporasi, itu yang atau dan, bukan dan, yang, kalau satunya tidak memenuhi unsur

 

Prof. Harkristuti Harkrisnowo (Tim Pemerintah):

gak bisa, harus semua

 

Prof. Marcus (Tim Pemerintah):

harus tiga

 

Prof. Harkristuti Harkrisnowo (Tim Pemerintah):

jadi melawan huum memperkaya diri sendiri lain atau orang lain atau koroporasi, ketiga merugikan keuangan negara atau perekonomian negara

 

Taufik DPR:

Contohnya?

 

Benny K. Harman (Ketua Panja/F-Demokrat):

Itu tadi yang saya tanyakan

 

Taufik DPR:

Contohnya melawan hukum disini apa?  Perbuatan apa? Melawan hukum disini apa, melawan hukum apa

 

Benny K. Harman (Ketua Panja/F-Demokrat):

Tapi kan ada juga melawan hukum, tapi tidak ada kerugian negara, dalam banyak kasus seperti itu.

 

Prof. Harkristuti Harkrisnowo (Tim Pemerintah):

Bukan termasuk dalam ini, misalkan suap, suap kan tidak merugikan keuangan negara, tapi bukan ini, suap kan separate, jadi kanada 3 kelompok besar yang pertama adalah merugikan keuangan negara itu tindak pidana khusus, yang berikutnya adalh suap, yang ketiga gratifikasi, jadi cuman ada 3 kelompok besar, ini yang dirumuskan, tadi disampaikan pak huda, di dalam Undang-Undang korupsi itu, ini pidananya 20 tahun ya, tadi kalau yang PNS pasal 3 berapa tahun pak huda, minimumnya setahun untuk pasal 3, jadi kalau dilakukan dengan menyalahgunakan kewenangan kok pidana minimalnya cuman satu tahun, kalau yang ini 4 tahun masa kebalik. Ini mau kami balik disini

 

Benny K. Harman (Ketua Panja/F-Demokrat):

Benar, ini kan orang yang melawan hukum kan swasta, misalnya melakukan penyelundupan, harus melawan hukum, menyelundup dengan menyuap, menyuap supaya bisa menyelundupkan

 

Prof. Harkristuti Harkrisnowo (Tim Pemerintah):

Yang pasal 3 orang yang punya kewenangan PNS

 

Benny K. Harman (Ketua Panja/F-Demokrat):

antara lain ada korporasi

 

Prof. Marcus (Tim Pemerintah):

seharusnya ada pemberatan itu

 

Prof. Harkristuti Harkrisnowo (Tim Pemerintah):

pidana paling singkatnya satu tahun, jadi dulu yang bikinnya kebalik DPRnya sama pemerintah

 

Benny K. Harman (Ketua Panja/F-Demokrat):

Ok, setuju?

 

Prof. Marcus (Tim Pemerintah):

Itu dibalik Pak, jadi kalau spiritnya itu kalau KUHP yang melakukan itu pegawai negeri itu malah justru ada pemberatan. Ini tindak pidana yang menyalahgunakan kekuasaan toh, dia harus orang yang punya kekuasaan

 

Benny K. Harman (Ketua Panja/F-Demokrat):

Kalau ini setiap orang yang biasa toh

 

Prof. Harkristuti Harkrisnowo (Tim Pemerintah):

Ini diputer aja, ini yang satu tahun, yang pasal berikutnya 4 tahun

 

Prof. Marcus (Tim Pemerintah):

kalau tipikor ini menurut saya di balik

 

Prof. Harkristuti Harkrisnowo (Tim Pemerintah):

1 menjadi 4, lalu dikasih catatan, tulis catatan

 

Arsul Sani (F-PPP):

Kalau dimarahin KPK bagaimana ini

 

Prof. Harkristuti Harkrisnowo (Tim Pemerintah):

ya kita bilang ini pemikirnnya Pak Arsul, bapak PNS seharusnya lebih berat loh pak, kalau bapak yang melakukan lebih berat. Dari jaksa mintanya sama-sama 4 tahun, mbok jangan sama-sama 1 tahun, tadi yang di atas itu kan, di pidana paling singkat satu tahun, kalau penyelenggara negara, menyalahgunakan kewenangan.  Ayo coba di telaah

 

Benny K. Harman (Ketua Panja/F-Demokrat):

Kalau mafioso mafioso masa hukumannya tidak sama, melakukan penyelundupan, merugikan keuangan negara, harus berat hukumannya

 

Prof. Harkristuti Harkrisnowo (Tim Pemerintah):

Oh gak jadi 1, 4 juga? jadi sama, pegawai negeri dengan mafioso sama, jadi pegawai negeri adalah mafioso, mau disamain?

 

Benny K. Harman (Ketua Panja/F-Demokrat):

Melawan hukum melakukan perbuatan iya kan?

 

Prof. Harkristuti Harkrisnowo (Tim Pemerintah):

Mau disamain, loh ini pak polisinya gakmau disamain jaksanya yang mau

 

Yudi Jaksa:

Izin prof, Jadi dalam praktek pada pasal misalnya pengadaan barang dan jasa instansi pemerintah, itu terhadap swasta dikenakan pasal dua melawan hukum sementara terhadap penyelenggara negaranya menggunakan pasal tiga. Kalau maksimalnya itu sama dua puluh tahun, tetapi minimalnya berbeda. Jadi seolah-olah ada ancaman terhadap penyalahgunaan kewenangan ini kalau didenda, sementara melawan hukumnya lebih berat. Padahal cara berfikir kita penyalahgunaan kewenangan jabatan mestinya sebagai pemberatan. Makanya ancaman exixtence ini mestinya perlu dibalik, begitu loh prof.

 

Benny K. Harman (Ketua Panja/F-Demokrat):

Itu bisa cara berfikiri di depan tapi penyalahgunaan kekuasaan tadi akibat si swasta itu. Iya mengerti saya. Maksudnya mau membantah seperti, logiknya dulu seperti itu. Bahwa setiap orang yang melawan hukum tadi apabila, logikanya apabila mestinya pejabat pemerintah yang melakukan lebih berat kenapa begitu kenapa lebih berat itu karena alasan yang itu tadi. Tapi alasan yang dulu gak, alasannya karena yang bikin ini kan swasta. Itu logikanya, jadi kan betapa si swasta menyalahgunakan kekayaanya yang dimiliki memengaruhi pejabat publik sehingga pejabat publik menyalaghgunakan wewenang-wewenangnya. Nah bukan sebaliknya, tu satu hal.

 

Asrul Sani (F-PPP):

Tidak ada yang salah dengan yang disampaikan Pak Benny. Persoalan timbul karena setelah pasal ini ada dalam penerapan hukumnya terjadi disparitas hukuman yang luar biasa. Saya ingat ketika saya diajak ke kampungnya Pak Benny, ada swasta yang kerugian negaranya hanya 27 juta dia kena 4,5 tahun. Si pejabatnya hanya kena 1,5 tahun. Inilah yang dikeluhkan. Ini kan kami gak ada wakil dari IKAHI ini. Teman-teman hakim ini kan juga merasa bahwa secara nurani gak bisa mengikuti yang seperti ini tapi persoalnnya seperti itu.

 

Benny K. Harman (Ketua Panja/F-Demokrat):

Itu soal pelaksanaan bukan soal hukum lagi. Berarti dia melaksanakan. Iya kan?

 

Asrul Sani (F-PPP):

Pelaksanaan karena normanya begitu kan, normanya memberi ruang

 

Benny K. Harman (Ketua Panja/F-Demokrat):

Sama kan begini pak, kalau suap menyuap itu kan, mutlak 2 pihak, iya kan, kita yang membahasakn Indonesia beranotasi ada yang menerima ada yang mengasi, tapi dalam praktiknya tadi pak, pelaksanaannya yang di hukum yang hanya menerima saja, atau yang dihukum itu hanya memberi saja, kalau kita tanya yang lucu kan kalau kita tanya penegak hukum itu, pak apakah kalau suap menyuap itu harus dua pihak? Wajib itu, Betul dua pihak? Iya, karena hukumnya sama, kalau tindak pidana penyauapan itu harus dua pihak, kalau kasus yang bapak tangani kenapa bapak hanya membawa ke pengadilan yang menyuap, lalu yang menerima suap bapak di biarkan saja.

 

Asrul Sani (F-PPP):

Itu kasus PT Brantas Abipraya supaya jelas Pak Benny, yang dilakukan oleh KPK. Itu sudah kita tanya. Supaya jangan, jangan ini loh.

 

Benny K. Harman (Ketua Panja/F-Demokrat):

Maksud Saya begitu

 

Asrul Sani (F-PPP):

Karena ada penerima suap baru Pak benny, ada kategori penerima suap baru, makhluk tak berwujud

 

Benny K. Harman (Ketua Panja/F-Demokrat):

Lalu siapa yang menerima duit, tuyul, apa maksudnya tuyul itu, katanya menerima suap itu pake tutup mata itu, oh maksud akal juga, jadi gak kelihatan di CCTV, kan begitu yang di Anggodo, teman itu ga make alat itu, jadi yang menyerahkan dos itu gamake tutup make, yang menerima dos itu make tutup muka, yang meberi dos itu gak make tutup muka.

 

Asrul Sani (F-PPP):

Ga kelihatan, make tutup muka

 

Benny K. Harman (Ketua Panja/F-Demokrat):

Itulah tuyul itu

 

Toha DPR:

Ketua, Saya pingin meng-endorse, menguatkan. Jadi begini, sepakat etika hakim menentukan hukum dari peradilan itu seperti yang disampaikan Pak Asrul tadi. Jadi kenapa yang eksisten ini dibalik agar penyelenggara lebih berat tidak sama, dengan alasan menurut saya penyelenggara ini kan melakukan sumpah, kalau swasta biasanya kan tidak melakukan sumpah.  Kemudian kalau kejadian-kejadian di daerah, swasta mearasa terpaksa kenapa harus melakukan sogok atau melakukan setoran atau suap, itu terpaksa, kalau enggak kita tidak dapat proyek, itu berat. Artinya bukan pihak swasta yang ini tapi memang penyelenggara negara itu. Satu sumpah dia berani karena dia sudah sumpah ketika menjadi penyelenggara negara. Kemudian yang kedua, mereka memang memaksa. Jadi terjadi kelaziman dan kewajaran. Saya sering ketemu pengusaha di daerah itu “Pak kalau enggak setor seperti ini enggak akan dapet” dan itu fakta. Karena memang kontraktornya banyak, isinya banyak, akhirnya mereka keroyokan. Akhirnya dimainkan, yang tadinya 5% jadi 17%. Yang seperti ini kan kelakukannya penyelenggara negara bukan pihak swasta karena kepepet, untung bikin gapapa lah yang penting dapat. Karena itu saya mengendorsekan itu tadi lah, menguatkan dengan dua alasan, mungkin ada lasan-alasan lainnya yang cukup rasional untuk membalik yang eksisten itu. Masuk ya pak? Terima kasih

 

Prof. Harkristuti Harkrisnowo (Tim Pemerintah):

Pertanyaan saya dengan yang tadi adalah jadi apakah dengan pasal X dengan pasal dua kita akan menetapkan membalik satu tahun yang tadinya 4 tahun disamakan atau atau penyelanggara negara lebih tinggi misalnya empat tiga atau empat dua atau sama atau menuggu delfi tadi.

 

Benny K. Harman (Ketua Panja/F-Demokrat):

Karena di negeri ini dimana duit sangat dominan, kaau bisa sebaliknya, swasta itu yang dihukum seberat-beratnya

 

Prof. Harkristuti Harkrisnowo (Tim Pemerintah):

Penyelenggaranya empat tahun, swasta dua tahun. Yang naik swastanya. Yang nomor A, yang pertama paling singkat dua tahun.

 

Benny K. Harman (Ketua Panja/F-Demokrat):

Tapi tergantung kesalahannya, OK. Disetujui. Lanjut.

 

Prof. Harkristuti Harkrisnowo (Tim Pemerintah):

Izin pak tadi kita lupa buat catatan

 

Benny K. Harman (Ketua Panja/F-Demokrat):

Semua menggunakan metode yang semalam kan?

 

Prof. Harkristuti Harkrisnowo (Tim Pemerintah):

Sanksi untuk pasal 688 diperberat digantikan dengan namanya UU PTK apa KPK, karena penyelenggara negara di apa pak toha, disumpah, penyelenggara mempunyai kewajiban melakukan pelayanan publik dan disumpah.

 

Ichsan Soelisto (F-PDIP):

Meskipun sudah diketok, apakah lazim minimal empat tahun ini?  itu kena sendiri loh

 

Prof. Marcus:

Biar kapok, penyalahgunaan wewenang.

 

Benny K. Harman (Ketua Panja/F-Demokrat):

Ok. Ada tambahan lagi? Setuju yah?

 

Yudi Jaksa:

Ijin, ijin satu aja Yang Mulia. Jadi ada juga peluang bahwa misalnya seorang kepala desa menyalahgunakan kewenangan lalu apabila dengan formulasi yang menyalahgunakan kewenangan dengan ancaman khususnya minimal khususnya empat tahun. Jadi korupsinya 20 juta pun kena 4 tahun, kepala desa itu

 

Benny K. Harman (Ketua Panja/F-Demokrat):

Ya tidak masalah, jangankan 20 juta, 2 juta pun juga bisa kena, gak masalah, 2 juta itu buat banyak orang itu kecil. Ok. Ketok Palu. Lanjutkan, pasal 690.

 

Ichasan Soelisto DPR:

Sebentar ketua, hukum itu kan melihat kondisi yang riil. Kita enggak bisa memaksakan norma, enggak bisa. Gue pokoknya ini itu enggak bisa. Jadi saya sepakat kalau di desa itu saya itu kadang-kadang yang dianggap korupsi itu adalah penyalahgunaan administrasi, jadi yang kena pasal ini kasihan juga, bener kan saya pikir tidak rasional, apakah nanti akan ada KUHP untuk kepala desa, KUHP untuk DPR, gakpapa kalau DPR. Kalau kepala desa, urusannya gak tahu mereka.

 

Benny K. Harman (Ketua Panja/F-Demokrat):

TPK ini seperti Pak Asrul bilang tadi, contoh-contoh di daerah itu korupsi 5 juta, 50 juta, sadis sih, minimal 27, harus masuk penjara 4 tahun, untuk kesalahan yang belum tentu dia lakukan.

 

Taufik DPR:

Gak kan, katanya hukum itu kan lebih baik tidak memenjarakan orang yang salah daripada membenarkan orang yang benar. Begitu loh pak, nanti kondisi lapas.

 

Benny K. Harman (Ketua Panja/F-Demokrat):

Kita tentukan saja apakah minimumnya 4 tahun,

 

Arsul Sani (F-PPP):

Saya pikir sama saja, itu ngeri.

 

Benny K. Harman (Ketua Panja/F-Demokrat):

Saya setujunya 4 tahun.

 

Prof. Harkristuti Harkrisnowo (Tim Pemerintah):

Kemarin dikeluhkan juga oleh Hakim Agung Pak Suhadi yang memeriksa perkara “Bu ini kerugiannya kurang dari lima juta Tapi kami berkewajiban untuk” itu yang kemarin kan dibalik, 4 yang diatas, masa kerugiannya, itu banyak yang disampaikan hakim agung. Jadi banyak yang.

 

Benny K. Harman (Ketua Panja/F-Demokrat):

Itu yang salah itu, hakim-hakim ini kan bukan soal 5 jutanya itu yang saya bilang, kan pak hakim tahu ini gak ada kesalahan, gak ada kesalahan ini, kalau 5 juta ada kesalahan boleh lah, ini jelas jelas gak ada kesalahan, tapi takut, kalau memang gakada kesalahan putus bebas dong, Undang-Undang menjamin kebebasan hakim bisa putus bebas, begitu.

 

Arsul Sani (F-PPP):

Nanti KYnya saya periksa

 

Benny K. Harman (Ketua Panja/F-Demokrat):

Jadi bagi saya mau berapa tahun, enam tahun yang penting hakimnya ini punya keberanian. Tentu jaksanya juga harus punya keberanian. Polisi juga. Udah jelas 50 juta kok di proses, 5 juta kok diproses, yang salah siapa. Tapi kan ini persoalan yang lain, jadi tetap adanya 4 tahun ini atau 2 juga sama saja.

 

Arsul Sani (F-PPP):

Saya lebih setuju dua tahun dua tahun, jadi

 

Benny K. Harman (Ketua Panja/F-Demokrat):

Kalu begitu begini, kita kasih opsi ada yang setuju 2 tahun ada yang 4 tahun, karena kita anti korupsi maka 4 tahun.

 

Prof. Marcus:

Tapi dengan catatan bahwa yang memiliki kekuasaan pidananya lebih berat dibanding yang tidak.

 

Ichsan Soelisto (F-PPP):

Itu tergantung hakimnya bapak

 

Benny K. Harman (Ketua Panja/F-Demokrat):

Kita sudah punya metode tadi malah, tulis saja ada yang 2 tahun ada yang 4 tahun

 

Arsul Sani(F-PPP):

Saya setuju dengan Pak. Benny apabila ditambah pasal yang merujuk pada besarnya kerugian negara.

 

Prof. Harkristuti Harkrisnowo (Tim Pemerintah):

Yak itu sebenarnya ada di Pasal 5 ayat 3 coba dibaca

 

Yudi Jaksa:

Izin pimpinan, Kalau diputus dengan pasal 5, 6 atau 7 segala macam itu ada pembatasan nilainya. Lima juta kebawah itu tiga tahun, tapi untuk pasal 2 pasal 3 belum. Kalau mau serap aspirasi itu, kita batasi itu. Sekian atau dibawah seratus juta itu bisa satu tahun minimalnya atau tanpa minimal, mungkin itu. Pada praktiknya itu 12 a.

 

Benny K. Harman (Ketua Panja/F-Demokrat):

Silahkan silahkan dengan metode semalam mau make apa

 

Prof. Harkristuti Harkrisnowo (Tim Pemerintah):

Pak ketua sepakat dengan adanya pembatasan? Apabila nilainya di bawah x maka sanksi pidananya

 

Benny K. Harman (Ketua Panja/F-Demokrat):

Kita kan punya UU tipikor, dimasukkan gitu lo. Di dalam UU tipikor kan satu tahun tapi kita kalo perlu naikkan. Ini menjelang pemilu Pak, nanti kita dicaci maki. OK jadi kita, silahkan mau membantah, mau dua tahun, tapi prinsipnya adalah kalau ada penyalahgunaan kekuasaan harus lebih tinggi, lebih berat.

 

Prof. Harkristuti Harkrisnowo (Tim Pemerintah):

Swasta dua tahun, kemudian, diatas tadi, 687 dua tahun, kalau dibawahnya pasal 43 mau berapa tahun ini? Empat tahun? Makanya dibalik. Tadinya kan pidana minimal penyelenggara negara kan satutahun, kita naikkan empat kali jadi empat tahun. Pakai batasan nilai nggak pak?

 

Benny K. Harman (Ketua Panja/F-Demokrat):

Ini kan perbuatan itu kan tidak ditentukan nilainya. Ini bukan ditentukan pada nilainya.

 

Prof. Marcus (Tim Pemerintah):

Kita kemarin mengerucutkan dinganukan, menitik beratkan pada kesalahannya, bukan fault atau akibatnya.

 

Benny K. Harman (Ketua Panja/F-Demokrat):

Bukan pada nilainya dog, kalau dengan nilainya maka orang yang mengembalikan uang itu bebas dong, makanya kita jangan kaitkan dengan nilainya, perbuatannya, ini kan, pidana ini kan perbuatannya. Kalau begitu dibikin catatan saja ada yang 2 tahun 2 tahun ada yang 4 tahun, nanti kita bawa ke atas. Gitu aja

 

Prof. Harkristuti Harkrisnowo (Tim Pemerintah):

Di catat catatan, ancamannya lebih berat

 

Benny K. Harman (Ketua Panja/F-Demokrat):

kalau sama tidak fair dong, 2x lipat

 

Arsul Sani (F-PPP):

Saya ingin mengingatkan juga karena kan apa, ancaman minimal itu kan kepada semua pelaku tidak peduli dia hanya turut serta yang gak mengerti apa-apa, itu tetep kena sama gradasi antar pelaku, pelaku, plegen, medeplegen segala macam. Itu yang saya lihat seringkali timbul ketidakadilan dalam.

 

Prof. Harkristuti Harkrisnowo (Tim Pemerintah):

Termasuk percobaan sama persiapan?

 

Arsul Sani (F-PPP):

Kalau percobaan dikurangi sepertiga kan. Tidak juga, sama juga?

 

Prof. Harkristuti Harkrisnowo (Tim Pemerintah):

Perbantuan, persiapan ya podo, sama

 

Arsul Sani (F-PPP):

Banyak bawaan kata taken taken aspek jadi kena minimal itu. Yang saya lihat.

 

Toha DPR:

Jadi kalau di desa itu menangkap sebenernya enggak, tapi dengan, tapi itu sebuah prosi di dalam mindset masyarakat, yang walapun nilai kecil doang penting bagi masyarakat sekitarnya, jadi jangan melihat nilai tersebut. Apalagi ini jarang tertangkap buat korupsi, itulah spiritnya.

 

Benny K. Harman (Ketua Panja/F-Demokrat):

Kita lanjutkan, yok, pasal 690 ad 7 pak taufik.

 

Prof. Harkristuti Harkrisnowo (Tim Pemerintah):

Izin pimpinan, tadi janjinya sampai 10.30. Mau diperpanjang sampai

 

Benny K. Harman (Ketua Panja/F-Demokrat):

Kita selesaikan topik ini saja samapi setengah dua belas yah. Kita dulu Undang-Undang pemilu sampai 3.30 Lanjutkan. Ketok palu.

 

Prof. Harkristuti Harkrisnowo (Tim Pemerintah):

Ini tentang penyuapanan yang diambil pasal 5 UU korupsi. Persis sama ya, persis sama Sanksinya satu tahun paling singkat paling lama lima tahun.

 

Benny K. Harman (Ketua Panja/F-Demokrat):

Baik yang menyuap maupun yang disuap. Bagaimana caranya supaya tegas baik yang menyuap maupun disuap. Kalau enggak ketemu yang disuap tidak boleh diproses seperti saya yang tadi.

 

Taufik DPR:

Bagaimana caranya suap topeng tadi?

 

Arsul Sani (F-PPP):

Yang tidak canggih penyidiknya, suap terhadap makhluk halus

 

Benny K. Harman (Ketua Panja/F-Demokrat):

Atau memang penguasa yang tidak bisa dikuasai oleh penegak hukum, tidak disentuh seperti contoh saya yang tadi. Tadi itu bukan siapa-siapa, KPK itu

 

Asrul Sani (F-PPP):

Tapi kita jangan pesimis Pak Benny, daluarnya kan sebelas tahun. Nanti kalau sudah berganti rezim berganti segala macem kan masih ada kesempatan. Kita tunggu saja.

 

Benny K. Harman (Ketua Panja/F-Demokrat):

Oke, kita lanjutkan ya nomor 690 yah, oke disetujui ditulis diseujui ya disetujui timus timsin, supaya besok kita tinggal peralihan saja. Tolong dibaca lagi, ketok palu. Lanjut pasal 701. Ini kan sama yang eksis tadi, disesuaikan nanti yah. Soal besaran sanksinya ibu yang tentukan lah nanti ya. Pasal 796 juga sama. Nomor 799 ini yang tadi, OK. Nah ini dia. UNCAC. Ini bahaya Pasal ini, tapi kita dukung dicantumkan disini

 

Prof. Harkristuti Harkrisnowo (Tim Pemerintah):

Tadi setelah kami diskusikan, jadi yang pertama kami menerjemahkan kemudian kami poles lagi, tapi kemudian ternyata kita menemukan bahwa semacam ini sudah ada di UU tipikor Pasal 37 A ayat 2 dan 38 B, jadi dari situ sudah bicara tentang pembuktian, di sini kan tidak bicara. Sehingga kalau kita dirumuskan tersendiri kan mereka tidak dapat membuktikan asal usul perolehan yang sah dan diduga terkait tindak pidana korupsi. Kan diduga Pak. Kalau dalam tindak pidana pencucian uang itu kan predicate crimenya secara kan menurut aturan tidak perlu dibuktikan. Tapi kalau dikorupsi kan harus dibuktikan. Itu sebabnya kita bilang biarkan saja di pengadilan tipikor karena kalau dirumuskan di sini harus membuktikan dahulu bahwa itu dari tindak pidana korupsi. Oleh sebab itu kita menyepakati bahwa pasal ini tidak ada karena rumusan itu dapat menimbulkan kegamangan di lapangan. Membuktikan tindak pidana yang tidak pada korupsi tapi kita membuktikan pada enrichment.

 

Toha DPR:

Itukan sebenarnya kan membuka peluang, menjustifikasi untuk pembuktian terbalik, itu tidak apa-apa, tapi apakah penegak hukum dengan longgarnya pada semua orang untuk membuktikan pembuktian terbalik?

 

Asrul Sani (F-PPP):

Itu kan sudah ada tidak perlu, yang dari UNCAC tidak perlu

 

Prof. Harkristuti Harkrisnowo (Tim Pemerintah):

Karena sudah dirumuskan dalam UU tipikor, jadi kalau kita buat yang baru.

 

Benny K. Harman (Ketua Panja/F-Demokrat):

Coba lihat pasal 37 A, Kalau saya setuju pasal ini dimasukkan. Kalau begini, sehingga pasal 37 A dulu mau dihilangkan dari ini, pembuktian terbalik, kalau itu kan dalam proses, kalau ini kan tidak. Pasal ini sangat berbeda. Pasal ini memang mau tidak mau kalau kita interupsi kita memberi keleluasaan yang seluas-luasnya ke pada para penegak hukum. Wajib memeriksa kekayaan, coba punya duit kayak kasus di Papua itu lho. Bagaimana seorang polisi pangkat ini kekayaannya segitu. Kalau saya jelas, saya swasta, usahanya satu dua tiga empat. Tapi ini khusus setiap pengadilan negeri atau penyelenggara negara yang kekayaannya tidak bisa dia jelaskan asal usulnya. Itu bagus buat di persidangan, ini pasal yang pamungkas untuk membangun demokrasi yang bersih.

 

Prof. Harkristuti Harkrisnowo (Tim Pemerintah):

Lalu 38 ayat (2) b, lalau dia tidak dapat membuktikan harta bendanya tidak diperoleh dari tindak pidana korupsi, maka hakim berhak memutuskan untuk merampas sebagian atau seluruh.

 

Benny K. Harman (Ketua Panja/F-Demokrat):

Tidak bisa disamakan. Ini kenapa, kalau yang bersangkutan sudah dalam proses peradilan. Berarti nanti kalau KPK polisi jaksa bisa datang ke Ibu, Pak Benny. Tolong jelaskan darimana asal usul. Apa begitu tiap polisi datang tolong jelaskan ini asal usulnya. Aku senang begitu. Biar polisi datang tolong jelaskan ini asal usulnya. Saya ingin pasal ini dimasukan, ini kan kata kuncinya.

 

Prof. Harkristuti Harkrisnowo (Tim Pemerintah):

Boleh liat lagi, pasal, disebutkan memperkaya diri secara tidak sah dibuktikan dengan pertambahan kekayaan yang tidak meyakinkan dan tidak wajar atau tidak sebanding dengan penghasilan atau dengan sumber kekayaan yang tidak dapat dibuktikan asal usul perolehannya secara sah dan diduga terkait tindak pidana korupsi.

 

Benny K. Harman (Ketua Panja/F-Demokrat):

Tapi kan tidak hanya pegawai negeri. Menurut saya itu penting, karena waktu kita ikut konferensi. Tapi ini keputusan politik lah kita bwa ke raker saja.

 

Risa Mariska (F-PDIP):

Ini bawa ke raker saja ini, perdebatannya bisa panjang ini

 

Benny K. Harman (Ketua Panja/F-Demokrat):

Bawa ke raker saja ya, pasal ini

 

Prof. Harkristuti Harkrisnowo (Tim Pemerintah):

Ada usulan untuk menghapuskan, korupsinya, ini di duga terkait dengan tindak pidana, jadi maksudnya korupsi, gitu ya tadi pak huda?

 

Benny K. Harman (Ketua Panja/F-Demokrat):

Ini udah pas ini

 

Prof. Harkristuti Harkrisnowo (Tim Pemerintah):

Berarti secara tidak sah, eh tidak ada yang secara sah, yang tidak dapat dibuktikan asal usulnya secara sah, oh jadi dan diduga terkait dengan tindak pidana koorupsinya hilang?

 

Benny K. Harman (Ketua Panja/F-Demokrat):

Kalau mau terkait secara melawan hukum dengan adanya pertambahan kekayaan yang, tidak usah yang signifikan, langsung aja dengan ada pertambahan kekayaan yang tidak sebanding dengan penghasilannya, kekayaan yang tidak wajar tidak sebanding dengan penghasilan atau sumber penghasilan yang tidak dapat dibuktikan asal usul perolehannya begitu.

 

Arsul Sani (F-PPP):

Pertanyaan kalau anggota DPR jadi makelar tanah bagaimana.

 

Toha DPR:

Saya barusan mau ngomong ITU, ada tanah ratusan miliar pak, 2,5% nya berapa  itu

 

Benny K. Harman (Ketua Panja/F-Demokrat):

Itu sah pak, kita calo tanah, kita calo tanah, yang pasti kita jelaskan pakai riset

 

Arsul Sani (F-PPP):

Pakai perjanjian

 

Prof. Harkristuti Harkrisnowo (Tim Pemerintah):

Ini diambil dari asset recovery RUU

 

Tim Pemerintah:

Mohon ijin pimpinan, ini sekedar informasi bahwa pemerintah pada dasarnya sudah mempersiapkan RUU Penambahan asset yang salah satunya adalah tindakan atau perbuatan memperkaya diri sendiri melawan hukum yang pertanggungan tidak wajar. Kekayaan tidak wajar ini orangnya tidak dipidana tapi hartanya yang tidak dapat dibuktikan itu yang dirampas sedangkan orangnya sendiri tidak dipidana. Sehingga kemudian hartanya itu dirampas dengan konsep NCB (non conviction bewijs) artinya negara melawan harta atau asset. Tidak hanya ini, beberapa komponen misalnya terdakwa sakit sama sekali tak bisa siding yang terindikasi korupsi maka hartanya harus dirampas. Dan ini tidak hanya tindak pidana korupsi, tapi juga harta-harta yang diperoleh misalnya perikanan, pencucian uang, jika terdakwa sakit dan tak dapat mengikuti persidangan maka kemudian negara bertindak sebagai penggugat merampas kekayaan hasil tindak pidana.

 

Benny K. Harman (Ketua Panja/F-Demokrat):

Itu lain lagi, itu soal lagin lagi, sekarang tetang Tindak pidana korupsi ini kita asumsikan yang memperkaya diri secara tidak sah yang kekayaannya mengalami penambahan secara tidak wajar atau tidak sebanding dengan penghasilan, ini kita mau memutuskan politik hukum kita ini mau pidana atau tidak? Dan kita setuju ini pidana, soal nanti perampasan asset itu macam macam ada hasil judi ada hasil macam-macam lah. Ada kekayaan di banyak bank dan mungkin tidak bisa cair. Tapi ini kita mau tentang tindak pidana korupsi yang diambil dari UNCAC. Itu saja, ini jadi perbincangan para aktivis anti korupsi sedunia, saya beberapa kali ikut dan negara-negara yang pro pemberantasan korupsi dituntut memasukkan pasal UNCAC. Tapi kita kalau misal masih ragu kita kasih opsi saja, lalu kita serahkan ke atas, tapi kita sudah sepakat bahwa ini masuk bab tindak pidana korupsi.

 

Prof. Harkristuti Harkrisnowo (Tim Pemerintah):

Saya sih yang sempat ragu tadi, Pak Taufik tiba-tiba dipanggil oleh Pak Yudi. Tolong buktikan tidak wajar tidak sebanding. Dan tidak bisa membuktikan, kan dia tidak tahu. Bawa ke raker aja?

 

Benny K. Harman (Ketua Panja/F-Demokrat):

Jadi dengan catatan ada yang setuju ada yang dihapus saya sepakat. OK ya bawa ke raker ya. Lanjut,ketok palu. memperdagangkan trading influence ini

 

Prof. Harkristuti Harkrisnowo (Tim Pemerintah):

Dalam raker apakah disetujui atau tidak?

 

Benny K. Harman (Ketua Panja/F-Demokrat):

Memperdagangkan pengaruh ini?

 

Prof. Harkristuti Harkrisnowo (Tim Pemerintah):

Namanya trading influence,

 

Benny K. Harman (Ketua Panja/F-Demokrat):

Harus dibalik dong rumusnya, jadi pegawai negeri atau penyelenggara negara duluan berdasarkan, menambahkan atau apa gitu.

 

Prof. Harkristuti Harkrisnowo (Tim Pemerintah):

Jadi yang disini permusannya selalu yang mmberi yang dahulu pak, dalam tindak pidana korupsi yang di pidana terelbih dahulu adalah yang memberikan. Dianya memberi pengaruh, jadi dia yang memberikan undue advantage atau keuntungan yang tidak sah

 

Benny K. Harman (Ketua Panja/F-Demokrat):

Yang dimaksudkan di sini, mohon maaf itu loh presiden salah satu partai itu kan berarti dia punya kekuasaan yang luar biasa. Tapi kalau begini gak kena, lain lagi, begitulah, ini yang menerima janji, tawaran atau pemberian, gitu, jangan kita balik-balik, yang punya kuasa, kedudukan, itu prinsipnya, prakteknya dan secara lahirnya semua dalam UNCAC begini malah kau malah balik, orang yang menjanjikan, menawarkan kepada pegawai.

 

Prof. Harkristuti Harkrisnowo (Tim Pemerintah):

Izin pimpinan, kami melihat dari trading in influence dalam UNCAC, “the promise, offering or giving to a public official jadi to pak. Bukan public officilanya, tapi orang yang promise, offering or giving to a public official or any other person, directly-indirecttly of an undue advantage “ Jadi memang UNCAC yang di pidana pertama kali adalah orang yang menjanjikan, menawarkan memberikan pada public official

 

Benny K. Harman (Ketua Panja/F-Demokrat):

Coba paca pasal penjelasan, yang dimaksud dengan trading influence ini adalah perilaku si pejabat publik ini yang dia karena kekuasaanya baik langsung maupun langsung keuntungan yang dia peroleh, kalau definisi seperti tadi itu seperti penyuapan, menawarkan kan gitu

 

Arsul Sani (F-PPP):

Saya rasa ini tekait dengan kultur prof. Yang dimaksud dengan pak benny itu benar, kultur di kita itu yang punya kekuasaan yang menawarkan. Kalau di barat sebaliknya karena aparaturnya itu pada dasarnya bersih maka biasanya masyarakatnya coba menggoyang goyang.  Kalau disini itu kebalik, anggota DPRnya

 

Prof. Harkristuti Harkrisnowo (Tim Pemerintah):

Jadi memang didalam UNCAC disebutkan, in order that the public offical or the person abuse his or her real or supposed influence, jadi misal ada orang yang diduga mempunyai pengaruh itu kena juga.

 

Benny K. Harman (Ketua Panja/F-Demokrat):

Misalnya kayak preseiden parpol itu, misalnya saya punya teman salah satu pejabat tinggi atau bekerja di kantor presiden. Saya punya bisnis lah atau apa, saya deketi dia yang punya pengaruh, tolonglah kau telpon situ supaya proyek itu kasih gua kan gitu. Bukan datang ke yang punya proyek tapi dia datang ke yang punya kuasa penuh tadi yang diduga dia bisa memengaruhi orang itu supaya ngasih proyek kepadaku. Itulah praktek  yang dimaksudkan dengan memberikan mempengaruhi tidak directly, bisa juga directly.

 

Prof. Harkristuti Harkrisnowo (Tim Pemerintah):

Karena kami memang berangkat dari rumusan UNCAC, ini supaya kita tidak salah aja.

 

Benny K. Harman (Ketua Panja/F-Demokrat):

Tidak masalah tapi kita sekarang kita balik rumusannya itu

 

Arsul Sani (F-PPP):

Karena alasan kultur

 

Ichsan Soelisto (F-PDIP):

Tidak masalah, tapi seharusnya kalau kita mau bahas ini kita bawa pelakunya pak

 

Benny K. Harman (Ketua Panja/F-Demokrat):

Tadi kan saya punya kuasa, punya pengaruh jadi orang lain bisa perjual belikan asetnya karena orang yang punya kuasa ini. Saya bisa menawarkan, oh saya punya teman ini tadi penguasa, di kantor presiden, Siapa? Pak Taufik? Pak Taufik siapa? Nasdem? Bagimana ceritanya? Dia punya kedekatan dengan Bapak Presiden. Kurang lebih begitu, inilah. Tapi substansinya kita sudah tangkap kalau bisa dirumuskan. Begitu maksudnya. Kalau dia menjanjikan atau menawarkan sebetulnya, tapi intinya dia menggunakan tadi, kekuasaan mau temannya apanya siapanya lah itu lah yang dia mau dagangkan, dagangkan kepada orang yang punya kepentingan, begitu poinnya bu. Menggunakan pengaruhnya, Saya bisa menjual pengaruh saya, orang itulah yang dikatakan melakukan tindak pidana korupsi itu. Gitu loh.

 

Prof. Harkristuti Harkrisnowo (Tim Pemerintah):

Jadi dibalik, Jadi coba dikopi dulu, yang pertama jadi yang kedua.

 

Taufik DPR:

Kalau memberikan rekomendasi, kan itu tidak mendapat uang.

 

Benny K. Harman (Ketua Panja/F-Demokrat):

Itu kan kasus ketua Mahkamah Konstitusi, yang bikin ktp balancing. Tapi sebetulnya dia dipake oleh someone gitu. Dia mungkin tidak tahu tapi dengan kasusnya ini dia pakai dia kena dia juga kena.

 

Prof. Harkristuti Harkrisnowo (Tim Pemerintah):

Mohon maaf ini kelupaan ada or any other person atau seseorang perlu nggak pak? Kalau di sini public official or the other person, atau seseorang setelah penyelenggara negara diatas ayat satu, pegawai negeri, penyelenggara atau seseorang untuk menyalahgunakan pengaruhnya baik yang nyata yang maupun juga tidak. Jadi yang yang, oh udah ya, sebagaimana tersebutnya ilang. Jadi sebagaimana tersebutnya dalam ayat satu hilang, yang diduga dimilikinya dalam ayat satu dihilangkan ganti di bawah. Jadi setiap orang yang menjanjikan memberikan pada pegawai negeri, penyelenggara negara, pegawai negeri atau seseorang, ataunya hilang, dengan maksud, dipidana dengan pidana yang sama dengan ayat satu.

 

Ichsan Soelisto (F-PDIP):

Jadi kalau misalnya saya Prof. saya pada anak saya, saya bilang pada polisi, tolong diuruskan, kan nggak ada interupsi uang, itu bagaimana?

 

Prof. Marcus (Tim Pemerintah):

Gak memperdagangkan.

 

Prof. Harkristuti Harkrisnowo (Tim Pemerintah):

Pemberian sesuatu Pak, atau suatu keuntungan.

 

Risa Mariska (F-PDIP):

Itu tuh enaknya sama polisi begitu.

 

Benny K. Harman (Ketua Panja/F-Demokrat):

Itu masuk menyalahgunakan pengaruhnya baik yang nyata maupun yang dimilikinya

 

Toha DPR:

Hapus hapus. Pasal dihapus.

 

Prof. Harkristuti Harkrisnowo (Tim Pemerintah):

Izin pimpinan di sini kami menggunakan tiga istilah tersebut the promise, offering or giving jadi kami enggak berani memperluas, menjanjikan, menawarkan atau memberikan suatu keuntungan yang tidak sah directly or indirectly of an undue advantage itu sesuatu ataunya hilang, pemberian sesuatu keuntungan yang tidak, sesuatu ataunya hilang.

 

Benny K. Harman (Ketua Panja/F-Demokrat):

Sesuatu keuntungan yang tidak semesetinya secara langsung atau tidak langsung untuk menyalahgunakan pengaruhnya baik yang nyata maupun tidak, yang diduga yang milikinya dipidana dengan itu.

 

Prof. Harkristuti Harkrisnowo (Tim Pemerintah):

Jadi yang di bawah ayat dua juga semestinya?

 

Benny K. Harman (Ketua Panja/F-Demokrat):

Setiap orang yang menjanjikan menawarkan atau memberikan suatu keuntungan yang tidak semestinya secara langsung atau tidak langsung kepada penyelenggara negara dengan maksud supaya. Saya rasa kurang lebih rumusannya nanti begini pakai metode semalam. Yang penting kita sudah menangkap.

 

Ichsan Soelisto (F-PDIP):

Pimpinan, ini lebih baik dibawa ke raker untuk disetujui atau tidak

 

Prof. Harkristuti Harkrisnowo (Tim Pemerintah):

Ditulis catatan di bawah karakter untuk diputuskan disetujui atau tidak.

 

Benny K. Harman (Ketua Panja/F-Demokrat):

Sebab kalau ini pak, tidak usah masuk bab khusus ini. Kesepakatan kita pada waktu itu ini adalah memasukkan ketentuan-ketentuan UNCAC ke dalam isi untuk diakomodir dalam UU tipikor. Kita udah sepakat kita, kita hanya merumuskan, gakusah di ini pak ini sudah keputusan. Ini sudah keputusan. Kalau tidak setuju silahkan diprotes lagi karena itu sudah diputuskan di panja kita hanya merumuskan. Ok ya,lanjut. Ketok palu, penyuapan pejabat publik asing, ini juga kan, waktu itu kita dengan senang hati mengatakan setuju, ini oke, tinggal dirumuskan ya, bab ini, tinggal nanti tolong dimasukkan penjelasan yang dimaksudkan dengan pejabat publik asing itu siapa saja. Oke, penjelasan oke, ketok palu. Ini yang paling penting nih mbak risa, penyuapan di sektor swasta, ini, sama temen-temen anggota dewan yang pengusaha ini, kalau bisa tolong di cek lagi terjeemahhnya article 21 UNCAC

 

Prof. Harkristuti Harkrisnowo (Tim Pemerintah):

Ini jadinya, salah itu alternatif, di pidana, itu mulainya dari setiap orang , setiap orang dalam bidang, di pidana

 

Benny K. Harman (Ketua Panja/F-Demokrat):

Kalau bisa nomenklaturnya disamakan dengan tindak pidana korporasi itu. Kalau bisa di samakan, dan yang ayat 2,

 

Prof. Harkristuti Harkrisnowo (Tim Pemerintah):

Kita istilah dalam sektor swasta kita memang belum pernah pakai.

 

Benny K. Harman (Ketua Panja/F-Demokrat):

Ya makanya, di sesuaikan dengan istilah nomenklatur. Suatu badan di sektor swasta, ini kan sebenarnya tindak pidana korporasi, korupsi korporasi, kalau mau kita, kita kan nomenklaturnya sudah ada korporasi, jadi kalau bisa jadinya penyuapan korporasi.

 

Prof. Harkristuti Harkrisnowo (Tim Pemerintah):

tadi sebenarnya kita sebut korporasi kemudian ada yang bertanya, apakah sktor swasta hanya sebatas pada korporasi? Tadi ada pertanyaan itu akhirnya dipakai badan baik di sector swasta.

 

Arsul Sani:

Izin, Barangkali ada yang menjelaskan kasus konkrit di luar negeri seperti apa? Ngatur wasit gitu ya?

 

Chairul Huda:

Atur skor sepakbola itu.

 

Prof. Harkristuti Harkrisnowo (Tim Pemerintah):

Jadi bedanya adalah kalau suap ada di swasta pegawai negeri atau orang. Ini swasta dan swasta, tidak ada hubungannya dalam penyelenggaraan negara. Jadi memang agak kagok juga saya, apalagi Pak Mudzakir bilang ya bsia memang UNCAC merumuskan.

 

Benny K. Harman (Ketua Panja/F-Demokrat):

Gini lho, kalau di swasta dan swasta, msalnya ada pengadaan ALKES, misalnya oleh pengusaha si A lalu si A ini mencari bahahnnya dari perusahaan B kan gitu atau dengan C, lalu B dengan C terjadi suap menyuap supaya di mark up lah harganya atau apa. Tapi saya hanya baca tulisan orang-orang berkaitan yang seperti ini. Kurang lebih begitu

 

Prof. Harkristuti Harkrisnowo (Tim Pemerintah):

Izin pimpinan, Kalau di dalam UNCAC, oh ini sudah ada bahasa Indonesianya, menjanjikan menawarkan atau memberikan tindak pidana yang dilakukan dengan sengaja dalam melaksanakan kegiatan ekonomi keuangan atau perdagangan, jadi tidak ada istilah korporasi, a) menjanjikan menawarkan atau memberikan secara langsung atau tidak langsung suatu keuntungan yang tidak semestinya kepada seseorang yang memimpin atau bekerja dalam sector tertentu untuk suatu badan di sector swasta untuk dirinya sendiri atau orang lain agar dia melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu dengan melanggar tugas-tugasnya. Itu terjemahan dari percetakan negara. Nah yang begini jadinya yang menawarkan yang melakukan atau tidak melakukan sesuatu itu di butirnya b itu yang melanggar kewajiban. Memang berat jadi tadi ini tadi kita, oh ini tapi tadi sudah di janjikan.

 

Benny K. Harman (Ketua Panja/F-Demokrat):

Itu hanya bisa dalam konteks karena adanya kerugian atau apa.

 

Prof. Harkristuti Harkrisnowo (Tim Pemerintah):

Ini yang kita herankan tidak ada kerugian negara, kedua tidak ada penyelenggara negara yang terlibat. Yang ada hanyalah melawan hukum karena tadi melakukan penyuapan.

 

Benny K. Harman (Ketua Panja/F-Demokrat):

Dalam konteks tadi, biding dalam proses pemerintah itu boleh.

 

Ichsan Soelisto (F-PDIP):

Jadi kalau itu adalah mengstimuly sebuah masyarakat, itu yang di permasalahkan, karena itu kita jangan dengan mudah saja membawa perspektif barat

 

Benny K. Harman (Ketua Panja/F-Demokrat):

Gini gini pak Kalau di dalam penjelasan penulisa penulisan. kan pertanyaan itu saya beri contoh. Si A menjalankan proyek pemerintah, yang memecahkan proyek pemerintah ini si B atau si C. Jadi hubungan si B dan si C ini betul betul transaksi swasta. Tidak ada urusannya dengan pemerintah itu. Lalu dalam konteks si B ini kongkalikong supaya tolong lah kalau kau markup itu hasilnya dibagi dua. Secara hukum si A mestinya tidak bisa disentuh orang dia gak ada hubungan. Dalam konteks pemberantasan korupsi transaksinya antara swasta tadi ini bisa juga dijerat.

 

Arsul Sani (F-PPP):

Jadi kan pasal korupsi sector swasta itu kan hampir di semua negara polycity ini kan ada. Kita carilah rumusan di sananya seperti apa nanti, supaya kita tidak membayangkan ini. Saya tadi sudah punya bayangan jelas oleh penjelasan pak Chairul Huda, atur skor. Barangkali selama ini kan tidak bisa dijangkau dalam hukum kita.

 

Benny K. Harman (Ketua Panja/F-Demokrat):

Kalau gitu kita coba minta pemerintah, Prof. Muladi yang berulang kali sering ngomong ini, kalau bisa besok dia datang.

 

Arsul Sani (F-PPP):

Setuju Pak Benny. Artinya ini memang harus masuk, karena ini kan masuk salah satu mindmap KUHP kita nanti. Hanya kan formulasinya seperti apa, skema melawan hukum yang seperti apa.

 

Benny K. Harman (Ketua Panja/F-Demokrat):

Jadi besok kita minta pemerintah untuk merumuskan lagi khsusus untuk penyuapan di sektor swasta. Sambil juga cari bahan kasusnya seperti apa.

 

Prof. Harkristuti Harkrisnowo (Tim Pemerintah):

Ini ringkas saja yang dari transparansi website. Ini merupakan bentuk korupsi yang merupakan bagian dari private sector sehingga menyebabkan distorsi pada pasar dan menyebabkan impact yang negatif pada masyarakat. Secara khusus memang mereka memasukkan itu dalam corruption, money laundring, etc.

 

Benny K. Harman (Ketua Panja/F-Demokrat):

Yang merusak pasar, yang numpukin berasa, Ok kita lanjut ya. Besok kita lanjut khusus ini. Ketok palu, tapi substansi kita setuju ini masuk. Jadi sudah selesai bagian yang keempat. Selanjutnya bagian kelima dan keenam, TPPU yah. TPPU tidak ada penambahan dari kita kata kunci dari pembangunan. Setuju yah. Ketok palu. Kemudian psikotropika narkotika sama juga dengan usulan pemerintah. Tapi kita masukkan pokok-pokok saja. Jadi sama saja, kita masukkan pokok-pokok.

 

Prof. Harkristuti Harkrisnowo (Tim Pemerintah):

Sementara ada 23

 

Benny K. Harman (Ketua Panja/F-Demokrat):

Yang penting kan tidak menutup untuk dibuat UU baru yang berkaitan dengan ini. Tidak mengaharuskan UU narkotika psikotropika yang exist sekarang ini. Dengan demikian kita menerima bab tindak pidana khusus ini.

 

Risa Mariska (F-PDIP):

Kalau seorang pengguna narkotika bagaimana?

 

Benny K. Harman (Ketua Panja/F-Demokrat):

Ya narkotika kita masukkan. Dulu kita sudah setuju semuanya. Kan kita sudah bahas dulu, Timus Timsin. Cuma kan kemarin kita disepakati jangan kita masukkan semuanya, core crime saja,  itu silahkan dipilih.

 

Risa Mariska (F-PDIP):

Mau mengingatkan saja ini, beberapa waktu yang lalu ada kasus di Kalimantan Utara terkait narkotika golongan satu. Itu seorang PNS yang mengobati istrinya menggunakan ganja. Nah itu kan narkotika golongan satu yang pada pasal 8 itu tidak boleh digunakan sama sekali. Meskipun polisnya di bawah ancaman hukuman, dan tuntutannya juga dibawah ancaman hukuman. tapi ini kan mesti jadi pertimbangan kita juga, kalau kondisi-kondisi seperti ini bagaimana caranya, mensiasatinya. Tidak untuk malam ini tapi dijadikan catatan bersama kita. Kalau malam ini klenger kita.

 

Benny K. Harman (Ketua Panja/F-Demokrat):

Itu hanya catatan. Karena itu tidak memengaruhi apa yang sudah kita putuskan. Jadi bab tentang ini sudah selesai. Besok kita akan bertemu lagi bahas khsusus bab ketentuan peralihan. Saya usulkan dari pemerintah merumuskan bab khusus ini, besok siang jam dua lah ya. Jam 2 di dahului makan siang, besok kamis apa jumat. Maksud saya sampai kapan disini. Kalau bisa sampai Sabtu.

 

Prof. Enny (Tim Pemerintah):

Metode delphi itu kan kami harus konversi dalam bentuk ancaman sehingga kalau diperkenankan dan difasilitasi tentunya kami akan pakai ini sebatas untuk menentukan ancaman.

 

Benny K. Harman (Ketua Panja/F-Demokrat):

Itu maksud saya tadi. Kita di sini santai sampai sabtu. Tempat ini silahkan dipakai oleh pemerintah tapi kan kita besok masih membahas metode yang tadi malam dan di bersihkan semua. Jam 2 ya, kalau bisa jam 2 ya sampai jam 3 lah ya, maksud saya sampai jam 17 lah ya.

 

Risa Mariska (F-PDIP):

Ketua, ini kan tim pemerintah juga butuh waktu juga untuk menyelesaikan. Saya usulkan malam, jangan sampai nanti kita ga punya lengkapnya ini lagi

 

Benny K. Harman (Ketua Panja/F-Demokrat):

Kita sudah menugaskan pemerintah untuk menyiapkan poin, kalau memang besok sudah siap ya besok, kalau memang belum, ya besok pagi, besok pukul 19. Jadi dengan demikian besok kita tutup, timus timsin lalu kita bawa ke panja dan raker denga kemenkumham, kalau bisa minggu depan rabu atau selasa. Ibu stay di sini. Lalu kita bawa ke kantor kemenkumham Rabu depan bisa atau Selasa.

 

Prof. Enny (Tim pemerintah):

Kalau nanti kita ketemu lagi itu kita sepakati malam, kami ini mau tetap pagi karena untuk menyelesaikan peralihan.  Kemudian ketemu malam. Kemudian setelah itu besoknya kami masih melanjutkan untuk yang delfi itu sampai kalau diperkenankan sampai Jumat nanti.

 

Benny K. Harman (Ketua Panja/F-Demokrat):

Silahkan, silahkan yang penting besok kita ketemu ya. Delfi itu kan hanya unsure unsure itu saja.

 

Risa Mariska (F-PDIP):

Finalisasi Timusnya besok malam? Dengan catatan belum

 

Benny K. Harman (Ketua Panja/F-Demokrat):

Ya tentu besok malam. Delfi kan tinggal nyusun-nyusun

 

Prof. Harkristuti Harkrisnowo (Tim Pemerintah):

Jadi untuk delfi ini tiap tiap tim menyusun untuk sekelompok tindak pidana nah ini kita bicarakan menjadi kesepakatan tim. Nah ini baru enam belas tim kami baru menyelesaikan lima atau enam. Kalau mau yang serius dan yang bener ya dua minggu, kan kita gak mau seadanya. Nanti gak bisa mempertanggungjawabkan pada public kita repot.

 

Benny K. Harman (Ketua Panja/F-Demokrat):

Kalau minggu depan  lagi kapan selesainya, berarti kan kita belum tutup timusnya.

 

Prof. Harkristuti Harkrisnowo (Tim Pemerintah):

Belum bisa Pak, kan perlu disetujui Timus dulu.

 

Benny K. Harman (Ketua Panja/F-Demokrat):

Kalau dua minggu ya masih tanggal 30.

 

Prof. Harkristuti Harkrisnowo (Tim Pemerintah):

Karena ada 786 dikurang 219, 560an pasal yang satu-satu kami bicarakan.

 

Benny K. Harman (Ketua Panja/F-Demokrat):

Sebetulnya yang perlu saya bilang, apabila sudah di bagikan tindak pidana ya kan enak itu. Itulah tadi yang saya bilang. Terlalu lama 2 minggu itu, 10 hari lah paling lama, 24, 25 udah selesai

 

Prof. Harkristuti Harkrisnowo (Tim Pemerintah):

Maksud Bapak kita kerja juga di weekend, Sabtu Minggu?

 

Risa Mariska (F-PDIP):

Ketua usul, Ini kan ada dua isu, yang pertama delfi yang kedua peralihan. Karena melihat waktu kita besok bisa masuk peralihan kemudian bertemu lagi dengan tim pemerintah yang udah rapih semuanya delfi sudah masuk 29 30, jadi sudah punya lengkap kalau ada yang mau disusun lagi 29 30 ketemu. Diperkirakan tiga hari kalau timusnya selesai. Mereka ini belum selesai prof. Ketua, ini pilihan paling moderat kita besok bahas ketentuan peralihan kemudian ketemu tanggal 29.

 

Benny K. Harman (Ketua Panja/F-Demokrat):

Terlalu lama 29, Saya ingin minggu depan sudah selesai bila perlu kita bahas sampai pagi. UU pemilu sampai jam setengah lima pagi. Kita disini enak bahas undang-undangnnya sebentar. Kita sepakati saja besok kita ketemu lagi bahas aturan peralihan. Kalau gitu jangan lama-lama kita bahas pagi ketentuan peralihan, lalu bahas delfi. Setelah itu satu minggu ya kan.

 

Prof. Enny (Tim Pemerintah) :

Pagi kita kerjakan, saing kita sepekeatin, Rumusannya sudah ada pimpinan, tinggal pada waktu menyusun rumusan tersebut seleasai kita belum sampai pada menyebut satu persatu.

 

Benny K. Harman (Ketua Panja/F-Demokrat):

Kalau memang sudah siap, sebetulnya pasal peralihan kan sudah hanya untuk ini saja, prinsipnya kan kita sudah setuju. Sehingga kalu itu besok pagi sudah dikerjakan, silahkan Bapak Ibu melanjutkan untuk model ini. Tapi kalau memangbelum ya tidak apa-apa.

 

Prof. Harkristuti Harkrisnowo (Tim Pemerintah):

Karena kan intinya ini kita sudah setujui Cuma kan kita belum bicara rumusannya.Apakah nanti pasal sendiri-sendiri karena kan ada dua puluh pasal ini. Tapi kan kami belum melihat lagi apakah mereka harus dua puluh pasal, ataukah kita bisa rumuskan dengan beberapa pasal dengan beberapa ayat misalnya.

 

Bapak X: Itu kan bergantung pemerintah merumuskannya. Kalau siang sudah bisa ya udah, jam 14- jam 17 selesai. Oke gitu ya. Sampai jumpa lagi besok.

 

Prof. Harkristuti Harkrisnowo (Tim Pemerintah):

Untuk pemerintah jam 9 ya.

Leave a Reply