Laporan Singkat Rapat Panja Komisi III DPR RI Dengan Pemerintah Dalam Rangka Pembahasan R KUHP

LAPORAN

RAPAT PANJA KOMISI III DPR-RI DENGAN

PEMERINTAH DALAM RANGKA PEMBAHASAN

DIM RUU TENTANG KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA

 

Tahun Sidang                     : 2017-2018

Masa Persidangan           : I

Sifat                                       : Terbuka

Jenis Rapat                         : Rapat Tim Perumus (Timus)

Dengan                                                : Tim Pemerintah (Kemenkumham)

Hari/tanggal                       : Rabu, 17 Januari 2018

Waktu                                   : Pukul 10.52 – 23.07 WIB

Tempat                                : Ruang Puri Asri Hotel Le Meridien.

Hadir                                     : 8 dari 10 Fraksi

Agenda                                                : Melanjutkan Pembahasan Ketentuan Peralihan dan Ketentuan Penutup RKUHP

 

KESIMPULAN/KEPUTUSAN

  1. PENDAHULUAN

Rapat Tim Perumus RUU tentang KUHP dibuka pada pukul 20.03 WIB oleh Wakil Ketua Komisi III DPR RI, DR. Benny K. Harman, SH dengan agenda rapat sebagaimana tersebut diatas.

 

  1. POKOK-POKOK PEMBAHASAN

Benny K Harman (F-PD/Ketua Panja):

Kemarin kita bilang, berarti mulai berlaku 2 tahun setelah itu, kalo bisa dijelaskan?

 

Prof. Enny (BPHN/Tim Pemerintah):

Terimakasih pimpinan, jadi tadi kami sudah, mohon maaf kalo tadi terpaksa mundur, jadi tadi kami memang melihat bahwa ketentuan peralihan memang sesuatu yang sangat krusial karena kalo kita salah sedikit saja nanti tidak bisa efektif dalam penerapan kuhp ini. Jadi kami melihat di dalam pelaksanaan ketentuan peralihan membutuhkan waktu pak. Waktu yang tidak seketika dia diundangkan dan berlaku. Jadi untuk diberlakukan itu butuh waktu 2 tahun. Untuk bisa berlakunya. Kemudian pada saat 2 tahun itu berlaku ada berbagai macam hal yang harus dipersiapkan. Kemudian ada lagi waktu 3 tahun yang dibutuhkan disitu adalah terkait dengan penyesuaiannya pak. Kalo kemudian setelah penyesuaian itu setelah diundangkan 3 tahun setelah diundangkan kemudian berlaku efektif kemudian ada penyesuaian. Pada saat penyesuaian itu sudah habis waktunya ya otomatis di dalam ketentuan ini ada beberapa catatan untuk pemberlakuan dari KUHP ini. Jadi ini memang perlu kehati-hatian disini pimpinan, jadi ada fase-fasenya yang sudah dijelaskan pada waktu terdahulu. Ini kemudian yang kami turunkan dengan melihat kepada ketentuan yang ada dan penyempurnaan pada yang lampiran ini. Yang sudah kami print. Mungkin bu tuti bisa tambahkan nanti.

 

Prof. Harkristuti Harkrisnowo (Tim Pemerintah):

Ini nanti minta di print ya. Powerpointnya. Izin pimpinan, jadi fasenya, diundangkan pada hari ini 2 tahun kemudian baru berlaku kemudian 3 tahun lagi penyesuaian. Dengan undang-undang terutama yang bersifat administratif. Ada 2 lagi pak undang-undang.

 

Benny K Harman (F-PD/Ketua Panja):

Kalo itu kan berarti jadinya 5 tahun. Padahal kan maksud kita pemberlakuan 2 tahun setelah diundangkan. Sebagai mana pada masa itu dilakukan penyesuaian kan. Terlalu lama. Pada saat undang-undang ini mulai berlaku, ketentuan mengenai tindak pidana. Nah ini kan kalo 3 tahun sejak berlakunya dan berlakunya sejak diundangkan itu boleh. Tapi diundangkan 2 tahun setelah ini, berlaku 2 tahun setelah diundangkan, dan pasal 775 ayat 1 ini, 3 tahun lagi baru penyesuaian.

 

Prof. Harkristuti Harkrisnowo (Tim Pemerintah):

Penyesuaiannya 2 tahun, tapi oleh isi undang-undang di luar KUHP itu tidak usah dilakukan dalam waktu singkat. Apalagi kalo dalam bentuk undang-undang. Berarti nanti Komisi III ga pernah libur. 200 dalam waktu 3 tahun. Gitu intinya.

 

Benny K Harman (F-PD/Ketua Panja):

Menurut saya rumusannya pasal ini pada saat undang-undang ini mulai berlaku, ketentuan mengenai tindak pidana harus disesuaikan. Apa yang dimaksudkan dengan disesuaikan? Apakah itu berarti pembentuk undang-undang harus merubah undang-undang lain untuk disesuaikan dengan KUHP. Menurut saya jangan begitu rumusannya. Semua yang bertentangan dengan ini harus dinyatakan tidak berlaku. Begitu. Jadi jangan sampai kita meminta lagi pembentuk undang-undang untuk membuat ini. Sistem hukum kita nanti akan amburadul. Jadi, pada saat undang-undang berlaku, 2 tahun setelah diundangkan maka semua yang bertentangan dengan ini, itu harus 1 majisia. Ini baru ada manfaatnya ini. Tapi kalo kita memberikan mandat lagi kepada pembentuk undang-undang, membuat undang-undang apakah menggantikan menyesuaikan. Sama lagi nanti peraturan pemerintah. Sama dengan kasus yang terjadi undang-undangnya sudah dirubah sudah diganti peraturan pelaksananya belum. Jadi bertentangan dengan undang-undang. Pelaksana aturan kan mengatakan ini kan masih berlaku. Selama peraturan pelaksananya belum diganti. Jadi kalo waktu 3 tahun itu tapi jangan, jangan lagi minta ke pembentuk undang-undang untuk membentuk undang-undang. Harus dinyatakan gitu. Kalo bisa begitu modelnya.

 

Prof. Harkristuti Harkrisnowo (Tim Pemerintah):

Izin pimpinan, tadi kami juga lama berdiskusi mengenai ini. Beberapa teman mengusulkan persis seperti yang pak ketua sampaikan. Yang menjadi masalah adalah peraturan perundangan-undangan kita kan sangat bervariasi. Misalnya, tentang unsur dari delik, kan masih ada yang dengan sengaja, melawan hukum, itu masih ada. Soalnya dalam pasal 12 itu kata dengan sengaja setiap tindak pidana dianggap ada bila ada dengan sengaja dan melawan hukum. Jadi tidak dirumuskan secara spesifik lagi seperti dalam KUHP. Sedangkan tindak-tindak pidana diluar itu kan sangat beragam. Mereka masih pake kata dengan sengaja dan juga melawan hukum. Dan juga yang berkaitan dengan sanksi-sanksinya. Nah ini yang diharapkan adalah yang bersifat administratif. Ada didalam undang-undang administratif. Karena undang-undang administratif itu kan ada persyaratannya. Ini kalo yang berkaitan dengan persyaratan tidak kita masukan sini, tapi yang berdiri sendiri, tadi contohnya apa ya bu, administratif yang berdiri sendiri. Jadi misalnya persyaratan seperti, apa namanya, tidak memiliki imb, itu kan tidak masuk pidana, sedangkan kalo membangun, membangunnya boleh tapi harus punya imb. Jadi sanksi semacam ini adalah sanksi yang dikenakan karena tidak mengikuti kewajiban persyaratan administrasi. Nah itu kalo dianggap tidak perlu ada perubahan, kami khawatirkan penegakan hukumnya nanti akan kesulitan bagi teman di lapangan. Jadi  kami memikirkan rumusan ini, supaya juga tidak memberikan multitafsir kepada mereka yang bekerja dalam penegakan hukum pak. Intinya seperti itu. Tadi memang lama sekali ya, karena begitu banyak undang-undang yang musti disisir. Tapi kalo dibiarkan, nanti membingungkan. Apalagi sanksi-sanksinya. Nanti yang belum, kami masukan di pasal yang terakhir adalah undang-undang apa saja yang nanti mesti dicabut karena pasal-pasalnya, beberapa itu sudah masuk ke dalam KUHP. Karena tidak mungkin kita membiarkan adanya dua ketentuan untuk tindak pidana yang sama. Intinya itu.

 

Benny K Harman (F-PD/Ketua Panja):

Ya Saya rasa ada dua soal, satu, soal waktu, 3 tahun, yang kedua, soal penyesuaian. Penyesuaian itu pola otomatis, yang kedua pola pasif dan pola aktif. Kalo pola pasif tidak mendudukan pembentuk atau pembuat peraturan untuk merubah. Itu pasif. Aktif membutuhkan tindakan lagi, pembuat peraturan harus membuat peraturan untuk disesuaikan dengan ini. Bolehlah kl 3 tahun ini ya tapi kalo bisa jangan lagi ini.

 

Prof. Harkristuti Harkrisnowo (Tim Pemerintah):

Ini dikunci pak, jadi apabila dalam jangka waktu 3 tahun belum dilakukan perubahan, buku I undang-undang ini berlaku.

 

Arsul Sani (F-PPP):

Izin pak ketua, dari sisi niat artinya seperti yang disampaikan pak ketua. Kalo ayat 1 ini kita taruh seperti ini, ini kan meletakan kewajiban moral ya pada pembentuk undang-undang, pemerintah dan dpr, untuk menyisirkan ini. Padahal tidak yakin saya punya kemampuan ini. Tidak yakin. Kenapa kok tidak langsung ya, yang pola pasif, artinya langsung, apabila dalam jangka waktu 3 tahun setelah ini apa, berlakunya KUHP, tidak ada perubahan atau penyesuaian maka berlakulah ketentuan yang ada d buku I. Jadi itu tidak membuktikan, ada satu statement yang didahului dengan itu tadi, pembebanan moral kepada pembentuk undang-undang. Gitu lho maksud saya.

 

Benny K Harman (F-PD/Ketua Panja):

Artinya bolehlah 3 tahun, tapi jangan membebani, jangan mengharuskan pembentuk undang-undang untuk membuat peraturan. Kalo gitu kan, ini dikunci disini. Kalo ga dibikin berarti pola pasif itu tadi.

 

Arsul Sani (F-PPP):

Hanya kalo pola pasif, kita ga memenuhi ya paling ga kita ga ikutlah pak dalam wanprestasi. Ini sunnah, kalo rumusan begini kan fardhu kifayah ini, kita harus bikin. Tapi kalo langsung masuk di ayat 2, ini sunnah, artinya kalo anda bikin pembentuk undang-undang itulah yang terbaik. Tapi ya kalo enggak, ya gak dosa. Kalo ini begini rumusannya, dosa ini.

 

Prof. Harkristuti Harkrisnowo (Tim Pemerintah):

Ya tadi alternatifnya kata harus mungkin untuk melunakkan bisa dihilangkan. Jadi pada saat undang-undang ini  berlaku, ketentuan mengenai tindak pidana di luar undang-undang ini disesuaikan.

 

Prof. Enny (BPHN/Tim Pemerintah):

Izin pimpinan, jadi kan beberapa kali kita, mengatakan bahwa KUHP ini ingin kita jadikan sebagai Konstitusinya Hukum Pidana, tapi persoalannya adalah kalo ditanya apakah ini semua sudah mencakup semuanya, sebenarnya dalam naskah akademik kami sudah menghimpun, jadi ada 200-an yang ketentuan pidana diluar KUHP. Yang ini memang tidak kemudian kita masukkan semua pak, ke dalam KUHP ini, oleh karena itulah ketika tidak dimasukkan, kami membagi, ada yang administratif. Ada yang kemudian dia adalah sifatnya memang independen crime. Yang memang dia tidak tergantung pada syarat, dia adalah tindak pidana yang memang kemudian kita tarik ke dalam KUHP ini. Nah yang ini nih kemudian, ada beberapa rumusan yang kita kan sudah menghilangkan dengan sengaja, kemudian sifat melawan hukum, karena itu adalah otomatis begitu. Kecuali kalo kealpaan. Sehingga yang begini kan membutuhkan satu kondisi yang kita ambil, apalagi core-nya, nah itu kan membutuhkan waktu untuk kemudian ada penyesuaian. Penyesuaian itu memang harus adanya pak,  hanya kemudian ada klausul berikutnya. Kalo tidak, kemudian ya kita buka ya kemudian berlaku. Kemudian kita buka lagi, kalo misalnya ada yang hal-hal yang memang ini adalah baru dari KUHP ini, kita berikan dengan istilah. Kalo yang misalnya dengan sengaja, kemudian melawan hukum, itu kita harus maknai seperti apa. Nah itu kemudian, misalnya termasuk kurungan, kita kan tidak mengenal kurungan sekarang. Nah trus kita apakan. Nah itu kita butuh semua itu pak. Makanya harus ada waktunya disitu.

 

Prof. Harkristuti Harkrisnowo (Tim Pemerintah):

Harusnya hilang. tapi kan kalo wajib kan harus disertai dengan sanksi.

 

Prof. Harkristuti Harkrisnowo (Tim Pemerintah):

Izin pak, agak susah karena cantolannya. Karena ini kan apabila. Jadi dia berkaitan dengan ayat diatasnya. Apabila didalam jangka waktu 3 tahun belum dilakukan perubahan. sebagaimana dimaksud pada ayat 1 harusnya ada seperti itu. Tapi ini mengacu pak. Jadi dia ga bisa ujug-ujug. Ujug-ujug tuh bahasa Indonesianya apa ya. Tiba-tiba. Disesuaikan saja langsung.

 

Prof. Harkristuti Harkrisnowo (Tim Pemerintah):

Karena yang berlaku itu kan ga boleh dipilah-pilah, harus seluruhnya.

 

TB Soemandjadja (F-PKS):

Saya bacakan ya pak ya, ayat 2 ini kita bagi 2, ayat 1 nya bunyinya begini, buku I undang-undang ini berlaku dan menjadi dasar bagi ketentuan pidana yang ada di luar undang-undang ini. Ayat 2 apabila dalam jangka waktu 3 tahun undang-undang ini berlaku, kembali lagi buku ini, ya karena tadi itu bu kita menghindari kata harus.

 

Prof. Harkristuti Harkrisnowo (Tim Pemerintah):

Saya bilang pak, supaya tidak terlalu berat kewajiban moral bagi kita bersama maka kata harusnya itu kalo di delete juga. Masih acceptable lah pak. Karena kalo kata wajib kita harus sertakan sanksinya. Agak berat juga. Mengkritisi undang-undang dikenakan sanksi apa.

 

Arsul Sani (F-PPP):

Aku terpilih tapi udah ga di komisi III lagi.

 

TB Soemandjadja (F-PKS):

Lepas tangan, maksudnya apa itu? hahaha

 

Prof. Enny (BPHN/Tim Pemerintah):

maksudnya beliau jadi pimpinan mpr, kan supaya selevel dengan pimpinan kami.

 

Arsul Sani (F-PPP):

jangan gitu dong, kita mau pensiun ah

 

Prof. Enny (BPHN/Tim Pemerintah):

RI berapa itu RI berapa, harusnya tidak ada masalah pak

 

TB Soemandjadja (F-PKS):

jadi kan masalahnya bukan harus, harusnya tidak ada masalah,

 

TB Soemandjadja (F-PKS):

kalo tidak pake jangka waktu, pada saat undang-undang ini mulai berlaku, ketentuan pidana di luar ketentuan ini disesuaikan, tunggu dulu pak. Yang kedua baru, apabila dalam jangka waktu gitu, kalo saya setuju ada kata harus, dia mengikat, jadi kita masukan aja kata ni, saya mohon maaf kl bapak kurang setuju saya sedelapan aja pak. Jadi pada saat undang-undang mulai berlaku, undang-undang diluar ini disesuaikan. Baru ayat 2 nya, apabila semuanya itu ya.

 

Prof. Harkristuti Harkrisnowo (Tim Pemerintah):

kalo menurut saya gapapa juga karena intinya tetap ada 3 tahun

 

TB Soemandjadja (F-PKS):

dikunci oleh ayat 2 nya itu. Kalo pake kata harus. Jadi tidak ada penjelasan bu. Jadi saya ulangi ya ayat pasal 775 ini, ayat 1, pada saat undang-undang ini mulai berlaku, ketentuan pidana diluar ketentuan ini disesuaikan, ayat 2 nya baru dipenuhi. Coba alternatifnya diketik aja.

 

Prof. Harkristuti Harkrisnowo (Tim Pemerintah):

jadi usulnya pak soeman ini, yang di ayat 1 tidak memakai jangka waktu. Nah baru di ayat 2. Tapi memang ayat 2 ini ada karena ada ayat 1 ini dengan jangka waktu pak. Jadi jangka waktu ini yang diharap juga, memberikan moral obligation pada pembentuk undang-undang.

 

Benny K Harman (F-PD/Ketua Panja):

gini lho, maksud saya, saya mengusulkan tadi, kita kasih bataslah. Yang kedua, batas ini memberikan tugas kepada pembentuk undang-undang. Jadi menurut saya tadi kalo bisa, kita tidak pake pola begitu. Kemudian dalam jangka waktu, kita tidak pake pola begitu. Jadi supaya tidak ada lagi. 3 tahun setelah undang-undang ini dinyatakan berlaku, ketentuan-ketentuan mengenai tindak pidana diluar undang-undang ini disesuaikan. Jangan kita kasih ke pembentuk undang-undang u tuk membuat perubahan penyesuaian dalam jangka waktu yang kita tentukan. Kita setujulah jangka waktu itu untuk melakukan penyesuaian. Jadi kita langsung aja, ini kan disini, pada saat undang-undang ini mulai berlaku. Undang-undang ini kan mulai berlaku 2 tahun setelah ditetapkan. Saya rasa undang-undang ini mulai berlaku, 3 tahun setelah ini, undang-undang ini mulai berlaku, ketentuan  mengenai tindak pidana yang tidak diatur dinyatakan tidak berlaku.

 

Prof. Harkristuti Harkrisnowo (Tim Pemerintah):

agak berat juga pak, karena kan tidak semua tindak pidana diluar kuhp ini, masuk disini, penyesuaian tadi pak.

 

Benny K Harman (F-PD/Ketua Panja):

ohiya tentu yang tadi bertentangan, yang tidak sesuai, kan begitu, yang bertentangan ini dinyatakan tidak berlaku, yang belum sejalan dengan itu harus dinyatakan. Jadi tanpa,

 

Prof. Harkristuti Harkrisnowo (Tim Pemerintah):

revisi

 

Benny K Harman (F-PD/Ketua Panja):

tanpa ada ini lagi. Kaya kita bikin anu lho, peraturan, dulu uu kewarganegaraan. Dulu kita debatnya gitu juga. Saya masih ingat waktu itu pemerintah, meminta supaya ada pasal peralihan. Yang mencantumkan, dalam jangka waktu sekian, pemerintah harus membuat peraturan pelaksana. Jadi perlu dinyatakan.

 

Prof. Harkristuti Harkrisnowo (Tim Pemerintah):

izin pimpinan, memang kemudian harus diinventarisasi. Ketentuan-ketentuan pidana dimana saja, yang nanti dicabut dan akan disesuaikan, atau kalo istilah MK nya, harus dibaca atau diganti kan gitu. Nah yang baru kami sesuaikan disini, yang ada didalam pasal 775 itu kan hanya yang berkaitan dengan sanksinya, pidana kurungan tidak lagi, harus diganti dengan denda misalnya. Tapi ketentuan-ketentua lain memang, apa namanya, harus disisir dulu satu-satu, dan kalo mau masuk ketentuan peralihan yang sekarang wasting time, karena kan semuanya pak. Kita tadi ada 200 pak.

 

Benny K Harman (F-PD/Ketua Panja):

tidak perlu disebut satu per satu, pasti ini juga ada resikonya, karena nanti yang akan menilai itu siapa,

 

Prof. Harkristuti Harkrisnowo (Tim Pemerintah):

iya pak. Yang menjadi kekhawatiran kami adalah tadi. Yang berhak menentukan itu siapa dan bagaimana kalo ada interpretasi yang berbeda dari para penegak hukum. Nanti ternyata polisi sm jaksa ternyata berbeda.

 

Benny K Harman (F-PD/Ketua Panja):

makanya pasal 775 itu, kontennya kalo bisa ayat 2 itu saja, jadi jangka waktu, 3 tahun setelah ini, 3 tahun setelah undang-undang ini berlaku, kan gitu,

 

Prof. Harkristuti Harkrisnowo (Tim Pemerintah):

Boleh ditulis ga dimas. Pada saat undang-undang ini mulai berlaku, dalam jangka waktu 3 tahun, ketentuan-ketentuan pidana diluar undang-undang ini. Harus disesuaikan.

 

Benny K Harman (F-PD/Ketua Panja):

gausah beda lagi, 3 tahun langsung saja, gitu lho, 3 tahun setelah undang-undang ini dinyatakan berlaku

 

Prof. Harkristuti Harkrisnowo (Tim Pemerintah):

sampe dalam jangka waktu coba hilang

 

Benny K Harman (F-PD/Ketua Panja):

segala ketentuan, kan gitu, yang berada diluar ini, atau kalo gini kan, pasal 775 ini kan, pertama memberikan beban kepada pembentuk undang-undang melakukan penyesuaian. Kalo setelah 3 tahun juga, tidak dilakukan penyesuaian

 

Prof. Harkristuti Harkrisnowo (Tim Pemerintah):

maka berlakulah buku I

 

Benny K Harman (F-PD/Ketua Panja):

gitu lho. Mendingan 3 tahun setelah berlakunya undang-undang ini, buku I berlaku. Kan gitu.

 

Prof. Harkristuti Harkrisnowo (Tim Pemerintah):

berarti ga ada jeda

 

Benny K Harman (F-PD/Ketua Panja):

Kita tetap jeda 3 tahun, tapi dalam 3 tahun itu jangan beri tugas pembentuk undang-undang. Tapi 3 tahun setelah undang-undang ini dinyatakan berlaku, buku I undang-undang ini menjadi dasar bagi ketentuan. Langsung saja.

 

Prof. Harkristuti Harkrisnowo (Tim Pemerintah):

dicopy dari ayat 2 yang orisinil. Itu mulai buku I nya

 

Benny K Harman (F-PD/Ketua Panja):

jadi supaya kita ga ada beban gitu lho temen-temen yang masih mau jadi anggota dewan, masuk pemerintah ya kan, yang kita tahu ga mungkin dijalankan.

 

Prof. Harkristuti Harkrisnowo (Tim Pemerintah):

dalam jangka waktu selanjutnya undang-undang ini berlaku, buku I undang-undang ini

 

Benny K Harman (F-PD/Ketua Panja):

atau bisa dibalik kan, buku kesatu menjadi dasar bagi ketentuan pidana yang ada di luar undang-undang ini, setelah 3 tahun diundangkan. Bisa juga. dinaikan kan.

 

Prof. Harkristuti Harkrisnowo (Tim Pemerintah):

alternatif coba, buku I nya dicopy, buku I nya di awal. Nah itu di belakang.

 

Benny K Harman (F-PD/Ketua Panja):

setelah 3 tahun undang-undang ini berlaku,

 

Prof. Harkristuti Harkrisnowo (Tim Pemerintah):

dalam jangka waktu dihapus. Eh 3 tahun setelah itu ada dua, yang pertama hilang.

 

Benny K Harman (F-PD/Ketua Panja):

atau kalau mau anu, dinyatakan setelah undang-undang ini dinyatakan berlaku, buku kesatu menjadi dasar sebagaimana diatas.

 

Prof. Harkristuti Harkrisnowo (Tim Pemerintah):

dalam jangka waktunya hilang

 

Benny K Harman (F-PD/Ketua Panja):

iya, 3 tahun setelah undang-undang ini berlaku, buku kesatu undang-undang ini menjadi dasar bagi ketentuan-ketentuan pidana yang berada di luar undang-undang ini. Jadi ini jelas 3 tahun, setelah undang-undang ini berlaku baru 2 tahun setelah diundangkan berarti 3 tahun. Ya kan? Atau kecuali ada pertimbangan lain pemerintah.

 

TB Soemandjadja (F-PKS):

begini pak ketua, setelah 3 tahun, angka tiga dalam kurung tiga gitu menurut saya

 

Benny K Harman (F-PD/Ketua Panja):

setelah 3 tahun itu berarti, setelah 3 tahun undang-undang ini berlaku, setelah 3 tahun ini kapan, kalau mau sejak, ya kan, atau kalau mau kita pake kalimat, ketentuan yang terdapat dalam buku kesatu undang-undang ini begitu, supaya jangan kurang begitu lho. Jadi dalam jangka waktu, bisa juga, dalam jangka waktu 3 tahun setelah undang-undang ini berlaku, ketentuan dalam buku kesatu, menjadi dasar bagi.

 

Prof. Harkristuti Harkrisnowo (Tim Pemerintah):

enggak pak, ketentuannya sudah ada disana.

 

Benny K Harman (F-PD/Ketua Panja):

oh ada, yaudah. Apabila dalam waktu 3 tahun sejak undang-undang ini berlaku. Sejak undang-undang ini dinyatakan berlaku. Buku kesatu menjadi dasar bagi ketentuan-ketentuan pidana. Kalo bisa buku kesatu, ya, harus menjadi dasar bagi ketentuan, kan gitu.

 

Benny K Harman (F-PD/Ketua Panja):

saya rasa alternatif 2 itu yang paling dalam, dalam jangka waktu 3 tahun undang-undang ini dinyatakan berlaku, buku kesatu menjadi dasar bagi ketentuan-ketentuan pidana. Jadi tidak ada, berarti kan ayat 1 yang memberikan perintah kepada pembentuk undang-undang melakukan penyesuaian ga usah. Ya kan. Otomatis kan jadi.

 

TB Soemandjaja (F-PKS):

tapi bisa dilakukan?

 

Benny K Harman (F-PD/Ketua Panja):

oh boleh

 

Prof. Harkristuti Harkrisnowo (Tim Pemerintah):

tidak dilarang. Tapi tidak diwajibkan. Fardhu apa tadi pak? Fardhu Ain apa fardhu kifayah pak?

 

Arsul Sani (F-PPP):

Sunnah

 

Benny K Harman (F-PD/Ketua Panja):

Masih, artinya dalam tempo itu masih bolehlah, itu kan begitu, tapi kan tapi setelah 3 tahun itu, tidak bisa lagi. Ya walaupun saya sendiri terlalu lama.

 

Prof. Harkristuti Harkrisnowo (Tim Pemerintah):

ya kan penyesuaiannya kan, tapi kan kalo berlakunya kan gatau.

 

Benny K Harman (F-PD/Ketua Panja):

sebetulnya kan 2 tahun itu kan masanya untuk penyesuaian. Itu maksudnya, penyesuaian itu. Jadi kalo 5 tahun begini aduh.

 

Prof. Harkristuti Harkrisnowo (Tim Pemerintah):

banyak soalnya hehehe

 

Prof. Enny (BPHN/Tim Pemerintah):

berarti 2020 ya

 

Arsul Sani (F-PPP):

tapi kalo pake satu undang-undang boleh bu? Untuk semua penyesuaian itu?

 

Prof. Harkristuti Harkrisnowo (Tim Pemerintah):

mungkin, tapi semua undang-undang dilampirkan. Perubahan-perubahannya seperti apa. Jadi tadi pak muzzakir, tadi juga sebelumnya kita bicarakan mengusulkan apakah mungkin perubahan undang-undang itu ada dalam satu undang-undang. Jadi nanti isinya undang-undang tentang apa itu tadi, diskriminasi ras, diubah pasal sekian menjadi apa. Jadi satu undang-undang. Jadi nanti perubahannya, uu no 40 tahun 2006 misalnya sebagaiman diubah dengan undang-undang yang ini. Jadi semua undang-undang yang berubah tadi mengacu ke satu undang-undang.

 

Arsul Sani (F-PPP):

ya kemudian judulnya apa itu? Uu tentang perubahan atas pasal sekian pasal sekian penggabungan.

 

Muzakkir:

penyesuaian aja.

 

Prof. Harkristuti Harkrisnowo (Tim Pemerintah):

perubahan untuk penyesuaian pidana dalam pemberlakuan atau bagi pemberlakuan kuhp kira-kira begitu. Tapi yang belum ada gausah dipikiran pak, yang ada dulu kita pikirin.

 

Arsul Sani (F-PPP):

artinya bikin juga uuu tentang pemberlakuan kuhp kan.

 

Prof. Harkristuti Harkrisnowo (Tim Pemerintah):

ya itu. Yang dulu kan kita pisah.

 

Benny K Harman (F-PD/Ketua Panja):

konsep lama kan memang gitu. Ada undang-undang pemberlakuan. Yang menurut kita sama dengan mematikan buku ini. Udah benar ini pak. Kita kunci saja dari dalam. Silahkanlah mau dilakukan penyesuaian atau apa.

 

Arsul Sani (F-PPP):

iya pak, makanya.

 

Benny K Harman (F-PD/Ketua Panja):

Cuma tadi pertanyaan saya, kok terlalu lama? Padahal kan maksud kita memberikan tenggang waktu 2 tahun kan, semenjak undang-undang ini diundangkan itu kan maksudnya supaya bisa dilakukan penyesuaian. Kalo enggak ya berarti kita perpendek gitu lho. Mendingan diberlakukan begini. Pada saat undang-undang ini disahkan. Lalu ini berlaku 3 tahun setelahnya. 3 tahun masuk akal ga. 3 tahun gitu lho.

 

Prof. Enny (BPHN/Tim Pemerintah):

kan paling lama ini pak.

 

Benny K Harman (F-PD/Ketua Panja):

3 tahun lah, coba ibu bayangkan kita ketemu lagi, bahas itu lagi. 3 tahun. Saya juga, saya gatau ya, undang-undang. Ini 5 tahun. 3 tahun ajalah coba.

 

Prof. Harkristuti Harkrisnowo (Tim Pemerintah):

sebenarnya pak yang 3 tahun itu kan penyesuaian. Tapi sesudah berlaku 2 tahun.

 

Benny K Harman (F-PD/Ketua Panja):

kan sama aja 5 tahun.

 

Prof. Harkristuti Harkrisnowo (Tim Pemerintah):

berbeda pak, karena kuhp ini berlaku pada tahun 2020 tapi undang-undang lain itu disesuaikan dikasih waktu. Bukan berarti khp nya ga berlaku ya, tetap berlaku pak. Bukan 5 tahun lagi berlakunya pak.

 

Benny K Harman (F-PD/Ketua Panja):

iya maksud saya, yang lain, yang bertentangan dengan ini. Ini memang berlaku, tapi yang lain-lain kan itu masih eksis. Gitu lho. Terlalu lama.

 

Prof. Harkristuti Harkrisnowo (Tim Pemerintah):

saya ga berani janji

 

Benny K Harman (F-PD/Ketua Panja):

3 tahun lah. Makanya sistem tadi pasif jangan aktif. Begitu lho. Jadi beban kalo waktunya cuma 3 tahun. Pusing kita cara pandang undang-undang ini. Dan prosesnya berulang-ulang kan ibu tau. Belum mulai prolegnas lagi nanti. Ga bakal jadi.

 

TB Soemandjaja (F-PKS):

kalo pemerintah kan permanen ya kan pak ketua, berarti bisa lanjut. Hehehe. Yang pening ini kita di dpr.

 

Benny K Harman (F-PD/Ketua Panja):

atau gimana, kita pending? Kalo enggak dipending, ya ngomong apa? Jadi coba satu-satu, PPP apa?mau 3 tahun apa 5 tahun?

 

Arsul Sani (F-PPP):

saya yang paling penting bukan soal 3 tahun atau 5 tahun, tetapi tidak pake stelsel aktif yang mewajibkan pembentuk undang-undang untuk punya kewajiban moral. Yang kedua, ini sudah benar, harus sekarang, ga bisa dipending. Karena ini terkait dengan pasal-pasal di belakangnya. Saya sudah baca itu. Jadi ini ya harus jelas ini. Pasal 775 pertama ini. Jadi saya lebih, apapun ya, alternatifnya, tapi ya itu tadi dalam jangka waktu 3 tahun, itu buku I menjadi dasar, itu aja. Tapi jangan diletakkan ini, ini jadi bahan ketawaan kita.

 

Prof. Harkristuti Harkrisnowo (Tim Pemerintah):

izin pimpinan ya, saya selalu berfikir kalau memang, saya tidak tahu meskipun betul apa enggak, dalam apabila pasal 775 ini tetap tetapi yang namanya disesuaikan itu bukan berarti namanya di setiap undang-undang. Tapi ada di satu undang-undang yang no no passing gitu. Nah itu waktunya 1 tahun. Jadi 3 tahun tadi pak ketua minta. Jadi bukan revisi seluruh undang-undang, eh sebenarnya iya tapi dimasukkan dalam satu undang-undang.

 

Benny K Harman (F-PD/Ketua Panja):

kalau begitu poinnya, kita masukan saja disini, perlu disusun undang-undang untuk pemberlakuan kuhp yang harus diselesaikan satu tahun sejak undang-undang ini diberlakukan. Gitu aja.

 

Prof. Harkristuti Harkrisnowo (Tim Pemerintah):

pemerintahnya ini sanggup ga?

 

Benny K Harman (F-PD/Ketua Panja):

karena saya tahu betapa sulitnya prosesnya undang-undang. Jadi jangan ruang lagi disini. Iya saya ngerti makanya semua yang ada dimana-mana itu. Otomatis ini. Trus yang kedua, sesuai juga dengan kita punya prinsip bahwa KUHP ini adalah konstitusinya. Itu poinnya, Karena itu sekarang, yang tidak sejalan dengan ketentuan buku kesatu, gausah nunggu lagi pemerintah untuk menyatakan itu tidak berlaku.

 

Arsul Sani (F-PPP):

demi hukum berlaku, terlepas ada undang-undang penyesuaian atau tidak.

 

Benny K Harman (F-PD/Ketua Panja):

makanya dalam anu kan sepanjang bertentangan dengan KUHP. Saya mengusulkan waktunya jangan 3 tahun. Karena sudah ada 2 tahun, undang-undang ini berlaku 2 tahun setelah undang-undang ini diundangkan. Kenapa 2 tahun kita kasih kesempatan? Biar pemerintah bisa penyesuaian, sosialisasi dan sebagainya. Mestinya setelah itu setahun aja paling lama, sudah dijadikan rujukan. Masa 5 tahun, 3 tahun lah. Kalau bapak kepilih jadi anggota dewan lagi periode nanti, bahas ini lagi. Jadi tidak ada penambahan 3 tahun lagi. Tapi masa berlaku itulah masa sosialisasi.

 

Arsul Sani (F-PPP):

intinya dari semua ini, pertama adalah kita jangan meletakan kewajiban pada diri kita sebagai pembentuk undang-undang untuk kemudian melakukan penyesuaian. Jangan mewajibkan, tapi kalo itu kita lakukan ya bagus itu. Itu sunnah itu aja. Kalo soal jangka waktunya ya monggo. Mau 2 tahun plus 1 tahun silahkan, mau 2 tahun 2 tahun ya silahkan. Saya ingin mengingatkan karena agenda kita itu yang seksi setelah ini itu KUHAP. Bukan kembali ke ini. KUHAP.

 

Benny K Harman (F-PD/Ketua Panja):

jadi sudah kita ambil rumusan yang alternatif kedua, dalam jangka waktu 1 tahun, ya kan, sejak undang-undang ini dinyatakan berlaku, 2 tahun setelah diundang-undangkan begitu, buku kesatu, bisa juga menjadi begini rumusannya buku kesatu undang-undang ini menjadi dasar bagi ketentuan ketentuan pidana titik. Bagaimana kalau begini aja nih, buku kesatu undang-undang ini menjadi dasar bagi ketentuan-ketentuan pidana.

 

Prof. Enny (BPHN/Tim Pemerintah):

diluar undang-undang ini pak

 

Benny K Harman (F-PD/Ketua Panja):

Tidak usah lagi diluar. Umum saja sudah, ngapain pake begitu lagi.

 

Prof. Harkristuti Harkrisnowo (Tim Pemerintah):

kan kalo yang disini sudah pasti.

 

Benny K Harman (F-PD/Ketua Panja):

buku kesatu menjadi dasar bagi ketentuan-ketentuan pidana manapun.

 

Arsul Sani (F-PPP):

tambahkan di penjelasan kalau mau.

 

Benny K Harman (F-PD/Ketua Panja):

ya kan, bagi semua ini, jadi ketentuan pidana, ga ada lagi yang diluar ini. Atau pake sekali kata diluar.

 

Prof. Enny (BPHN/Tim Pemerintah):

iya pak, karena banyak sekali diluar.

 

Benny K Harman (F-PD/Ketua Panja):

buku kesatu undang-undang ini, yaudah.

 

Prof. Harkristuti Harkrisnowo (Tim Pemerintah):

diluar undang-undang ini

 

Benny K Harman (F-PD/Ketua Panja):

Menjadi dasar bagi ketentuan pidana yang diatur diluar undang-undang ini. Ya kan. Yang ada atau yang diatur.

 

Prof. Harkristuti Harkrisnowo (Tim Pemerintah):

gausah pake yang ada. Ketentuan pidana diluar undang-undang ini.

 

Prof. Enny (BPHN/Tim Pemerintah):

tapi memungkinan ada pengecualian pak karena kita punya pasal 218. Pasal 218 yang sudah disetujui.

 

Prof. Harkristuti Harkrisnowo (Tim Pemerintah):

buku I, pasal 103 KUHP

 

Prof. Enny (BPHN/Tim Pemerintah):

di buku I itu, ketentuan dalam bab I sampai bab V buku I berlaku juga bagi perbuatan yang dapat dipidana menurut peraturan perundang-undangan lain kecuali ditentukan lain menurut undang-undang.

 

Benny K Harman (F-PD/Ketua Panja):

iya dong, itu kan berarti tindak pidana khusus. Tetap ini tidak menghapuskan kekhususan. Karena sudah kita kunci kan didepannya.

 

Prof. Harkristuti Harkrisnowo (Tim Pemerintah):

itu dihapus yang lain-lain. Kecuali alternatif 2. Iya itu dihapus. Alternatif 1 juga dihapus. Atasnya juga, langsung saja.

 

Benny K Harman (F-PD/Ketua Panja):

oke? Kalau mau ini kan, nanti dibelakang undang-undang berlaku. Ya oke? Oke. Ketuk palu.

 

Benny K Harman (F-PD/Ketua Panja):

pasal 776, pada saat undang-undang ini mulai berlaku, a. Kualifikasi kejahatan dan pelanggaran yang disebut dalam undang-undang diluar undang-undang ini atau peraturan daerah harus dimaknai, ada peraturan lain? Peraturan lain tidak ada?

 

Prof. Harkristuti Harkrisnowo (Tim Pemerintah):

ga boleh pak. Yang boleh undang-undang dan perda.

 

Benny K Harman (F-PD/Ketua Panja):

peraturan lain ga bisa?

 

Prof. Enny (BPHN/Tim Pemerintah):

PP juga ga boleh pak.

 

Benny K Harman (F-PD/Ketua Panja):

Kualifikasi kejahatan dan pelanggaran yang disebut dalam undang-undang diluar undang-undang ini atau peraturan daerah harus dimaknai sebagai tindak pidana. Ini kan bahasa MK ya gitulah. Dimaknai ya kan. Harus dimaknai sebagai tindak pidana sebagaimana diatur dalam undang-undang ini ya. Oke? Oke?

 

DPR dan Pemerintah:

ya, setuju

 

Benny K Harman (F-PD/Ketua Panja):

setuju. Ketuk palu.

 

Benny K Harman (F-PD/Ketua Panja):

  1. istilah badan hukum yang berbentuk perseroan terbatas, yayasan, perkumpulan, korporasi, badan usaha milik negara, daerah, atau yang disamakan dengan itu, jangan lupa badan usaha milik desa. BUMDes.

 

Prof. Harkristuti Harkrisnowo (Tim Pemerintah):

emang ada ya?

 

Prof. Enny (BPHN/Tim Pemerintah):

ada, berdasarkan undang-undang desa

 

Benny K Harman (F-PD/Ketua Panja):

atau yang disamakan dengan itu atau badan usaha yang berbentuk privat, persekutuan komanditer atau yang disamakan dengan itu yang diatur dalam undang-undang ini. Tidak usah atau peraturan daerah. Tidak usah.

 

Prof. Enny (BPHN/Tim Pemerintah):

apa yang disamakan dengan itu

 

Prof. Harkristuti Harkrisnowo (Tim Pemerintah):

enggak, enggak ada.

 

Benny K Harman (F-PD/Ketua Panja):

harus dimaknai sebagai korporasi sebagaimana dimaksudkan dalam undang-undang ini. Bagaimana?

 

Prof. Harkristuti Harkrisnowo (Tim Pemerintah):

ditentukan.

 

Benny K Harman (F-PD/Ketua Panja):

oke? Jangan lupa BUMDes tadi.

 

Prof. Harkristuti Harkrisnowo (Tim Pemerintah):

tambahin des.

 

Benny K Harman (F-PD/Ketua Panja):

oke? Setuju ya?

 

Prof. Harkristuti Harkrisnowo (Tim Pemerintah):

ya

 

Benny K Harman (F-PD/Ketua Panja):

ketuk palu.

 

Benny K Harman (F-PD/Ketua Panja):

memang tidak ada istilah. Didepan tidak ada istilah? Soal ini.

 

Prof. Harkristuti Harkrisnowo (Tim Pemerintah):

ini kan diundang-undang lain. Kata-kata itu harus dikawal. Sehingga nanti ketentuan pidananya dapat digunakan.

 

Arsul Sani (F-PPP):

ini penegasan aja.

 

Benny K Harman (F-PD/Ketua Panja):

penegasan ya.

 

Prof. Enny (BPHN/Tim Pemerintah):

kalo korporasi kan sudah.

 

Benny K Harman (F-PD/Ketua Panja):

perseroan terbatas, yayasan, perkumpulan, korporasi, badan hukum atau apa saja yang sama dengannya ya. Huruf c. Istilah benda berwujud termasuk air dan uang giral, dan benda tidak berwujud termasuk aliran listrik, gas, data dan program komputer, jasa termasuk jasa telepon, jasa telekomunikasi, atau jasa komputer yang diatur dalam Undang-Undang di luar Undang-Undang ini harus dimaknai sebagai barang sebagaimana ditentukan dalam Undang-Undang ini. Tapi ini tidak termasuk putusannya hakim bismar dulu ya? Hehehe

 

Prof. Harkristuti Harkrisnowo (Tim Pemerintah):

enggak pak, enggak termasuk.

 

Trimedya Panjaitan:

Benda yang berharga sangat, barang yang sangat berharga

 

 

Benny K Harman (F-PD/Ketua Panja):

ya, oke?

 

Prof. Harkristuti Harkrisnowo (Tim Pemerintah):

ya

 

Benny K Harman (F-PD/Ketua Panja):

makasih banyak. Ketuk palu.

 

Benny K Harman (F-PD/Ketua Panja):

  1. istilah pegawai negeri, penyelenggara negara, pejabat publik, pejabat daerah, orang yang menerima gaji atau upah dari keuangan negara atau daerah, orang yang menerima gaji atau upah dari korporasi yang menerima bantuan, yang mempergunakan modal atau fasilitas dari negara atau masyarakat, pejabat publik asing, atau yang disamakan dengan pejabat yang diatur dalam Undang-Undang di luar Undang-Undang ini. Apa udah betul ini? harus dimaknai sebagai pejabat sebagaimana ditentukan dalam Undang-Undang ini.

 

TB Soemandjaja (F-PKS):

belum betul ini, tadi kita didalam huruf sebelumnya itu membuat generalisasi pada undang-undang nomer 6 tahun 2014. Saat ini kita juga mengambil istilah dari undang-undang yang ada, ada undang-undang nomer 5 tahun 2014 tentang ASN. Kemudian ada juga undang-undang yang menyebut dengan tegas tentang TNI dan Polri. Nah kira-kira akan diapakan ini terminologi hukum yang sudah ada. Makasih.

 

Prof. Enny (BPHN/Tim Pemerintah):

jadi memang pak soal pejabat ini kami memang melihatnya tidak pada undang-undang asn saja tetapi juga undang-undang penyelengaraan negara. Karena kalo dalam asn itu dalam pasal 122 memang disebutkan pejabat negara. nah pejabat negara tersebut sudah kami masukkan disini tetapi juga memang ada penyelenggara negara yang terdiri dari pejabat eksekutif, yudikatif, legislatif, jadi ini yang kami liat dengan cermat masing-masing, tetapi juga didalam pemikiran kami dalam UU ASN hanya terkait ASN dan P3K Pak, yang TNI Polri makanya isitilahnya PNS, atau yang dimaknai sama dengan itu, itu sudah bisa mengcover pengertian pegawai negeri. Karena sepanjang dia mendapatkan gaji atau akses anggaran dari negara atau daerah itu masuk, bahkan kemarin Bapak Jaksa Agung kita mengatakan termasuk ketua adat, karena mereka juga mendapatkan anggarannya.  Makanya kita tidak menghilangkan kata sepanjang tidak dimaknai,

 

Arsul Sani (F-PPP):

Perangkat desa? RT RW Jakarta kena ga?

 

Prof. Enny (BPHN/Tim Pemerintah):

Makanya kita tidak menghilangkan kata sepanjang dimaknai. Atau yang dapat disamakan dengan pejabat.

 

Benny K Harman (F-PD/Ketua Panja):

Oke ada lagi, sudah jelas? Pak Ikhsan? Ketuk palu.

 

 

 

Benny K Harman (F-PD/Ketua Panja):

Pasal 777, ayat (1) pada saat ayat ini mulai berlaku, semua sanksi pidana sehubungan sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundang-undangan di luar uu ini diganti sanksi pidana sebagai berikut:, ini sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundang-udangan  di luar UU, perlu ingat tadi tidak?

 

Prof. Harkristuti Harkrisnowo (Tim Pemerintah):

Tadi kita langsung sebutkan UU dan Perda, ini termasuk dua-duanya

 

Benny K Harman (F-PD/Ketua Panja):

Diganti

 

Prof. Harkristuti Harkrisnowo (Tim Pemerintah):

Iya termasuk dua-duanya

 

Benny K Harman (F-PD/Ketua Panja):

Baik Ibu, apakah ada pengaturan kalau harus melihat peraturan perundang-undangannya dulu tidak?

 

TB Soemandjaja (F-PKS):

UU 12 Pasal 7 itu ayat (1), dia lengkap disitu,

 

Benny K Harman (F-PD/Ketua Panja):

Jadi ini istilahnya perundang-udangan atau langsung UU dan Peraturan Daerah?

 

Prof. Harkristuti Harkrisnowo (Tim Pemerintah):

Bisa Pak, kita bisa ganti UU dan Perda, biar konsisten dengan yang tadi. UU diluar UU ini, dan peraturan ini, jadi diluar UU nya selesai kata UU yang merah atau dalam peraturan daerahnya yang dipotong, atau atau dan ya? Dan jadi pakai dan

 

Benny K Harman (F-PD/Ketua Panja):

Oke, Bahasa Indonesia? Anggap saja sudah, oke setuju ya. Oke. a. Sanksi pidana kurungan kurang dari 6 bulan diganti sanksi pidana denda kategori 1. Bukannya tadi ini kita pakai pasal sapu jagat tadi diatas, ini tadi kan yang kita maksudkan,

 

Prof. Harkristuti Harkrisnowo (Tim Pemerintah):

Ini ketentuan pidana hanyalah salah satu yang ingin berbeda dengan UU yang berlaku, tapi kan ada hal-hal lain Pak seperti dengan sengaja, melawan hukum dan lainnya

 

Benny K Harman (F-PD/Ketua Panja):

Ya intinya sanksi pidana kurungan oke, dan sanksi pidana kurungan 6 bulan dengan denda kategori II, yak an? Oke? b. Peraturan perundangan-undangan yang menetapkan sanksi pidana denda sebagai alternative pidana denda melebihi kategori II diberlakukan kategori sanksi pidana sesuai dengan UU atau  peraturan daerah. Nah ini kenapa peraturan perundang-undangan yang menetapkan sanksi pidana, memang ada peraturan perundang-undangan

 

Prof. Harkristuti Harkrisnowo (Tim Pemerintah):

Ya tadi ada peraturan perundang-undangan, ganti lagi UU, yang diatas tadi. UU dan Perda.

 

Benny K Harman (F-PD/Ketua Panja):

Oke ya

 

Prof. Harkristuti Harkrisnowo (Tim Pemerintah):

Terus terang Pak, pasal ini kami  ada catatan, jadi begini, kami melihat salah satu contoh kecil, adalah UU No 5 tahun 1999 tentang Monopoli, itu ada pidana kurungan 6 bulan lalu alternatifnya 100 Miliyar, padahal kalau pidana nya ringan itu, itu kan pidana nya kurang dari 6 bulan, nah itu sama dengan ketegori 1 yang mana paling banyak Rp 10 Juta, jadi apakah kita masih butuh? Karena kan dampaknya ayat (1) mana kala terjadi perubahan perundang-undangan, ketika tindak pidana terjadi, maka yang dipakai adalah yang menguntungkan, kalau seperti ini kan menjadi memberatkan, di monopoli kan jadi memberatkan. Nah tadi kami belum selesai karena kami belum tahu, dan itu tudak sedikit Pak yang seperti itu, UU yang memberikan sanksi pidana kurungan atau penjara yang ringan tapi sanksi denda nya tinggi sekali.

 

Benny K Harman (F-PD/Ketua Panja):

Ya mungkin maksudnya supaya, jadi karena tindak pidana ekonomi jadi lebih berat. kan prinsipnya kan daripada perusahaan ini masuk bui ya kan, mendingan kan dia bayar, ya kan gitu.

 

Arsul Sani (F-PPP):

Jadi ketentuannya tidak bersifat alternatif, kumulatif kan itu.

 

Prof. Enny (BPHN/Tim Pemerintah):

Kalau di monopoli tidak Pak, di monopoli itu dia kebetulan dendanya 100 Miliyar, tidak bisa bayar kena kurungan 6 bulan, padahal 6 bulan kategori 1

 

Prof. Harkristuti Harkrisnowo (Tim Pemerintah):

Jadi tidak bisa bayar 100 Miliyar diganti dengan kurangan, padahal Rp 10 juta, jadi kita agak bingung, kan di Pasal 3 ayat (1) harus yang menguntungkan, tapi kalau kita lihat begini, ini kan berarti akan merugikan, oleh sebab itu kita memberikan pengecualian hanya artinya bertentangan dengan Pasal 3 ayat (1). Jadi perlu dipertanyakan kalau disesuaikan seperti apa?

 

Taufiqulhadi:

Mau tanya Bu sedikit, pas menyisir itu UU dan sebagainya, termasuk juga menyisir keputusan menteri, pemerintah, dan lainnya?

 

Prof. Harkristuti Harkrisnowo (Tim Pemerintah):

Belum

 

Taufiqulhadi:

Ada tidak keputusan menteri, PP, yang memberikan sanksi pidana

 

DPR dan Pemerintah:

tidak boleh

 

Benny K Harman (F-PD/Ketua Panja):

Setahu saya ini UU Monopoli ini prinsipnya untuk pengusaha, sanksi kompensasi upaya ganti rugi kan istilahnya, ini kan bukan pikiran pidana. Sanksi apalah kita. Oke untuk sementara kita terima dulu aja ya

 

TB Soemandjaja (F-PKS):

Pak Ketua, izin, jadi ini istilah UU dan Perda kalau mau huruf besar, huruf besar, sebaginya besar, karena menyesuaikan naskah akademik

 

Benny K Harman (F-PD/Ketua Panja):

  1. Undang-undang yang menetapkan sanksi denda yang melibihi jumlah kategori VI pada kualifikasi tindak pidana yang sama maka dijatuhkan pidana denda kategori I

 

Prof. Harkristuti Harkrisnowo (Tim Pemerintah):

Kalau dilihat Rp 100 Miliyar jadi Rp 15 Miliyar, karena kami paling tinggi Rp 15 Miliyar, jadi bagaimana tuh Pak?

 

Benny K Harman (F-PD/Ketua Panja):

Kita sesuaikan aja dengan ini, menggunakan UU

 

TB Soemandjaja (F-PKS):

Jadi Bu, dengan adanya UU maka menjadi lebih rendah, jadi bikin kategori baru aja, maksimal gitu

 

Prof. Enny (BPHN/Tim Pemerintah):

Kalau gitu yang kecil juga ada Pak, karena kita kan juga punya yang 200, 50 ribu

 

Benny K Harman (F-PD/Ketua Panja):

Tapi kan itu kelihatan lah ya

 

Prof. Harkristuti Harkrisnowo (Tim Pemerintah):

Kami kategori 1 itu maksimal 10 juta Pak, dan ini saya nanya-nanya, apa boleh ya kategori yang I sampai dengan VI di KUHP ini hanya berlaku bagi KUHP, karena kalau kita lihat di jalan-jalan, bisa denda Rp 10 juta, masa perda harus menentukan denda nya maksimal Rp 10juta. Sampai saya bertanya dengan teman di Belanda yang menginspirasi para perancang RUU untuk menyusun matriks denda, saya tanya apakah di Belanda ketentuan denda hanya terdiri 6 kategori untuk seluruh tindak pidana, saya tidak yakin, bagimana untuk yang hanya melakukan ciwalking?

 

Benny K Harman (F-PD/Ketua Panja):

Ya kan kita ada tindakan bukannya? Tidak termasuk ini?

 

Prof. Harkristuti Harkrisnowo (Tim Pemerintah):

Tidak Pak, kebetulan ini yang berkaitan dengan kurungan, karena kan kurungan tidak berlaku lagi Pak di KUHP

 

Benny K Harman (F-PD/Ketua Panja):

Ya sudah kita sesuaikan saja

 

TB Soemandjaja (F-PKS):

Baik Pak Ketua dengan demikian kita buat ketentuan baru saja ya Pak untuk kasus-kasus tertentu

 

Benny K Harman (F-PD/Ketua Panja):

Ya makanya nanti, ini sudah oke

c.

 

Prof. Harkristuti Harkrisnowo (Tim Pemerintah):

Izin Pak Ketua, apakah kita akan menambah kategori karena kategori kami maksimal Rp 15 Miliyar,

 

Benny K Harman (F-PD/Ketua Panja):

Kalau bisa tambah lah satu kategori, diatas saja, diatas Rp 15 Milyar, tapi nanti harus disisisr lagi untuk strukturisasi, oke. Tolong disesuaikan lagi ini b. Oke 2. Dalam hal sanksi pidana yang diancamkan secara alternatif, dengan pidana kurungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), melebih kelipatan 2 dalam kategori II tetap masuk ke dalam peraturan perundang-undangan,

 

Prof. Harkristuti Harkrisnowo (Tim Pemerintah):

Sama dengan yang tadi maksudnya, yang sedang kita carikan

 

Benny K Harman (F-PD/Ketua Panja):

Tidak usah lah, kita ini tidak konsisten kita, hapus ini

 

Prof. Enny (BPHN/Tim Pemerintah):

Tapi pertanyaan saya ini belum, bagaimana dengan yang kecil-kecil Pak? Misalnya denda kecil.

 

TB Soemandjadja (F-PKS):

Coba dibuka dulu lagi deh kategori-kategori dendanya.

 

Prof. Enny (BPHN/Tim Pemerintah):

Nah dijatukan paling sedikit Rp 100 ribu

 

Prof. Harkristuti Harkrisnowo (Tim Pemerintah):

Nah dalam sebenarnya itu masuk kategori

 

Benny K Harman (F-PD/Ketua Panja):

Jadi kalau menurut saya kategori 1 jangan limitatif itu, kasih range, ya kan. Misalnya Rp 1 juta sampai dengan Rp 10 juta, misalnya Rp 100 ribu sampai berapa

 

Marcus Priyo Gunarto:

Saya ingin mengingatkan saja, bahawa masig-masing daerah itu memiliki kemampuan yang berbeda-beda, jadi kalau ditentukan minimum , itu akan menimbulkan persoalan, jadi di dalam UU lalu lintas, itu pelanggaran tidak bawa SIM maksimal denda Rp 200 ribu, tapi kalau kita lihat per daerah itu ada hanya yang Rp 40ribu, dan itu juga semuanya dipukul rata, misalnya di Kabupaten Sleman, mungkin di Kabupaten yang lain bisa lebih dari pada itu, kalau minimumnya sudah ditentukan tentu akan menimbulkan masalah, termasuk UU lalu lintas jalan, sanksi pidananya juga tentu akan mengacu pada UU ini, itu lah problem jika menggunakan ketentuan minimum

 

TB Soemandjadja (F-PKS):

Pak Ketua, saya izin saya setuju dengan peringatan itu, kalau masih memungkinkan kita mengambil kategori 1 itu, saya koreksi dulu penggunaan kata paling banyak, jadi paling banyak didrop, apakah mungkin bisa dipakai “sampai dengan” sekian jadi tidak ada minimalnya, kalau mau mengambil contoh yang saya sampaikan tadi memang kita harus membuka ruang yang sangat memperhatikan keberagaman daerah kita, tingkat kabupaten misalnya, atau kota-kota yang jauh dari ibu kota. Saya tidak tahu kata-katanya Prof tapi kalau bisa kita menyediakan kategori untuk tingkat daerah, terima kasih Prof

 

Benny K Harman (F-PD/Ketua Panja):

Kita kan tidak pernah diskusi memang, karena ini dari Ibu, boleh dibilang ini given. Kalau ada ini tidak bisa diapakan, tapi bisa diskusikan, kita bisa bilang bahwa ini harus disesuaikan dengan kondisi, kalau memang Rp 10 juta itu terlalu berat,

 

Arsul Sani (F-PPP):

Jadi saya ingin tanya itu, apakah di Perda juga harus memberlakukan denda kategori 1? Apakah memang harus begitu rumusannya?

 

Prof. Enny (BPHN/Tim Pemerintah):

Ya karena memang denda perda segitu

 

Arsul Sani (F-PPP):

Nah perda mayoritas kurungan dan denda, udah kan, nah pertanyaan nya adalah setelah berlakunya KUHP ini, ketika perancang perda di daerah itu harus menyatakan pidana dengan pidana kategori 1, apakah harus begitu? Atau bisa Kategori 1 dengan range sekian sampai sekian

 

Benny K Harman (F-PD/Ketua Panja):

Kalau saya sebenarnya setuju, kategori 1, Rp 1 juta sampai denganRp 10 Juta, kategori 2 diatas Rp 10 juta

 

Arsul Sani (F-PPP):

Soalnya di kampung saya tidak bawa SIM Rp 50 ribu

 

Benny K Harman (F-PD/Ketua Panja):

Atau kita kasih ruang aja, dimungkinkan untuk diatur di luar kategori-kategori tersebut, Ya kan . Untuk peraturan daerah.

 

Prof. Harkristuti Harkrisnowo (Tim Pemerintah):

Karena yang saya lihat di Belanda itu minimum itu adalah 3 Euro, Rp 45.000, dan maksimal 810ribu Euro, dikali dengan Rp 15,000 sama dengan Rp 15Miliyar, sama dengan kita, tapi dia paling kecil Rp 45.000

 

Arsul Sani (F-PPP):

Kalau untuk persaingan monopoli itu tidak cukup

 

Prof. Harkristuti Harkrisnowo (Tim Pemerintah):

Makanya tadi kita rumuskan yang harus menguntungkan

 

Arsul Sani (F-PPP):

Engga kan pada intinya yang bagaimana itu

 

Arsul Sani (F-PPP):

Ini kan kategori I sampai dengan Rp 10juta, nah berarti kan Rp 10,000 juga boleh kan?

 

Prof. Harkristuti Harkrisnowo (Tim Pemerintah):

Boleh Pak, tapi di dalam Perdanya itu

 

Prof. Enny (BPHN/Tim Pemerintah):

Tapi pak di Pasal 82 ayat (2), jika tidak ditetapkan minimum khusus, maka pidana denda ditentukan minimum Rp 100,000,

 

Arsul Sani (F-PPP):

Artinya Perda bisa menetapkan minimum khusus dong? Dan menggunakan “paling banyak”?

 

TB Soemandjaja (F-PKS):

Kalau seandainya yang digunakan adalah “sampai dengan” tidak menyebut angka awalnya? Jadi angka awalnya dihilangkan? Tapi tadi ada pasal tertentu kan yang tidak  boleh kan, yang mengkhususkan.

 

Arsul Sani (F-PPP):

Nah jadi kalau menurut saya ketentuan minimum khususnya yang diubah, ini nya tidak diubah, kalau saya tidak begitu dan boleh menyicil

 

Prof. Harkristuti Harkrisnowo (Tim Pemerintah):

Nah makanya itu Pak, kalau kita mengganti, kurungan dengan denda. Terus nanti kalau diganti dengan pidana kurungan, 6 bulan, padahal 6 bulan equal dengan kategori 1

 

Arsul Sani (F-PPP):

Kan UU Monopoli, kalau 6 bulan subsidernya Rp 100 Miliyar, itu gimana

 

Prof. Enny (BPHN/Tim Pemerintah):

Atau gini Pak, dari tadi memang persoalan kami disitu juga, kami melihat fakta ada varian banyak sekian banyak denda, jadi kami melihat juga, contoh kasus SIM tadi, apa iya akan sebegitunya, seperti kategori 1 ini kan paling tinggi Rp 10 juta, tetapi kemudian ada minimum khsusnya, ada baiknya ini kita buat konsisten saja, karena apda saat kami membuat ada ketentuan minimum khususnya Rp 100,000 tetapi kalau kita liat pidana penggantinya ada Rp 50,000 Pak dan sepanjangan ada pidana kerja sosial, jadi mungkin yang Rp 100,00 itu kita ganti dengan Rp 50,000

 

Arsul Sani (F-PPP):

Saya itu setuju Bu, tapi kan ini kita menghadapi realistas bahwa banyak ketentuan UU diuar banyak yang tidak make sense seperti yang di UU Monopoli, itu bagaimana kalau kita oversize saja gitu, artinya kalau denda itu Rp 100 Milyar maka padanannya jangan 6 bulan kurungan, maka 6 tahun pidana penjara dong, begitu. Atau berapa, di override aja gitu disini. Sekalian diceritakan disini gitu.

 

Prof. Enny (BPHN/Tim Pemerintah):

Nah tapi kan tadi kita sudah mengubah ya Pak dengan yang Pasal 775 tadi, yang kita katakan tadi bahwa menjadi 1 tahun. Nah maksudnya ini kan akan berlaku untuk ketentuan pidana manapun, baik dependent crime maupun independent crime, kalau administratif tadi yang terikat pada UU yang dirujuk itu, rata-rata dia variannya tinggi-tinggi semua, apalagi yang terkait ekonomi.

 

Arsul Sani (F-PPP):

Ya artinya itu sebagai kesalahaan kita lah sebagai pembuat UU, membuat UU yang tidak membuat down jadi pasal mati. Kenapa tidak kita luruskan aja disini, evolusinya, kalau negara itu tidak dibayar dengan ini, maka jemblosin saja hidupnya, begitu. Gausah kita putuskan malam ini.

Saya belum tahu ya dalam UU Monopoli, saya rasa ketentuan pidana nya masih sama, tapi duitnya tidak pernah masuk ke negara.

 

Prof. Harkristuti Harkrisnowo (Tim Pemerintah):

Ya pak di Belanda memang di Pasal 23 ada kategorinya ada 6, kategorinya 335 Euro, 2012 jadi naik menjadi 390 Euro, yang terakhirnya 810, jadi mereka, karena besar-besar penjaranya ditutup.

 

TB Soemandjadja (F-PKS):

Pak Ketua mungkin kita tidak selesai membahas ini, tidak bisa dipaksakan untuk pemerintah untuk membuat reformasi, seperti tadi kan pengen ganti dari Rp 100,000 menjadi Rp 50,000, maka kan harus keluar dari ayat ini, jadi ada 3 poin

– Yang berubah dari Rp 100,000 menjadi Rp 50,000

– Akan ada perubahan di kategorisasi

-Kategori ketujuh yang khusus

 

 

Benny K Harman (F-PD/Ketua Panja):

Kenapa pidana denda paling banyak? Kenapa paling besar Rp 10 juta? Kita kan paling tinggi Rp 15 Miliyar, kita sesuaikan saja, masukkan saja di ayat (2). Coba kenapa dulu begitu?

 

Prof. Harkristuti Harkrisnowo (Tim Pemerintah):

Ikut Belanda Pak, kan kita berkiblatnya ke Belanda.

 

Benny K Harman (F-PD/Ketua Panja):

Jadi bisa kita buat, jadi 8 kategori

 

Prof. Harkristuti Harkrisnowo (Tim Pemerintah):

Jadi 8 kategori.

 

Benny K Harman (F-PD/Ketua Panja):

Iya, seperti Kategori 1 Rp 1 juta ya oke. Kita lanjutkan. Pasal 778. Pada saat UU ini mulai berlaku

  1. Semua ketentuan UU, kenapa begini kan kita sudah sapu jagat diatas?

 

Prof. Harkristuti Harkrisnowo (Tim Pemerintah):

Ini untuk yang tidak diatur, karena kan kita tindak pidana diatur disini, kalau tidak diatur

 

Arsul Sani (F-PPP):

Sebentar, ketentuan pidana tetap berlaku tapi ketentuan dasar tetap pada buku I, nah ketika kita menyatakan tetap berlaku, tetapi misalnya ketentuan pidananya patokkannya ada di buku I, menjadi bagaimana? Apalagi ini yang huruf b ini jadinya kontradiksi nih, jika bertentangan dengan UU ini maka berlaku ketentuan yang menguntungkan, lah kan ini sudah berlaku ini,

 

Benny K Harman (F-PD/Ketua Panja):

Huruf a semua ketentuan pidana yang dalam peraturan perundang-undangan tetap berlaku sepanjang tidak diatur dalam UU ini,  ini apa maksudnya?

 

Arsul Sani (F-PPP):

Ya maksudnya langsung berlaku, Pak. Pidananya langsung berlaku

 

Benny K Harman (F-PD/Ketua Panja):

Kalau yang dimaksudkan tindak pidana khusus, ya bu ya

 

Pemerintah:

Jadi nanti UU khusus nya tetap berlaku

 

Arsul Sani (F-PPP):

Boleh, tapi harus ada tambahan “dengan memperhatikan ketentuan buku I dalam UU ini” harus tegas seperti itu, artinya nanti kalau ketemu policy yang berbeda dengan UU ini, jadi harus ngikut dengan buku I

 

Benny K Harman (F-PD/Ketua Panja):

Pasal 778 ini gausah lagi, kan sudah ada diatas.

 

 

Arsul Sani (F-PPP):

Pemahaman saya juga begitu, artinya ketika berlaku, maka tetap berlaku, namun harus dinyatakan bahwa berlakunya harus dalam konteks buku I

 

Benny K Harman (F-PD/Ketua Panja):

Kalau yang dimaksudkan dengan ini adalah Tindak Pidana kHusus, maka silahkan saja tidak usah distate

 

Arsul Sani (F-PPP):

Ada pengaruhnya tidak?

 

Benny K Harman (F-PD/Ketua Panja):

Kan kita membuka ruang munculnya hukum pidana di tempat lain, kecuali mungkin sanksinya, jadi tidak usah. Kalau terdapat ketentuan dalam undang-undang ini sedah termasuk asas lah ya, ini tidak usah pasal begini. Ya kan asas pidana itu kan, itu kan sudah KUHP buku 1, jadi Pasal 778 kita delete, gitu ya oke. Pasal 779 Pada saat UU ini mulai berlaku. Jika ketentuan pidana dalam UU I luar KUHP merujuk pada pasal-pasal tertentu yang diatur dalam UU No 1 tahun 1946 tentang KUHP, maka penerapan ketentuan pidana tersebut disesuaikan dengan perubahan yang ada dalam UU ini. Ya bagus, yang tadi kita diskusikan, clear, yang Pasal 775 tadi. Atau ada maksud lain?

 

Pemerintah:

Memang ada beberapa UU yang mengacu ke KUHP lama, jadi setiap orang yang melanggar ketentuan pasal KUHP dipidana sesuai dengan Pasal KUHP, nah UU tersebut sekarang dialihkan ke UU ini.

 

Benny K Harman (F-PD/Ketua Panja):

Ya setuju, tapi itu sudah dijawab dengan ketentuan Pasal 775. Pasal 775 gini, coba lagi. Dalam jangka 1 tahun sejak UU ini ditetapkan berlaku, maka buku ke- 1 tentang UU ini menjadi dasar bagi ketentuan pidana di luar UU ini. Merujuk pada pasal-pasal yang diberlakukan. penerapan pidana yang dimaksud disesuaikan.

 

Prof. Enny (BPHN/Tim Pemerintah):

Ada yang baru nih Pak

 

Prof. Harkristuti Harkrisnowo (Tim Pemerintah):

Kan tidak semuanya di Buku I, kana da Buku II, misalnnya pidana X yang ada dibuku, apakah dimungkinkan ini  kita masukkan di penjelasan saja? Untuk mencegah terjadinya intepretasi berbeda antara pengak hukum, karena kan memang berbeda-beda,

 

Benny K Harman (F-PD/Ketua Panja):

Penerapan ketentuan pidana nya disesuaikan, gini kan?

 

Prof. Harkristuti Harkrisnowo (Tim Pemerintah):

Jadi maksud ketentuan pidana ini adalah

 

Benny K Harman (F-PD/Ketua Panja):

Di luar UU ini kan?

 

Prof. Harkristuti Harkrisnowo (Tim Pemerintah):

Sedangkan tapi kan itu hanya untuk Buku I nya saja Pak, asas-asas nya saja Pak. Padahal misalnya tentang pegadaian, misalnya mengacu kepada Pasal 340 KUHP, jadi bukannya buku I yang menjadi acuan Pasal 779, tapi buku II nya. Izin pimpinan tadi kita bicarakan juga, Pasal ketentuan pidana itu ada 2 ternyata maknanya. Jadi satu adalah pertama tentang judul bab, isinya adalah beberapa tindak pidana, yang kedua adalah sanksi  pidana nya saja, kan kalo pidananya saja bisa mengacu pada buku I, tapi kan kalau soal jenis-jenis, bentuk-bentuk tindak pidana, kan memang diperlukan buku II KUHP, agar tidak menimbulkan kerancuan di para APH.

 

 

Benny K Harman (F-PD/Ketua Panja):

Iya mengerti saya, saya tadi menggunakan Pasal 775 karena itu maksudnya merujuk pada buku I, sebetulnya kalau ada UU yang selama ini merujuk pada KUHP lama, maka dengan dengan diundangkannya UU ini, maka UU yang berlaku dengan merujuk kepada uUU yang lama ini itu akan otomatis berubah, kalau memang ketentuan dalam KUHP berubah. Yang bisa saya kasih contoh, ada UU lama, peraturan pelaksanaannya dibuat, kemudian UU lama yang dirujuk, diubah atau diganti, mestinya peraturan pelaksanaan UU lama jadinya otomatis dong tidak berlaku kalau bertentangan dengan UU. Nah tapi kan APH akan bilang kan aturannya belum diubah, jadi ini menurut saya, dengan adanya KUHP ini maka langsung merujuk.

 

Prof. Enny (BPHN/Tim Pemerintah):

Merujuknya adalah dengan merujuk langsung ke UU itu, kerena kan kita tidak mengubah UU tersebut, ini ada misalnya UU ITE, ia merujuk pada KUHP lama, ini kan sudah berubah semuanya, maka perlu pasal ini agar ada yang menyatakan merujuk kepada KUHP baru

 

Benny K Harman (F-PD/Ketua Panja):

Ya Iya dong, dengan adanya KUHP baru, maka langsung saja dong,

 

Prof. Harkristuti Harkrisnowo (Tim Pemerintah):

Intinya adalah mempermudah APH

 

Benny K Harman (F-PD/Ketua Panja):

Loh tapi penerapannya sama saja dong?

 

Prof. Harkristuti Harkrisnowo (Tim Pemerintah):

Oiya penerapannya, langsung saja disesesuaikan, jadi bukan sanksi pidananya, iya oke. Kami berdiskusi tentang apa sih ketentuan pidana.

 

Benny K Harman (F-PD/Ketua Panja):

Pasal 780 kenapa 2? Pada saat UU ini mulai berlaku, perkara tindak pidana yang sedang dalam proses penuntutan di sidang pengadilan tetap dilakukan berdasarkan KUHP berdasarkan UU No 1 tahun 1946. Ini tadi kan mengulang tadi yang kita bahas, yang tadi kita hapus tadi. Pada saat UU ini mulai berlaku, perkara tindak pidana yang sedang dalam proses, penyidikan, penuntutan dan persidangan di sidang pengadilan sedang dilaksanakan berdasarkan. Jadi diinput aja ilmu pengetahuannya, tidak usah diinputkan. Jadi seseorang dalam penyidikan, penuntutan, yang mana kah UU yang berlaku, maka yang menguntungkan kan, nah bagaimana jika kalau sudah selesai dia putus, kan ilmu pengetahuan aja itu, tidak usah ditawarkan lagi, kecuali kalau ilmu pengetahuannya banyak,

 

Prof. Harkristuti Harkrisnowo (Tim Pemerintah):

Sekali lagi ini bagi APH Pak, karena ada kekhawatiran APH merasa bahwa ada kekosongan hukum yang membedakan alternative 1 atau alternative 2, Alternatif 1 adalah keberlakuan UU lama manakala UU baru disahkan. Alternatif 2 adalah keberlakuan UU baru apabila yang baru menguntungkan

 

Arsul Sani (F-PPP):

Jadi ini untuk klarifikasi saja, ini kan Pasal 3 ayat (1), sudah terjadi perubahan, dalam masa 3 tahun terutama, setelah 3 tahun, setelah ini berlaku, kenapa? Oke 2 tahun berlaku, kalau yang menguntungkan yang lama, yang mana ini yang diterapkan?

 

Prof. Harkristuti Harkrisnowo (Tim Pemerintah):

Yang Lama

 

Arsul Sani (F-PPP):

Meskipun kita sudah menyatakan Pasal 775 tadi

 

Prof. Harkristuti Harkrisnowo (Tim Pemerintah):

Jadi memang bergantung tempus deliktinya, jadi misalnya perkosaan, pidananya berapa, 9 tahun, UU baru 12 tahun, karena yang lebih menguntungkan yang lama, jadi yang digunakan yang lama. Jadi ingin kita tegaskan bagi APJH. Karena kan ga semua APH S-1 pak.

 

Taufiqulhadi:

Jadi yang dipilih alternatif 1 atau alternatif 2?

 

Prof. Harkristuti Harkrisnowo (Tim Pemerintah):

Tim pemerintah ini split, Pak.

 

Prof. Enny (BPHN/Tim Pemerintah):

Ya ini kan sebenarnya udah dibahas lama, pendekatannya kan alternative 2 pasal 3, kalo alternatif 1 karena ini adalah peralihan, statement nya UU lama masih berlaku. Memilih alternative 2 apa bedanya gitu, bahkan di Pasal 3. Masing-maising punya argumentasi yuridis yang dipertanyakan. Memilih alternative 2 sebenarnya sudah diatur dalam Pasal 3, sehingga harusnya dapat dipertimbangkan alternatif 1

 

Prof. Harkristuti Harkrisnowo (Tim Pemerintah):

Iya pak, kalau saya memang tadi alternatif satu. Dari tadi karena teman-teman minta yang kedua juga karena kami ini tim yang sangat demokratis. jadi banyak juga yang dipending. Nanti kita lepaskan pada yang terhormat anggota dewan untuk memutuskan.

 

Arsul Sani (PPP):

Saya sih kalau membaca ya simpel karena jadi satu.

 

Prof. Harkristuti Harkrisnowo (Tim Pemerintah):

Surat dewan satu ya?

 

Arsul Sani (PPP):

Pak Toha jangan diganggu, dia sedang konsentrasi soal tindak pidana korupsi terkait dengan makelar tanah.

 

TB Soemandjaja (F-PKS):

Pak Toha harus menyisir dulu, saya tidak bisa menyisir.

 

Muzzakir :

Mungkin dengan catatan Pak, kalau diizinkan Mahkamah Konstitusi saya yakin kalau  yang satu bisa lolos Pak. Mau gimana lagi? Karena apa? Karena jelas bertentangan dengan azas utamanya Pasal 3 ayat 1, bia dibaca di sini. Azasnya kalau dulu, berlaku ketentuan yang dilanggar sekarang berlaku ketentuan yang baru.

 

Prof. Harkristuti Harkrisnowo (Tim Pemerintah):

Jadi Pak Muzzakir, minta kedua. Saya dan temen-temen TA satu ya.

 

Arsul Sani (PPP):

Makanya kalau diuji, kenapa rontoknya dimana?

 

Prof. Harkristuti Harkrisnowo (Tim Pemerintah):

Saya tidak melihat ada kerontokan sebenarnya.

 

Muzzakir :

Pasal 3 ayat 1 bisa dibaca. Berlaku ketentuannya. Kalau ada perubahan, maka berlaku undang-undang ini.

 

Benny K Harman (F-PD/Ketua Panja):

Pada saat undang-undang ini mulai berlaku, perkara tindak pidana yang sedang dalam proses penyidikan penuntutan dan pemeriksaan sidang pengadilan tetap dilaksanakan berdasarkan KUHP. Jika menguntungkan bagi terangka atau pemohon.

 

Arsul Sani (PPP):

Lalu persesuainnya bagaimana? Saya bacakan ya yang pasal 3 ayat 1 ya. Dalam hal terdapat perubahan peraturan perundang-undangan, sesudah peristiwa terjadi diberlakukan peraturan perundang-undangan yang baru dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang lama berlaku jika menguntungkan bagi yang baru, kecuali yang lama menguntungkan.

 

Muzzakir :

Berlaku yang lama kecuali yang baru menguntungkan.

 

Benny K Harman (F-PD/Ketua Panja):

Kalau yang ayat 1 ini berlaku, tetap dilaksanakan KUHP lama jika menguntungkan. Kalau tidak menguntungkan ya tidak berlaku, kan begitu dia. Maksudnya begini, kalau ayat 1 itu artinya memberlakukan yang lama terlebih dulu. Kondisional. Sekarang berlaku yang baru.

 

Benny K Harman (F-PD/Ketua Panja):

Coba pada saat undang-undang ini mulai membantu, perkara tindak pidana yang sekarang dalam proses dan pemeriksaan sidang di pengadilan, proses dilaksanakan berdasarkan undang-undang, kecuali ketentuan dalam kitab undang-undang hukum pidana, berdasarkan undang-undang yang lama bagi tersangka, sama juga akhirnya.

 

Arsul Sani (PPP):

Maksud saya artinya bukan berarti perlawanan, artinya dari sisi nafas yang 3 ayat 1 dengan alternatif, boleh dan memadai.

 

Benny K Harman (F-PD/Ketua Panja):

ini kan kondisional Pak. Tidak berarti dipakai dulu. Ini kan karena pelaksanaan pasal secara bersyarat, kan begitu. Ya kalau menguntungkan ya dilaksanakan, kalau tidak menguntungkan ya tidak dilaksanakan.

 

Trimedya :

saya sepakat juga dengan Pak Muzakkir. Undangan ini satu kesatuan. Pasal 3 ayat 1 apabila ada undang-undang baru atau ketentuan undang-undang baru supaya senafas. Nah, supaya senafas maka kita adakan alternatif dua. Tadi kita sepakatnya. Tapi saya tidak menyarankan, Pak Ketua. Langsung saja ini diberlakukan yang menguntungkan. Mungkin redaksinya dibenerin. Diberlakukan ketentuan yang menguntungkan bagi yang membuat, perdebatan kita itu selesai antara alternatif satu dengan alternatif dua itu lho.

 

Prof. Harkristuti Harkrisnowo (Tim Pemerintah):

Mohon izin pimpinan, kenapa alternatif 1 karena kan undang-undang KUHP ini dicabut begitu undang-undang ini berlaku. Makanya itu pak, tidak begitu. Dicabut akan tetapi kalau ada yang menguntungkan maka dipake. Kalau ini berlaku untuk diberlakukan ya jelas itu, tetapi harus kita benarkan. Pasal 785 itu kita mengatakan dicabut, berarti tidak boleh berlaku, tapi ternyata itu bisa berlaku ketika itu lebih menguntungkan. Itu pemikirannya begitu.

 

Muzzakir :

mohon izin, saya menyampaikan begini Pak, di dalam pasal 3 itu diberlakukan undang-undang untuk menyelesaikan persoalan ketika di masa yang akan datang itu akan muncul undang-undang baru. Tetapi yang aturan peralihan ini, itu kita akan memberlakukan satu ketentuan apabila setelah undang-undang ini berlaku, terjadi suatu keadaan antara undang-undang yang akan kita gantikan dengan undang-undang yang baru. Jadi yang pasal 3 itu adalah untuk masa yang akan datang, kalau yang pasal peralihan itu untuk ketentuan yang akan kita tinggalkan. Maka kalau sesuai dengan prinsip, sesuai dengan azas, pasal 3 tadi itu kan prinsipnya menggunakan ketentuan yang baru. Nah, kenapa ketika kita menggunkan, kita menerapkan di dalam peraturan peralihan kita prinsipnya meninggalkan peraturan yang lama. Itu kan tidak konsisten. Jadi kalau yang pasal 3 itu prinsipnya menggunkan ketentuan yang baru, maka yang akan kita tinggalakan itu jika prinsipnya menggunakan ketentuan yang baru kecuali yang lama menguntungkan. Hanya soal konsistensi saja. sebetulnya tidak ada persoalan dari sisi hasil karena resiko. Itu kalau ini berlaku surut pengecualian selagi dia menguntungkan.

 

Benny K Harman (F-PD/Ketua Panja):

Ada kasus dalam hal begini mislanya tiba-tiba undang-undang berubah, maka pertanyaannya undnag-undang mana yang dipakai? Mestiya yang dipakai itu adalah undang-undang yang baru itu, kecuali kalau yang lama menguntungkan. Pada saat undang-undang ini mulai berlaku, perkara tindak pidana yang sedang dalam proses penyidikan,penuntutan dan pemeriksaan, mestinya jangan lupa kalau proses penuntutan dan pemeriksaan di sini di pengadilan berdasarkan KUHP yang lama. Dan tetap dilaksanakan berdasarkan undang-undang ini, kecuali ketentuan dalam KUHP lama menguntungkan, artinya KUHP yang baru ini bisa kita kesampingkan dengan menyesuaikan KUHP lama jika KUHP lama itu menguntungkan, seperti itu, begitu pengertiannya kan? Oke, yang kedua ya tapi kalimatnya dilengkapi. Tindak pidana yang sedang dalam proses penyidikan itu masih berdasarkan undang-undang yang lama. Pada saat undang-undang ini mulai berlaku, tindak pidana yang sedang dalam proses penyidikan, proses peradilan pidana berdasarkan KUHP yang lama, yang berlaku adalah undang-undang yang baru ini. kecuali kalau KUHP yang lama itu menguntungkan. Sebab kta kuncinya penting tadi. jadi proses penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan sidang pengadilan berdasarkan KUHP lama. Saya kasih contoh kasus. Kasus pidana dilakukan boleh si A dengan merujuk kasusnya itu pada KUHP yang lama, kemudian dalam proses pengadilan maka berubahlah KUHP yang lama tadi dengan KUHP yang baru. Pertanyaannya, hakim, jaksa pakai KUHP yang lama, lalu kau pakai KUHP yang mana? Lamakah atau yang baru? Gak usah pakai laternatif. Pakai KUHP yang baru, tapi bukan itu yang menjadi masalah. Penegasan bahwa proses hukum terhadap si A tadi dengan menggunakan KUHP yang lama, proses penyidikan, peuntutatn dan pemeriksaan dengan menggunakan KUHP yang lama, maka yang dilaksanakan adalah KUHP baru kecuali kalau ada yang lama. Jadi saya ulangi lagi, pada saat undang-undang ini mulai berlaku, tindak pidana yang diproses setelah penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di sidang pengadilan berdasarkan KUHP yang lama. Kalau berdasarkan KUHP yang lama, yang sudah dicabut, yang sudah dipakai namun bapak sudah mencabutnya. Kemudian dalam proses terjadi perubahan undang-undang yang sudah dicabut namun kasusnya sedang diproses di pengadilan. Maka orang yang tadi diproses menggunakan KUHP yang lama, yang sudah dicabut itu tetap dilaksanakan dengan menggunakan undang-undang baru ini kecuali kalau KUHP yang lama yang Bapak bilang tadi sudah dicabut, seperti itu yang tertulis. Waktu dia diproses itu masih pakai KUHP yang lama. Oke setuju ya. Setuju.. 81.

 

Prof. Harkristuti Harkrisnowo (Tim Pemerintah):

Jadi saya tidak tahu di dalam KUHP tahun 46 sudah ada perubahan, satu jenis pidana yaitu yang dilakukan oleh orang yang harus dihormati, maksudnya di politik. Cuma satu kali, tahun 50an. Ya bisa dihapus juga karena ada di dalam.

 

Benny K Harman (F-PD/Ketua Panja):

setuju ya, oke.

 

Prof. Harkristuti Harkrisnowo (Tim Pemerintah):

Ini dari awal sudah ada, untuk menjelaskan pada waktu itu seperti BPK, BNN semua merasa bahwa memasukkan tindak pidana mereka ke dalam KUHP maka akses mereka akan hilang. Jadi ini dipakai untuk menegaskan.

 

Prof. Enny (BPHN):

Seingat saya, pimpinan juga pernah menyampaikan pada waktu kita rame-rame wah ini kita tidak ada persoalan, aman, karena sudah ada yang menjamin.

 

Benny K Harman (F-PD/Ketua Panja):

Yang kita maksudkan, KUHP ini tetap membuka dan menjamin adanya undang-undang tindak pidana dan sampai sekarang kita tidak singgung. Ini 782 saya usulkan ya,

 

Arsul Sani (PPP):

iya kalau memang rumusannya seperti ini memang kita perlu membuat rumusan yang menjembatani dan menjawab konsern dari KPK, BNN dan teman-teman LSM bahwa kewenangan mereka itu tidak berpengaruh hanya karena kita mau dianggap sahabat oleh mereka. Kita sudah lama kurang bersahabat.

 

Prof. Enny (BPHN):

tadi sebelumnya kan ada penyidikan, dan prosesnya tadi apa?

 

Arsul Sani (PPP):

Itu bukan prosesnya. Kita pasti diketahui terus. Saya setuju dihapus tapi ya kasihlah. Bahwa ketentuan dalam undang-undang dapat dilaksanakan sesuai dengan kewenangan yang ditetapkan.

 

Prof. Enny (BPHN):

jadi di dalam undang-undang tindak pidana korupsi, teroris, itu undang-undangnya dicabut dari undang-undang yang bersangkutan. Nanti dalam undang-undang tipikor itu apakah emmang di dalam UU Tipikor tersebut dikatakan bahwa kewenangan KPK itu yang disebut dalam pasal-pasal kalau dicabut mereka mengacunya kemana?

 

Arsul Sani (PPP):

makanya kita baca dulu KPK, jadi kan konsennya KPK dan BNN dan jga pidana khusus seperti teroris. Ini bukan yang saya persoalkan.  Jadi kalau rumusannya seperti ini saya setuu tapi dikaitkan dengan satu rumuan lain yang tidak seperti ini, bisa chek UU KPK atau BNN nya. Apa yang mau dimasukkan oleh pembuat ini apa maksudnya? Kalau bisa lebih eksplisit di sini Ketentuan UU yang mengatur tindak pidana khusus, bahkan kalau bertentangan dengan ini pun kecuali kita mau nambah bangku lagi. Apa idenya yang buat rumusan ini? kalau pasalya mau menegaskan bahwa UU tindak pidana yang selama ini tetap berlaku

 

Arsul Sani (PPP):

Ketua, yang ini dihapus saya setuju. Tapi kemudian dicarikan dengan penggantinya yang tidak seperti ini.

 

Benny K Harman (F-PD/Ketua Panja):

Saya ingin menegaskan bahwa UU tindak pidana yang selama ini ditegaskan oleh UU Tindak pidana Korupsi atau UU ini juga melengkapi, hal ini masuk. Dengan adanya undang-undang dan pasal-pasal UU tindak pidana korupsi yang kita adopsi itu untuk melengkapi KPK. Melengkapi UU Tipikor. Apakah KUHP kita belum bisa dipakai oleh KPK? Dengan adanya UU dan pasal-pasal tentang tindak pidana korupsi.

 

Prof. Harkristuti Harkrisnowo (Tim Pemerintah):

Mohon izin pimpinan, mungkin nanti begini, ini tahun berapa ini muncul. ini berkaitan dengan UU tentang KPK, yang dalam pasal satunya tipikor adalah tindak pidana asebagaimana yang dimaksud dalam UU yang sudah dipindahkan ke sini. Jadi untuk mengatakan bahwa UU Tipikor itu sekarang diganti dengan, kami juga belum merumuskan.

 

Benny K Harman (F-PD/Ketua Panja):

Pertama, KUHP ini mengandung tentang tindak pidana korupsi jauh lebih lengkap baru UU tipikor untuk melengkapi ketentuan yang tidak lengkap dalam UU Tipikor. Yang kedua, KUHP ini menjadi semacam UU payung bagi yang lainnya. Dan kalau ada yang merasa takut kehadiran KUHP ini membredeli kebenaran KPK, atau yang membuat ini takut dengan KPK. Bab 39. Ketentuan penutup. Peraturan pelaksanaan UU ini harus ditetapkan paling lama 2 tahun sejak UU ini disahkan. Nah ini masuk akal soal peraturan, maksudnya dua tahun itu kasih kesempaan untuk pemerintah untuk membuat peraturan pelaksanaan. Ada berapa peraturan pelaksanaan?

 

Prof. Harkristuti Harkrisnowo (Tim Pemerintah):

ada yang bisa digabung.

 

Benny K Harman (F-PD/Ketua Panja):

Pasal 784 ayat 1. UU ini mulai berlaku 2 tahun terhitung sejak tanggal ditetapkan. Dan kalau kita menetapkan tanggal 1 bulan 2 2018, maka berlaku sampai tanggal 1 bulan 2 2020. Dua tahun kita semua sepakat ya? ya. ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dikecualikan pada syarat pidana pengawasan pengambilan kerja sosial yang harus dilaksanakan paling lama 3 tahun setelah UU ini berlaku.

 

Prof. Harkristuti Harkrisnowo (Tim Pemerintah):

ada penjelasannya Pak.

 

Benny K Harman (F-PD/Ketua Panja):

penjelasan dalam ketentuan ini, pemerintah diberikan waktu dua tahun untuk menyiapkan SDM untuk membantu persiapan program. Setuju. Dalam waktu paling lama 3 tahun, dihapus. Pasal 785, pada saat UU ini mulai berlaku, UU No. 1 Tahun 46, UU pengaduan hukum, UU No. 20 tahun 46.

 

Prof. Enny (BPHN):

Mohon izin pimpinan, kami tadi sebetulnya belum selesai mengisi, banyak sekali pasal-pasal yang sudah kita masukkan ke sini agar tidak dobel dicabut.

 

Benny K Harman (F-PD/Ketua Panja):

Pasal 786, UU ini dapat juga disebut dengan KUHP, setuju.

 

TB Soemandjaja (F-PKS):

Kalau Fraksi kami tidak setuju pada kitab itu.

 

Benny K Harman (F-PD/Ketua Panja):

tidak setuju? Lalu mau menawarkan apa untuk kitab undang-undangnya? Jadi UU ini, ini kan soal singkatan.

 

Arsul Sani (PPP):

coba dilihat KUHAP ya, KUHAP kalo tidak salah UU No. 8 Tahun 1981 tentang hukum acara pidana. Jadi KUHAP merupakan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.

 

Benny K Harman (F-PD/Ketua Panja):

Ini KUHP kitab Undang2 Hukum Pidana. Kalau penjelasan undang-undang atas Kitab Undnag2 Hukum Acara Pidana. UU ini disebutnya Kitab Undang-undnag Hukum Pidana. Tidak usah pakai dapat, langsung saja.

 

Arsul Sani (PPP):

berarti judulnya harus diubah. Kalau mau dikasih pasal seperti 285 KUHAP berarti judulnya tidak lagi kitab, judulnya adalah Kitab Undang-undnag Nomor sekian tahun 2000 sekian tentang hukum pidana.

 

Benny K Harman (F-PD/Ketua Panja):

Oke, dengan demikian ini selesai. selanjutnya adalah melaksanakan pola pemidanaan,  menyusun pola pemidanaan dengan menggunakan delphy sistem sampai Jum’at.

 

Arsul Sani (PPP):

ya masih ada juga itu. Yang kemarin tindak pidana khusus. Korupsi sektor swasta dan lainnya. Biar makelar tanah ini jadi ga khawatir gitu lho.

 

Benny K Harman (F-PD/Ketua Panja):

ada kemarin beberapa opsi kita bawa ke rapat panja. Jadi ini kita sudah selesai. Terimakasih atas segala upayanya. Lalau pemerintah mohon sekali kalau bisa 2 hari 2 malam ini selesaikan tugas khusus pola pemidanaan, ya kan, sebisanya. Manakala ada kesulitan nah kasih tau. Kemudian kita di tempat ini sampai jumat ya. Jadi bisa dipakai, sampai sabtu ya. Lalau kita bawa ke rapat panja dan rapat kerja pada tanggal 29.

 

TB Soemandjaja (F-PKS):

pak ketua, sebelum kita hadir di rapat panja. Bahwa kami berharap semua naskah pembahasan sudah dapat kami terima sebelum, pada 1 atau 2 hari sebelum pelaksanaan.

 

Benny K Harman (F-PD/Ketua Panja):

nanti tenaga ahli komisi sama pemerintah bisa siapkan ya.

 

Prof. Enny (BPHN):

ya kan tadi ini 782 ada yang dihapus terkait TP khusus tadi, ini kan nanti alternatifnya kan kami mohon waktu untuk bisa menyampaikan juga alternatif yang lain.

 

Benny K Harman (F-PD/Ketua Panja):

bukan alternatif, diganti itu. Ada yang lain lagi?

 

Risa Mariska (F-PDIP):

terkait poin-poin penting yang kan kita sepakati di raker nanti. Diminta kepada semua teman-teman ta dan pemerintah agar kami bisa dapat berkas. sehingga kan masing-masing poksi kan bisa mengadakan rapat internal karena kan nani akan diambil putusan untuk ditetapkan. Jadi kalau bisa, kami bisa dapat poin-poin yang masih menimbulkan perdebatan. Jadi ketika kita rapat kerja nanti kita tak lama-lama lagi. Tinggal voting aja gitu.

 

Benny K Harman (F-PD/Ketua Panja):

itu soal mekanisme. Cuma saya berharap itu mengenai istilah itu bagaimana.

 

Prof. Tuti (Pemerintah):

iya pak itu belum juga pak 1 bab.

 

Benny K Harman (F-PD/Ketua Panja):

tapi itu kan baku juga. Bagian depan itu kan tentang istilah. Apa kita mau bahas?

 

TB Soemandjaja (F-PKS):

Izin pak ketua, apakah itu masih diperlukan rapat sinkronisasi? Ini kan lebih kepada perumusan gitu. Berarti ada satu pemaparan lagi yaitu tentang sinkronisasi. Maksudnya sebelum raker pak ketua. Jadi sebelum panja ada rapat sinkronisasi gitu.

 

Benny K Harman (F-PD/Ketua Panja):

jadi kita kemarin itu juga sekaligus tim sinkronisasi semua. Jadi timus timsin ya kan. Sebetulnya soal definisi kita, kenapa terakhir? Coba itu definisi supaya tinggal apa yang sudah kita tentukan di dalam pasal-pasal itu tinggal diangkat ke definisi. Itu sebetulnya kenapa waktu itu kita sepakat definisi kita belakangan pembahasannya. Sebab kalau mulai dengan definisi, kita lama. Dengan metode ini maka sebetulnya apa yang sudah ditulis dalam ketentuan definisi tinggal diliat aja pasal-pasalnya. Ada berapa definisi? Ada 53 definisi. Sebetulnya pengertian istilah ini lebih banyak mengutip dari undang-undang yang ada. Misalnya anak, dari uu anak. Jadi menurut saya ini pengertian baku. Apa yang dimaksud sudah jelas. Permainan judi ada juga definisinya. Pemufakatan jahat ada juga. Hal-hal yang selama ini kita bahas secara tidak langsung pada saat kita membahas bab-bab dan pasal-pasal buku I dan buku II. Jadi tinggal kita angkat saja. Yang kedua mengenai penjelasan. Saya mohon persetujuan bagaimana dengan pengertian istilah. Ini penting juga, sebetulnya di dalam pembahasan kita istilah itu sudah kita lakukan. Bagaimana? Atau kita lanjutkan? Istilah? Mau kita bahas istilah?

 

Prof. Enny (BPHN):

izin pimpinan, kalo istilah ini sebetulnya kami ga ngarang. Kecuali yang korporasi itu yang, tapi ini kami sudah ada. Sudah ada pasalnya. Dan yang lain-lainnya ini sudah diambil dari peraturan-peraturan yang ada.

 

Benny K Harman (F-PD/Ketua Panja):

kita mau bahas atau apa ini? Ini kan sangat teknis hukum, pengertian dalam hukum pidana ini. Tidak ada ini, tidak bisa kita. bagaimana kalau kita serahkan ke ahlinya istilah-istilah ini. Kita bahas juga kan ga ngerti.

 

Prof. Tuti (Pemerintah):

izin pimpinan, kalo saya kalau tidak terlalu banyak yang berlainan dengan uu yang ada. Karena ini diambil, 3 tahun yang lalu ya, diambil dari uu yang ada dan mengacu kepada kuhp lama. Jadi tidak ada hal-hal yang baru sebenarnya. Kecuali misalnya anak, anak adalah orang yang belum berusia 18 tahun termasuk pula, iya makanya dimasukkan disini. Ditambah sedikit saja. Tapi kan yang lainnya kan ga ada yang baru.

 

Benny K Harman (F-PD/Ketua Panja):

dan demikian kalau begitu, istilah-istilah kita terima juga ya. Kita menerima semua rumusannya. Kecuali nanti soal teknis misalnya aturan penutup.

 

Prof. Tuti (Pemerintah):

pasal 218 ex 103

 

Benny K Harman (F-PD/Ketua Panja):

tetap masuk. Nah ini benar ini. Yang harus kita cari sudah ada disini. Ketentuan dalam buku I berlaku juga bagi perbuatan yang dapat dipidana menurut peraturan perundang-undangan lain. Oke jadi soal istilah-istilah kita menerima semua ya. Karena ini istilah-istilah baku dalam hukum pidana. Jadi gausah didiskusikan. Kalau didiskusikan, supaya kita paham saja. Pak ikhsan mau tau juga? Kalau mau tau, nanti saya kasih tau aja gampang. Hehehe. Oke.

 

Pemerintah:

koreksi pak, jadi yang 218 itu sebenanya sudah ada perubahan rumusan. Tolong ditampilkan.

 

Benny K Harman (F-PD/Ketua Panja):

kalau memang ada ya silahkan.

 

Prof. Enny (BPHN):

saya bacakan. Ini sebetulnya sudah kita bahas di panja. Jadi dia, jadi pasal 209 pak yang bersih. Ketentuan dalam bab I sampai dengan bab V buku kesatu berlaku juga bagi perbuatan yang dapat dipidana menurut peraturan perundang-undangan lain kecuali ditentukan lain menurut undang-undang ini. Ayat 2, perkecualian sebagaimana dimaksud pada ayat 1 tidak boleh bertentangan dengan pancasila, UUD NKRI 1945, hak asasi manusia, dan asas-asas hukum umum yang diakui masyarakat beradab.

 

TB Soemandjaja (F-PKS):

pak ketua, apa yang ibu bacakan tadi. Kalau kita sudah menyebut uu dan perda tolong konsisten. Itu 1, itu yang pertama. Yang kedua kalau kta sudah menyebutkan UUD negara kita berarti tidak ada lagi istilah ham disitu. Jangan sampe kita berasumsi bahwa ada ham diluar uud itu. Pancasila UUD sudah selesai, pasal 28 a sampai dengan j. Saya khawatir nanti ini jadi pintu masuk dan membuat hal lain menurut saya pak ketua. Saya kira sudah selesai konstitusi kita.

 

Benny K Harman (F-PD/Ketua Panja):

jadi maksudnya tidak boleh bertentangan dengan UUD NKRI 1945 dan asas-asas hukum umum yang diakui masyarakat beradab.

 

TB Soemandjaja (F-PKS):

jadi cenderung dipisah ya pembukaan dan isi uud itu.

 

Benny K Harman (F-PD/Ketua Panja):

asas-asas hukum umum universal yang diakui masyarakat beradab. Ketentuan dalam Ketentuan dalam bab I sampai dengan bab V buku kesatu berlaku juga bagi perbuatan yang dapat dipidana menurut peraturan perundang-undangan lain kecuali ditentukan lain menurut undang-undang ini.

 

TB Soemandjaja (F-PKS):

jadi ini pak ketua, kita kan sudah sepakati uu dan perda tadi. Itu peraturan perundangan-undangan diganti. Lalau ini undang-undang yang diterakhir ini apa maksudnya undang-undang.

 

Arsul Sani (PPP):

sebentar kan ada perppu juga. Loh perppu kan bisa mengatur pidana.

 

Benny K Harman (F-PD/Ketua Panja):

tapi kan nanti juga jadi undang-undang

 

Arsul Sani (PPP):

yaiya betul. Tapi kan artinya sebelum jadi udnag-undang kan perppu itu berlaku.

 

TB Soemandjaja (F-PKS):

bukan pak jadi begini, kalau kita berbicara perppu itu kan asas tertentu aja kan. Asasnya itu kan undang-undang 12

 

Benny K Harman (F-PD/Ketua Panja):

udah betul ini, undang-undang dan peraturan daerah kecuali ditentukan lain menurut undang-undang.

 

Arsul Sani (PPP):

asas-asas hukum umum universal yang diakui masyarakat beradab memang perlu dicantumkan disitu.

 

Benny K Harman (F-PD/Ketua Panja):

itu umum sudah itu.

 

Arsul Sani (PPP):

pake kata universal perlu disitu?

 

Benny K Harman (F-PD/Ketua Panja):

umum, umum aja.

 

Prof. Enny (BPHN):

pimpinan, kita harus konsisten di pasal 2 ayat 2 yang sudah kita sepakati. Bahwa hukum yang hidup dalam masyarakat sebagaimana pada ayat 1 berlaku pada tempat hukum itu hidup dan sepanjang sesuai dengan nilai-nilai yang terkandung di dalam pancasila, UUD NKRI 1945, hak asasi manusia, dan asas-asas hukum umum yang diakui masyarakat beradab.

 

TB Soemandjaja (F-PKS):

pak ketua, jadi kembali lagi pada istilah ham bu ya. Karena ham sudah begitu detail dalam uud negara kita. udah cukup banyak. Jadi tidak perlu lagi. Yang kedua, bisa secara universal dan umum, duham ini.

 

Benny K Harman (F-PD/Ketua Panja):

ini yang dimaksud pemerintah, ini kan kita sudah sepakat ini dengan pasal 2 ayat 2, jadi bunyi ayat 2 ini di copy paste. Pasal 2 ayat 2 gitu lho. Kalau mau dihilangkan ya terserah. Yang penting supaya ada konsistensi.

 

TB Soemandjaja (F-PKS):

saya usul ketua agar ham ini dihilangkan.

 

Benny K Harman (F-PD/Ketua Panja):

apakah ini berarti kita menghilangkan juga ayat 2 pasal 2? Gitu lho? Setuju ga? Gimana?

 

Prof. Harkristuti Harkrisnowo (Tim Pemerintah):

kalau bisa sudah dipertahankan pak.

 

Benny K Harman (F-PD/Ketua Panja):

untuk penegasan ya.

 

Prof. Tuti (Pemerintah):

iya.

 

TB Soemandjaja (F-PKS):

saya ingin tanya, pak ketua, coba bapak ibu tunjukan ham yang dimaksud disitu ham apa itu? Selain yang diatur oleh uud negara kita.

 

Prof. Tuti (Pemerintah):

izin pak uud 45 kita itu, kita memasukkan pasal 28 a sampai j. Yang disahkan dari uu 39/99. Jadi hanya sedikit dari uu 39/99 yang masuk ke dalam konstitusi. Agar kita memperjelas kita punya uu 39/99 yang mengatur tentang ham. Jadi bukan saja yang diatur kosntitusi pasal 28 a sampai j itu saja. Itu yang menjadi tekanannya.

 

TB Soemandjaja:

kalo saya ingin disebutkan bu, apa contoh kongkritnya? Sehingga ada kelalaian kita dalam konstitusi kita itu.

 

Prof. Tuti (Pemerintah):

bukan kelalaian pak sebenarnya, mereka mencabut aja beberapa pasal. Tapi memang tidak semua dimasukkan. Kan ada 10 bab pak di dalam uu 39/99. Jadi hanya dimasukkan 10 pasal dari sekian puluh pasal. Jadi pasti banyak yang belum dimasukkan misalnya tentang ham-ham perempuan itu tidak masuk semuanya. Tidak disebutkan malah, misalnya hak-hak anak juga. Ka itu juga udah jelas pancasila, tidak boleh bertentangan dengan nilai pancasila. Kalau saya mah udah aja gitu. Kecuali ada pemikiran lain.

 

Arsul Sani (PPP):

ya gini aja, saya setuju itu tetap tetapi harus ada dalam penjelasan umum supaya selama ini ga jadi pintu masuk ham yang dibarat-barat sono gitu lho. Itu aja.

 

Prof. Tuti (Pemerintah):

kalau saya melihatnya sudah dibatasi oleh pancasila dan uud.

 

Arsul Sani (PPP):

ya dibunyikan aja itu dalam penjelasan.

 

TB Soemandjaja (F-PKS):

jadi gini ya bu, kalau kita sudah sepakat bahwa pancasila ini milik kita. ya kita cantumkan. Mengapa karena dalam pembukaan tidak ada kata pancasila. Itu satu, yang kedua. HAM begitu terurai didalam undang-undang dasar kita. kemudian jangan sampai, kita kaya sengaja gitu lho. Membuka celah gitu. Untuk barat bawa-bawa istilah ham. Justru kami yang mengawal konstitusi kita. lebih baik kita tutup disitu. Karena tadi ada asas umum yang dianut masyarakat beradab. Berarti ada keadaban disitu, jangan membuat, ada sebuah terminologi yang disediakan oleh kita.

 

Benny K Harman (F-PD/Ketua Panja):

ini kan soal teknis aja. Karena kita sudah sepakat soal itu. Yang kedua, kalau dimasukkan juga tidak mempunya implikasi apa-apa kecuali hanya penegasan. Gitu aja pak, sebagai penegasan. Penegasan dalam bahasa indonesia kan biasa. Jadi kita gausah terlalu pusing. Begitu ya. Oke? Ketuk palu.

 

Benny K Harman (F-PD/Ketua Panja):

kalau gitu, tinggal nanti, bagian penjelasan nanti dibaca lagi bagian penjelasannya. Jadi bisa ga nanti tgl 29 itu kita ke panja langsung abis itu raker dengan pemerintah? Berarti TA komisi siap untuk ke dengan tim pemerintah mengikuti pembahasan ini. Temen-temen juga anggota timus timsin, tolong baca kalau memang ada koreksi tolong kasih tau secepatnya. Kan ini kan penjelasan. Ini penting juga. Oke jadi gitu ya, kita sepakat tanggal 29 kita bawa ke panja dan raker dengan pemerintah. Lalu nanti setelah itu diapakan tergantung hari raker nanti. Itu, ada usul? Oke. Dengan demikian kita tutup. Ya nanti dikasih bahan.

 

Arsul Sani (PPP):

versi bersih dan versi coretannya.

 

Benny K Harman (F-PD/Ketua Panja):

jadi timus timsin pada malam ini kita tutup. Kita nyatakan selesai timus timsin. Selanjutnya kita bawa ke panja. Trus raker nanti tanggal 29 bulan 1 tahun 2018. Ya gitu ya. Pemerintah siap?

 

Pemerintah:

Insya Allah.

 

Benny K Harman (F-PD/Ketua Panja):

saya ucapkan terimakasih atas kerjasama selama, lama juga, 3 tahun lho ini. Terimakasih banyak sampai jumpa nanti 29 januari 2018. Assalamualaikum wr wb.

Leave a Reply