Laporan Singkat Rapat Panja R KUHP 25 – 28 April 2016
Capaian yang dihasilkan dari kegiatan rapat Pembahasan RKUHP oleh Tim Panja dan Tim Pemerintah, tidak semua Buku I selesai. Karena sudah terbentur akhir pada masa sidang (29 April 2016). Tim Panja dan Tim Pemerintah telah menyelesaikan dan menyetujui Buku I KUHP, sepanjang Pasal 1 s.d. Pasal 65. Tim Panja mengusulkan beberapa Pasal dalam Buku I ada yang digabungkan, misal menggabungkan Pasal 135 dan Pasal 138 RKUHP.
Hari Pertama pembahasan RKUHP dilaksanakan pada 25 April 2016, Pukul 19.30 – 23.00 WIB di Hotel Santika. Pembahasan hari pertama membahas Pasal 1 s.d Pasal 2 ayat (1) RKUHP. Pembahasan yang masih banyak perdebatan adalah mengenai Pasal 2 ayat (1), karena mengenai Pidana Adat dan relevansinya apakah perlu dicantumkan dalam RKUHP ataukah tidak. Namun, Pasal tersebut akhirnya disetujui oleh tim Panja dan untuk penjelasannya diserahkan ke Timus (Tim Perumus) dan Timsin (Tim Sinkronisasi).
Hari Kedua pembahasan RKUHP, tanggal 26 April 2016, Pukul 10.30 – 23.00 WIB di Hotel Santika. Pembahasan hari kedua membahas Pasal 2 ayat (2) s.d. Pasal 37 RKUHP. Ada tambahan di Pasal 2, jadi 3 ayat. Prof. Enny dari tim pemerintah yang menjadi juru bicara mengusulkan ayat (3) tersebut. Pasal 2 ayat (2) dan (3) yang berbunyi :
(2) Berlakunya hukum yang hidup dalam masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sepanjang sesuai dengan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila, hak asasi manusia, dan prinsip-prinsip hukum umum yang diakui oleh masyarakat bangsa-bangsa.
(3) Hukum yang hidup dalam masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) hanya diberlakukan untuk masyarakat adat setempat dan ditetapkan dalam Peraturan Daerah.
Fraksi Demokrat mengusulkan agar ada perubahan ayat (2) menjadi :
(2) berlakunya hukum yang hidup dalam masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sepanjang tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan dan sesuai dengan nilai pancasila, hak asasi manusia dan asas-asas hukum umum yang diakui masyarakat beradab.
Sementara usul dari pemerintah mengenai penambahan ayat (3), setelah dikritisi dan didiskusikan ulang oleh anggota Tim Panja DPR, Prof. Muladi sebagai bagian dari Tim Pemerintah pun kembali mengusulkan agar ayat (3) usulan Prof. Enny (Pemerintah) tersebut dihapus saja. Karena ayat (3) tersebut ada Asas teritorial yang bersifat partikularistik dan kompilasi masuk dalam penjelasan saja. Usulan tersebut disetujui Tim Panja 26 April 2016, diserahkan ke Timus dan Timsin, dan akan dibahas dalam rapat pleno Komisi III.
Pembahasan RKUHP yang dilakukan pemerintah, hanya sepanjang yang menjadi pasal-pasal kontroversial. Pasal 15 sudah disetujui panja, Pasal 16 ada perubahan redaksional. Penjelasan ayat 2 itu dihilangkan semua. Untuk ayat 1,2,3,4 itu sudah disetujui oleh panja. Pasal 17 sudah disetujui, hanya menhendaki adanya rumusan penjelasan. Menurut Sumanjaya (F-PKS) “Pasal 17 ini penjelasannya jangan dikosongkan, jangan cukup jelas.” Pasal 16 dihapus penjelasannya karena sudah tertuang dalam Pasal 15. Penjelasan memang belum selesai menurut pemerintah, maka pemerintah diminta menyiapkan penjelasan pasal-pasal tersebut oleh anggota Tim Panja. Pasal 18 sudah disetujui oleh panja, ada perubahan, diserahkan ke Timus dan Timsin.
Pasal 19 disetujui panja, diserahkan ke Timus Timsin. Pasal 20 juga disetujui untuk diserahkan Timus dan Timsin. Pasal 21 menunggu rumusan pidana mati. Pasal 23, ini pembantu pelaku, pembantu pembuat, tindak pidana disetujui panja. Pasal 24 disetujui panja. Pasal 25 disetujui panja. Pemerintah diminta siapkan penjelasan. Pasal 26 disetujui Panja. Pemerintah diminta kalau bisa bikin tabulasi, jangan narasi, seandainya bisa tabulasi.
Lalu, Pembahasan yang belum clear yaitu mengenai “celaan objektif dan celaan subjektif” dalam Pasal 37. Bahkan ketika anggota tim panja menanyakan kepada pemerintah mengenai arti bagaimana celaan objektif dan celaan objektif ini agar lebih mudah dipahami, tim pemerintah tidak dapat menjawab secara lugas. Karena pada saat itu Prof Muladi sudah tidak mengikuti Rapat Panja[1], sementara kedua definisi tersebut masih belum dapat dipahami oleh Tim Panja, meskipun pemerintah sudah menghadirkan ahli bahasa.
Pembahasan RKUHP hari kedua, selesai hingga Pasal 37.
Hari Ketiga pembahasan RKUHP, tanggal 27 April 2016, dimulai Pukul 10.30 – 23.00. Pembahasan hari ketiga membahas Pasal 37 s.d. Pasal 47. RKUHP Pembahasan Pasal 37 semalam, hingga Pasal 40 akhirnya disetujui Tim Panja dan diserahkan saja ke Timus dan Timsin. Pembahasan kembali banyak dipertanyakan mengenai Pasal 41, kemampuan bertanggungjawab bagi penyandang disabilitas mental disorder. Ketua Tim Panja, Benny menanyakan “Kalau yang imbisil, schizofrenia yang tidak permanen misalnya, membayangkan seolah-olah ada orang akan membunuhnya, dan dia bunuh balik, bahkan dirinya, itu gimana? Itu alasan pembenar atau alasan pemaaf?” Menurut Tim Pemerintah yang dijawab oleh Prof. Harkristuti, “Itu termasuk dalam gangguan jiwa, kalau pakai DSM, sekarang sudah DSM 5, DSM itu adalah Diagnostic for Mental Disorder, itu ada rangkingnya, dan itu hanya ahli jiwa yang dapat menentukan, makanya perlu dihadirkan ahli jiwa tersebut untuk mentukan apakah dia ini pada saat melakukan.. masih mampu bertanggungjawab ataukah tidak.” Setelah penjelasan Prof. Harkristuti tersebut, Pasal 41 pun disetujui Tim Panja DPR untuk diserahkan ke Timus dan Timsin.
Lalu, Paragraf 4 terdapat tambahan paragraf menjadi Paragraf 4a mengenai Usia Pertanggungjawaban Pidana bagi Anak. Pasal 42 terdapat penambahan pasal, menjadi Pasal 42A (yang berasal dari Pasal 115 ayat (1)), dan Pasal 42B (berasal dari Pasal 120). Hal ini ditujukan untuk memudahkan atau memisahkan pengelompokkan materi yang berkaitan dengan pertanggungjawaban pidana, khususnya untuk anak.
Pasal 42, berbunyi :
Setiap orang yang pada waktu melakukan tindak pidana kurang dapat dipertanggungjawabkan[2] karena menderita gangguan jiwa, penyakit jiwa, retardasi mental, atau disabilitas mental lainnya pidananya dapat dikurangi atau dikenakan tindakan.
Pasal 115 ayat (1) RKUHP :
Anak yang belum mencapai umur 12 (dua belas) tahun melakukan tindak pidana tidak dapat dipertanggungjawabkan.
Karena terdapat tambahan Pasal, berupa Pasal 42A dan Pasal 42B. Sehingga Rumusan Pasal 42 A yang berasal dari Pasal 115 ayat (1) diatas, menjadi sebagai berikut :
Pertanggungjawaban pidana tidak dapat dikenakan terhadap anak yang pada waktu melakukan tindak pidana belum mencapai umur 12 tahun.
Dan Pasal 42 B (berasal dari Pasal 120), sebagai berikut :
Dalam hal anak yang belum berumur 12 (dua belas) tahun melakukan atau diduga melakukan tindak pidana, penyidik, pembimbing kemasyarakatan, dan pekerja sosial profesional mengambil keputusan untuk:
- menyerahkannya kembali kepada orang tua/wali; atau
- mengikutsertakannya dalam program pendidikan, pembinaan, dan pembimbingan di instansi pemerintah atau Lembaga Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial di instansi yang menangani bidang kesejahteraan sosial, baik di tingkat pusat maupun daerah, paling lama 6 (enam) bulan.
Norma-norma ini juga diambil dari UU SPPA. Anggota Tim Panja menerima Pasal 42A, Pasal 42B untuk diserahkan ke Timus dan Timsin.
Selanjutnya, Alasan pemaaf yang tertera dalam Pasal 43 s.d Pasal 47 itu pada prinsipnya, sudah disetujui oleh Panja, jadi tidak ada perubahan. Pemerintah hanya akan menambahkan dalam Pasal 47A itu adalah hakim, jadi supaya tidak ada problem di lapangan.
Sebelumnya, Ketua Panja, menanyakan “alasan pemaaf ini kan alasan meniadakan pidana, berarti ini kan urusannya hakim, bukan urusan penegak hukum. Sehingga di kuhp lama ini ditulis, ketentuan diatas ini ditulis bagi mahkamah agung, dan PN, dst. Berarti penegak hukum polisi dan jaksa ini tidak masuk ke celaan subjektifnya, dia masuk ke celaan objektifnya. Pertanyaannya gini, jika sudah terjadi tindak pidana tetapi ternyata yang melakukan ini adalah orang yang dikategorikan seperti yang ada dalam hal Pasal 45, apakah polisi dapat memprosesnya karena alasan hukum ini? atau tidak dapat memprosesnya? Nanti hakim di pengadilan yang menilai. Kan gitu? Karena kalau gitu, polisi bisa jadi jaksa dan hakim sekalian. Kalau kaya gitu, kalau hanya berlaku bagi hakim, maka itu harus eksplisit, ketentuan ini hanya untuk PN, PT dan MA. Bukan untuk polisi atau jaksa. Kami minta penjelasan pemerintah.”
Lalu dari Tim Pemerintah, Muzakkir menjawab, “terkait alasan pemaaf, kita mengikuti prinsip doktrin dualisme. Ada perbuatan pidana plus melawan hukum di satu pihak, ada pertanggungjawaban/kesalahan di lain pihak. Kalau ada kesalahan bisa dipidana, kalau tidak ada kesalahan ya tidak dipidana. Yang satu ada kesalahan tapi dimaafkan, ini menarik, disini siapa yang harus menentukan bahwa orang itu tidak dapat dipidana disebabkan karena tidak memiliki kesalahan, dan siapa yang menentukan bahwa itu ada alasan pemaaf, yang membuat bersangkutan tidak dipidana. Dalam KUHP lama itu sesungguhnya hakim yang menentukan itu, tetapi untuk membuktikan ada perbuatan pidana sudah selesai, barulah jaksa membuktikan ini tidak bisa dipidana karena ada alasan penghapus kesalahan. Nah yang menjadi permasalahan begini, dalam praktik, memang energi penegak hukum dalam menghadapi sesuatu ini membutuhkan kecepatan. Misalnya orang yang benar-benar gila yang tidak dapat di proses. Mau proses ke pengadilan pun, akan sulit prosesnya karena kesulitan komunikasi. Kadang ini kalau dalam praktek, normanya yang mengatur bahwa hakim yang menentukan itu, kesulitannya ada disini. Yang kedua, kalau alasan pemaaf itu memang benar adalah alasan yang harus diuji dalam proses itu, ada kesalahan, tetapi ada penghapusnya. Kalau misalnya harus ke pengadilan, ini saya kira tepat. Supaya tidak terjadi ukuran yang berbeda, maka yang menentukan adalah hakim yang menentukan. Khusus pasal 43, 44, 45, dan 54 ini adalah hakim yang menentukan. Karena perbuatan pidananya ada, kesalahannya ada. Yang debatable hubungan dengan ini Pihak jaksa tentu saja bisa mengetahui kalau ini isinya alasan pemaaf, dia akan menuntut alasan pemaaf, tapi misalnya mungkin juga sumbernya dari pihak terdakwa atau penasihat hukumnya, maka ini hakim yang menentukan.”
Lalu Arsul Sani (F-PPP) menanyakan kembali pada Tim Pemerintah, “Kalau belum sampai ke pengadilan, apakah kemudian akan menghentikan penyidikan atau penuntutan, atau ini terus berlanjut ke pengadilan, walaupun jaksanya menuntut bebas?” dilanjutkan oleh pertanyaan Sumanjaya (F-PKS) “Apakah ini merupakan ranah di kuhap nantinya? Apabila ini berkenaan di penyelidikan penyidikan dan penuntutan? Apakah ada jadi penegasian, mana yang masuk ranah KUHP dan KUHAP?”
Dari Tim Pemerintah, Pihak Mabes Polri (Brigjen. Marbun) menjawab, “Mengenai alasan pemaaf ini, seseorang pelaku yang melakukan tindak pidana, ketika kita melihat itu tidak mempunyai kesadaran, lalu keanehan, kita minta ahli jiwa. Mereka kan memberikan surat keterangan bila seseorang ini sakit jiwa, ini ada kriteria permanen, setengah permanen, kalau permanen dan setengah permanen ini tidak dilanjutkan penyelidikan. Jadi polisi selama ini, bila ditemukan mekanisme seperti itu, cukup kalau ada keterangan dari RSJ kita menghentikan penyidikan.” Lalu Muzakkir menambahkan bahwa “SP3 hanya berlaku pada kemampuan bertanggung jawab, tapi jika berkaitan penghapusan pidana itu tidak bisa.”
Anggota Panja masih bingung mengenai siapa yang menentukan alasan pemaaf ini, maka dari itu Ketua Tim Panja, Benny K Harman, kembali menanyakan “Siapa yang menentukan nanti alasan pemaaf ini, polisikah atau ini urusan hakim? Karena dalam kuhp lama ini urusannya PN, PT dan MA. Yang ditentukan dalam ayat yang diatas ini, kalau Pasal 44, hanya berlaku bagi Ma dan PT. Untuk alasan pembenar mengenai pertanggungjawaban didepan. Karena dalam KUHP yang lama, ini dalam heading Bab III, pengecualian pengurangan dan penambahan hukuman. Tetapi yang menentukan di dalam kuhp lama ini itu adalah tugasnya MA, PN dan PT. Pertanyaan saya ini adalah ini kenapa tidak dirumuskan dalam KUHP pemerintah? Apakah bisa ini polisi? Karena Dalam KUHP lama ditegaskan bahwa alasan penghapus pidana ini berlaku bagi peradilan berarti tidak berlaku bagi jaksa. Jadi apapun alasannya masih bisa di proses.”
Dari Tim Pemerintah, Prof. Enny menjawab, “Kita pernah debat antara polisi, jaksa dan pemerintah, dan ini solusinya memang hakim.” Benny menanyakan kembali, “Jangan sampai orang bingung membaca ini. Pertanyaan saya tadi adalah, apa alasan pemerintah untuk tidak memasukkan ketentuan yang isinya bahwa di pasal 44 ayat (3) itu bahwa yang menentukan itu adalah hakim?” Lalu Prof. Enny menjawab, “Kami akan tambahkan dalam Pasal 47A itu adalah hakim, jadi supaya tidak ada problem di lapangan. Terkait hakim yang memutus, kami akan tetapkan pada tempat yang tepat, maka kami akan konsolidasikan dulu internal.”
Pembahasan hari ketiga berakhir sampai dengan Pasal 47.
Hari Keempat pembahasan RKUHP, tanggal 28 April 2016, dimulai Pukul 10.30 – 15.00. Paragraf 6 tentang korporasi mulai Pasal 48-52, pada dasarnya sudah disetujui Tim Panja pada tanggal 23 dan 25 November 2015 untuk dibahas Timus Timsin. Terkait Pasal 48-52 tidak ada perubahan. Sedangkan Pasal 53 dan 54 ini yang belum dapat persetujuan dari Tim Panja. Dalam pembahasan tindak pidana korporasi saat itu, Pemerintah tidak menghadirkan Prof. Muladi, padahal Tim Panja berekspektasi Prof. Muladi dapat hadir karena beliau yang paham dan dapat menjelaskan mengenai Tindak Pidana Korporasi. Akibatnya, hal ini dapat dilihat pada situasi rapat Panja RKUHP hari keempat ini, dimana Pemerintah agak kesulitan menjawab berbagai pertanyaan dari Anggota Panja mengenai definisi Korporasi itu sendiri. Karena menurut Ketua Tim Panja, Benny K Harman, definisi Korporasi tidak ada dalam penjelasan. Sedangkan waktu November 2015 itu Tim Panja meminta pemerintah memasukkannya dalam penjelasan, namun sampai saat ini masih belum dicantumkan.
Hal ini diakui oleh Tim Pemerintah, Prof Harkristuti, “Sementara untuk istilah ini masih sama dengan yang lama. Karena kami masih kesulitan mendefiniskan korporasi. Selama ini kami masih menggunakan yang tertera dalam Pasal 189. Mengenai tindak pidananya tidak ada batasan yang spesifik. Berkaitan mengenai tindak pidana yang melekat pada orangnya sendiri Agak sulit apabila korporasi itu dikenakan untuk penganiayaan, pembunuhan, Karena hanya berkaitan denga lingkunganhidup, money laundering, Kita sengaja tidak membatasi agar tidak ada uu di masa depan yang terkekang karena rumusan di Paragraf 6 ini. Agar menjadi petunjuk bagi penegak hukum kapan korproasi itu digunakan”
Setelah menunggu beberapa waktu pasca anggota Panja menanyakan kembali permasalahan struktur korporasi mana saja yang dapat dijadikan subjek tindak pidana dan yang mana saja yang dapat diminta pertanggungjawabannya, lalu kapan tindak pidana ini dapat dikenakan pada korporasi, barulah Tim Pemerintah, Prof. Harkristuti, menjawab, “Sudah tercantum dalam Pasal 50 dan Pasal 189. Pasal 53, mengacu pada prinsip ultimum remedium. Kalau ada UU lain yang lebih berguna, dahulukan UU itu, baru KUHP. Tidak harus pelanggaran korporasi itu diselesaikan oleh hukum pidana, pidana jadi senjata terakhir. Diharapkan keputusan pidana itu memberikan perlindungan yang lebih berguna. Meskipun sudah didaftarkan badan hukum di kemenkumham, Kalau didalam kenyataan terjadi, kalau dibuktikan ya bisa saja. Jadi dibedakan organisasi untuk dibentuk menajdi organisasi kriminal, atau dengan organisasi yang kenyatannya melakukan kriminal. Jika Pemegang saham ternyata menentukan arah mengendalikan korporasi, makanya Pasal 50 dimasukkan disini. Jadi kalau pemegang saham itu pada umumnya mereka berwenang menentukan arah kemana korporasi akan dibawa, disini tidak disebutkan. Beneficial owner, tidak dalam struktur, tapi dia mengendalikan dari luar.”
Lalu Taufik (F-Gerindra) menanyakan, “Kalau pemegang saham dikenakan, kan banyak ketegori pemegang saham? Bagaimana dikenakannya?” Prof. Harkristuti menjawab, “Pemegang saham bisa kena apabila mereka bisa mengendalikan. Biasanya mayoritas. Dan kalau minoritas kan..” dan Erma (F-Demokrat) menambahkan, “Saya sepakat dengan Prof. Tuti, Kalau bisa dicantumkan pemegang saham mayoritas, didetailkan saja disitu”
Benny K Harman, menegaskan “Berarti usul F-Gerindra dianulir, Golkar, dan PKB sudah masuk dalam penjelasan. Dengan demikian, rezim tanggungjawab perdata dan pidana itu sama. Itu mesti jelas. Pasal 50, disetujui Panja 28 April 2016, dibahas dalam Timus Timsin.”
Sebelum lanjut ke Pasal berikutnya, Dossy (F-Golkar) terlebih dahulu menanyakan, “Kenapa istilah ini ditaruh di belakang? Apakah kita ini misal kenapa kita tidak progresif kalau istilah2 semua didepan, baru asas-asas?”
Dari Tim Pemerintah, Prof. Harkristuti menjawab “RKUHP ini berbeda dengan RUU lainnya, sehingga ketentuan umum ini tidak ditaruh di depan ditaruhnya seperti UU organik lainnya. Saya kira menarik bila ditempelkan dalam asas. Tapi akan jadi masalah karena tidak semua istilah ada dalam asas. Jadi sistematika kami Cuma 2, pertama ketentuan umum, yang kedua tindak pidana. Sehingga ketika awal merumuskan azas, maka asas ini yang jadi sokogurunya pidana. Kalau kita campurkan dengan definisi, maka akan susah mencari, azasnya yang mana. Karena dalam kovenan, tidak ada yang kita langgar dengan metode apapun. Jadi, pertama azas.. lalu istilahnya.. bila istilah berkembang, istilah itu banyaknya di buku 2 bukan buku I. Jadi ini dimaksudkan sebagai teori penafsiran otentik”
Pasal 54 sampai dengan Pasal 57 disetujui oleh Panja, untuk diserahkan ke Timus dan Timsin. Sementara Pasal 58-61 (perubahan atau penyesuaian pidana) Tim Panja melakukan Pending. Tim Pemerintah, Prof. Harkristuti menerangkan bahwa jadi Pasal 58 ini merupakan satu perkembangan baru menurut Prof Barda, “ketika pengadilan sudah memutus, lalu selama ini tidak ada kemungkinan untuk melakukan modifikasi atau perubahan pada putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum yang pasti. Akan tetapi, disini ternyata ketika dihukum 10 tahun misal, ternyata si Terpidananya berbuat baik. Ada perkembangan yang positif pada diri pribadinya sesuai pada tujuan untuk memperbaiki prilaku terpidana. Oleh sebab itu, dapat diajukan permohonan kepada pengadilan untuk mengubah atau menyesuaikan pidana yang telah dijatuhkan sebelumnya, dan telah memperoleh kekuatan hukum yang pasti. Intinya itu.”
Namun, Benny K Harman, menyatakan “Saya masih mengingat bahwa dalam rumusan pemerintah ini ada catatan dalam pasal ini, yaitu dari Pihak Kejaksaan. Menurut Kejaksaan, putusan yang telah berkekuatan hukum tetap, tidak mungkin diubah, kecuali dengan upaya hukum luar biasa. Pasal ini menegasikan berbagai upaya tersebut. Seyogyanya yang diatur adalah kemungkinan perubahan pelaksanaan pidana dan tindakan yang menjadi kewenangan eksekutif. Apakah itu yang dimaksudkan disini, misalnya sudah ada Remisi, Amnesti, Abolisi, Pembebasan Bersyarat. Kalau sudah putusan berkekuatan hukum tetap, kok masih bisa dikurangi? Apa mungkin yang dimaksud dengan itu adalah pelaksanaannya? Atau bukan? Pasal 58 ini apa perlunya? Apa idenya?”
Dari Tim Pemerintah, Prof. Harkristuti menjawab, “Jadi ketika Pasal ini memberikan kemungkinan seorang terpidana yang telah menerima pidana, yang telah diputus dengan putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, mengajukan ke Pengadilan. “Pak, boleh gak, dikurangi hukumannya, atau diganti hukumannya, atau dicabut hukumannya.” Ini yang dirumuskan dalam Pasal 58. Memang ternyata dalam diskusi tim pemerintah, dari Kejaksaan, memang agak kesulitan, jadi kami serahkan kembali kepada Bapak/Ibu (Tim Panja), tapi ini pertanyaan ini tadi berbeda dengan remisi. Remisi itu sudah diatur juga disini. Kewenangan eksekutif. Sehingga mohon maaf, harus dikatakan bahwa, boleh minta remisi, terus minta perubahan/penggantian pidana. Ini kami juga perdebatannya cukup ramai juga di dalam tubuh Tim Pemerintah. Kami juga ingin mendapat pandangan dari Bapak/Ibu, karena di dalam perubahan pidana ini, pertama landasannya adalah perkembangan narapidana yaitu kemajuan positif yang telah dia capai, kemudian perubahan yang akan menunjang apabila di dalam perubahan, ini akan menunjang perubahan positif yang lebih besar. Kemudian yang kedua, ini dapat diajukan oleh orang-orang sekitar dia, baik narapidana, orang tua, wali, kuasa hukumnya, atau oleh permintaan jaksa. Nah ini jaksa juga keberatan. Saya harus cerita tentang perdebatan kami, “Loh? Kan kami sudah menuntut, kok kami minta perubahan?” kemudian yang ketiga, perubahan ini bisa berupa pencabutan pidana atau tindakan, atau penghentian tindakan, atau penghentian jenis pidana atau tindakan. Kemudian, kalau ditolak oleh pengadilan, bisa diajukan lagi tahun berikutnya. Nah ini memang perdebatannya cukup tajam di dalam tim pemerintah. Oleh sebab itu catatan tim kejaksaan masih masuk disini. Jadi berbeda sekali dengan apa yang menjadi kewenangan eksekutif. Jadi apakah bisa 2 kali? Ya bisa. Bisa 2, bisa perubahan, lalu minta remisi.”
Lalu Benny K Harman, menanyakan “apakah ini masih ranah yudikatif? Kalau iya, berarti mengesankan berarti masih ada upaya hukum diatas PK. Nah itu akan merusak kita punya tatanan hukum. Kecuali mungkin nanti adanya upaya hukum suprayudisial atau apalah. Bisa aja kita bikin. Yang kedua, saya rasa semangatnya ini kita setuju. Tapi kita serahkan itu ke wilayahnya eksekutiflah dengan fasilitas legal yang ada. Melalui UU Remisi, Pembebasan Bersyarat, gitu aja. Tinggal ini kita tata lagi supaya jangan dipolitisir ini soal ini. Jadi begitu diputuskan pidana, itu sepenuhnya tanggungjawab atas orang ini beralih dari yudikatif ke eksekutif. Jangan lagi orang masuk bui, kok yudikatif , jaksa, polisi, hakim masih ikut-ikut. Udah serahkan aja ke eksekutif. Terserah eksekutif.”
Dikarenakan filosofis pasal ini adalah penggagasnya ada pada Prof Barda, dan Tim Pemerintah belum dapat menjawab apa yang menjadi permasalahan dalam pasal perubahan dan penyesuaian yang ada pada Pasal 58 – Pasal 61 ini, maka dari itu pasal-pasal ini dipending.
Selanjutnya menurut Tim Pemerintah, Pasal 61-63 disarankan dihapus, yang asalnya direlokasi. Karena irisan dengan KUHAP, dianggap pidana formil. Sedangkan Pasal 64 ayat (1) dirubah bunyinya, dan lebih dipersingkat, asalnya berbunyi :
Jika narapidana yang berada dalam lembaga pemasyarakatan mengajukan permohonan grasi maka waktu antara pengajuan permohonan grasi dan saat dikeluarkan Keputusan Presiden tidak menunda pelaksanaan pidana yang telah dijatuhkan.
Menjadi :
Jika narapidana yang berada dalam lembaga pemasyarakatan mengajukan permohonan grasi tidak menunda pelaksanaan pidana yang telah dijatuhkan.
Lalu ada penambahan Ayat (4), yang berbunyi :
Ketentuan mengenai syarat dan tata cara permohonan Grasi diatur dalam UU
Pasal 64 Disetujui Panja 28 april 2016, untuk diserahkan pada Timus dan Timsin. Menurut Benny K Harman, “Pasal 65 kita hapus. Nanti kita masuk bagian kedua mengenai pidana. Waktu kita bahas soal ini, tidak banyak yang berubah kecuali ngomong tentang diversi. Tapi itu kan kita adopsi dari UU SPPA. Usul mengenai pidana dan pemidanaan tidak banyak berubah. Kita hanya formulasikan kembali secara sistematis.”
“Kita minta pemerintah menggabungkan pasal 135 dan pasal 138. Bagian kelima faktor yang memperingan dan memperberat pidana. Kita waktu itu sepakat, ada catatan pemerintah, pertimbangan memperingan itu yaitu juctice colaborator, cman kita minta pmerintah waktu itu gimana rumusannya?”
“Tata cara pelaksanaan ini belum kita bahas ya, Pasal 139 s.d. selesai (159) kalau saya tidak salah, pasal 153 juga kita juga sudah masuk, pasal 157-159 mulai pendalaman. Saya usul pasal 139-159 di formulasikan lagi oleh pemerintah.
“Catatan kita terakhir itu tidak gugurnya penuntutan karena tidak ada daluarsa untuk kejahatan pelanggaran ham.”
Sehingga Catatan Panja 28 April 2016, yaitu:
- Pemerintah diminta memformulasikan kembali Pasal 139-159
- Pemerintah dan Tenaga Ahli Komisi III diminta merumuskan dan menyisisr kembali selama masa reses
Masa reses : Mulai 30 April – 16 Mei 2016
Tanggal 23-25 Mei, akan dimulai masuk ke Buku II.
“Kalau soal pidana mati, kita untuk pidana tertentu aja, tertentunya apa, kita setujui nanti.”
Dengan demikian, Tim Panja RKUHP menerima perbaikan yang telah disampaikan pemerintah untuk selanjutnya diserahkan pada tim kecil pemerintah dan Tenaga Ahli Komisi III tadi untuk melakukan menyisir yang kemarin disusun.
[1] Setiap Konsinyering Rapat Panja yang dilaksanakan berhari-hari, Prof. Muladi hanya mengikuti pada sesi pagi.
[2] Penjelasan Pasal 42, yang dimaksud dengan “Kurang dapat dipertanggungjawabkan” adalah ketidakstabilan mental pada seseorang untuk mengarahkan kemauan atau kehendaknya dalam rangka pertanggungjawaban. Dalam hal demikian, pembuat tindak pidana dinilai sebagai kurang mampu menginsyafi sifat melawan hukumnya daripada perbuatan yang dilakukan atau untuk berbuat berdasarkan keinsyafan yang dapat dipidana. Atas perbuatas tersebut, pidananya dapat diperingan, namun Hakim dapat juga menjatuhkan tindakan berupa perawatan di rumah sakit jiwa atau menyerahkan pembuat tindak pidana kepada pemerintah untuk diambil tindakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.