Masalah Pertanggungjawaban Pidana Disabilitas Dalam R KUHP Harus Jadi Perhatian , DPR Harus Mengundang Ahli Khusus

Dengan berbagai hambatan yang dapat menghalangi partisipasinya bukan berarti penyandang disabilitas jenis tertentu menjadi kebal hukum atau tidak tidak dapat di tuntut dalam hal melakukan suatu tindak pidana. Pasal 9 huruf b, RUU secara tegas menyatakan bahwa penyandang disabilitas diakui sebagai subjek hukum. Dimana subjek hukum merupakan pendukung hak dan kewajiban yang konsekuensinya dapat menuntut atau dapat dituntut subjek hukum lain di muka pengadilan.

Aspek pertanggungjawaban pidana disabilitas sebenarnya telah di atur dalam Rancangan KUHP 2015. Terutama bagi Peyandang Disablitas Khusus. Dalam Pasal 41 dan 42, R KUHP telah mengatur masalah pertanggungjawaban bagi disabilitas. R KUHP memberikan dua kategori pertanggungjawaban. Pertama tidak dapat dipertanggungjawabkan dan dijatuhi pidana, tetapi dapat dikenakan tindakan bagi disabilitas (gangguan jiwa, penyakit jiwa, retardasi mental atau disabilitas mental lainnya). Kedua kurang dapat dipertanggungjawabkan karena menderita gangguan jiwa, penyakit jiwa, retardasi mental, atau disabilitas mental lainnya pidananya dapat diku­rangi atau dikenakan tindakan.

Aliansi Nasional Reformasi KUHP masih menganggap walaupun R KUHP telah lebih maju mengatur mengenai pertanggungjawaban disabilitas namun pasal-pasal tersebut harus menjadi perhatian serius oleh DPR.

Menurut Aliansi, ada beberapa catatan terhadap hal ini, yakni:

  1. Penggunaan istilah kalimat “tidak dapat dipertanggungjawabkan dengan kurang dapat dipertanggungjawabkan”, harus lebih di perjelas dalam R KUHP terkait dengan batasan-batasannya baik secara praktek medis maupun secara akademis.
  1. Istilah atau pengertian-pengertian tersebut juga harus di cermati, Dalam RUU Disabilitas memberikan definisi dan mengatur ragam jenis Penyandang Disabilitas diantaranya meliputi Penyandang Disabilitas fisik; Penyandang Disabilitas intelektual; Penyandang Disabilitas mental; dan/atau Penyandang Disabilitas sensorik. Ada istilah yang sama di RUU Disabilitas maupun R KUHP, namun pengertiannya belum tentu sama atau seragam. Hal ini akan menimbulkan masalah ke depannya.
  1. R KUHP belum mengatur secara khusus aspek disabilitas anak, atau anak dalam kondisi disabilitas sesuai dengan rekomendasi Pasal 7 Konvensi Hak-hak penyandang Disabilitas. R KUHP memang telah mengatur soal pemidanaan anak, tapi belum menjangkau pegaturan pemidanaan anak disabilitas.

Oleh karena itu Aliansi Nasional, merekomendasikan dan mendesak agar Panja R KUHP DPR agar

  1. Memasukkan perhatian khusus atas isu ini dan sekaligus memasukkannya dalam cluster masalah di DIM pembahasan. Aliansi merekomendasikan seluruh Fraksi DPR untuk memasukkan isu ini dalam DIM masing-masing fraksi.
  2. Segera mengundang pakar/ahli khusus disabilitas yangdibutuhkan agar perumusan masalah disabilitas dalam KUHP lebih komprehensif,. DPR jangan hanya terbatas memanggil pakar-pakar hukum pidana, tapi harus mengikutsertakan pakar-pakar maupun praktisi seperti pskiatri, psikolog, pakar disabilitas. Karena isu ini yang sangat spesifik.
  3. DPR membuka partisipasi yang lebih besar bagi para pihak untuk memberikan masukan dalam RUU disabilitas terutama dalam 3 isu tersebut diatas

————————————————-

Pasal 41

Setiap orang yang pada waktu melakukan tindak pidana menderita gangguan jiwa, penyakit jiwa, retardasi mental atau disabilitas mental lainnya, tidak dapat dipertanggungjawabkan dan dijatuhi pidana, tetapi dapat dikenakan tindakan.

Penjelasan :

Pasal 41

Setiap orang yang melakukan tindak pidana yang tidak dapat dipertanggungjawabkan kepadanya karena hal-hal yang disebutkan dalam ketentuan ini, tidak dipidana. Kepada pembuat tindak pidananya dikenakan tindakan sebagaimana ditentukan dalam Pasal 102.Untuk dapat dikatakan bahwa seseorang mampu bertanggung jawab yang menentukan adalah faktor akalnya. Akalnya yang dapat membedakan antara perbuatan yang diperbolehkan dan yang tidak diperbolehkan. Dalam hal tidak mampu bertanggungjawab, keadaan akal pembuat tindak pidana tidak berfungsi normal. Tidak normalnya fungsi akal, disebabkan karena perubahan pada fungsi jiwa yang mengakibatkan gangguan pada kesehatan jiwa. Jadi pembuat tindak pidana tidak mampu bertanggung jawab tersebut karena sebab-sebab tertentu yang hanya dapat dijelaskan dari segi medis. Untuk dapat menjelaskan tidak mampu bertanggung jawab dari segi medis, hakim tidak boleh mengandalkan kemampuan berpikir dirinya sendiri. Untuk itu hakim wajib menghadirkan seorang saksi ahli yang dapat menjelaskan hal tersebut, sehingga pembuat tindak pidana dipandang atau dinilai sebagai tidak mampu bertanggung jawab. Perumusan ketentuan dalam Pasal ini bersifat deskriptif normatif yaitu menyebutkan sebab-sebab tidak dapat dipertanggungjawabkannya perbuatan tersebut kepada pembuat tindak pidananya dan menentukan pula akibatnya yaitu tidak mampu bertanggung jawab.

Yang dimaksud dengan “gangguan jiwa atau penyakit jiwa” adalah sesuatu perubahan pada fungsi jiwa yang menyebabkan adanya gangguan pada kesehatan jiwa.

Melakukan tindak pidana yang tidak dapat dipertanggungjawabkan berarti:

a. tidak mampu memaksudkan suatu tujuan yang sadar;

b. tidak mampu untuk mengarahkan kemauannya; atau

c. tidak mampu untuk memahami dan menginsyafi sifat melawan hukum dari tindakannya.

Yang dimaksud dengan “retardasi mental” adalah suatu keadaan yang memenuhi kriteria sebagai berikut :

  1. fungsi intelektual umum berada di bawah rata-rata yang cukup berarti;
  2. tidak mampu memenuhi norma berdikari dan tanggung jawab sosial sesuai dengan usia dan lingkungan budaya; dan
  3. mulai timbul di bawah umur 18 (delapan belas) tahun.

Kriteria tersebut tidak bersifat mutlak, untuk itu para ahli ilmu jiwa kedokteran perlu dimintakan pertimbangan sesuai dengan perkembangan disiplin ilmu yang bersangkutan.

Yang dimaksud dengan “tidak mampu untuk memaksudkan suatu tujuan yang sadar” adalah ketidakmampuan mental seseorang untuk membentuk kesengajaan yang sadar (intentional disability).

Pasal 42

Setiap orang yang pada waktu melakukan tindak pidana kurang dapat dipertanggungjawabkan karena menderita gangguan jiwa, penyakit jiwa, retardasi mental, atau disabilitas mental lainnya pidananya dapat diku­rangi atau dikenakan tindakan.

Penjelasan :

Pasal 42

Yang dimaksudkan dengan “kurang dapat dipertanggungjawabkan” adalah ketidakstabilan mental pada seseorang untuk mengarahkan kemauan atau kehendaknya dalam rangka pertanggungjawaban. Dalam hal demikian pembuat tindak pidana tindak pidana dinilai sebagai kurang mampu untuk menginsyafi tentang sifat melawan hukumnya dari perbuatan yang dilakukan atau untuk berbuat berdasarkan keinsyafan yang dapat dipidana. Atas perbuatan tersebut pidananya dapat diperingan, namun hakim dapat juga hanya menjatuhkan tindakan berupa perawatan di rumah sakit jiwa, atau menyerahkan pembuat tindak pidana tindak pidana kepada pemerintah untuk diambil tindakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Leave a Reply