[Media Rilis Koalisi] Sudah jadi Korban Masih Terancam Dipidana: Potensi over-kriminalisasi dan diskriminasi pada pasal kontrasepsi dan aborsi dalam RKUHP

Pada April 2020, DPR RI mulai melakukan pembahasan Rancangan Undang-undang bawaan dari masa sidang sebelumnya (carry over) yang menuai resistensi di masyarakat, salah satunya adalah RKUHP. Menteri Hukum dan HAM (Menkum HAM) Yasonna Laoly mendorong DPR untuk segera membahas RKUHP, sementara di dalamnya masih banyak pasal kontroversial yang berpotensi merugikan banyak kelompok rentan jika disahkan. Di tengah masa pandemi COVID-19 yang ditetapkan sebagai situasi bencana nasional, seharusnya DPR RI memberikan perhatian penuh untuk mengawasi kinerja pemerintah dalam penanganan pandemi COVID-19 yang telah berdampak secara ekonomi, sosial dan kesehatan bagi masyarakat.

Koalisi Peduli Kelompok Rentan Korban COVID-19 (Koalisi PEKAD) menilai harus ada pembahasan yang komprehensif dan memastikan partisipasi masyarakat untuk pasal-pasal dalam RKUHP. Namun, akibat anjuran Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) dari pemerintah, ruang gerak masyarakat menjadi terbatas untuk bisa terlibat dalam secara penuh dalam pembahasan RKUHP. 

Koalisi PEKAD menyoroti pasal terkait Kontrasepsi dan Aborsi, yang seharusnya mempertimbangkan aspek kebutuhan dan situasi masyarakat (terutama perempuan korban kekerasan seksual dan kelompok rentan), serta peran kelompok masyarakat sipil yang selama ini telah berkontribusi terhadap program-program Pemerintah.

 

Pasal 414-416 RKUHP tentang Pemberian Informasi Alat Pencegahan Kehamilan

Risiko kehamilan yang tidak direncanakan (KTD) pada masa pandemi COVID-19 semakin tinggi, berdasarkan riset yang dilakukan UNFPA diperkirakan pada tahun 2020 hingga 2021 di Asia-Pasifik akan terjadi 11,4-20,7 juta kehamilan tidak diinginkan, meskipun masih belum diketahui berapa angka kejadian KTD di Indonesia namun diperkirakan angkanya cukup tinggi karena adanya penurunan pengguna kontrasepsi selama masa COVID-19 yang disebabkan pengguna takut untuk datang ke layanan kesehatan ataupun perubahan pola layanan fasilitas kesehatan. Pada situasi ini, peran relawan sangat krusial untuk menjangkau perempuan yang membutuhkan kontrasepsi namun tidak dapat mengakses di layanan kesehatan termasuk juga untuk memberikan informasi kepada remaja mengenai kontrasepsi sebagai bentuk pencegahan perilaku seksual berisiko.

Berdasarkan rancangan RKUHP 15 September 2019, pasal 414-416 RKUHP tentang pemberian informasi alat pencegahan kehamilan berpotensi memidana denda sebesar Rp 1.000.000 kepada individu yang mempromosikan alat pencegahan kehamilan kepada anak.[1] Pasal tersebut menyebutkan bahwa promosi atau pemberian informasi hanya dapat dilakukan oleh petugas yang berwenang dan relawan yang diberi izin oleh lembaga pemerintah terkait. Pasal serupa faktanya telah didekriminalisasi oleh Jaksa Agung tahun 1978 dan BPHN tahun 1995, karena kontraproduktif dengan Program Keluarga Berencana pemerintah dan upaya pencegahan HIV&AIDS. Keputusan tersebut kemudian didukung dengan dikeluarkannya Undang-undang No.10 Tahun 1992 tentang Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga Sejahtera yang menyatakan pentingnya peran serta masyarakat dalam Program Keluarga Berencana. Selain itu, pasal ini juga bertentangan dengan Undang-undang No.36 tahun 2009 tentang Kesehatan dan Peraturan Pemerintah No.61 Tahun 2014 tentang Kesehatan Reproduksi. Ambiguitas terhadap petugas yang berwenang atau relawan yang diberikan izin oleh lembaga pemerintah yang berwenang berpotensi mengriminalisasi 23.500 penyuluh KB dan 569.477 kader kesehatan terlatih yang selama ini memberikan informasi kontrasepsi ke pada masyarakat termasuk juga anak dan remaja.[2] Pasal ini juga dapat mengriminalisasi orang tua dan pendidik sebaya yang memberikan informasi kontrasepsi kepada anak dan remaja sebagai bentuk edukasi seksualitas dan upaya pencegahan perilaku seksual berisiko.

Promosi pencegahan kehamilan dengan kontrasepsi sebagai bentuk upaya penurunan Angka Kematian Ibu (AKI) harusnya dilakukan oleh seluruh lapisan masyarakat mulai dari guru, orang tua, kader kesehatan, penyuluh kesehatan, pendidik sebaya, tokoh agama dan tokoh masyarakat. Pemberian informasi terkait kontrasepsi adalah bagian dari materi pendidikan seksualitas komprehensif yang perlu diberikan kepada anak sesuai dengan tingkatan perkembangan fisik (usia), mental, dan sosial mereka. Informasi kontrasepsi merupakan hak anak terhadap informasi kesehatan yang dijamin oleh Konvensi PBB untuk Hak-hak Anak, informasi ini tetap penting disampaikan pada anak dan remaja sehingga mereka sadar dan bertanggung jawab dalam merencanakan masa depannya.

 

RKUHP pasal 470-472 tentang Pengguguran Kandungan

Pasal ini berpotensi mengriminalisasi perempuan yang menggugurkan kandungannya atau meminta orang lain untuk menggugurkan kandungannya dengan pidana penjara paling lama 4 tahun tanpa pengecualian terhadap kondisi tertentu. Padahal, Undang-undang No. 36 tahun 2009 tentang Kesehatan telah memberikan pengecualian pada perempuan dengan kondisi darurat medis dan kehamilan karena perkosaan untuk mendapatkan layanan aborsi. Hal tersebut juga dikuatkan dengan Fatwa Majelis Ulama Indonesia No. 4 tahun 2005 tentang aborsi yang menyebutkan aborsi boleh dilakukan kepada perempuan dengan kondisi darurat medis dan perempuan korban perkosaan dengan usia kehamilan sebelum 40 hari.

Meskipun tidak ada data yang pasti mengenai berapa angka aborsi di Indonesia, namun diperkirakan pada tahun 2018 terdapat 19.7% Kehamilan yang Tidak Direncanakan (KTD). Untuk dapat menurunkan angka kematian ibu perlu dipastikan setiap kehamilan adalah kehamilan yang direncanakan dan perempuan hamil dapat mengakses layanan kesehatan yang diperlukan. Pada kasus kehamilan yang dapat membahayakan keselamatan dan kesejahteraan seperti pada perempuan korban perkosaan maka mitigasi risiko harus tersedia. Kriminalisasi terhadap perempuan dengan kedaruratan medis dan korban perkosaan yang memerlukan layanan aborsi aman akan menyebabkan perempuan mencari alternatif tindakan aborsi yang tidak aman yang semakin berkontribusi dalam menaikkan angka kematian ibu. 

Selain itu, selama pandemi COVID-19 kekerasan terhadap perempuan meningkat 3 kali lipat dibandingkan masa sebelumnya. Diprediksi kekerasan seksual domestik yang mengakibatkan kehamilan tidak direncanakan juga akan meningkat, meskipun UU Kesehatan No. 36 tahun 2009 melegalkan aborsi pada kasus tersebut namun prosedur yang rumit dan aparat penegak hukum yang tidak sensitif gender mengakibatkan sulit bagi perempuan yang memenuhi persyaratan untuk mendapatkan layanan aborsi yang aman dan legal. 

Adanya RKUHP pasal 470-472 akan menyebabkan ketidakpastian hukum. Pasal tersebut memberikan pengecualian terhadap dokter yang melakukan tindakan atas dua situasi di atas, namun perempuan yang melakukan tindakan dan pemberi informasi tetap dikriminalisasi. Apabila RKUHP disahkan, maka pasal ini akan kontradiktif dengan UU Kesehatan dan mengriminalisasi perempuan yang menjadi korban kekerasan seksual. Sebagai contoh, kasus WA (15) di Jambi yang diperkosa oleh kakak laki-lakinya dan melakukan aborsi tetap dipenjara dengan 6 bulan masa kurungan setelah dipotong masa tahanan awal. Sebagai anak korban perkosaan, WA justru dikriminalisasi dan tidak mendapatkan pemulihan mental, fisik, dan sosial yang memadai. Apabila RKUHP disahkan, peraturan ini berpotensi mengriminalisasi lebih banyak korban kekerasan seksual yang mengalami kehamilan dan akan berdampak buruk terhadap pemenuhan hak perempuan dan pemulihan korban kekerasan seksual.

 Berdasarkan data dan situasi yang terjadi, Koalisi PEKAD mendesak pemerintah dan DPR RI untuk:

  1. Menunda pembahasan dan pengesahan RKUHP selama pandemi COVID-19, DPR dan Pemerintah untuk fokus dalam pengawasan dan penanggulangan dampak sosial, ekonomi dan Kesehatan atas pandemi COVID-19 terutama kepada kelompok masyarakat rentan.
  2. Membuka ruang dialog dan kesempatan seluas-luasnya bagi masyarakat sipil, akademisi, dan ahli dari berbagai daerah di Indonesia untuk dapat terlibat dalam pembahasan RKUHP.
  3. Mengkaji kembali pasal terkait kontrasepsi dan aborsi dengan mengumpulkan dan mempertimbangkan pendapat ahli dibidang kesehatan, kesehatan masyarakat, Kementerian Kesehatan, BKKBN dan koalisi masyarakat sipil.
  4. Memastikan keselarasan hukum RKUHP dengan Undang-undang Kesehatan No.36 Tahun 2009 agar tidak ada over-kriminalisasi bagi perempuan yang membutuhkan akses aborsi aman.
  5. Mengevaluasi seluruh pasal-pasal di dalam RKUHP yang berpotensi over-kriminalisasi terhadap kelompok rentan untuk menghindari memperburuk kondisi over-crowding yang terjadi saat ini.

— 

KOALISI PEKAD (Peduli Kelompok Rentan Korban Covid-19)

Aliansi Satu Visi, Arus Pelangi, ICJR, LBH Masyarakat, Pamflet Generasi, PKBI, PurpleCode Collective, SGRC, Serikat Jurnalis untuk Keberagaman

No Comments

Leave a Reply