Melihat Pengaturan Tindak Pidana Penyadapan Dalam R KUHP
Oleh: Erasmus Abraham Todo Napitupulu
Pengantar
Penyadapan dalam praktiknya tak bisa dipungkiri sangat berguna sebagai salah satu cara dalam pengungkapan kejahatan. Penyadapan merupakan alternatif jitu dalam investigasi kriminal terhadap perkembangan modus kejahatan termasuk perkembangan dari kejahatan yang sangat serius. Dalam hal ini, penyadapan dapat dipandang sebagai alat pencegahan dan pendeteksi kejahatan. Di Indonesia telah cukup banyak pelaku kasus-kasus kejahatan berat yang dapat dibawa ke meja hijau berkat hasil penyadapan.[1]
Namun disisi lainnya penyadapan yang tanpa prosedur dan dilakukan oleh aparat hukum atau institusi resmi negara tetap menjadi kontroversial karena dianggap sebagai invasi atas hak-hak privasi warga negaranya yang mencakup privasi atas kehidupan pribadi, kehidupan keluarga maupun korespondensi. Penyadapan sebagai alat pencegah dan pendeteksi kejahatan juga memiliki kecenderungan yang berbahaya bagi hak asasi manusia dan rentan disalahgunakan, bila berada pada hukum yang tidak tepat (karena lemahnya pengaturan), dan tangan yang salah (karena tiada kontrol), dan terlebih lagi bila aturan hukum yang melandasinya tidak sesuai dengan prinsip – prinsip Hak Asasi Manusia.[2]
Selain penyadapan yang dilakukan oleh negara, penyadapan ilegal juga dapat terjadi dalam hal dilakukan oleh sesama warga negara. Karena sifatnya yang sangat bahaya apabila disalah gunakan, maka penyadapan hany dapat dilakukan untuk penegakan hukum.[3] Selain dari pada itu, penyadapan harus dilarang karena berhubungan erat dengan perlindungan hak asasi manusia.
Sebelumnya rencana pemerintah untuk mengatur hukum penyadapan dalam hal penegakan hukum ini pernah tercetus pada 6 Januari 2009, dimana Pemerintah diketahui tengah menyusun Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang Tata Cara Intersepsi, RPP ini dimandatkan oleh Pasal 31 ayat (4) UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, yang mengkehendaki adanya aturan turunan yang mengatur perihal penyadapan. Namun, pada 24 Februari 2011, Mahkamah Konstitusi melalui Putusan No 5/PUU-VIII/2010 telah membatalkan Pasal 31 ayat (4) UU ITE tersebut. Dalam putusannya, Mahkamah Konstitusi juga menyisipkan perintah agar materi penyadapan harus diatur dalam satu Undang-Undang.
Penyadapan dan Perlindungan Privasi
Dalam hukum HAM, telah berkali-kali disebutkan bahwa hak asasi yang bersifat fundamental (fundamental rights) bagi setiap orang untuk tidak dikenakan tindakan sewenang–wenang ataupun serangan yang tidak sah, terhadap kehidupan pribadinya atau barang milik pribadinya, termasuk di dalamnya juga hubungan komunikasinya, oleh pejabat negara yang melakukan proses penyelidikan dan/atau penyidikan dalam suatu tindak pidana. Penegasan ini sebagaimana juga tertera di dalam Universal Declaration of Human Rights 1948, dalam Pasal 12 telah menegaskan bahwa, “No one shall be subjected to arbitrary interference with his privacy, family, home or correspondence, nor to attacks upon his honour and reputation. Everyone has the right to the protection of the law against such interference or attacks”.
Secara khusus, Pasal 17 Kovenan Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik 1976, sebagaimana telah dilakukan pengesahan oleh Indonesia melalui UU No. 12 Tahun 2005 menyatakan, “Tidak boleh seorang pun yang dengan sewenang-wenang atau secara tidak sah dicampurtangani perihal kepribadiannya, keluaraganya, rumah tangganya atau surat menyuratnya, demikian pula tidak boleh dicemati kehormatannya dan nama baiknya secara tidak sah”;
Dalam Komentar Umum No 16 mengenai Pasal 17 ICCPR yang disepakati oleh Komite Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada persidangan ke dua puluh tiga, Tahun 1988, yang memberikan komentar terhadap materi muatan Pasal 17 Kovenan Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik, pada point 8 dinyatakan, “…bahwa integritas dan kerahasiaan korespondensi harus dijamin secara de jure dan de facto. Korespondensi harus diantarkan ke alamat yang dituju tanpa halangan dan tanpa dibuka atau dibaca terlebih dahulu. Pengamatan (surveillance), baik secara elektronik maupun lainnya, penyadapan telepon, telegram, dan bentuk-bentuk komunikasi lainnya, serta perekaman pembicaraan harus dilarang”;
Pengadilan hak asasi manusia Eropa sebenarnya telah memberikan masukan berharga atas penyadapan yang dilakukan secara illegal dalam dua keputusan penting. Dua keputusan penting tersebut, salah satu keputusannya berkaitan dengan penyadapan di Jerman, dan yang lain untuk kasus Penyadapan di Inggris. Kasus The telephone-tapping dalam Kasus Klass vs Republik Federal Jerman terkait dengan pemberitahuan hasil penyadapannya dilakukan tanpa sebuah kerangka legislatif komprehensif. Dan dalam Kasus Malone v United Kingdom, berhubungan dengan penyadapan yang tidak mematuhi undang-undang. Meskipun dalam kedua kasus tersebut terkait dalam penyadap telepon analog, namun prinsip-prinsip yang digunakan secara umum dapat pula diterapkan pada telepon digital sama seperti intersepsi terhadap surat korespondensi, dan mungkin juga untuk bentuk-bentuk pengawasan lainnya.
Contoh lain dalam kasus hukum penyadapan yang bersejarah ada dalam putusan Mahkamah Agung Amerika dalam Kasus Katz v. Amerika Serikat[4]. Dalam kasus Katz, petugas penyadap dari kepolisian telah menanamkan sebuah perangkat pada payphone publik untuk merekam percakapan telepon dari seorang tersangka dalam operasi penangkapan judi ilegal. Percakapan telah disadap dan mengarah ke penangkapannya. Karena diketahui bahwa perangkat telah ditanam tersebut tanpa surat izin, dan Pembela Katz kemudian menguji tuduhan tersebut berdasarkan Amandemen 4 Konstitusi AS bahwa hak haknya telah dilanggar. Keputusan Mahkamah Agung kemudian menyatakan bahwa alat penyadap tersebut telah melanggar Amendemen Keempat sejak percakapan tersebut menjadi subjek atau tunduk pada perubahan Amendemen Keempat, terlepas dari di mana mereka terjadi, selama mereka yang dibuat dengan “reasonable expectation of privacy” mengadakan bahwa perangkat mendengarkan ditempatkan di luar bilik telepon umum merupakan tindakan yang melanggar hukum. Pemerintah berpendapat bahwa karena alat penyadap tersebut tidak dimasukkan di dalam bilik telepon, maka tidak ada pelanggaran privasi. Menolak pandangan ini pengadilan menyatakan bahwa Amandemen Keempat melindungi orang, bukan tempat dan perlindungan yang sama harus berlaku untuk komunikasi di Internet[5]
Secara Internasional, perlindungan dari penyadapan tidak hanya dalam konteks penegakan hukum, namun juga dalam konteks yang melakukan penyadapan adalah warga negara sendiri. Hak atas privasi hanya dapat dibatasi dalam keadaan tertentu, dalam hal antar warga negara penyadapan ilegal (unlawful Interception) haruslah dilarang.
Pengaturan Peyadapan dalam RKUHP
Adapun larangan penyadapan diatur dalam pragraf khusus dalam Pasal 302 sampai dengan 305 RKUHP, sebagai berikut :
Paragraf 2
Penyadapan
Pasal 302
- Setiap orang yang secara melawan hukum dengan alat bantu teknis mendengar pembicaraan yang berlangsung di dalam atau di luar rumah, ruangan atau halaman tertutup, atau yang berlangsung melalui telepon padahal bukan menjadi peserta pembicaraan tersebut, dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau pidana denda paling banyak Kategori II.
- Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku bagi setiap orang yang melaksanakan ketentuan peraturan perundang-undangan atau melaksanakan perintah jabatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 dan Pasal 33.
Pasal 303
Setiap orang yang secara melawan hukum memasang alat bantu teknis pada suatu tempat tertentu dengan tujuan agar dengan alat tersebut dapat mendengar atau merekam suatu pembicaraan, dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau pidana denda paling banyak Kategori II.
Pasal 304
Setiap orang yang secara melawan hukum memiliki barang yang diketahui atau patut diduga memuat hasil pembicaraan yang diperoleh dengan mendengar atau merekam, dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau pidana denda paling banyak Kategori II.
Pasal 305
Dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau pidana denda paling banyak Kategori II, setiap orang yang :
- mempergunakan kesempatan yang diperoleh dengan tipu muslihat, merekam gambar dengan mempergunakan alat bantu teknis seorang atau lebih yang berada di dalam suatu rumah atau ruangan yang tidak terbuka untuk umum sehingga merugikan kepentingan hukum orang tersebut;
- memiliki gambar yang diketahui atau patut diduga diperoleh melalui perbuatan sebagaimana dimaksud dalam huruf a; atau
- menyiarkan gambar sebagaimana dimaksud dalam huruf b.
Catatan Terkait Pengaturan Penyadapan dalam RKUHP
Larangan terkait penyadapan pada dasarnya pernah diatur dalam UU ITE. Pasal 31 ayat (1) dan (2) UU ITE berbunyi :
- Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum melakukan intersepsi atau penyadapan atas Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dalam suatu Komputer dan/atau Sistem Elektronik tertentu milik Orang lain.
- Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum melakukan intersepsi atas transmisi Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang tidak bersifat publik dari, ke, dan di dalam suatu Komputer dan/atau Sistem Elektronik tertentu milik Orang lain, baik yang tidak menyebabkan perubahan apa pun maupun yang menyebabkan adanya perubahan, penghilangan, dan/atau penghentian Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang sedang ditransmisikan.
Penjelasan Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “intersepsi atau penyadapan” adalah kegiatan untuk mendengarkan, merekam, membelokkan, mengubah, menghambat, dan/atau mencatat transmisi Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang tidak bersifat publik, baik menggunakan jaringan kabel komunikasi maupun jaringan nirkabel, seperti pancaran elektromagnetis atau radio frekuensi.
Dalam UU ITE terdapat kerancuan karena ada dua arti, yaitu intersepsi dan penyadapan, dalam penjelasan, pengertian keduanya disamakan, namun dalam beberapa Pasal, penggunaannya dipisah. Pada dasarnya penyadapan adalah kegiatan untuk masuk ke dalam pembicaraan milik orang lain, dengan menggunakan alat tertentu, secara prinsipal, hal ini melanggar hak atas privasi.
Dalam UU ITE, penyadapan tidak terbatas hanya dalam hasil pembicaraan, namun juga melingkupi transmisi informasi dan/atau Dokumen Elektronik, cakupan ini lebih luas dari pentauran yang ada dalam RKUHP, secara mendasar, RKUHP hanya mengatur mengenai “pembicaraan” meskipun tidak secara jelas menjabarkan bentuk dari pembicaraan tersebut, apakah yang dilakukan secara langsung ataupun menggunakan media lain.
Meskipun memiliki cakupan yang lebih luas, namun UU ITE sangat fokus pada penyadapan yang dilakukan dengan media Komputer atau sistem elektronik lainnya, berbeda dengan RKUHP yang mentaur penyadapan secara meluas yaitu pembicaraan yang berlangsung di dalam atau di luar rumah, ruangan atau halaman tertutup, atau yang berlangsung melalui telepon. Sayangnya, pengaturan penyadapan dalam RKUHP hanya terbatas pada pembicaraan langsung atau dengan telepon, sehingga apabila penyadapan dilakukan melalui surat elektronik atau alat kemunikasi dua arah lainnya belum diatur.
Pengaturan lainnya terdapat dalam Pasal 303 yaitu mengenai perekaman, hal ini merupakan hal baru yang diatur dalam hukum Indonesia. Dalma ketentuan perekaman diatur mengenai larangan untuk melakukan perekaman pada “suatu tempat tertentu”, pengaturan ini cukup baik karena pengaturan sebelumnya di UU ITE balum menyentuh ketentuan dalam hal perekaman dan perekaman di tempat terbuka atau meminjam bahasa RKUHP di “suatu tempat tertentu”.
Problem lain dari pengaturan penyadapan di RKUHP adalah ketentuan ini belum memuat pemberatan pidana dalam hal penyadapan dlaikukan oleh pejabat secara melawan hukum. Hal ini perlu diatur karena bisa jadi suatu saat penegak hukum menggunakan kewenangan penyadapan secara sewenang-wenang (abuse) dan berlindung dengan menggunakan alasan mekanisme prosedural.
Kesewenang-wenangan aparat penegak hukum ini harus dibedakan dengan kesalahan prosedural atau penyadapan yang tidak sesuai dengan hukum. Penyadapan ilegal oleh aparat penegak hukum tidak berhubungan dengan penegakan hukum dengan kata lain penyadapan digunakan untuk alasan lain diluar penegakan hukum, atau dengan kewenangannya melakukan penyadapan untuk kebutuhan pihak lain yang tidak berhubungan dengan penegakan hukum atau dengan masksud lain untuk mendapatkan keuntungan dari rekaman atau hasil penyadapan tersebut. Sedangkan apabila aparat penegak hukum melakukan penyadapan untuk tujuan penegakan hukum, namun dalam perjalanannya terjadi pelanggaran secara prosedural, maka yang digunakan adalah mekanisme komplain dan uji penyadapan secara hukum acara atau prosedural pula.
[1] Supriyadi W. Eddyono, diakses dari http://icjr.or.id/mengatur-ulang-hukum-penyadapan-indonesia/
[2]Supriyadi W. Eddyono dan Wahyudi Djafar, diakses dari http://icjrid.files.wordpress.com/2012/01/briefing-paper-1-2012_cetak.pdf
[3] Pasal 31 ayat 3 UU ITE, berbunyi : Kecuali intersepsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), intersepsi yang dilakukan dalam rangka penegakan hukum atas permintaan kepolisian, kejaksaan, dan/atau institusi penegak hukum lainnya yang ditetapkan berdasarkan undang-undang.
[4] ABA, The History and Law of Wiretapping, ABA Section of Litigation 2012 Section Annual Conference April 18-20, 2012: The Lessons of the Raj Rajaratnam Trial: Be Careful Who’s Listening
[5] Raymond Wacks, Privacy, A Very Short Introduction, Oxford, 2010