Memutus Mata Rantai Kejahatan, Bukan Membuka Peluang Baru Kejahatan
Oleh: Pista Simamora
Banyak negara yang telah menghapuskan hukuman mati sebagai hukuman bagi para pelaku kejahatan. Hal ini dilakukan atas dasar hak asasi manusia yang semakin dijunjung tinggi di negara-negara tersebut. Kesadaran akan penghormatan HAM menjadi bukti bahwa negara menghormati adanya hak hidup masyarakat dan menujukkan adanya perkembangan yang besar dalam negara tersebut.
Bagaimana dengan Indonesia?
Sayangnya, hukuman mati masih menjadi hukuman yang dijadikan alternatif untuk diberikan kepada pelaku kejahatan, seolah tidak ada hukuman lain yang lebih layak mereka terima. Hukuman ini juga masih tertera pada RKUHP yang disahkan di penghujung 2019 silam. Setidaknya ada 4 pasal yang secara terang-terangan menyuarakan hukuman mati secara gamblang, dan dengan penjelasan yang tidak jelas, yang tertulis pada Pasal 67, Pasal 99, Pasal 100, dan Pasal 101. Khususnya pada Pasal 99, banyak sekali ketidakadilan dan hal-hal yang menyedihkan, yang tentunya tidak mengutamakan hak asasi manusia pada penerapannya, terlebih khususnya lagi pada Pasal 99 ayat (4).
Pasal 99
- Pidana mati dapat dilaksanakan setelah permohonan grasi bagi terpidana ditolak Presiden.
- Pidana mati sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dilaksanakan di muka umum.
- Pidana mati dilaksanakan dengan menembak terpidana sampai mati oleh regu tembak atau dengan cara lain yang ditentukan dalam Undang-Undang.
- Pelaksanaan pidana mati terhadap wanita hamil, wanita yang sedang menyusui bayinya, atau orang yang sakit jiwa ditunda sampai wanita tersebut melahirkan, wanita tersebut tidak lagi menyusui bayinya, atau orang yang sakit jiwa tersebut sembuh.
Pada Pasal 99 ayat (4) banyak sekali ketidakadilan yang diakibatkan.
Pertama, soal pelaksanaan pidana mati terhadap wanita hamil, yang akan ditunda hingga wanita tersebut melahirkan. Jika seorang perempuan hamil dijatuhi hukuman mati, dan kemudian ia melahirkan, lalu akhirnya hukuman matinya di eksekusi, bagaimana nanti dengan bayinya? Bukankah setelah melahirkan, seorang perempuan tersebut akan menyusui anaknya? Lalu jika perempuan tersebut dijatuhi hukuman mati, siapa yang akan menyusui dan merawat anak tersebut?
Kedua, soal pelaksanaan pidana mati terhadap wanita yang sedang menyusui bayinya, yang akan ditunda hingga wanita tersebut tidak lagi menyusui bayinya. Jika seorang perempuan yang sedang menyusui bayinya dan kemudian dijatuhi hukuman mati, kemudian masa menyusuinya sudah selesai, apakah hukuman matinya langsung dilaksanakan? Bagaimana dengan masa depan anak tersebut? Tentunya sang anak membutuhkan peran seorang ibu untuk mendidiknya di kemudian hari.
Pada kedua persoalan di atas, muncullah pertanyaan baru, bagaimana dengan bayinya nanti? Bagaimana jika perempuan tersebut tidak memiliki sanak saudara ataupun suami yang dapat mengurus bayinya kelak? Atau bagaimana jika perempuan tersebut bertindak sebagai tulang punggung keluarga? Bukankah hal ini malah justru menimbulkan perkara baru dan berpotensi menciptakan pelanggaran hukum lainnya? Pada kenyataannya, cukup banyak perempuan yang berperan sebagai tulang punggung keluarga dan memiliki tugas utama dalam mencari nafkah dan menghidupi keluarganya. Tidak hanya pada perempuan, misal pelaku kejahatan adalah laki-laki, bagaimana jika ia adalah tulang punggung keluarga yang menghidupi banyak kepala?
Hal inilah yang kurang diperhatikan oleh pemerintah. Jika seorang tulang punggung keluarga telah tiada, maka bagaimana keluarga tersebut mencari uang untuk kehidupannya sehari-hari. Seperti yang dikatakan sebelumnya, hal ini justru akan menimbulkan masalah baru dan peluang kejahatan baru. Sehingga bukan menghentikan masalah hukum, hukuman tersebut justru akan menimbulkan kejahatan hukum lainnya, dan dalam hal ini pemerintah justru tidak bisa memutus mata rantai kejahatan hukum.
Ketiga, soal pelaksanaan pidana mati terhadap orang yang sakit jiwa, yang akan ditunda hingga orang yang sakit jiwa tersebut sembuh. Bukankah orang dengan gangguan jiwa akan dilepaskan dari jeratan hukum? Lalu apa fungsinya pasal ini? Orang yang sakit jiwanya, tentu melakukan semua tindakan di luar kehendaknya. Hal ini disebabkan karena tidak adanya kemampuan dirinya untuk mengontrol tindakan yang ia lakukan.
Pemerintah sebaiknya berfokus pada perawatan dan terapi untuk orang yang sakit jiwa, hingga orang tersebut dinyatakan sembuh. Ketika sudah sembuh, ada baiknya pemerintah justru melatih kemampuan orang tersebut untuk dapat berinteraksi dengan baik dan tidak kembali mengalami gangguan jiwa.
Poin-poin pada pasal ini berpotensi menjadi boomerang bagi masyarakat. Selain tidak menghormati adanya hak asasi manusia, pasal tersebut juga berpotensi disalahgunakan akibat ketidakjelasannya. Yang perlu diingat adalah pelaku kejahatan memang salah, jika dilihat dari kesalahan yang mereka buat. Namun diluar daripada itu, pelaku kejahatan tetaplah manusia, yang hak asasinya tetap harus kita hormati.
Mungkin saja mereka melakukan tindak kejahatan atas ketidaktahuan mereka akan adanya penghormatan hak asasi manusia. Dalam hal ini, pemerintah sebagai lembaga yang mengetahui adanya penghormatan hak asasi manusia, seharusnya memberikan contoh yang terbaik, bukan malah memberikan hukuman yang tidak manusiawi. Dengan adanya contoh atau penerapan atas penghormatan hak asasi manusia dengan baik, pastinya akan menyadarkan banyak masyarakat untuk turut menghormati HAM, tidak hanya berimbas pada para pelaku kejahatan saja. Sehingga keinginan untuk menciptakan negara yang cakap hukum dan aman akan semakin mudah terwujud.