Mereka yang Dicabut Nyawanya oleh Negara
Terpidana mati kasus narkoba pertama pada dekade 1990-an yang dieksekusi mati pemerintah Indonesia adalah Chan Tien Chong alias Steven. Warga negara Malaysia ini ditembak di sebuah tempat, di kawasan Jakarta Timur, tahun 1995 silam.
Steven mendapatkan vonis mati karena menyelundupkan 420 gram heroin. Sebelum dieksekusi, Mahkamah Agung menolak kasasi yang diajukan Steven. Presiden Soeharto pun kala itu menolak memberikan grasi kepadanya.
Imran bin Mohammed Zein merupakan terpidana mati pertama kasus terorisme. Dia bertanggung jawab atas pembajakan pesawat Garuda Airways dengan kode DC-9 Wolya atau biasa disebut Peristiwa Wolya.
Imran disebut sebagai pemimpin kelompok ekstremis Komando Jihad, kelompok yang disebut oleh pengadilan melakukan pembajakan tersebut.
1981, pada tahun yang sama ketika peristiwa itu terjadi, Imran dijatuhi hukuman mati oleh Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Dua tahun setelahnya, Imran dihukum gantung.
Dua rekan sekelompok Imran, Maman Kusmayadi dan Salman Hafidz bernasib serupa. Salman dieksekusi tahun 1985 sementara Maman setahun sesudahnya.
Pada setengah dekade 1980-an, pidana mati yang dijatuhkan kepada sejumlah terpidana didominasi kasus kejahatan politik, baik yang berlatarbelakang kasus 1965 maupun kasus yang melibatkan kelompok ekstremis Islam.
Sebanyak 12 terpidana mati kasus politik dieksekusi dalam kurun 1985 hingga 1990. Eksekusi terhadap Sjam Kamaruzzaman patut digarisbawahi. Dia disebut bertanggung jawab atas Gerakan 30 September yang menghabisi enam nyawa jenderal Angkatan Darat.
Sjam dijatuhi hukuman mati tiga tahun setelah peristiwa itu meletus. Namun, karena dianggap memiliki peran penting, Kejaksaan Agung baru menjalankan eksekusi terhadapnya tahun 1986. Sebelum itu, dia muncul sebagai saksi pada kasus-kasus yang menyeret sejumlah nama terkait Gerakan 30 September.
Tindak pidana lain yang menyeret seseorang ke depan moncong senjata eksekutor adalah pembunuhan berencana. Kasus tersebut yang mengakhiri nyawa Fabianus Tibo, Marinus Riwu dan Dominggus Da Silva, tahun 2006.
Ketiganya divonis mati pada kasus pembunuhan, penganiyaan dan perusakan tiga desa di Poso, Sulawesi Tengah. Vonis mati jatuh kepada mereka, April 2001.
Vonis terhadap ketiga mengundang berbagai kontroversi. Sejumlah pemuka agama seperti mantan Presiden Abdurrahman Wahid dan Kardinal Julius Darmaatmadja menentang eksekusi tersebut. Apalagi, menurut mereka, Tibo dan rekan-rekannya belum mengajukan grasi meski upaya peninjauan kembali telah habis.
Dunia internasional turut mengecam eksekusi terhadap ketiganya, salah satunya datang dari Tahta Suci Vatikan.
Kontroversi pun sempat berlanjut ketika kepolisian langsung memakamkan ketiga seusai eksekusi dijalankan. Kerusuhan antara aparat kepolisian dan warga terjadi di kampung halaman mereka, tepatnya di kantor Kejaksaan Negeri Atambua, Nusa Tenggara Timur. (meg)
Sumber: CNN Indonesia