Monograf Diskusi: Melihat Problem Kodifikasi R KUHP

Akhirnya, pada 30 Mei 2015, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkum HAM) Yasonna H. Laoly menyatakan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (R KUHP) akan segera diserahkan oleh Presiden Jokowi ke DPR RI untuk dibahas pada pekan depan. Kemudian pada tanggal 5 Juni 2015 akhirnya Surpres atas pembahasan R KUHP 2015 dikeluarkan. Aliansi Nasional Reformasi KUHP, koalisi NGO nasional yang selama ini melakukan Advokasi KUHP menilai bahwa R KUHP memiliki kateristik yang sangat berbeda dengan bentuk peraturan lainnya.

Berbeda dengan Rancangan Undang-Undang (RUU) lainnya, Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) memiliki karakteristik yang unik sebab RKUHP merupakan hasil dari rekodifikasi hukum pidana nasional Indonesia. Dengan adanya rekodifikasi hukum pidana nasional ke dalam RKUHP ini, maka segala macam ketentuan perundang-undangan pidana menjadi tersatukan (terunifikasikan) secara sistematis ke dalam satu buku khusus.

Eksistensi dari kodifikasi hukum pidana ini menjadi penting, mengingat tugas Kepala Pemerintahan bersama Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dalam politik hukum nasional Indonesia untuk tetap melakukan modernisasi, kodifikasi dan unifikasi hukum pidana. Hingga saat ini, sistematika hukum pidana Indonesia masih terbelah menjadi hukum pidana yang terumuskan dalam Kitab UndangUndang Hukum Pidana (KUHP) dan hukum pidana yang ada di luar KUHP.

Dengan adanya model kodifikasi, maka sudah pasti akan memberikan pengaruh bagi banyak aspek, yaitu terhadap undang-undang sektoral yang memuat ketentuan pidana yang bersifat umum (generic crime) di luar KUHP, tindak pidana administratif (administrative crime), aturan tindak pidana dalam Peraturan Daerah (Perda), hukum yang hidup di masyarakat (hukum pidana adat), sampai dengan sejumlah instrumen hukum internasional yang [mungkin] berlaku bagi Indonesia, pasca terbentuknya RKUHP.

Menurut Aliansi Nasional Reformasi KUHP, implikasi terhadap sejumlah aspek ini perlu mendapatkan sorotan mendalam karena di satu sisi peraturan-peraturan tersebut memiliki peranan sentral dalam perkembangan hukum pidana di Indonesia, namun di sisi lain model kodifikasi total RKUHP mengharuskan semua ketentuan pidana di luar KUHP untuk dimasukan ke dalam RKUHP. Hal ini bisa jadi justru memicu timbulnya dualisme (ambiguity), ketidakjelasan serta konflik-konflik antara RKUHP dengan instrumen hukum yang memuat ketentuan pidana di luar KUHP tersebut.

Untuk itu, perlu pengkajian terhadap implikasi RKUHP bagi aspek-aspek tersebut mutlak diperlukan sebagai tolak ukur apakah tujuan utama dari rekodifikasi RKUHP, yaitu guna pembangunan sistem hukum pidana baru di Indonesia. Oleh karena itu, Aliansi Nasional Refromasi KUHP berinisiatif untuk melakukan diskusi terkait problem kodifikasi RKUHP.

Unduh Monograf Diskusi Disini

Leave a Reply