Pasal Penangkal Zombie Kiri

RAPAT antara pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat pada Kamis pekan terakhir September lalu itu diwarnai adu argumen dan rebutan interupsi. ”Pertemuannya panas,” kata anggota Komisi Hukum DPR, Akbar Faisal, Kamis pekan lalu, menceritakan pertemuan itu. ”Padahal yang dibahas cuma satu pasal, soal komunisme.”

Hari itu pemerintah dan Panitia Kerja Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana DPR bertemu di Hotel Ritz-Carlton, Jakarta Selatan. Peserta rapat, sekitar 20 orang, memperdebatkan pasal kejahatan terhadap ideologi negara. Wakil pemerintah berkukuh mempertahankan frasa ”menyebarkan Komunisme/Marxisme-Leninisme” dalam revisi KUHP, sementara sebagian anggota Panitia Kerja DPR mendebat usul itu.

Pertemuan di Hotel Ritz-Carlton merupakan kesempatan kedua bagi Panitia Kerja DPR dan pemerintah membahas penyebaran ajaran komunisme, Marxisme, dan Leninisme. Sebelumnya, mereka bertemu di ruang rapat Komisi Hukum DPR di Senayan, Jakarta, pada 19 September lalu.

Menurut Akbar, beberapa kawannya di Panitia Kerja DPR menganggap frasa ”Komunisme/Marxisme-Leninisme” tidak relevan masuk revisi KUHP. ”Ideologi itu sudah mati. Siapa pula yang mau jadi komunis di zaman sekarang?” ujar anggota Panitia Kerja dari Partai NasDem ini.

Dalam Rancangan KUHP yang disusun pemerintah, larangan penyebaran komunisme, Marxisme, dan Leninisme masuk bab khusus berjudul ”Tindak Pidana terhadap Ideologi Negara”. Bab tersebut berisi tiga pasal, dari pasal 219 sampai 220. ”Belum kami bahas semua pasal. Pasal 219 saja alot,” kata Akbar.

Dalam pasal 219, pemerintah mengusulkan, orang yang menyebarkan ajaran ”Komunisme/Marxisme-Leninisme” di muka umum dengan maksud mengubah Pancasila sebagai dasar negara dipidana penjara paling lama tujuh tahun.

Menurut Akbar, yang menjadi perdebatan adalah pengertian komunisme, Marxisme, dan Leninisme. Dia meminta pemerintah menjabarkan apa saja batasan masing-masing paham itu. ”Jika tak ada definisi yang tepat, pasal tersebut bisa berpotensi menjadi aturan karet,” ujar Akbar.

Nasir Jamil, dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera, menganggap pemerintah ketinggalan zaman. ”Kalau komunisme itu zamannya sudah lewat,” katanya. Namun Nasir tidak menolak pelarangan komunisme, Marxisme, dan Leninisme. Ia justru ingin menambahkan paham lain. ”Sekarang justru zamannya kapitalisme. Seharusnya itu dimasukkan,” ujar Nasir.

Politikus Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Ichsan Soelistio, juga termasuk yang meminta frasa ”Komunisme/Marxisme-Leninisme” dihilangkan. Menurut dia, penyebutan frasa tersebut malah mempersempit cakupan tindak pidana terhadap ideologi negara. ”Substansinya kan bagaimana melindungi ideologi negara,” katanya. Rupanya, dia pun punya usul lain. ”Cukup ditulis ekstrem kiri dan ekstrem kanan.” Kemudian Ichsan meminta pemerintah menjabarkan paham apa saja yang masuk ekstrem kiri dan mana yang ekstrem kanan.

Direktur Harmonisasi Peraturan Perundang-undangan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Karjono membenarkan bahwa pemerintah berkukuh memasukkan frasa ”Komunisme/Marxisme-Leninisme” dalam rancangan KUHP. Alasannya, pemerintah berpegang pada Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara Nomor 25 Tahun 1966 tentang PembubaranPartai Komunis Indonesia. Ketetapan MPRS ini lahir setelah peristiwa 30 September 1965. Pasca-insiden berdarah itu, desakan untuk membubarkan PKI semakin kuat. Makanya lahir ketetapan ini.

Adapun pelanggaran atas penyebaran ideologi selain komunisme, Marxisme, dan Leninisme, menurut Karjono, bisa dibahas dalam aturan lain. Misalnya, paham radikal yang ingin mendirikan negara berdasarkan agama bisa dibahas dalam Undang-Undang Terorisme.

Di tengah perdebatan pada rapat malam itu, Fraksi Partai Keadilan Sejahtera mengusulkan pasal 219 dipecah menjadi dua ayat. Nasir Jamil beralasan pemerintah keliru menyandingkan frasa ”Komunisme/Marxisme-Leninisme” dengan upaya mengubah Pancasila sebagai dasar negara. ”Konstruksi hukum tindak pidana terhadap ideologi negara menjadi tidak jelas,” ujarnya. ”Pidana untuk penyebaran dan mengubah dasar negara adalah dua hal yang berbeda.”

Chairul Huda, ahli hukum pidana, yang hadir dalam rapat tersebut, mengatakan pemerintah bukan tanpa alasan menyandingkan frasa ”penyebaran Komunisme/Marxisme-Leninisme” dengan frasa ”mengganti dasar negara”. Kedua frasa itu perlu disandingkan agar tidak menjadi pasal karet. ”Masak, orang yang bikin buku soal komunisme ujuk-ujuk mau ditangkap?” kata Chairul, yang masuk tim perumus Rancangan KUHP.

Menurut Chairul, penyandingan kedua frasa itu juga untuk melindungi orang yang diduga menyebarkan ajaran komunisme, Marxisme, atau Leninisme dalam penyelidikan di kepolisian. Jika tidak terbukti berniat mengganti dasar negara, orang tersebut akan dilepas. ”Itu melindungi seseorang dari kriminalisasi,” ujar Chairul.

Toh, usul memecah ayat akhirnya disetujui semua peserta rapat di Hotel Ritz-Carlton malam itu. Ayat pertama intinya adalah orang yang menyebarkan ”Komunisme/Marxisme-Leninisme” di muka umum melalui media apa pun dipidana paling lama empat tahun penjara. Adapun ayat keduanya, bila penyebaran ”Komunisme/Marxisme-Leninisme” itu bertujuan mengubah Pancasila sebagai dasar negara, dipidana paling lama tujuh tahun penjara.

Direktur Eksekutif Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) Supriyadi Widodo Eddyono mengatakan rumusan kedua ayat tersebut sangat luas dan berpotensi dipakai untuk melakukan kriminalisasi ”Bakal makin sering ada pembubaran diskusi atau penerbitan buku,” katanya.

Menurut Supriyadi, ICJR—yang tergabung dalam Aliansi Nasional Pemantau Rancangan KUHP—menolak pencantuman penyebaran komunisme, Marxisme, dan Leninisme dalam Rancangan KUHP. Alasan utamanya adalah prinsip bahwa apa yang ada di dalam pikiran seseorang tidak bisa dipidana. ”Rancangan tindak pidana ideologi negara menerabas prinsip itu,” ujarnya. ”Itu bisa melanggar hak asasi manusia.”

Adapun Ketua Panitia Kerja Rancangan KUHP Benny Kabur Harman mengatakan pemecahan ayat tersebut merupakan bagian dari kompromi dengan pemerintah. Panitia Kerja, menurut Benny, menyetujui pemecahan ayat dengan syarat: pemerintah harus membuat penjelasan yang utuh agar pasal 219 ayat 1 tidak disalahgunakan. ”Daripada saya ngotot terus untuk dihilangkan nanti malah dicap sebagai komunis,” kata politikus Partai Demokrat ini, Kamis pekan lalu. SYAILENDRA PERSADA

Usul Pemerintah

Pasal 219

”Setiap orang yang melawan hukum di muka umum dengan lisan, tulisan, atau melalui media apa pun, menyebarkan atau mengembangkan ajaran Komunisme/Marxisme-Leninisme dengan maksud mengubah atau mengganti Pancasila sebagai dasar negara, dipidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun.”

Kesepakatan dengan Panitia Kerja DPR

Pasal 219 ayat 1

”Setiap orang yang menyebarkan atau mengembangkan ajaran Komunisme/Maxisme-Leninisme di muka umum dengan lisan atau tulisan termasuk menyebarkan atau mengembangkan melalui media apa pun, dipidana dengan pidana paling lama 4 (empat) tahun.”

Pasal 219 ayat 2

”Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan maksud mengubah atau mengganti Pancasila sebagai dasar negara dipidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun.”

Belum Dibahas

Pasal 220

”Dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun setiap orang yang

(A) Mendirikan organisasi yang diketahui atau patut diduga keras menganut ajaran Komunisme/Marxisme-Leninisme;

(B) Mengadakan hubungan dengan atau memberikan bantuan kepada atau menerima bantuan dari organisasi, baik di dalam maupun di luar negeri, yang diketahuinya berasaskan ajaran Komunisme/Marxisme-Leninisme dengan maksud mengubah dasar negara; atau menggulingkan pemerintah yang sah.”

Pasal 221

”Setiap orang yang secara melawan hukum di muka umum menyatakan keinginannya dengan lisan, tulisan, atau melalui media apa pun untuk meniadakan atau mengganti Pancasila sebagai dasar negara dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun.”

Sumber: Majalah Tempo

Leave a Reply