Pemerintah dan DPR Perlu Kaji Kesiapan Aparat Penegak Hukum Pasca Pemberlakuan RKUHP
Aliansi Nasional Reformasi KUHP yang terdiri dari lebih 40 organisasi masyarakat sipil berkomitmen untuk mengawal proses penyusunan Rancangan KUHP yang rencananya akan disahkan pada bulan Agustus 2018 mendatang. Salah satu wujud nyata dari proses pengawalan ini adalah dengan menyelenggarakan Konsultasi Nasional bertajuk “Meletakkan (Kembali) Proses Pembaruan Hukum Pidana dalam Konteks Pembangunan Hukum Nasional” pada 2-3 Mei 2018 di Hotel Sari Pan Pasific, Jakarta. Konsultasi publik ini bertujuan untuk mempertemukan berbagai pihak yang terlibat dalam proses perancangan RKUHP, yaitu Tim Perumus, anggota DPR, pemerintah yang diwakili oleh Kementerian Hukum dan HAM serta akademisi, praktisi, hingga perwakilan masyarakat umum yang nantinya akan menjadi target penerapan RKUHP itu sendiri.
Salah satu diskusi yang cukup menarik terlihat dari panel yang mengupas permasalahan mengenai kesiapan empat aktor utama lembaga penegak hukum yaitu polisi-jaksa- hakim-advokat dalam menyambut ide-ide baru yang tertuang dalam RKUHP. Jumlah penambahan pasal pidana dalam RKUHP adalah 555 pasal. Jumlah pasal perbuatan pidana sebanyak 1251 pasal dengan 882 pasal didalamnya mengandung ancaman pidana di atas lima tahun penjara, yakni ancaman penjara 5-10 tahun sebanyak 517 pasal dan ancaman penjara 10-15 tahun sebanyak 305 pasal. Artinya, penambahan pasal pidana tersebut akan semakin menyumbang angka kelebihan kapasitas pada lapas yang saat ini sudah mencapai 197% per Mei 2018. Dari 33 Kantor Wilayah Kemenkum HAM, hanya tujuh kantor wilayah dengan penghuni lapas dan rutan yang lebih rendah dari kapasitasnya.
Secara otomatis, masalah penambahan pasal pidana ini juga akan berdampak pada kesiapan aparat penegak hukum seperti polisi, jaksa, dan hakim dalam menangani lonjakan kasus pasca RKUHP ini disahkan. Saat ini saja misalnya, rasio polisi dengan masyarakat berada pada angka 1:750, apabila merujuk pada personel yang mempunyai kapasitas penyidik tentu angkanya akan semakin menurun. Hal ini diakui sebagai tantangan internal lembaga kepolisian oleh Brigjen Pol. Dr. Agung Makbul, Drs., S.H., M.H. saat menyampaikan pemaparan materi dalam diskusi. Salah satu dampaknya yang pasti akan dirasakan oleh baik pelapor (korban) maupun tersangka/terdakwa akibat kurang maksimalnya pelayanan penegakan hukum ini misalnya pada durasi penyelesaian kasus yang akan semakin lama karena beban kerja aparat kepolisian yang semakin bertambah. Sehingga hak tersangka/terdakwa untuk dapat diadili dengan segera menjadi terancam.
Ditambah lagi, adanya ketidakharmonisan antara RKUHP dengan UU sektoral lainnya mencerminkan belum adanya kesatuan visi dan misi dalam membangun sistem peradilan pidana terpadu. RKUHP tidak dibahas berbarengan dengan KUHAP sehingga pembaruan sistem peradilan pidana seolah dilaksanakan secara tidak serius. Harusnya pembahasan RKUHP dilakukan bersamaan dengan KUHAP agar terjadi harmonisasi kewenangan organisasi lembaga peradilan pidana yang eksistensinya diatur melalui sejumlah undang-undang di luar KUHAP. Hal ini sesuai dengan yang disampaikan oleh Hakim Agung Dr. H. Suhadi, S.H., M.H dalam diskusi yang menyatakan bahwa “RKUHP merupakan Kodifikasi pidana materiil, seharusnya dibarengi dengan hukum acara pidananya, karena KUHP dan KUHAP bagaikan 2 mata koin yang menjadi satu”. Adapun beberapa Rancangan Undang-Undang selain KUHAP yang juga semestinya mendapat sorotan ketika membahas RKUHP ini misalnya adalah RUU Narkotika, RUU Penyadapan, RUU Jabatan Hakim yang mana muatannya saling berkaitan dan sudah selayaknya dibahas secara bersamaan agar tercipta keselarasan ketika diundangkan.
Selain itu, Aliansi juga mendorong agar para penyusun RKUHP melibatkan kementerian atau lembaga negara lainnya yang membidangi sektor kesehatan, perencanaan pembangunan, pemasyarakatan, dan sektor-sektor terkait lainnya, termasuk sektor swasta. Keterlibatan sektor swasta juga menjadi strategis karena pertumbuhan ekonomi di Indonesia, termasuk sektor-sektor strategis seperti perbankan, kesehatan, pendidikan, telekomunikasi dan infromasi, transportasi, energi, dan lain-lain yang menguasai kepentingan publik. Beberapa undang-undang menempatkan korporasi sebagai objek norma pertanggungjawaban pidana korporasi seperti lingkungan hidup, pers, korupsi, perbankan, pasar modal, monopoli dan larangan usaha, ketenagalistrikan, pencucian uang, minyak dan gas bumi, perlindungan konsumen, informasi dan transaksi elektronik.
Sayangnya, langkah tersebut masih belum terlihat pada pembahasan Rancangan KUHP saat ini sehingga dapat mengancam kelancaran administrasi peradilan nantinya ketika RKUHP disahkan. Padahal, pelanggaran hak warga negara berpotensi terjadi akibat kegagalan suatu negara melakukan reformasi administrasi peradilan. Dari sini terlihat bahwa penyusunan RKUHP masih belum mengarah pada tujuan yang ingin dicapai. Terlebih, masalah semacam ini nampaknya tidak cukup dapat terselesaikan hanya dengan memperbaiki profesionalisme dan kapasitas SDM sebagaimana yang disampaikan beberapa perwakilan dari lembaga penegak hukum dalam diskusi tersebut tanpa adanya rencana yang lebih kongkrit.
Dengan demikian, pengesahan RKUHP hanya akan menambah beban baru bagi aparat penegak hukum khususnya polisi, jaksa, dan hakim khususnya dalam meningkatkan kepercayaan publik pada ketiga lembaga tersebut yang sampai detik ini masih cukup rendah.