Pemetaan dan Analisis Isu Bermasalah RKUHP 4 Juli 2022 oleh Aliansi Nasional Reformasi KUHP

  1. Pola penghitungan pidana yang disebutkan Tim Pemerintah melalui metode tertentu namun belum pernah dijelaskan secara detail oleh Pemerintah
  • Sampai saat ini Pemerintah belum pernah mempresentasikan ke publik bagaimana pengaturan tentang bobot hukuman dilakukan (menggunakan metode apa dan bagaimana).
  • Berpotensi besar menghasilkan ancaman pidana yang tidak proporsional dan tidak diketahui dasarnya.
  • Harusnya juga penghitungan ancaman pidana diselaraskan dengan pencegahan dan penanganan overcrowding di rutan dan lapas

 

  1. Hukum yang Hidup Dalam Masyarakat: penyimpangan asas legalitas/kriminalisasi atas rumusan yang tidak jelas (Pasal 2 ayat (1), Pasal 601 RKUHP)
  • Asas legalitas diatur dalam Konstitusi Negara UUD 1945, pengaturan Hukum yang Hidup dalam Masyarakat harus juga merujuk pada ketentuan yang diatur dalam konstitusi, bahwa Hak legalitas merupakan salah satu hak dasar warga Negara.
  • Digunakan secara tidak konsisten antara hukum yang hidup di masyarakat dengan hukum adat.
  • Rentan overkriminalisasi: pengaturan diambil dari Peraturan Daerah, namun sesuai dengan catatan Komnas Perempuan terdapat 421 Perda diskriminatif terhadap perempuan.
  • Pasal 597 menimbulkan kesewenang-wenangan karena Aparat Penegak Hukum berpotensi mendefinisikan “hukum yang hidup di masyarakat” berdasarkan penafsirannya sendiri tanpa batasan dan standar yang jelas.

 

  1. Masalah pidana mati (Pasal 67, Pasal 99, Pasal 100, Pasal 101 RKUHP)
  • Pada dasarnya Aliansi menilai bahwa pidana mati seharusnya dihapuskan sesuai dengan perkembangan bahwa 2/3 negara di dunia sudah mengahapuskan hukuman mati.
  • Konsep pidana mati sebagai pidana alternatif tidak konsisten, karena justru rumusan pemerintah mengalami kemunduran dimana masa tunggu pidana menjadi digantungkan pada putusan hakim yang rentan disalahgunakan.
  • Pemberian masa percobaan untuk menunda eksekusi pidana mati harus merupakan hak setiap orang yang diputus dengan pidana mati, tidak boleh bergantung pada putusan hakim terlebih berdasarkan 3 komponen yaitu: terdakwa menunjukkan penyesalan, peran terdakwa tidak signifikan dan terdapat dasar peringan, harusnya alasan-alasan tersebut adalah alasan untuk tidak menjatuhkan pidana mati.
  • Masa tunggu eksekusi pidana mati dalam Pasal 101 dihitung sejak grasi ditolak, sedangkan keputusan menerima/menolak grasi tidak pasti hanya bergantung pada keputusan hakim, seharusnya masa tunggu 10 tahun tersebut dihitung sejak putusan berkekuatan hukum tetap.
  • Jenis-jenis tindak pidana yang bisa dituntut pidana mati harusnya diatur dalam Buku I, dalam Buku II harusnya tidak ada pencantuman pidana mati.

 

  1. Masalah minimnya alternatif pemidanaan non pemenjaraan
  • Pidana alternatif dalam RKUHP masih sangat minim, baru sebatas pidana pengawasan dan pidana kerja sosial.
  • Pidana alternatif tersebut juga seharusnya tidak memuat syarat yang menyulitkan, misalnya pidana pengawasan dan pidana kerja sosial hanya untuk tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara dibawah 5 tahun, seharusnya dikembalikan konsepnya sesuai dengan ketentuan pidana bersyarat dalam Pasal 14a-f KUHP saat ini, dimana pidana alternatif tersebut berlaku bagi semua tindak pidana selama hakim memutus di bawah 1 tahun (dalam Pasal 14a KUHP Belanda, berlaku bagi kasus pidana apabila hakim memutus pidana penjara dibawah 2 tahun), yang mana di Belanda menjelaskan pelaksanaan pidana pengawasan tersebut dengan jelas dalam KUHP nya.
  • Pidana pengawasan di Belanda diatur dalam Pasal 14a – 14k KUHP Belanda. Pidana pengawasan dapat diterapkan sebagai alternatif apabila hakim menjatuhkan pidana penjara tidak melebihi 2 tahun. Apabila pidana penjara yang dijatuhkan hakim berada di rentang paling rendah 2 tahun dan maksimal 4 tahun, maka pidana pengawasan dapat dijatuhkan untuk sebagian dari periode pemenjaraan yang mana tidak boleh melebihi 2 tahun. Lamanya pidana pengawasan tidak boleh melebihi 3 tahun.
  • Syarat umum dapat ditetapkan berupa larangan terpidana untuk melakukan tindak pidana lagi. Sementara itu syarat khusus antara lain dapat berupa:
    • kompensasi secara penuh atau sebagian atas kerugian atau kerusakan yang terjadi akibat tindak pidana;
    • perbaikan secara keseluruhan atau sebagian atas kerugian atau kerusakan yang terjadi akibat tindak pidana;
    • pembayaran sejumlah uang sebagai jaminan keamanan yang ditentukan oleh pengadilan yang besarnya setidaknya sama dengan selisih antara denda yang diancamkan dalam pasal pidana terkait dan denda yang dijatuhkan oleh hakim;
    • pembayaran sejumlah uang kepada Criminal Injuries Compensation Fund atau organisasi yang mewakili atau mengadvokasi kepentingan korban yang besarnya tidak boleh melebihi denda yang diancamkan dalam pasal pidana terkait;
    • larangan menghubungi orang atau organisasi tertentu secara langsung atau melalui pihak ketiga;
    • larangan berada di dalam atau di sekitar lokasi tertentu;
    • kewajiban untuk hadir di tempat tertentu di waktu tertentu atau selama periode tertentu;
    • kewajiban untuk melapor pada waktu tertentu kepada otoritas tertentu;
    • larangan untuk mengonsumsi obat-obatan atau alkohol dan kewajiban mengikuti tes darah atau urin dengan tujuan untuk memastikan kepatuhan terhadap larangan ini;
    • kewajiban terpidana untuk menjalani rawat inap di fasilitas kesehatan;
    • kewajiban untuk menjalani perawatan dari tenaga profesional atau fasilitas kesehatan;
    • perintah menempati institusi dengan pengawasan khusus atau panti sosial;
    • perintah keikutsertaan dalam program intervensi perilaku;
    • kondisi lain yang berkaitan dengan perilaku terpidana.
  • Jaksa berwenang untuk mengawasi kepatuhan terpidana dan turut membantu terpidana untuk melaksanakan persyaratan-persyaratan yang dijatuhkan terkait pidana pengawasan. Probation service bertanggungjawab memberikan informasi mengenai pelaksanaan pidana pengawasan.

 

  1. Masalah pengaturan “makar” (Pasal 160 RKUHP)

Pendefenisiannya tidak sesuai denga asal kata makar yaitu “aanslag” yang artinya serangan, RKUHP cenderung mendefinisikan makar menjadi pasal karet yang dapat digunakan untuk memberangus kebebasan berekspresi dan berpendapat.

 

  1. Masalah tindak pidana Menghalang-halangi Proses Peradilan (Pasal 282 RKUHP)
  • Perbuatan yang dilarang dalam huruf a dirumuskan secara tidak jelas dan tidak ketat sehingga rentan disalahgunakan oleh penegak hukum.
  • Dalam praktiknya, penegak hukum sering menggunakan ketentuan obstruction of justice ini di masing-masing undang-undang untuk ‘menekan’ saksi menyampaikan hal-hal yang sesuai dengan keyakinan penegak hukum atas kasus yang ditangani.
  • Pasal 221 KUHP yang merupakan asal-muasal ketentuan ini sudah merumuskan obstruction of justice dengan cukup ketat, dimana:
  • ‘menghalang-halangi atau mempersukar penyidikan atau penuntutan’ sebagai maksud obstruction of justice dan bukan menjadikannya sebagai perbuatan yang dilarang.
  • adapun perbuatan yang jahat yang dikriminalisasi dibatasi pada: menyembunyikan orang yang melakukan kejahatan atau yang dituntut karena kejahatan; atau memberi pertolongan kepadanya untuk menghindari penyidikan atau penahanan oleh pejabatan kehakiman atau kepolisian atau oleh orang lain, yang menurut ketentuan undang-undang terus-menerus atau untuk sementara waktu diserahi menjalankan jabatan kepolisian; menghancurkan, menghilangkan, menyembunyikan benda-benda terhadap mana atau dengan mana kejahatan dilakukan atau berkas-berkas kejahatan lainnya atau menariknya dari pemeriksaan yang dilakukan oleh pejabat kehakiman atau kepolisian maupun oleh orang lain, yang menurut ketentuan undang-undang terus-menerus atau untuk sementara waktu diserahi menjalankan jabatan kepolisian.
  • Pengaturan unsur “mencegah, merintangi, atau menggagalkan proses peradilan” harusnya sebagai tujuan bukan sebagai cara, karena rumusan unsur tersebut sebagai cara tidak jelas.

 

  1. Masalah pengaturan tindak pidana penghinaan (Pasal 437-446 RKUHP)
  • masih memuat pidana penjara sebagai hukuman, jika pun masih diatur maka pidana paling tidak pidana denda.
  • rumusan masih bermasalah, sama dengan KUHP, harusnya memuat pengecualian yang lebih beragam.
  • pengecualian untuk penghinaan harusnya ditambahkan, dikecualikan untuk kepentingan umum, karena terpaksa membela diri serta tidak ada kerugian yang nyata.

 

  1. Masalah hadirnya kembali pasal-pasal kolonial yang sudah tidak relevan untuk masyarakat demokratis

Pasal penghinaan presiden (Pasal 218 – Pasal 220 RKUHP)

  • Ketentuan ini pada dasarnya berasal dari pasal tentang lese mejeste yang dimaksudkan untuk melindungi Ratu Belanda. Pasal ini merupakan warisan kolonial.
  • Pasal ini juga sudah dibatalkan oleh Putusan MK No 013- 022/PUUIV/2006 karena tidak relevan lagi dengan prinsip negara hukum, mengurangi kebebasan mengekspresikan pikiran dan pendapat, kebebasan akan informasi, dan prinsip kepastian hukum.
  • Menghidupkan kembali pasal ini, berarti membangkang pada konstitusi.

 

Pasal penghinaan pemerintah yang sah (Pasal 240-241 RKUHP)

  • Pasal ini sudah dibatalkan dengan putusan MK No. 6/PUUV/2007.
  • ketentuan pidana yang ada dalam pasal ini dikenal sebagai haatzaai artikelen, pasal-pasal yang melarang orang mengemukakan rasa kebencian dan perasaan tidak senang terhadap penguasa. Pasal ini diberlakukan terhadap bangsa Indonesia sebagai bangsa yang terjajah oleh Belanda, dengan demikian pasal ini merupakan pasal kolonial yang tidak sesuai lagi dengan negara demokratis yang merdeka.
  • Alasan pemerintah yang membuat ini menjadi delik materil pun tidak jelas, karena definisi “menimbulkan keonaran” tidak bisa diukur, sedangkan hukum pidana mewajibkan kejelasan norma dalam pengaturannya (lex certa, lex scripta, lex stricta).
  • Pada Komentar Umum Konvenan Hak Sipil dan Politik Komisi HAM PBB No 34, poin 38 juga disebutkan bahwa pemerintah negara peserta tidak seharusnya melarang kritik terhadap institusi contohnya kemiliteran dan juga kepada administrasi negara.

 

Pasal penghinaan Kekuasaan Umum/Lembaga Negara (Pasal 351-352 RKUHP)

  • Pada Komentar Umum Konvenan Hak Sipil dan Politik Komisi HAM PBB No 34, poin 38 juga disebutkan bahwa pemerintah negara peserta tidak seharusnya melarang kritik terhadap institusi contohnya kemiliteran dan juga kepada administrasi negara.
  • Berdasarkan Laporan Khusus PBB 20 April 2010 tentang the promotion and protection of the right to freedom of opinion and expression dinyatakan bahwa Hukum Internasional tentang HAM melindungi individu dan kelompok orang bukan suatu hal yang abstrak atau institusi yang berhak untuk diberikan kritik dan komentar. Hukum pidana tentang penghinaan tidak boleh digunakan untuk melindungi suatu hal yang sifatnya subjektif, abstrak dan merupakan suatu konsep seperti negara, simbol nasional, identitas nasional, kebudayaan, pemikiran, agama, ideologi dan doktrin politik.

 

Pasal tentang merusak, merobek, menginjak-injak, membakar, atau melakukan perbuatan lain terhadap bendera negara (Pasal 234 RKUHP)

  • Memang dalam rumusan RKUHP memuat perubahan kearah perbaikan dari rumusan yang ada dalam UU No. 24 tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, Dan Lambang Negara, Serta Lagu Kebangsaan dengan menyertakan unsur niat, namun dalam pasal dalam RKUHP tetap memuat unsur yang belum jelas dengan adanya unsur “melakukan perbuatan lain”.
  • Ancaman pidananya terlalu tinggi yaitu mencapai 5 tahun penjara, padahal penghinaan presiden saja dihukum dengan pidana penjara 3 tahun 6 bulan.
  • Perlu disinkronisasi dengan pasal-pasal tentang ekspresi yang sejenis (penghinaan terhadap pemerintah yang sah 3 tahun, penghinaan terhadap kekuasaan umum/lembaga negara 1 tahun 6 bulan, penggunaan terhadap golongan pendudukan 3 tahun).

 

Pasal tentang menyelenggarakan pawai, unjuk rasa, atau demonstrasi tanpa pemberitahuan (Pasal 256 RKUHP)

  • Unsur kepentingan umum terlalu karet dan rentan disalahgunakan karena tidak ada batasannya, pada bagian penjelasan yang menyebutkan apa yang dimaksud “kepentingan umum” masih tidak memberikan jawaban
  • Pasal ini harusnya dihapuskan, karena dengan adanya reformasi dan UU No. 9 tahun 1998 demo tidak lapor hanya akan dibubarkan, bukan dikenakan pidana
  • Peristiwa huru-hara atau keonaran dapat menggunakan delik lain yang sesuai seperti Pasal 361 RKUHP: “Setiap Orang yang berkerumun atau berkelompok yang dapat menimbulkan kekacauan dan tidak pergi sesudah diperintahkan sampai 3 kali oleh Pejabat yang berwenang atau atas namanya dipidana dengan pidana denda paling banyak di kategori II”, dan pasal lainnya yang berhubungan dengan pengerahan kekuatan atau kekerasan kepada barang, tubuh, atau ketertiban dan keamanan yang ancaman hukumannya lebih ringan dan tidak mengandung makna yang multitafsir.

 

  1. Pasal Tindak Pidana terhadap Agama (Pasal 302 RKUHP)
  • Memang unsur penodaan agama dalam ayat (2) pasal ini sebelumnya telah dihapuskan, hal ini patut diapresiasi
  • Namun dalam rumusan baru yang ada saat ini tidak dimuat unsur niat yang harus spesifik “niat dengan maksud menyatakan permusahan menghasut”
  • Selain itu, untuk melengkapi penjelasan yang telah dituliskan perlu juga memasukkan standar dalam rabat plan of actions, yaitu dimana untuk menentukan hate speech harus diuji:
    1. Konteks: Konteks amatlah penting ketika menilai apakah suatu pernyataan tertentu sangat mungkin menghasut diskriminasi, permusuhan, atau kekerasan terhadap kelompok yang dituju, dan mengandung sikap langsung baik dalam hal maksud dan/atau sebab. Analisis atas konteks harus menempatkan ungkapan tersebut dalam konteks sosial dan politik yang umum pada saat ungkapan tersebut dibuat dan disebarluaskan;
    2. Pengujar: Posisi atau status dari pengujar di dalam masyarakat harus dipertimbangkan, khususnya kedudukan individul atau organisasi tersebut dalam konteks pihak penerima kepada siapa ungkapan tersebut ditujukan;
    3. Niat dengan maksud: Pasal 20 ICCPR mengantisipasi maksud. Kelalaian dan keteledoran tidak cukup untuk menjadikan sebuah tindakan sebagai pelanggaran menurut ayat 20 ICCPR, dikarenakan ayat tersebut mengharuskan “imbauan” dan “hasutan” ketimbang distribusi atau sirkulasi materi semata. Dalam hal tersebut, dibutuhkan tindakan dari hubungan tiga pihak antara objek dan subjek ujaran serta pendengarnya;
    4. Isi dan bentuk: Isi sebuah ujaran mencakup salah satu fokus utama dari hasil keputusan pengadilan dan merupakan unsur penting dari hasutan. Analisis isi dapat mencakup sampai tingkat apa ujaran tersebut disebut provokatif dan langsung, serta bentuknya, gayanya, dasar argumen yang dilontarkan dalam ujaran atau keseimbangan yang dicapai antara semua argument yang dilontarkan;
    5. Batasan ujaran: Batasan termasuk unsur-unsur seperti jangkauan ujaran tersebut, apakah ujarannya bersifat publik, skala dan ukuran pendengarnya. Unsur-unsur lain untuk dipertimbangkan termasuk apakah ujaran tersebut bersifat publik, bagaimana cara penyebarannya, misalnya apakah dari sebuah selebaran atau disiarkan di media arus utama atau melalui Internet, frekuensinya, kuantitas dan cakupan komunikasinya, apakah pendengar memiliki cara untuk bertindak sesuai hasutan, apakah pernyataannya (atau karyanya) disirkulasikan di dalam lingkungan yang tertutup atau dapat diakses dengan mudah oleh masyarakat secara umum dan
    6. Kemungkinan, termasuk kecenderungan tinggi: Menurut definisi, hasutan adalah tindak pidana permulaan. Tindakan yang dianjurkan oleh hasutan tidak harus dilakukan untuk dapat menjadi tindak kejahatan. Meskipun demikian, risiko terjadinya kerugian pada tahap tertentu perlu diidentifikasi. Artinya pengadilan akan harus menentukan apakah terdapat probabilitas yang wajar bahwa ujaran tersebut bisa berhasil memicu tindakan nyata terhadap kelompok target, menyadari bahwa penyebab tersebut seharusnya langsung.

 

  1. Kriminalisasi Persetubuhan antara Laki-Laki dengan Perempuan di Luar Perkawinan (Pasal 415 RKUHP)
  • Negara terlalu jauh menggunakan hukum pidana untuk masuk pada hak konstitusional warga Negara yang bersifat privat.
  • Delik aduan berdasarkan pengaduan orang tua dapat meningkatkan angka perkawinan anak.
  • 89% perkawinan anak di Indonesia terjadi karena kekhawatiran orang tua, baik karena faktor ekonomi maupun karena asumsi orang tua bahwa anaknya telah melakukan hubungan di luar perkawinan.
  • Komitmen Presiden di Perpres SDGs (Sustainable Development Goals/Tujuan Pembangunan Berkelanjutan) untuk menghilangkan semua praktik perkawinan anak dengan meningkatkan median usia perkawinan menjadi 21 tahun akan gagal.
  • Tidak pernah ada pembahasan tentang implikasi masalah pasal ini.
  • Kontraproduktif dengan Upaya Penanggulangan HIV: transmisi HIV paling tinggi justru terjadi pada orang yang terestimasi telah menikah, sedangkan dalam KUHP yang saat ini berlaku sekalipun, persetubuhan laki-laki dan perempuan di luar perkawinan dimana salah satu pihak terikat dalam perkawinan sudah dikriminalisasi. Ikatan perkawinan tidak dapat menjamin bahwa perilaku beresiko tidak dilakukan.
  • Dengan adanya bayang-bayang kriminalisasi, maka perbuatan melakukan hubungan seksual di luar hubungan perkawinan termasuk melakukan hubungan seks dengan pekerja seks dianggap sebagai tindak pidana. Itu berarti orang yang terlibat dalam perilaku beresiko tersebut tidak akan mengakses layanan.
  • Kementerian kesehatan berdasarkan pemetaan yang dilakukannya mengestimasi jumlah pekerja seks perempuan sampai dengan 2016 berjumlah 226.791 sampai dengan 364.313, estimasi tertinggi datang dari jumlah pelanggan perempuan pekerja seks sebesar 5.254.065, itu berarti bahwa ada sekitar 5 juta laki-laki menggunakan jasa pekerja seks perempuan di Indonesia dan terlibat dalam persetubuhan di luar perkawinan.

  

  1. Pasal kriminalisasi pencabulan sesama jenis (Pasal 418 RKUHP)
  • Dalam draft September 2019, disebutkan bahwa setiap orang yang melakukan perbuatan cabul yang berbeda atau sama jenisnya padahal syarat-syarat yang dapat mengkiriminalisasi pencabulan sesama jenis telah terpenuhi di dalam syarat pada pasal pencabulan.
  • Penyebutan secara spesifik “sama jenisnya” merupakan bentuk diskriminasi terhadap kelompok minoritas seksual yang semakin rentan untuk dikriminalisasi.

 

  1. Pasal kriminalisasi mempertunjukkan alat pencegah kehamilan (Pasal 412-414 RKUHP)
  • Faktanya sudah didekriminalisasi oleh Jaksa Agung tahun 1978 dan BPHN (1995): Kondom cara paling efektif pencegah penyebaran HIV.
  • Kontraproduktif dengan Upaya Penanggulangan HIV: Dari 10 peraturan perundang-undangan tentang penanggulangan HIV/AIDS di Indonesia, 6 di antaranya memuat aturan tentang “kampanye penggunaan kondom” pada perilaku seks beresiko, dan kesemuanya memberikan kewenangan untuk memberikan informasi tersebut kepada masyarakat secara luas, secara jelas kriminalisasi perbuatan mempertunjukkan alat pencegah kehamilan/ kontrasepsi bertentangan dengan upaya penanggulangan HIV.
  • Kriminalisasi Mengancam Kesehatan Masyarakat: Kontrasepsi menjadi penting untuk memastikan masyarakat terlindungi dari transmisi HIV/AIDS akibat perilaku beresiko.
  • Justru akan menghambat rencana kerja Pemerintah di bidang Kesehatan dalam rancangan RPJMN 2020-2024.

 

  1. Menggelandang dipidana Pasal 429 RKUHP
  • Cukup diatur secara administratif di Perda, tidak perlu menjadi bahasan RKUHP.
  • Justru akan menghambat rencana kerja Pemerintah di bidang Kesejahteraan Sosial dan Penanggulanan Kemiskinan berdasarkan RPJMN 2020-2024.

 

  1. Sinkronisasi aturan Kriminalisasi terhadap Perempuan yang Melakukan Pengguguran (Pasal 467 s.d 469 RKUHP dengan Pasal 251 dan Pasal 413 RKUHP)
  • Pengecualian ini harus disinkronkan dengan pasal yang berkaitan yaitu Pasal 251 RKUHP tentang memberi obat atau meminta seorang perempuan untuk menggunakan obat dengan memberitahukan atau menimbulkan harapan bahwa obat tersebut dapat mengakibatkan gugurnya kandungan dan Pasal 415 tentang mempertunjukkan suatu alat untuk menggugurkan kandungan, menawarkan, menyiarkan tulisan, atau menunjukkan untuk dapat memperoleh alat untuk menggugurkan kandungan.
  • Harusnya ketentuan Pasal 251dan Pasal 413 tidak perlu diatur dengan adanya pengecualian dalam Pasal 467 ayat (2).

 

  1. Permasalahan Pengaturan Tindak Pidana Narkotika (Pasal 614-619 RKUHP)
  • Stigma Narkotika Sebagai Masalah Kriminal Bukan sebagai Masalah Kesehatan: Dengan diakomodirnya tindak pidana narkotika dalam RKUHP negara justru secara jelas mengakomodir bahwa pendekatan yang digunakan untuk menangani masalah narkotika adalah dengan pendekatan pidana. Padahal secara internasional negara-negara dunia telah memproklamasikan pembaruan kebijakan narkotika dengan pendekatan kesehatan masyarakat.
  • Pendekatan Pidana tidak terbukti efektif: Penanganan narkotika memerlukan komitmen yang berkelajutan antara pemerintah dan berbagai sektor untuk menyeimbangkan antara supply dan demand, serta mengkontrol agar peredaran gelap narkotika diminimalisir. Pendekatan yang hanya fokus pada pemberantasan supply telah terbukti tidak efektif.
  • RKUHP masih memuat ketentuan pasal karet yang diadopsi langsung dari UU 35/2009, tidak ada perbaikan yang lebih memadai. Padahal jika menelisik UU 35/2009 masih banyak terdapat ketimpangan didalamnya, sehingga saat ini juga sedang dirumuskan RUU Narkotika tersebut.

 

  1. Masalah tindak pidana pelanggaran HAM yang berat tidak sesuai dengan standar HAM Internasional (Pasal 602-603 RKUHP).
  • Memasukkan Kejahatan Genosida dan Kejahatan terhadap Kemanusiaan ke dalam RKUHP dikhawatirkan akan menjadi penghalang untuk adanya penuntutan yang efektif.
  • Tidak diatur klausul tentang kejahatan perang dan kejahatan agresi sesuai Statuta Roma 1998.
  • Kejahatan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan tergolong sebagai kejahatan internasional (international crimes) dan luar biasa (extra ordinary crimes). Sedangkan yang diatur dalam KUHP tergolong dalam kejahatan biasa (ordinary crimes) sehingga pengaturan pelanggaran HAM yaitu kejahatan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan dalam RKUHP harus dikeluarkan.
  • Asas retroaktif untuk pelanggaran HAM berat tidak diatur didalam buku 1 RKUHP, Akibatnya tindak pidana pelanggaran HAM berat kehilangan asas khusus yang sebelumnya telah melekat di pengaturan UU Nomor 26 Tahun 2000.
  • RKUHP tidak secara tegas mengatur tentang tidak ada batasan mengenai daluwarsa penuntutan dan menjalankan pidana untuk tindak pidana pelanggaran berat terhadap HAM.
  • Ancaman hukuman juga menjadi problem. Di RKUHP ancaman pidana minimal 5 tahun dan maksimal 20 tahun (kejahatan biasa maksimal 20 tahun penjara) sedangkan dalam UU 26/2000 ancaman pidana minimal 10 tahun dan paling lama 25 tahun. Dengan dimasukkannya kejahatan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan ke dalam RKUHP, maka UU 26/2000 terutama soal ancaman pidana harus menyesuaikan KUHP baru yang akan berlaku dan ini tidak menguntungkan bagi korban pelanggaran HAM.
  • Penerjemahan dan pengadopsian Kejahatan Genosida dan Kejahatan terhadap Kemanusiaan yang mengalami kesalahan, yang akan memperburuk pendefinisiaan kejahatan-kejahatan ini.
  • Pengaturan Kejahatan Genosida dan Kejahatan terhadap Kemanusiaan dalam R KUHP tidak bisa dilepaskan dengan pengaturan lainnya, misalnya terkait dengan model pertanggungjawaban para pelakunya yang tidak mampu dijangkau RKUHP.

 

  1. Harmonisasi delik dalam RKUHP, utamanya berkaitan dengan UU ITE yang rumusan deliknya telah masuk dalam RKUHP, namun belum dicabut dalam ketentuan penutup RKUHP
  • Terdapat tumpang tindih antara RKUHP dengan UU ITE:
    • Penyebaran konten melanggar kesusilaan dalam Pasal 410 dan Pasal 411 dengan Pasal 27 ayat (1) UU ITE
    • Penghinaan dalam Pasal 437 ayat (2) dengan Pasal 27 ayat (3) UU ITE
    • Penghinaan terhadap Golongan Penduduk (Pasal 243 RKUHP) dengan Pasal 28 ayat (2) UU ITE
    • Penyiaran berita bohong yang merugikan konsumen dalam Pasal 510 RKUHP dengan Pasal 28 ayat (1) UU ITE
    • Penyiaran berita bohong Pasal 263 ayat (1) ayat (2) dan Pasal 264 RKUHP dengan ide kriminalisasi berita bohong baru dalam proses revisi UU ITE
  • Harusnya dalam aturan peralihan mencabut ketentuan dalam UU ITE yang menduplikasi pengaturan dalam RKUHP.

 

  1. Harmonisasi delik dalam RKUHP berkaitan dengan UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual
  • UU TPKS memperluas cakupan tindak pidana kekerasan seksual melalui Pasal 4 ayat (2) sehingga tidak hanya mencakup delik-delik yang secara khusus dirumuskan dalam UU tersebut, tetapi juga mengkualifikasikan delik-delik lain di luar UU TPKS sebagai tindak pidana kekerasan seksual.
  • Adapun delik-delik di luar UU TPKS yang dicakupkan sebagai delik kekerasan seksual, berdasarkan UU TPKS, di antaranya:
    1. perkosaan;
    2. perbuatan cabul;
    3. persetubuhan terhadap Anak, perbuatan cabul terhadap Anak, dan/atau eksploitasi seksual terhadap Anak;
    4. perbuatan melanggar kesusilaan yang bertentangan dengan kehendak Korban;
    5. pornografi yang melibatkan Anak atau pornografi yang secara eksplisit memuat kekerasan dan eksploitasi seksual;
    6. pemaksaan pelacuran;
    7. tindak pidana perdagangan orang yang ditujukan untuk eksploitasi seksual;
    8. kekerasan seksual dalam lingkup rumah tangga;
    9. tindak pidana pencucian uang yang tindak pidana asalnya merupakan Tindak Pidana Kekerasan Seksual; dan
    10. tindak pidana lain yang dinyatakan secara tegas sebagai Tindak Pidana Kekerasan Seksual sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan.
  • Namun, dalam rumusan Pasal 4 ayat (2) UU TPKS yang menyebutkan bentuk-bentuk perbuatan dalam UU lain yang didefinisikan sebagai kekerasan seksual, tidak dituliskan acuan pasal nya namun hanya menyebutkan nama delik, sedangkan perbuatan-perbuatan tersebut tidak semua menyebut secara tegas delik, misalnya perkosaan: yang menyebutkan perkosaan hanya Pasal 285 KUHP, sedangkan seluruh perbuatan perkosaan tersebut dalam Pasal 286, 287, 288.
  • Apabila dilihat secara saksama, model yang dipilih Pasal 4 ayat (2) UU TPKS untuk mengualifikasikan delik-delik di luar UU tersebut sebagai kekerasan seksual dapat dipilah menjadi dua pendekatan, yaitu:
    • merinci daftar perbuatan dalam peraturan perundang-undangan yang telah ada sebagai TPKS (listing). Ini terlihat dari perbuatan dalam Pasal 4 ayat (2) huruf a hingga i yang dicakupkan sebagai Tindak Pidana Kekerasan Seksual.
    • menggunakan konsep blanco strafbepalingen sehingga, apabila ada UU lain di kemudian hari menyatakan delik yang diaturnya sebagai Tindak Pidana Kekerasan Seksual, maka berbagai pengaturan yang diatur oleh UU TPKS dapat diterapkan. Model ini pertama kali digunakan dalam UU 7/Drt/1955 tentang Pengusutan, Penuntutan, dan Peradilan Tindak Pidana Ekonomi.
  • Penting untuk dipahami bahwa seandainya RKUHP diundangkan, maka tindak pidana yang dirumuskan RKUHP akan bertindak sebagai tindak pidana baru dalam kerangka legislasi Indonesia.
  • Oleh karena itu, khusus untuk delik-delik yang memiliki irisan dengan Tindak Pidana Kekerasan Seksual seperti perkosaan, perbuatan cabul, dan sebagainya, RKUHP perlu menegaskannya kembali sebagai Tindak Pidana Kekerasan Seksual agar mekanisme yang disusun UU TPKS dapat diberlakukan terhadap delik-delik tersebut, sesuai dengan mekanisme yang diatur dalam Pasal 4 ayat (2) huruf j UU TPKS.
  • Tanpa penegasan tersebut, delik-delik di RKUHP yang memiliki irisan dengan Tindak Pidana Kekerasan Seksual tidak dapat diberlakukan berbagai pengaturan di UU TPKS mengingat model pendekatan listing hanya berlaku bagi tindak pidana yang sudah ada sebelum UU TPKS diundangkan.
  1. Pentingnya penekanan RKUHP sebagai kodifikasi dan penyesuaian tindak pidana yang diatur dalam UU lain yang masuk dalam RKUHP
      • Dalam Pasal 621 RKUHP disebutkan bahwa ketika mulai berlaku, ketentuan pidana yang diatur dalam UU lain dan Perda harus disesuaikan dengan buku kesatu RKUHP, yang mana penyesuaiannya akan diatur dalam UU
      • Hal ini perlu digambarkan oleh pemerintah seperti apa penyusunan UU tersebut sebagai bentuk pelaksanaan kodifikasi RKUHP
      • Pada penjelasan Pasal 187 tidak memadai menjelaskan implikasi pengaturan ketentuan UU lain yang ada saat ini pasca RKUHP, hanya pada 5 jenis tindak pidana yang masuk dalam Bab Tindak Pidana Khusus, namun tindak pidana di luar RKUHP tidak hanya 5 jenis tindak pidana tersebut, terdapat misalnya UU TPPO, UU SPPA dan lainnya

Silakan unduh Kompilasi Catatan Pasal-Pasal dalam RKUHP 4 Juli 2022 di sini

Leave a Reply