Perbaikan Tata Kelola Narkotika Indonesia: Mencari Alternatif Non Pemidanaan Bagi Pengguna Narkotika
oleh: Pista Simamora
Sistem peradilan pidana di Indonesia sedang tidak baik-baik saja. Hal ini dibuktikan dengan terjadinya overcrowding atau kelebihan penghuni Rumah Tahanan (Rutan) dan juga Lembaga Pemasyarakatan (Lapas), yang terjadi hampir di seluruh wilayah Indonesia. Bahkan terjadi peningkatan 2 kali lipat selama 2014 – 2016. Peningkatan ini diakbatkan oleh melonjaknya perkara narkotika, sedangkan pada perkara lainnya cenderung stabil, bahkan menurun. Hal ini juga berdampak pada meningkatnya anggaran penyelenggaraan kebijakan narkotika.
Apa yang salah dan menyebabkan terjadinya overcrowding? Salah satu pemicu melonjaknya perkara ini disebabkan oleh adanya deklarasi perang terhadap narkotika, yang justru cenderung disalahartikan penerapannya.
Padahal pada UU Narkotika telah dituliskan bahwa penyalahguna dan pecandu narkotika dijamin untuk mendapatkan sanksi rehabilitasi. Namun pada kenyataannya, penggunaan sanksi tersebut masih belum maksimal, dan justru diarahkan ke jeratan hukum pidana. Menjadikan UU Narkotika ini sebagai pasal karet yang dapat digunakan sewenang-wenang oleh para penegak hukum.
Dalam penerapan hukuman yang layak bagi terdakwa, sebenarnya banyak aspek yang harus dipertimbangkan. Mulai dari penguasaan narkotika, berat dan jumlah narkotika yang menjadi barang bukti, adanya saksi-saksi lain yang terlibat dalam penggerebekan, penggunaan dakwaan yang lebih ringan, penelusuran apakah adanya tindak penyiksaan pada terdakwa, hingga peringanan pada kurir atau penjual yang baru saja terlibat, dan lain sebagainya.
Pembatasan-pembatasan yang ada ditujukan untuk meningkatkan rasa keadilan bagi para terdakwa. Dengan harapan terdakwa juga mampu membela diri, dengan tidak terpenuhinya syarat dan ketentuan yang dituduhkan kepadanya, dan juga terdakwa bisa mendapatkan hukuman yang lebih ringan atau bahkan menghindari hukuman pidana penjara. Dengan adanya rehabilitasi justru dianggap sebagai salah satu jalan untuk membantu mekamsimalkan proses pemerataan semangat pemberantasan peredaran gelap narkotika.
Setelah ditelusuri lebih jauh, ternyata penerapan pemenuhan jaminan rehabilitasi bagi para penyalahguna dan pecandu narkotika sulit diterapkan karena syarat-syarat dan langkah administratif yang sulit. Seolah penegak hukum justru tidak mendukung jaminan rehabilitasi ini. Hal ini juga berdampak pada penyangkakan pasal sebagai “memiliki, menyimpan, dan/atau menguasai”, yang dapat dituduhkan kepada pengguna dan pecandu narkotika. Sehingga dengan jalan inilah mampu memotong proses persyaratan-persyaratan dan langkah administratif, dan menjadi lebih singkat atau lebih cepat.
Hal ini menimbulkan anggapan overkriminalisasi pada penyalahguna dan pecandu narkotika. Seolah hukum adalah jawaban dan dakwaan yang paling tepat bagi terdakwa dan mampu meningkatkan efek jera. Padahal sejatinya, hukum pidana memiliki batasan yang harus diperhatikan. Pemerintah dalam titik ini sangat berperan dalam penerapan tata kelola narkotika yang efektif, komperhensif, terukur, serta berkelanjutan. Pemerintah perlu menyediakan mekanisme kontrol yang jelas terhadap permasalahan narkotika, bukan dengan narasi penghukuman yang menumbuhsuburkan pasar gelap, ataupun legalisasi tanpa kontrol.
Hal ini sejalan dengan tujuan utama dibuatnya UU Narkotika, yang sejatinya bertujuan untuk tata kelola, menjamin negara mengontrol peredaran narkotika, dan bukan untuk berfokus pada pemidanaan. Bahkan penggunaan dan kepemilikan narkotika untuk kepentingan pribadi seharusnya hanya diadministrasikan oleh negara, bukan dijatuhi hukuman pidana.
Mengapa pemerintah harus mengedepankan rehabilitasi sebagai tata kelola administrasi? Ini bertujuan untuk mendekatkan para pengguna dari akses terhadap layanan kesehatan dan menurunkan stigma terhadap pengguna narkotika sebagai kriminal dan orang yang tidak bermoral.
Sebenarnya terdapat beberapa alternatif kebijakan lain untuk penggunaan narkotika sebagai lawan dari pendekatan pelarangan atau kriminalisasi, yaitu: depenalisasi, diversi, dan dekriminalisasi. Dan salah satu titik pengontrolan yang paling efektif adalah dengan diberlakukannya regulasi yang menyasar pada: Preskripsi (Resep), Farmasi (Model Apotik), Penjualan Berlisensi, Tempat Berlisensi, dan Tempat Tidak Berlisensi (Supermarket). Dengan adanya pengontrolan yang baik pada kelima pasar tersebut, dirasa akan mampu menekan peredaran pasar gelap narkotika, dan sejalan dengan visi-misi dalam proses pemerataan semangat pemberantasan peredaran gelap narkotika.