Peringatan 1 Tahun Unjuk Rasa September 2019: 1 tahun Penolakan RKUHP, Apa yang harus dibenahi Pemerintah dan DPR
Seperti yang kita ketahui bersama, 1 tahun lalu, pada September 2019 terjadi serangkaian unjuk rasa yang dilakukan oleh mahasiswa, pelajar, jurnalis, kelompok masyarakat sipil termasuk Aliansi Nasional Reformasi KUHP di Indonesia pada masa akhir pemerintahan 2014-2019. Pada masa itu, Pemerintah dan DPR berusaha menyelesaikan kerja-kerjanya lewat pembahasan RUU namun dilaksanakan tidak secara demokratis, dan memaksa pengesahan beberapa RUU secara terburu-buru, salah satunya yang menjadi poin penting dalam unjuk rasa tersebut adalah penolakan pengesahan RKUHP yang rumusannya masih bermasalah.
Aliansi Nasional Reformasi KUHP mendukung penuh cita-cita Pemerintah untuk melakukan pembaruan hukum pidana melalui revisi KUHP. Oleh karenanya, kami menghargai kerja keras tim perumus selama ini. Namun, Aliansi Nasional Reformasi KUHP mencatat sampai dengan draft terakhir per September 2019 lalu pun, RKUHP masih memuat masalah. Terdapat 24 poin permasalahan RKUHP, antara lain pasal tentang hukum yang hidup dalam masyarakat yang merupakan penyimpangan asas legalitas memuat kriminalisasi yang memberangus kewenangan dinamis masyarakat adat, masalah pengaturan pidana mati yang justru bertentangan dengan tujuan pemidanaan yang sudah berusaha direformasi di RKUHP, masalah minimnya alternatif pemidanaan dan beratnya syarat hakim dapat menggunakan alternatif pemidanaan non pemenjaraan, masalah pengaturan tindak pidana makar yang justru memperburuk kondisi sekarang bahwa makar tidak diartikan seperti sebagaimana tindak pidana tersebut dirumuskan, hadirnya pasal-pasal tidak demokratis yang membawa Indonesia kembali seperti negara jajahan, seperti pasal penghinaan presiden, pasal penghinaan pemerintahan yang sah, penghinaan lembaga negara/badan kekuasaan umum, hingga pasal-pasal yang berdampak buruk pada kelompok rentan misalnya pasal kriminalisasi zina yang akan meningkatkan perkawinan anak, larangan promosi alat kontrasepsi untuk anak yang tidak sesuai dengan semangat pengarusutamaan pendidikan kesehatan reproduksi, hingga pasal kriminalisasi setiap perempuan yang melakukan aborsi tanpa pengecualian. Masalah lainnya mengenai bab tindak pidana khusus, misalnya tindak pidana narkotika yang merupakan masalah administratif tidak perlu masuk ke dalam KUHP.
Jika disimpulkan dari dinamika pembahasan RKUHP selama ini, lahirnya RKUHP bermasalah dikarenakan dua aspek mendasar. Pertama, RKUHP tidak lahir dari evaluasi komprehensif berbasis data, tentu suatu kewajiban untuk RKUHP yang mengatur hampir seluruh aspek kehidupan masyarakat, pembahasannya harus berdasarkan data dan evaluasi terhadap implementasi penggunaan hukum pidana di Indonesia (evidence based policy).
Kedua, lahirnya pasal-pasal bermasalah berasal dari tidak selarasnya program pembangunan pemerintah dari berbagai aspek yang diatur dalam RKUHP mulai dari ekonomi, investasi, bisnis, kesehatan, pendidikan, dan perlindungan sosial.
Permasalahan ini salah satunya timbul dari minimnya perspektif dan keilmuan lain dalam pembahasan RKUHP. RKUHP hanya dibahas oleh ahli-ahli dari latar belakang ilmu hukum, terkhusus lagi ilmu hukum pidana, padahal RKUHP mengatur semua aspek kehidupan, maka penting sekali untuk membahas RKUHP secara inklusif dan menjaring masukkan dari berbagai perspektif ilmu pengetahuan.
Kedua hal tersebut adalah refleksi mendasar dari apa yang terjadi setahun lalu, untuk itu, Pemerintah dan DPR harus mulai menerima masukan dari masyarakat, khususnya dalam proses pembentukan perundang-undangan.