Picu Perdebatan, Pembahasan Hukum Adat di RKUHP Ditunda
Panitia Kerja (Panja) RKUHP menunda pembahasan mengenai hukum adat. Anggota Panja, Dossy Iskandar mengatakan, penundaan dilakukan karena isu tersebut memicu sejumlah perdebatan. “Memang pembahasan DIM soal pasal yang mengatur hukum adat mengalami perdebatan alot,” katanya.
Menurut Anggota Komisi III DPR ini, ada sejumlah anggota Panja yang berpandangan bahwa penerapan hukum adat tak bisa berlaku di semua tempat. Untuk itu, penerapan hukum adat diusulkan untuk dituangkan ke dalam masing-masing Peraturan Daerah (perda), sehingga timbul kepastian.
Ada juga, lanjut politisi Partai Hanura ini, masuknya hukum adat ke KUHP bisa menimbulkan kepastian. Namun, hal ini memicu perdebatan lain seperti, jangan sampai penerapan hukum adat malah bertentangan dengan asas legalitas. “Soal perdebatan perbedaan pandangan pemerintah dan DPR ini ditunda, lanjut ke DIM yang lain dulu,” katanya.
Anggota Panja Arsul Sani menambahkan, Panja RKUHP meminta kepada Tim Perumus (Timus) Pemerintah untuk merumuskan agar hukum yang hidup itu sama sekali tak mengandung atau mengorbankan unsur kepastian. Atas dasar itu, muncul usulan dibuatnya kompilasi.
“Nah itu alternatif yang kedua. Itu yang kemudian disebutkan dalam RKUHP itu bahwa hukum yng hidup dalam masyarakat yang bisa digunakan sebagai sumber hukum pidana materil yaitu yang sudah ditetapkan dalam Perda atau kompilasi, pilihannya itu,” kata politisi PPP ini.
Menurutnya, penundaan terjadi karena perlu kajian mendalam terkait hal ini. Anggota Panja, lanjut arsul, juga membutuhkan ketenangan sebelum merumuskan pasal ini ke dalam RKUHP.
“Ditunda itu masalah perumusan, karena ketika kita membahas kita tidak bisa langsung merumuskan. Kalau merumuskan kan harus tenang berdasarkan rumusan sehingga yang ditunda itu adalah perumusannya, makanya diserahkan ke Timus namanya,” katanya.
Anggota Aliansi Nasional Reformasi KUHP, Supriyadi Widodo Eddyono sepakat penundaan pembahasan terhadap pasal hukum adat ini. Menurutnya, pembahasan mengenai pasal ini perlu dikaji lagi secara mendalam. “Kalau bisa didrop dari pasal-pasal RKUHP,” kata Direktur Eksekutif ICJR ini.
Supri mengatakan, tindak pidana adat tak mungkin bisa dimasukkan ke KUHP. Misalnya melalui Perda masing-masing. Namun, hal ini memerlukan kajian yang mendalam lagi. “Soalnya tidak semua hukum ada cocok jadi Perda, dalam beberapa kasus, hukum adatnya justru mati,” katanya.
Namun jika terkait dengan hukuman pidana adat, Supri menilai, hal itu masih bisa dirumuskan ke dalam KUHP. Kalau soal hukuman pidana adat, masih bisa dirumuskan,” pungkasnya.