Plt Ketua KPK Minta Pidana Korupsi Tak Masuk RUU KUHP
Pelaksana Tugas (Plt) Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Taufiqurrahman Ruki meminta agar pidana korupsi tidak menjadi bagian dari Rancangan Undang-undang Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RUU KUHP). Permintaan dilakukan karena korupsi merupakan bagian pidana khusus, seperti halnya narkotik dan terorisme.
“Tindak pidana khusus adalah beberapa perbuatan pidana tertentu yang ditempatkan pada buku dan kitab yang berbeda. Hukum pidana materinya diatur, dan hukum pidana formilnya juga diatur. Itu lex specialis,” kata Ruki dalam diskusi RUU KUHP di Kantor DPP Golkar Slipi, Jakarta, Jumat (27/11).
Ruki menjelaskan, tujuan masuknya pidana korupsi ke dalam tindak pidana khusus adalah agar lembaga penegakan hukum terkait seperti Kejaksaan dan Kepolisian dapat memiliki kewenangan yang sama dengan KPK.
Ruki mengatakan, dengan masuknya kejahatan korupsi ke dalam tindak pidana khusus maka harapannya KPK, Kepolisian dan Kejaksaan memiliki kewenangan yang sama.
Dengan demikian, Ruki menyatakan, di masa mendatang tidak ada lagi perbedaan antar ketiga institusi tersebut dalam mengusut kasus korupsi.
Saat ini, memang ada kecemburuan terhadap KPK yang dapat mengusut kasus korupsi tanpa memerlukan izin presiden. Sementara itu, Kejaksaan dan Kepolisian membutuhkan izin presiden untuk mengusut kasus korupsi.
“Ketika kejaksaan dan kepolisian diberi kewenangan oleh UU untuk menyidik tindak pidana korupsi, kenapa fungsinya berbeda dengan KPK? Samakan saja, di tempat yang sama,” ujar Ruki.
Ruki mencontohkan, jika penyidikan tersangka dilakukan KPK, maka tidak ada istilah tahanan luar. Sedangkan kepolisian mengenal penangguhan penahanan.
Dengan demikian, jika tidak terjadi perbedaan kewenangan dalam mengusut korupsi, maka ketiga lembaga penegak hukum itu akan berkompetisi dalam mengusut kasus korupsi.
“Mari lakukan yang sama. Tidak boleh SP3 dan tidak boleh tahanan luar,” tuturnya.
Wakil Ketua Umum Partai Golkar hasil Munas Bali, Aziz Syamsudin menyatakan, masukan dari Ruki berkaitan dengan kewenangan dan aturan UU lain dapat menjadi bahan pembahasan inventarisasi masalah di parlemen.
“Ini bahan juga buat pembahasan inventarisasi ke depan. Probabilitas itu dilakukan,” kata Aziz yang juga Ketua Komisi Hukum DPR itu.
Kementerian Hukum dan HAM dan KPK sepakat membentuk tim untuk mengawal RKUHP terkait delik korupsi.
Kesepakatan tersebut mencuat saat kedua belah pihak membahas pemberatasan korupsi dan kewenangan KPK, di Kantor KPK, Jakarta, Senin (14/9).
Direktur Jenderal Peraturan Perundangan Kemkumham Widodo Ekatjahjana bakal meminta keterlibatan penegak hukum lain seperti Kejaksaan dan Kepolisian.
“Bersama KPK, Kepolisian, dan Kejaksaan kita akan bentuk forum tim yang intensif untuk perancangan KUHP di bawah Dirjen Peraturan Perundangan,” kata Widodo.
Tim tersebut akan bekerja memberi masukan pada konten RKUHP sembari menunggu daftar inventaris masalah yang akan diserahkan DPR. Selama ini, pemerintah mengaku terbatas hanya menyorot perkara teknis seperti fungsi dan norma KPK, tindak pidana korupsi, dan pencucian uang.
“Pada intinya kami membentuk tim yang kami harapkan terus berkomunikasi dan bersinergi agar tak tumpang tindih antar penegak hukum,” katanya.
Sumber: http://www.cnnindonesia.com/nasional/20151127220752-12-94589/plt-ketua-kpk-minta-pidana-korupsi-tak-masuk-ruu-kuhp/