Poin-poin Perubahan RKUHP yang Segera Dilanjutkan: Dari Penghinaan Presiden hingga Aborsi
JAKARTA, KOMPAS.com – Pemerintah dan DPR akan segera melanjutkan pembahasan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) yang sempat terhenti pada 2019 lalu. Saat itu, RKUHP sudah disetujui di tingkat pertama dan siap disahkan di rapat paripurna, namun ditunda karena masifnya penolakan dari masyarakat.
Selama kurun waktu dua tahun, pemerintah telah melakukan sosialisasi RKUHP dan melakukan perbaikan pada sejumlah isu krusial yang sempat menuai protes dari masyarakat. Pada Rabu (25/5/2022) kemarin, pemerintah yang diwakili Wakil Menteri Hukum dan HAM Edward Omar Sharif Hiariej mempresentasikan hasil sosialisasi dan poin-poin perubahan dalam draf RKUHP yang diusulkan oleh pemerintah. Apa saja poin-poin tersebut?
Pasal Penghinaan Presiden jadi Delik Aduan Pemerintah mengusulkan agar ketentuan tindak pidana penyerangan harkat dan martabat presiden dan wakil presiden pada Pasal 218 Ayat (1) RKUHP bersifat delik aduan dengan ancaman hukuman maksimal 3,5 tahun penjara. “Terkait penyerangan harkat dan martabat presiden dan wakil presiden, jadi kami memberikan penjelasan bahwa ini adalah perubahan dari delik yang bersifat tadinya delik biasa menjadi delik aduan,” kata Eddy, sapaan akrab Edward.
Eddy mengatakan, pemerintah tak ingin membangkitkan kembali pasal penghinaan presiden yang pernah dibatalkan Mahkamah Konstitusi (MK) melalui putusan Nomor 031-022/PUU-IV/2006. Eddy menerangkan, pasal yang ada di RKUHP berbeda dengan pasal yang dicabut oleh MK. “Jadi sama sekali kami tidak membangkitkan pasal yang sudah dimatikan oleh Mahkamah Konstitusi, justru berbeda.
Kalau yang dimatikan Mahkamah Konstitusi itu adalah delik biasa, sementara yang ada dalam RUU KUHP ini adalah delik aduan,” kata dia. RKUHP juga telah ditambahkan penjelasan bahwa pengaduan mengenai pasal itu harus dilakukan langsung oleh presiden maupun wakil presiden secara tertulis. “Kami menambahkan itu bahwa pengaduan dilakukan secara tertulis oleh presiden atau wakil presiden. Dan juga ada pengecualian untuk tidak dilakukan penuntutan apabila ini untuk kepentingan umum,” imbuhnya.
Aborsi Tidak Dipidana Jika Darurat dan Akibat Perkosaan Pemerintah mengusulkan agar draf RKUHP mengatur bahwa bahwa perempuan yang melakukan aborsi dipidana dengan pidana maksimal 4 tahun penjara. Namun, ketentuan pidana itu diusulkan tidak berlaku jika perempuan merupakan korban perkosaan yang usia kehamilannya di bawah 12 minggu atau memiliki indikasi kedaruratan medis.
“Pemerintah mengusulkan ada menambah satu ayat sebetulnya sehingga memperjelas ketentuan yang sudah ada,” kata Eddy. “Yaitu memberikan pengecualian terhadap pengguguran kandungan untuk perempuan apabila terdapat indikasi kedaruratan medis atau hamil karena perkosaan yang kehamilannya tidak lebih dari 12 minggu,” imbuh dia.
Berdasarkan dokumen yang diterima dari pihak Kementerian Hukum dan HAM, ketentuan pidana terhadap perempuan yang melakukan aborsi akan diatur dalam Pasal 469 Ayat (1) sedangkan pengecualiannya diatur dalam ayat berikutnya. Adapun batas masa kehamilan 12 bulan yang diatur dalam draf RKUHP tersebut mengacu pada standar World Health Organization (WHO).
Dalam dokumen itu disebutkan pula bahwa pengecualian pidana terhadap perempuan yang melakukan aborsi bukan pengaturan yang baru karena telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan. Perkosaan dalam Perkawinan Bisa Dipidana Praktik pemaksaan hubungan seksual atau perkosaan di dalam ikatan perkawinan (marital rape) diusulkan agar dapat diproses secara pidana dengan delik aduan.
Eddy mengatakan, usulan tersebut sesuai dengan ketentuan yang telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kerasan Dalam Rumah Tangga (UU PKDRT). “Penjelasan kami adalah marital rape, perkosaan dalam perkawinan ditambah dalam rumusan (Pasal) 479 sebagai konsisten terhadap Pasal 53 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang KDRT,” kata Eddy.
Berdasarkan dokumen yang diterima dari Kemenkumham, ketentuan pidana mengenai perkosaan akan diatur dalam Pasal 479 RKUHP. Baca juga: Revisi KUHP, Nakes yang Lakukan Aborsi terhadap Korban Pemerkosaan Tak Dipidana Pasal 479 Ayat (1) berbunyi, “Setiap Orang yang dengan Kekerasan atau Ancaman Kekerasan memaksa seseorang bersetubuh dengannya dipidana karena melakukan perkosaan, dengan pidana penjara paling lama 12 (dua belas) tahun”. Lalu, pada Ayat (6) dijelaskan bahwa perkosaan dalam ikatan perkawinan dapat dipidana atas pengaduan korban. “Dalam hal Tindak Pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dalam ikatan perkawinan, tidak dilakukan penuntutan kecuali atas pengaduan korban,” demikian bunyi Ayat (6) pasal tersebut. Ketentuan di atas merupakan ketentuan yang baru dicantumkan dalam draf RKUHP.
Draf RKUHP sebelumnya yang hampir disahkan pada 2019 lalu tidak mencantumkan ketentuan pidana mengenai pemaksaan hubungan seksual dalam ikatan perkawinan. Aturan Kepala Desa Bisa Adukan Pasangan Kumpul Kebo Dicabut Pemerintah juga mengusulkan mencabut ketentuan dalam draf RKUHP lama yang yang mengatur bahwa pasangan yang hidup tanpa status pernikahan (kumpul kebo atau kohabitasi) dapat dipidana atas aduan kepala desa.
“Mengenai kohabitasi, ketentuan pasal ini merupakan delik aduan. Pemerintah mengusulkan menghapus ketentuan kepala desa yang dapat mengajukan aduan karena kalau kepala desa bisa mengadu berarti dia sudah bukan lagi delik aduan,” kata Eddy.
Berdasarkan dokumen berjudul ‘Isu Krusial RUU KUHP’ yang dirilis Kemenkumham, RKUHP akan mengatur praktik kumpul kebo hanya bisa diproses hukum atas pengaduan suami atau istri bagi orang yang terikat perkawinan; atau orangtua atau anaknya bagi orang yang tidak terikat perwakinan.
Hal itu tercantum dalam ketentuan yang tertuang dalam Pasal 418 Ayat (2) draf RKUHP. “Dirumuskan sebagai delik aduan dan pengaduan dibatasi hanya dapat diajukan oleh orang-orang yang paling terkena dampak,” demikian bunyi keterangan pemerintah dalam dokumen tersebut.
Sebelumnya, ketentuan bahwa praktik kumpul kebo dapat diadukan kepala desa tercantum dalam Pasal 418 Ayat (3) RKUHP yang dibahas bersama oleh pemerintah dan DPR pada 2019 lalu sebelum pengesahannya ditunda akibat masifnya penolakan publik. “(3) Pengaduan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat juga diajukan oleh kepala desa atau dengan sebutan lainnya sepanjang tidak terdapat keberatan dari suami, istri, Orang Tua, atau anaknya,” begitu bunyi Pasal 418 Ayat (3) dalam draf RKUHP lama.
Namun, dalam draf RKUHP terbaru, pemerintah mengusulkan agar ketentuan tersebut dihapus. Adapun ancaman pidana atas praktik kumpul kebo dalam draf RKUHP terbaru tetap sama dengan draf lama yakni paling lama enam bulan penjara atau pidana denda paling banyak kategori II. Pasal tersebut juga mengatur bahwa pengaduan dapat ditarik kembali selama pemeriksaan di sidang pengadilan belum dimulai.
Cabut Aturan Dokter Gigi dan Pengacara Pemerintah juga mengusulkan agar RKUHP mengatur dua ketentuan yang tercantum pada draf RKUHP lama dicabut. Pertama, pemerintah mengusulkan menghapus ketentuan pemidanaan bagi dokter atau dokter gigi yang melaksanakan pekerjaan tanpa izin sebagaimana tercantum pada Pasal 276 ayat 1 RKUHP lama.
“Mengapa pemerintah mengusulkan untuk dihapus? Ini memang ada selain dari putusan Mahkamah Konstitusi juga dalam pasal 276 sudah diatur di dalam Undang-Undang Praktik Kedokteran. Sehingga untuk tidak menimbulkan duplikasi ini kami usulkan untuk dihapus,” kata Eddy.
Ia mengatakan, pasal serupa sudah diatur dalam Pasal 76 UU Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran. Aturan kedua yang dicabut adalah berkaitan dengan advokat curang yang tertuang pada Pasal 283 RKUHP. “Mengapa itu kami hapus? Karena undang-undang itu kan tidak boleh bersifat diskriminatif. Kalau hanya terhadap advokat, maka pertanyaannya aparat penegak hukum yang lain gimana?” jelasnya.
“Kenapa hanya advokat yang berbuat curang saja yang kemudian dipidana. Dari hasil masukan itu kami take out dan itu nanti akan diatur dalam undang-undang advokat,” sambung Edward. Selain poin-poin di atas, isu-isu krusial lainnya dalam RKUHP adalah pidana mengenai karena memiliki kekuatan gaib, hewan ternak, contempt of court, penodaan agama, penganiayaan hewan, alat kontrasepsi dan pengguguran kandungan, gelandangan, serta perzinaan.
Target Rampung Juli Pemerintah dan DPR menargetkan RKUHP dapat disahkan pada Juli 2022 mendatang. “Kalau saya tadi berbicara dengan yang mulia teman-teman pimpinan komisi tiga sepertinya akan diselesaikan pada bulan Juli 2022,” ujar Eddy.
Seperti diketahui, pembahasan RKUHP tidak dilakukan dari awal karena berstatus carry over dari DPR periode sebelumnya. Baca juga: Pasal Perbuatan Tidak Menyenangkan dalam KUHP Pada 2019 lalu, RKUHP sudah disepakati di tingkat I tetapi urung dibawa ke rapat paripurna untuk disahkan akibat masifnya penolakan masyarakat.
Dalam rapat pada Rabu lalu, Komisi III DPR telah menerima penjelasan dari pemerintah terkait 14 isu dalam RKUHP yang telah disosialisasikan kepada masyarakat. Anggota Komisi III DPR Arsul Sani menjelaskan, selanjutnya DPR akan mengirim surat kepada Presiden Joko Widodo agar pemerintah secara formal mengajukan kembali RKUHP ke DPR. “Setelah itu Komisi III bersama dengan pemerintah akan menyisir lebih dahulu, menyepakati redaksi pasal yang mengalami perubahan dan penjelasan pasal. Setelah semuanya disepakati kembali maka akan diputuskan untuk dibawa ke rapat paripurna DPR,” kata Arsul, Kamis (26/5/2022).
Baca berita selengkapnya di sini