RDPU R KUHP Pada 8 September 2015

Yang hadir dari komisi 3:

Trimedya Panjaitan (satu-satunya wakil ketua komisi 3 yang hadir, memimpin rapat), Arsul Sani, Daeng Muhammad, Risa Mariska, Taufiqulhadi, Wenny Haryanto, Andika Hazrumy, John Kennedy Azis, Iwan Kurniawan.

Prof. Hikmahanto Juwana:

Asas teritorial dan asas universal sudah ada di KUHP. Tapi saya usul/dimasukkan asas protektif dimasukkan dalam nilai-nilai KUHP. Ini untuk semakin pertegas kedaulatan Indonesia secara hukum. Utamanya sebagai contoh, kasus kejahatan di lautan Indonesia. Saya pikir prinsip/asas protektif harus dikenai bukan semata untuk WNI tapi juga warga asing. Pilihan diksi “setiap warga yang dinilai membahayakan kepentingan nasional di laut lepas wilayah Indonesia, harus dikenai pidana.”

Asas Universal dalam KUHP di pasal 1 ayat 1 bisa diakomodasi di Pasal 2 ayat 3. Jadi ini bisa mempertegas pidana kejahatan-kejahatan di laut lepas wilayah Indonesia.

Pasal 7 KUHP ditulisnya seingat saya “jika suatu negara tak jalankan yurisdiksi negaranya terhadap warga negaranya yang berbuat pidana di negara lain, maka yang berlaku adalah yursidiksi negara dimana tindak pidana dilakukan.” Maka wajar jika Indonesia punya hak pertegas hukum-hukum yang terkait potensi pidana oleh warga asing yang berkegiatan Indonesia.

Problem hubungan internasional yang signifikan dalam tata hukum Indonesia adalah proses impelementasi hukum nasional atas ratifikasi berbagai perjanjian internasional. Konvensi internasional atas korupsi sektor swasta sudah pemerintah Indonesia ratifikasi, tapi belum masuk dalam tata hukum nasional, belum ada konsideran di pasal-pasal dalam UU TPPU atau UU Tipikor misalnya. Saya usulkan bahwa perjanjian-perjanjian internasional yang mengandung pidana dan sudah diratifikasi pemerintah Indonesia agar segera disesuakan dengan rancangan KUHP yang dinyatakan sebagai semangat penyatuan semua hukum pidana di Indonesia yang selama ini terpencar-pencar.

Saya usul, agar konvensi TOC (Transnational of Organiing Crime) segera diratifikasi pemerintah. Hal ini karena tingginya kasus trafficking dan kasus-kasus antarnegara lainnya. Usul lainnya adalah konvensi tentang penyiksaan (torture) oleh aparat penegak hukum. Ini isu sensitif tentu saja bagi aparat pejabat hukum. Tapi mengingat seringnya keluhan bahwa terjadi penyiksaan oleh aparat hukum baik Polri atau TNI, kami usul agar konvensi ini segera diratifikasi lalu dimasukkan dalam rancangan KUHP.

Dr. Anggi Aulina (KriminologUI)

Saya memulai dulu dengan paparan KUHP-KUHP di negara lain, ada yang klasik dan neo-klasik. Substansi roh KUHP di banyak negara selalu mencakup dimensi yang jauh lebih luas. Setidaknya dari riset saya, ada 4 dimensi utama dalam KUHP-KUHP di berbagai negara:

Pertama, KUHP jangan hanya sebatas memberi pidana, tapi merupakan mekanisme perlindungan korban,

Kedua, KUHP merupakan upaya rehabilitasi masyarakat

Ketiga, KUHP upaya preventif. Contoh yang saya rujuk, KUHP Jerman, dimana konstruksi hukum pidana setempat mengklasifikasi bagaimana pelaku harus dihukum; pelaku yang telah usai masa tahanan bisa benar-benar diterima kembali di masyarakat; dan kejahatan si pelaku jadi refleksi pembenahan sehingga pemerintah berupaya preventif mencegah lebih banyak kasus-kasus tadi.

Keempat,

Saya memahaminya, RKUHP akan mengklasifikasi “yang patut tetap berrada di KUHP” dan “yang saat ini dinilai tak lagi patut untuk di KUHP” untuk konten saat ini. Serta untuk konten atau hal-hal regulasi yang baru, juga dipetakan “mana yang bisa dinilai patut masuk KUHP” dan mana yang “belum perlu dimasukkan ke KUHP.” Maka dalam penyusunan RKUHP perlu guideline, perlu klasifikasi tingkat serius/tidaknya kejahatan, perlu kepastian kodifikasi, dan perlu political will.

Saya mengusulkan agar “hate crime” sudah ditindak bukan saat “tindakan bisa dibuktikan”, tapi hate crime yang berupa “niat tindakan” sudah bisa dipidana. Hal ini untuk mencegah/meminimalkan hate crime yang belakangan meningkat di media sosial atau ditengah masyarakat.

Saya juga usul, terkait ABH (anak berhadapan hukum) agar lebih manusiawi terhadap anak. Juga terkait kejahatan KDRT atau domestic violence, adalah (saya mengusulkan) agar KUHP nanti lebih berpihak pada hak hukum bagi anak dan perempuan.

Usul saya yang lain, agar KUHP nantinya beri ruang yang lebih luas bagi penyidik dalam mengejar pelaku pencucian uang. Karena kejahatan terkait TPPU makin canggih. Perlu bridging antara kejahatan konvensional terkait perbankan dengan kejahatan yang makin canggih, untuk semua (kejahatan itu) bisa diatur dalam KUHP.

Wahyudi Djafar (ELSAM):

Aliansi KUHP menilai rancangan dari pemerintah tak berbeda dengan naskah RKUHP pada 2012 dan 2005. Kami kritik untuk naskah saat ini, terlalu banyak ketentuan yang diatur, yaitu mencapai 786 pasal dan rentan terjadinya over-kriminalisasi.

Jika komisi 3 dan Kemenkumham berkata akan lakukan kodifikasi total, berkonsekuensi:

Harus atur ulang atau hapus pasal-pasal pidana di UU yang diluar KUHP

Pemetaan ulang tindak pidana administratif

Aturan pidana dalam perda

Hukum adat perlu dikaji ulang

Hukum-hukum internasional yang memuat pidana harus diatur ulang agar sesuai dengan/bisa dimasukkan dalam RKUHP.

Menurut aliansi KUHP, pembahasan yang efektif:

Pakai sistem klustering

Pakai sistem panel ahli untuk para pihak yang akan diundang sebagai justifikasi ilmu

Tidak terburu-buru, untuk menjaga kualitas KUHP baru nantinya yang akan dihasilkan. Misal, hingga akhir tahun 2016 minimal selesai “Buku 1”. Akhir tahun 2017 sudah bisa selesai “Buku 2”, dan seterusnya.

Saya sudah berkonsultasi dengan Pak Arsul sebelum rapat dimulai, saya minta jangan sampai double jeopardy, jangan sampai over-kriminalisasi.

Ada pasal-pasal KUHP yang terlalu jauh mengatur privasi, mengatur isu akidah atau norma, mengatur terlalu jauh moralitas. Banyak negara sudah tinggalkan hal-hal itu, karena banyak negara menganggap terlalu jauh atur moralitas dan semacamnya akan rentan timbulkan “kejahatan tanpa korban”.

Sekian dan terimakasih.

(15.29. sesi bertanya)

Arsul Sani (PPP)

Saya paresiatif segala penjelasan Pak Hikmahanto sudah sangat luas dan lugas.

Saya ingin bertanya terkait domestic violence yang dipaparkan Doktor Anggi Aulina. Menurut Doktor Anggi, hukuman 15 tahun itu cukup bikin jera dalam hal domestic violence? Bagaimana tanggapan Doktor Anggi terkait hukuman sosial.

Terimakasih banyak DIM usulan dari aliansi KUHP.

Banyak sekali negara yang masih pertahankan hukuman mati. Tapi saya hargai teman-teman aliansi KUHP yang tidak sepakat dengan hukuman mati. Saya khawatir jika kodifikasi total akan timbulkan terlalu sering amandemen. Lebih baik revisi aturan-aturan sektoral.

Taufiqulhadi (NASDEM):

Terkait pasal penghinaan Presiden/Wakil Presiden, bagaimana tanggapan Pak Hikmahanto atau Bu Anggi atau Pak Wahyudi? Thailand amat tegas jaga wibawa Raja dan PM. Apa kita perlu meniru Thailand dalam rancangan KUHP terkait pasal penghinaan Presiden/Wakil Presiden.

Saya secara pribadi mendukung hukuman mati untuk pengedar narkotika. Karena NAPZA ini makin bahaya. Menurut saya seperti itu. Bagaimana tanggapan bapak ibu pakar?

Dwi Ria Latifa (PDIP):

Saya pastikan komisi 3 bervisi amat jangka panjang terkait RKUHP. Kami juga tak ingin KUHP yang dihasilkan tiba-tiba di-MK-kan.

Saya sepakat hukuman pidana harus diperberat untuk menindak kejahatan human trafficking, narkoba, ilegal fishing masih amat kuat di perairan Indonesia. Dapil saya Kepulauan Riau. Jadi tentu kasus-kasus kejahatan transnasional dan atau kejahatan di laut lepas menjadi concern bagi saya. Mungkin maksudnya baik, tapi 2 warga Inggris yang meliput diam-diam kejahatan laut di Malaka hingga Kepri, bagi saya mengganggu. Kita perlu bikin aturan hukum yang lebih tegas untuk mengatur warga asing yang menurut saya makin bertindak seenaknya di tanah kita. Ada juga suatu area di Kepulauan Riau, suatu korporasi asing bisa dengan enteng menolak disidak oleh Kapolres setempat. Maka saya setuju hukuman atau segala perangkat hukum untuk mengatur warga asing makin diperketat.

Saya sependapat dengan Bu Anggi erkait hak-hak perempuan dalam domestic violence.

Secara jujur, saya pendukung hukuman mati. Termasuk dalam narkoba. Anda bisa bayangkan di Indonesai bisa-bisanya ada pabrik internasional untuk salurkan narkoba jejaring global. Tentu kita perlu amat keras dengan pengedar. Saya ikut kunker ke Inggris, berdialog dengan Amnesti. Saya utarakan mengapa Indonesia masih butuh hukuman mati, saya paparkan sedetil mungkin peliknya penjualan narkoba di Indonesia. Dan orang-orang Amnesti tak bisa berdebat dengan saya, diam mereka semuanya. Artinya mereka sebetulnya belum memahami betapa berat dan bahayanya peredaran narkoba saat ini. Saya tahu Amnesti menolak hukuman mati.

Terkait hukuman adat. Hukum Nagari di Sumatera Barat masih dinilai efektif ditengah masyarakat. Bagaimana mengaturnya menurt tim aliansi KUHP?

Di media sosial makin keras dan kasar dalam penghinaan kepada Presiden, juga kepada siapapun. Kebetulan saja Presiden saat ini separtai dengan saya. Kami PDIP bukan sedang ingin mendukung pasal penghinaan Presiden hanya karena Presidennya dari PDIP. Saya tahu Pak SBY dulu juga dilecehkan sedemikian rupa. Makanya kini saya pikir harus diatur.

John Kennedy Aziz (Golkar):

Kami bersembilan kunker ke Inggris ada tujuh pertemuan. Dengan Amnesti Internasiona, dengan London Library, dan tempat lain. Menegaskan Bu Dwi Ria, memang Amnesti beri masukan agar Indonesia hapus hukuman mati.

Bagaimana pun saya masih sepakat hukuman mati bagi kejahatan yang amat berat, kejahatan yang timbulkan korban jiwa amat banyak seperti kejahatan narkoba. Saya juga dukung pasal penghinaan Presiden karena bagaimanapun wibawa Presiden/Wakil Presiden harus dijaga.

Dossy Iskandar (Hanura):

Idealnya konsep menyusun RKUHP dipastikan dulu kesepahamannya oleh semua pihak di komisi 3 maupun Kemenkumham.

Bagaimana pakar bisa melakukan penilaian, suatu rentang hukuman kurungan bisa benar-benar efektif hadirkan jera? Hal ini karena selama ini akhirnya yang memutuskan hukuman kurungan adalah kejaksaan.

(16.30, sesi menjawab):

Wahyudi Djafar (ELSAM):

Indonesia sudah ratifikasi berbagai konvensi HAM, itu yang perlu diingat. Survei dan riset berbagai pihak, dari PBB dan berbagai pihak, sudah temukan bahwa hukuman seumur hidup jauh lebih efektif dibanding hukuman mati dalam hal penanganan narkotika. Institusi peradilan di Amerika juga lakukan riset bahwa pidana hukuman mati tak cukup meyakinkan dalam hadirkan efek jera. Maka wajar jika banyak pihak makin keras menentang hukuman mati.

Terpidana hukuman mati dan keluarganya mengalami setidaknya 10 hal amat negatif dan berat yang harus dialami mereka. Ini yang harus dipahami bapak ibu komisi 3 maupun juga nantinya Kemenkumham.

Semangat RKUHP adalah unifikasi dan kodifikasi. Maka kita DPR dan pemerintah sebisa mungkin cegah pasal-pasal yang timbulkan double jeopardy atau over-kriminalisasi. Rapikan UU yang ada diluar KUHP, agar cukup pidana-pidana KUHP saja yang dipakai.

Anggara (ICJR):

Sebagai permulaan, percakapan di internet itu sebetulnya pun hanya 7 persen. Ini sebagai pengantar awal terkait hate crime.

Beberapa negara punya kepala negara dan kepala pemerintahan yang berbeda. Itu berbeda dengan Indonesia dimana Presiden berfungsi ganda. Maka disini perlu dipikirkan tentang pasal penghinaan Presiden/Wakil Presiden di RKUHP.

ICJR menolak penghinaan masuk kedalam Hukum Pidana, tapi secara moderat kami bisa menerima jika hukumannya adalah hukuman denda. Masalahnya  R KUHP malah dilengkapi dengan ancaman hukuman penjara yang dilipatgandakan. Padahal secara statistik, hukuman yang dijatuhkan oleh Pengadilan untuk pidana penghinaan adalah hukuman percobaan dan kalaupun dihukum penjara rata – rata kisarannya adalah 3 – 4 bulan. Mestinya pemerintah memiliki statistik hukuman yang dijatuhkan untuk tiap – tiap kejahatan

Saat ini, sayangnya tak ada koneksi langsung antara peradilan negara dengan peradilan adat/pidana adat. Maka terkait pidana adat sebaiknya di KUHAP untuk mengatur hubungan peradilan negara dengan peradilan adat.

Dr.Anggi Aulina:

Yang menjadi masalah adalah implementasi denda pengawasan dan kerja sosial di Indonesia, jika memang diperlukan.

Perlu dirumuskan lebih detil tentang kerja sosial. Serta diseminasi ulang apakah kerja sosial bisa dipraktekkan secara nasional. Ini perlu riset.

Kisi-kisi dan visi-misi KUHP Buku 1 perlu dilengkapi asas victimologi. Hal ini untuk benar-benar menyesuaikan bobot victimologi. Keadilan atas hak korban harus lebih diperbaiki dalam RKUHP nantinya. Asas restorative justice harus lebih dibenahi dalam peradilan di Indonesia.

Prof. Hikmahanto Juwana:

Saya sendiri pihak yang merasa tak perlu ratifikasi Statuta Roma. Masih ada sensitivitas di TNI dan Polri dan atau siapapun di negara ini. Masih terlalu tipis batas antara “pahlawan atau pecundang”.

Interpretasi jahat dalam KUHP ahrus lebih clear. Bagaimana terkait hukuman badan (kurungan) 3 bulan.

Ada problem dimana di tiap RUU diluar KUHP seolah harus cantumkan pasal pidana. Ini yang perlu di-brief dari pihak-pihak pengusul RUU agar tak perlu lagi pidana. Cukup yang atur pidana itu di KUHP, atau saat ini menyebutnya Rancangan KUHP yang baru.

Kita perlu ketegasan bagi warga asing dalam screening. Juga misal, bagaimana dengan lebih keras menangkap atau mempidanakan gembng narkoba internasional yang selama ini beroperasi di perairan Indonesia. Ini belum dengan metode baru para gembong narkoba internasional yang sudah merambah pakai drone untuk antar narkoba antar negara.

Saya harap protokoler DPR yang mendampingi bapak ibu DPR ke luar negeri, agar diperbaiki. Untung Partai Demokrat (Amerika) tak permasalahkan hadirnya Pak Setya di acara Trump. Intinya, saya harap bapak ibu DPR saat luar negeri lebih hati-hati hadiri suatu acara.

Unduh Laporan Singkat Disini

Leave a Reply