RKUHP dan Profesi Advokat

Oleh: Johan Imanuel, S.H. – Advokat

Bahwa Hukum Pidana di Indonesia yang berlaku saat ini dinilai oleh para pembentuk undang-undang maupun masyarakat sudah tidak cukup memenuhi asas kepastian hukum (rechmatigheid), asas keadilan hukum (gerectigheit) dan asas kemanfaatan hukum (zwechmatigheid) dan kepastian hukum sehingga dirasa perlu dilakukan pembaruan Hukum Pidana dengan cmerumuskan RUU KUHP sebagai pengganti KUHP.

Hal ini juga tidak luput dari sorotan penulis sebagai Advokat. Advokat adalah Profesi Terhormat (Officium Nobile) sehingga tidak sembarangan dapat menjadi Advokat. Perlu diketahui bahwa sebelum seseorang diangkat menjadi Advokat, maka calon advokat wajib untuk memenuhi persyaratan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 Tentang Advokat / UU Advokat (Pasal 3) dan wajib mengucapkan Sumpah Advokat (Pasal 4) sehingga pertanggungjawaban moral seorang Advokat adalah bukan hanya pada klien yang dibelanya, melainkan juga terhadap Tuhan Yang Maha Esa serta kepada bangsa dan negara.

Adapun Pasal dalam Draft RUU KUHP yang berkaitan langsung dengan Profesi Advokat adalah Pasal 282 dan Pasal 515. Adapun bunyi kedua Pasal tersebut sebagai berikut :

Pasal 282 :

“Dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling banyak kategori V advokat yang dalam menjalankan pekerjaannya secara curang:

mengadakan kesepakatan dengan pihak lawan klien, padahal mengetahui atau sepatutnya menduga bahwa perbuatan tersebut dapat merugikan kepentingan pihak kliennya; atau

mempengaruhi panitera, panitera pengganti, juru sita, saksi, juru bahasa, penyidik, penuntut umum, atau hakim dalam perkara, dengan atau tanpa imbalan.”

 

Penjelasan Pasal 282 :

Ketentuan ini ditujukan kepada advokat yang secara curang merugikan kliennya atau meminta kliennya menyuap pihak-pihak yang terkait dengan proses peradilan.

 

Pasal 515 :

“Dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau pidana denda paling banyak kategori III:

advokat yang memasukkan atau meminta memasukkan dalam surat gugatan atau permohonan cerai atau permohonan pailit, keterangan tentang tempat tinggal atau kediaman tergugat atau debitur, padahal diketahui atau patut diduga bahwa keterangan tersebut bertentangan dengan keadaan yang sebenarnya; atau

suami atau istri yang mengajukan gugatan atau permohonan cerai yang memberikan keterangan yang bertentangan dengan keadaan yang sebenarnya kepada advokat sebagaimana dimaksud pada huruf a.

kreditur yang mengajukan permohonan pailit yang memberikan keterangan yang bertentangan dengan keadaan yang sebenarnya kepada advokat sebagaimana dimaksud pada huruf a.”

 

Sedangkan dalam Ketentuan Pasal 282 RUU KUHP tentang kriminalisasi advokat curang berpotensi menimbulkan stigma kepada Profesi Advokat, karena seolah menggambarkan bahwa Advokat yang sedang melaksanakan profesinya tidak diizinkan mempengaruhi panitera, panitera pengganti, juru sita, saksi, juru bahasa, penyidik, penuntut umum, atau hakim dalam perkara dengan cara melakukan argumentasi hukum pada persidangan. Padahal hal ini merupakan salah satu hak Advokat sebagai Penerima Kuasa baik dari Pemberi Bantuan Hukum ataupun Klien.

Dalam Pasal 282 RUU KUHP sama sekali tidak ada parameter pada frasa “…merugikan kepentingan pihak kliennya…” itu bagaimana? Karena dalam suatu mediasi tentunya akan memperoleh hasil dengan beberapa kategori sesuai kesepakatan. Bisa hasil mediasi yang diperoleh klien sesuai apa yang diinginkan, lebih besar dan/atau malah lebih kecil dari yang diinginkan. Nah, kalau ketentuan ini tetap dicantumkan maka, Pemberi Bantuan Hukum ataupun Klien kalau berubah pikiran menjadi tidak puas setelah memperoleh Mediasi nantinya malah dapat mengklaim ke Advokat melalui Pasal 282 untuk meminta pertanggung jawaban. Sehingga lebih tepat ketetntuan ini dihapuskan.

Kemudian dalam Pasal 515 RUU KUHP justru tentang kriminalisasi advokat jika memasukkan atau meminta memasukkan dalam surat gugatan atau permohonan cerai atau permohonan pailit, keterangan tentang tempat tinggal atau kediaman tergugat atau debitur, padahal diketahui atau patut diduga bahwa keterangan tersebut bertentangan dengan keadaan yang sebenarnya menjadikan seolah-olaj Advokat adalah satu-satunya pihak yang menginisasi suatu Gugatan/Permohonan ke Pengadilan. Padahal Advokat tidak dapat mengajukan Gugatan/Permohonan tanpa adanya Surat Kuasa dari Klien sehingga ketentuan ini justru malah mengidentikan Advokat dengan Kliennya. Hal ini bertentangan dengan Pasal 18 ayat 2 Undang Advokat yang menyebutkan Advokat tidak dapat diidentikan dengan kliennya.

Berdasarkan hal-hal yang diuraikan di atas, ketentuan yang dimuat dalam Pasal 282 dan Pasal 515 RUU KUHP berpotensi merugikan profesi advokat, oleh karena itu seyogyanya DPR RI maupun Pemerintah menghapus kedua Pasal tersebut dari RUU KUHP.

Leave a Reply