RKUHP: Meninggalkan Kolinialisme atau Kolonialisme Bentuk Baru
Oleh: Nella Sumika Putri
Seminggu terakhir kita di hadapi dalam gelombang protes dan kekecewaan terhadap pemerintah dan legislatif pada saat Negara mencerabut hak-hak warga dan harapan masyarakat melalui melalui pengesahan RUU KPK dan rencana pengesahan RKUHP dan RUU Pemasyarakatan (yang akhirnya ditunda). Tulisan ini mencoba untuk menelaah tentang sejauh mana RKUHP perlu di sahkan atau sebaiknya ditunda agar mendapatkan masukan yang lebih komprehensif.
Pembaruan hukum pidana, merupakan keniscayaan, masyarakat berubah, ilmu pengetahuan berkembang membutuhkan alat berupa undang-undang untuk mengaturnya. RKUHP merupakan salah satu bentuk pembaruan yang ditawarkan oleh Negara untuk mengatur kita selaku warga Negara.
Lahirnya aturan hukum tentu tidak selalu berjalan mulus, tentu banyak perdebatan yang mengiringnya. Sebagai bangsa yang berdaulat, tentu kita menginginkan aturan yang sesuai dengan nilai dan falsafah hidup masyarakat Indonesia. Sebagai suatu rancangan undang-undang, RKUHP telah melalui proses yang sangat panjang, sejak tahun 1968, dan saat ini ingin segera di sahkan sebagai undang-undang oleh DPR periode 2014-2019.
Selama proses penyusunan dan pembahasan RKUHP, telah banyak ketentuan pidana yang lahir dalam bentuk aturan-aturan di luar KUHP yang juga mengatur kehidupan masyarakat kita saat ini. Akan tetapi, banyak pertanyaan lahir mengapa baru pada saat RKUHP akan disahkan timbul gelombang besar yang berusahan menghentikan pengesahan RKUHP ini.
Pada dasarnya upaya untuk mempertanyakan pasal-pasal yang kontroversial dalam RKUHP telah lama dilakukan oleh berbagai kalangan khususnya akademisi maupun berbagai LSM yang fokus mengawal RKUHP. Berbagai kajian yang mempertanyakan antara lain tentang delik zina, pers, penodaan agama, santet telah disampaikan dalam berbagai pembahasan baik di kalangan kampus maupun langsung kepada pemerintah maupun DPR. Akan tetapi, sepertinya langkah-langkah yang dilakukan selama ini belum mampu menggoyahkan legislative untuk tetapi menggolkan RKUHP, berbagai alasan disampaikan, bahwa pasal-pasal tersebut dibutuhkan dalam kerangka ketertiban dan perlindungan nilai-nilai bangsa.
Sebagai warga Negara kemudian saya mempertanyakan, apakah benar ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam RKUHP benar-benar ditujukan untuk melindungi warga Negara atau malah mencerabut hak kita sebagai warga Negara. Salah satu pasal yang kontroversi adalah ketentuan Pasal 417 tentang perzinaan. Perbuatan yang dilarang dalam Pasal 417 adalah “Setiap Orang yang melakukan persetubuhan dengan orang yang bukan suami atau istrinya dipidana karena perzinaan dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau denda Kategori II.”
Pasal perzinaan pada dasarnya telah diatur dalam KUHP yang berlaku saat ini yaitu dalam pasal 284 KUHP. Lalu ada permasalahan apa dalam formulasi perzinaan yang baru sehingga menimbulkan banyak perdebatan. Pada RKUHP, terdapat perluasan pemaknaan zina itu sendiri, dimana sebelumnya terbatas pada hubungan di luar perkawinan dimana salah satu atau kedua pihak telah menikah, sedangkan dalam RKUHP kedua belah pihak tidak harus terikat tali perkawinan, sepanjang “bukan suami atau istrinya”. Artinya siapapun yang melakukan persetubuhan di luar ikatan perkawinan diancam dengan pidana.
Selanjutnya RKUHP menyatakan bahwa delik perzinaan adalah delik aduan, artinya baru dapat di proses bila ada aduan dari pihak yang dirugikan. Pembentuk undang-undang dalam hal menunjuk dengan jelas yang punya hak sebagai pengadu adalah istri, suami, orang tua atau anak.
Apabila sekilas kita membaca rumusan pasal tersebut, tidak ada suatu permasalahan yang berarti, terlebih zina dalam perspektif apapun baik agama, susila, maupun sosial merupakan suatu yang tercela. Akan tetapi apakah pidana merupakan langkah yang tepat untuk menjerat pelaku zina dalam formulasi rumusan undang-undang pidana yang baru?
Hukum pidana pada dasarnya tidak sebatas membaca rumusan, tetapi bagaimana rumusan tersebut dapat dibuktikan dalam proses peradilan. Terdapat dua hal yang menjadi perhatian penulis dalam rumusan perzinahan tersebut, pertama kata “persetubuhan” dan frasa “bukan suami atau istrinya”. Sebagai bagian dari rumusan delik, maka menjadi tugas dari penegak hukum untuk membuktikannya. Terkait persetubuhan akan sangat sulit untuk membuktikan hal ini, kecuali terdapat saksi atau tertangkap tangan atau bukti lain yang dapat menunjukkan persetubuhan tersebut terjadi.
Pada rumusan KUHP yang berlaku saat ini, delik perzinaan baru dapat diproses setelah ada perceraian atau pisah meja makan, sedangkan dalam RKUHP konsep ini hilang. Berdasarkan RKUHP, perzinaan tetap dapat diproses setelah penegak hukum mendapatkan pengaduan meskipun para pihak masih terikat tali perkawinan. Jika melihat konteks masyarakat Indonesia yang menjunjung tinggi nilai kekeluargaan, maka dengan perluasan rumusan ini ranah keluarga menjadi berkembang tidak lagi menjadi ranah pribadi melainkan masuk ke ranah publik, meskipun tetap dimungkinkan menarik pengaduan sampai dengan proses peradilan belum dimulai.
Masalah perzinaan adalah masalah yang berada di dalam kamar, di ruang pribadi yang seharusnya mungkin tidak perlu diketahui oleh umum. Dengan perluasan ini menjadi konsumsi masyarakat. Institusi keluarga yang seharusnya bersifat saling melindungi dan mengasihi menjadi hilang. Masuknya Negara ke ranah-ranah pribadi seperti dalam permasalahan perzinaan, merupakan salah satu bentuk penjajahan baru. Negara tidak lagi sebatas penjaga ketertiban masyarakat melainkan telah bertransformasi menjadi polisi moral.
Jika melihat hukum pidana sebagai obat terakhir (ultimum remedium), maka keberadaan rumusan ini menunjukkan bahwa Negara melihat warganya sebagai individu yang tidak bermoral, dan menganggap mekanisme penyelesaian lain tidak mampu mengatasi masalah perzinaan, termasuk ruang-ruang kekeluargaan dianggap telah hilang. Sehingga Negara menganggap ancaman pidana sebagai satu-satunya solusi.
Terlepas bahwa perbuatan perzinaan adalah perbuatan yang tercela, apakah pidana memang diperlukan untuk menyelesaikannya? Apakah kita yakin dengan mempidana pelaku perzinaan, akan tercapai tertib masyarakat atau malah menimbulkan masalah baru seperti kesewenang-wenangan dan main hakim sendiri atau malah menghancurkan keluarga sebagai sebuah institusi.