RKUHP Perlu Dikaji Ulang untuk Mendukung Keadilan Restoratif

Dalam Naskah Akademik RKUHP dinyatakan bahwa salah satu tujuan pembaruan hukum pidana adalah untuk menghadirkan individulisasi pemidanaan yang mendukung tujuan pemidanaan prevensi general, pemasyarakatan, penyelesaian konflik atau pembebasan rasa bersalah terpidana, dan bahkan adanya kecenderungan pengaturan tentang keadilan restoratif dan alternatif terhadap pidana penjara (Naskah Akademik RKUHP, 2015, hal. 265) Sehingga dapat dikatakan bahwa semangat penyusunan RKUHP ditujukan untuk mendukung diterapkannya pendekatan keadilan restoratif dalam penyelesaian tindak pidana.

Untuk mengkaji apakah pembahasan dan perumusan RKUHP telah mencapai tujuan tersebut, Aliansi Nasional Reformasi RKUHP pada 2-3 Mei 2018 lalu menyelenggarakan Konsultasi Nasional Pembaruan Hukum Pidana di Indonesia. Salah satu diskusi yang dihadirkan dalam Konsultasi Nasional tersebut adalah mengenai Penguatan Alternatif Pemidanaan untuk Mencapai Keadilan Restoratif. Secara berimbang diskusi tersebut diisi oleh berbagai elemen pemangku kepentingan dalam pelaksanaan Hukum Pidana Indonesia, yaitu Mardzoeki yang merupakan Plt Dirjen PAS Kementerian Hukum dan HAM, Arsul Sani dari Panja RKUHP yang secara aktif membahas rumusan RKUHP, Nella Sumika Putri Akademisi FH Unpad, dan Sri Wiyanti Eddyono yang merupakan Akademisi FH UGM serta Subhan Panjaitan perwakilan Rumah Cemara, organisasi masyarakat sipil yang secara aktif mengevaluasi dan mengadvokasi pendekatan keadilan restoratif bagi pengguna dan pecandu narkotika.

Penyusunan RKUHP yang sebelumnya dimaksudkan untuk mendukung keadilan restoratif justru tidak tergambar dalam rumusan tindak pidana dalam RKUHP, Menurut Nella Sumika Putri, Buku II RKUHP malah meningkatkan sanksi pidana dan jenis tindakan yang bisa dipidana. Menurutnya, hal ini bisa dilihat dari semakin banyaknya perbuatan yang dikriminalisasi melalui RKUHP, seolah-olah setiap permasalahan di masyarakat harus diselesaikan dengan hukum pidana. Padahal menurut Romli Atmasasmita (dalam Asas Perkembangan Hukum Pidana), pidana bukan merupakan satu-satunya ukuran keberhasilan (output) melainkan harus diuji sejauh mana ancaman pidana berdampak konstruktif dan positif baik bagi pelaku maupun korban dan masyarakat secara keseluruhan. Perumusan kriminalisasi setiap perbuatan lengkap dengan ancaman pidana yang melekat pada ketentuan tersebut harus diuji manfaatnya secara seksama dan berdasarkan analisis yang berbasis bukti. Berdasarkan monitoring Aliansi Nasional Reformasi KUHP, upaya pengujian tersebut, misalnya lewat analisis dasar pencantuman ancaman pidana untuk setiap perbuatan tidak pernah dihasilkan dan dipublikasikan oleh Pemerintah dan DPR sejak awal pembahasan RKUHP pada 2015.

Jika benar RKUHP mendukung keadilan restoratif, maka rumusan RKUHP seharusnya mengedepankan peran korban dalam penyelesaian tindak pidana. Namun sayangnya, semangat tersebut tidak nampak dalam rumusan RKUHP, hadirnya pasal-pasal kriminalisasi perbuatan yang akan menyasar kelompok rentan seperti kriminalisasi zina, pelarangan promosi alat kontrasepsi, kriminalisasi perempuan yang melakukan aborsi dan diakomidirnya kewenangan Peraturan Daerah untuk mendefinisikan tindak pidana berdasarkan hukum yang hidup dalam masyarakat secara jelas akan menyasar korban, yang seharusnya dilindungi oleh negara. Hal ini yang juga dikritik keras oleh Sri Wiyanti Eddyono, yang menyatakan bahwa RKUHP belum mencerminkan keadilan restoratif., RKUHP disusun dengan tidak melibatkan korban, bahkan dalam beberapa pasal justru merugikan korban serta berpotensi viktimogen, viktimisasi, dan reviktimisasi. Korban tidak ditempatkan sebagai pihak yang seimbang dan partisipasi korban hanya dijadikan sebagai alat bukti tanpa memposisikan korban sebagai subject dalam penyelesaian tindak pidana.

Pihak perumus RKUHP bersikeras bahwa keadilan restoratif telah diakomodir dalam RKUHP lewat dirumuskannya alternatif pemidanaan, sebagai upaya penanganan masalah overcrowding Rutan dan Lapas yang saat ini sudah mencapai kondisi extreme. Rutan dan Lapas di Indonesia mengalami kelebihan beban mencapai 197% per Mei 2018. Mardjoeki menyatakan bahwa saat ini ada 246.000 jumlah penghuni Rutan dan Lapas dengan rata-rata penambahan 2.000 orang perbulan. Penambahan fasilitas dan peningkatan kapasitas penjara tidak akan mampu memenuhi kebutuhan tersebut. Saat ini dibutuhkan Rp1,2Triliun untuk biaya makan penghuni lapas dalam setahun dan belum termasuk kebutuhan yang lain. Biaya keseluruhan pemasyarakatan mencapai Rp3,9Triliun itu berarti 39% anggaran Kementerian Hukum dan HAM dialokasikan untuk penanganan overcrowding di Pemasyarakatan.

Seharusnya rumusan alternatif pidana dalam RKUHP harus menjawab permasalahan ini. RKUHP memperkenalkan 3 bentuk alternatif pemidanaan, yakni pidana kerja sosial, pidana denda, dan pidana pengawasan. Nella Sumika memaparkan bahwa pidana kerja sosial adalah bentuk pemidanaan yang paling baru yang dicoba diperkenalkan oleh RKUHP dengan syarat umum yang lebih khusus dibandingkan pidana pengawasan yaitu untuk tindak pidana yang diancam dengan maksimal 5 tahun penjara disertai penjatuhan pidana oleh hakim maksimal 6 bulan penjara.

Perumusan RKUHP yang mensyaratkan altenatif pemidanaan hanya berdasarkan ancaman pidana dan putusan hakim nampaknya tidak sejalan dengan apa yang dirumuskan dalam Naskah Akademik RKUHP. Bahwa alternatif pemidanaan diputuskan berdasarkan pendekatan individualisasi pidana yang memeriksa motif dan tujuan pelaku melakukan tindak pidana yang dipertemukan dengan kebutuhan korban tindak pidana, bukan semata-mata pembatasannya didasarkan pada pengaturan ancaman pidana.

Hal ini dapat dilihat dari konsep pidana bersyarat yang dihadirkan dalam Pasal 14a- 14f KUHP sekarang, bahwa alternatif pemidanaan atau pelaksanaan hukuman penjara dapat ditunda apabila hakim berkeyakinan berdasarkan penilaiannya, pelaku tidak mengulangi perbuatannya. Bahkan dalam ketentuan ini, hakim juga dapat memerintahkan pelaku untuk membayar ganti kerugian yang dialami oleh korban tindak pidana. Alternatif pemidanaan sesuai dengan konsep pidana bersyarat dalam Pasal 14a-14f KUHP ini tidak hanya dibatasi pada pidana kerja sosial dan pidana pengawasan, namun bentuk alternatif pemidanaan tersebut terbuka lebar, dengan memberi wewenang kepada hakim untuk bekerjasama dengan badan hukum tertentu untuk menentukan syarat khusus pada pelaku. Dalam tokyo rules sendiri pun sudah dinyatakan bahwa alternatif pemenjaraan tidak hanya kerja sosial, denda dan pengawasan, sedikitnya terdapat 11 bentuk alternatif pemenjaraan. Harusnya, RKUHP mengevaluasi terlebih dahulu pendekatan pidana bersyarat dalam RKUHP dan melakukan kajian terhadap bentuk lain dari alternatif pemenjaraan sebelum akhirnya mengganti konsep alternatif pemidanaan dalam RKUHP.

Nella Sumika menyoroti permasalahan lainnya yang terlihat dari konsekuensi apabila pidana kerja sosial tidak dapat dijalankan dengan baik, terpidana tetap akan berujung pada penjara, hal ini juga untuk pidana denda. Hukuman pengganti denda berujung pidana penjara. Hal ini menunjukkan bahwa penjatuhan pidana denda dan pidana kerja sosial hanya sebatas menunda pelaksanaan pidana penjara bukan dimaksudkan untuk mencapai keadilan restoraif yang menggali kebutuhan masing-masing pihak dalam penyelesaian sengketa.

Meskipun RKUHP telah memperkenalkan pidana kerja sosial, pidana denda, dan pidana pengawasan, namun belum ada kajian mengenai tingkat keberhasilan 3 (tiga) model pidana ini. Evaluasi praktik alternatif pemidanaan yang sekarang ada perlu dilakukan terlebih dahulu. Mengingat keberhasilan penggunaan pidana bersyarat dan rehabilitasi bagi pecandu narkotika juga menjadi tantangan besar tersendiri dan belum dapat diterapkan secara efektif. Hal ini sesuai dengan yang disampaikan oleh Subhan Panjaitan, bahwa tempat rehabilitasi pengguna dan pecandu masih sangat terbatas, rata-rata hanya ada satu per provinsi/kota. Keterbatasan ini juga ditimbulkan dari keterbatasan anggaran yang membuat tempat rehabilitasi tidak dapat menampung/menerima seseorang yang akan direhabilitasi. Pendekatan hukum pidana dalam penanganan kasus narkotika untuk penggunaan personal justru menghambat penyembuhan pecandu, menjebloskan pencandu ke penjara, disaat rehabiltasi mutlak dibutuhkan. Misalnya untuk tindak pidana narkotika, hukum pidana mengkriminalisasi semua bentuk penguasaan narkotika dengan penjara minimal 4 tahun, yang menyebabkan 25.254 pengguna narkotika masuk penjara dan memberikan beban biaya kepada Lapas dan Rutan. Lagi-lagi, hal ini dikarenakan tidak adanya analisis mendalam tentang kebutuhan mengkriminalisasi suatu perbuatan.

Karena itu, Aliansi Nasional Reformasi KUHP meminta Pemerintah dan DPR:

1. Tidak terburu-buru mengesahkan RKUHP untuk memastikan RKUHP telah disusun dan dibahas berdasarkan analisis yang berbasis bukti

2. Mengkaji ulang rumusan RKUHP dengan secara seksama menguji biaya dan keuntungan kriminalisasi suatu perbuatan, utamanya untuk kejahatan tanpa korban seperti tindak pidana narkotika dengan mengedepankan pendekatan restoratif atau pemulihan bagi pelaku, korban dan masyarakat

3. Merumuskan ancaman pidana dalam RKUHP berdasarkan analisis dan evaluasi yang jelas, dengan terlebih dahulu mengevaluasi putusan pidana yang selama ini dijatuhkan hakim.

Leave a Reply