RUU KUHP Anut Kodifikasi Terbuka

Mantan Menteri Kehakiman Muladi mengatakan, Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana menganut sistem kodifikasi terbuka. Artinya, Rancangan KUHP memuat delik pidana umum dan pidana khusus, tetapi tidak menghapus UU yang bersifat khusus atau lex-specialis.

Rancangan .KUHP hanya mengatur hal-hal pokok, sedangkan aturan yang lebih rinci dituangkan dalam UU Khusus, seperti UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, UU Pencucian Uang. dan UU Terorisme.

Dengan demikian, tidak akan ada satu pun lembaga penegak hukum yang kehilangan kewenangannya.

“Di sini tidak ada yang ingin menghapus kekhususan tindak pidana luar biasa seperti korupsi, terorisme, dan lainnya,” kata Muladi yang juga tim perumus Rancangan KUHP dalam rapat dengar pendapat umum dengan Komisi III DPR, Selasa (29/9).

Masuknya sejumlah delik pidana khusus dalam Rancangan KUHP memang sempat mendapatkan sorotan. Sebagian kalangan khawatir masuknya delik korupsi dalam Rancangan KUHP akan membuat sifat luar biasa kejahatan korupsi menjadi hilang. Selain itu, hal tersebut juga akan membuat sejumlah kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi menjadi hilang.

Selain mendengarkan paparan Muladi, Komisi HI DPR juga mengundang staf pengajar kriminologi Universitas Indone-sia, Ferdinand Andi Lolo.

Salah satu persoalan yang disoroti oleh Ferdinand adalah pengaturan delik korupsi dalam Rancangan KUHP. Modus operandi kejahatan luar biasa, termasuk korupsi, terus berkembang. Dengan demikian, jika kejahatan luar biasa dimasukkan dalam kategori kejahatan umum, dikhawatirkan peraturan yang dibuat tidak bisa mengikuti modus operandi yang terus berkembang.

Namun, menurut Muladi. Rancangan KUHP juga disiapkan agar bisa mengantisipasi adanya perubahan hukum dan perkembangan tindak pidana. Jika ada perkembangan yang luar biasa, lanjut Muladi, penanganan pidananya dapat dilakukan tanpa harus terikat dengan ketentuandalam KUHP.

Ferdinand juga mencatat rendahnya ancaman pidana untuk pelaku korupsi. Ancaman pidana yang diterapkan sama sekali tak menggambarkan korupsi sebagai kejahatan yang luar biasa

Ia mencontohkan ketentuan dalam Pasal 689-691 Rancangan KUHP. Pasal-pasal itu mengatur pejabat publik yang menerima suap dan menyalahgunakan wewenang serta pengaruh yang dimiliki diberi hukuman pidana satu tahun hingga maksimal sembilan tahun penjara.

“Karena hukumannya ringan, pejabat-pejabat itu akan berpikir untuk melakukan grand corruption, korupsi besar, karena korupsi kecil dan besar hukumannya juga sama dan ringan,” tuturnya.

Ringannya ancaman pidana itu berpotensi mencederai rasa keadilan masyarakat. Hukuman yang diterima para koruptor menjadi tidak sebanding dengan dampak yang ditimbulkan oleh korupsi.

Saat ini Komisi III DPR fokus pada pembah;isan Rancangan KUHP. Fraksi-fraksi di Komisi III DPR masih terus menyusun daftar inventarisasi masalah.

Selain meminta masukan dari sejumlah pakar, Komisi III juga meminta masukan dari masyarakat sipil dan pihak-pihak yang berkepentingan lainnya. Misalnya, Kejaksaan Agung dan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia.

(Harian Kompas)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *