#SemuaBisaKena itu Punya Dasar Jelas, Makanya #TundaUntukSemua !
Buat yang nanya, apa bener RKUHP bakal jadi #SemuaBisaKena, ini dia fakta-fakta yang pernah terjadi, bagaimana pasal karet yang tidak menjamin hak korban dan kelompok rentan, bisa mempidana kita semua! Serem! Dan RKUHP bisa begitu!
1. Korban perkosaan → bakal dipenjara 4 tahun kalau mau gugurin janin hasil perkosaan (Pasal 470 (1) draft 15 September 2019, Pasal 469 (1) draft 18 September 2019)
Yes, pengecualian pemidanaan buat korban perkosaan yang melakukan aborsi ada di UU No. 36 tahun 2009 tentang Kesehatan, yap! Itu benar, tapi toh, selama ini masih ada korban perkosaan justru dikriminalisasi, misalnya WA (15 tahun) di Muara Bulian, Jambi 2018 lalu diputus bersalah di tingkat PN dengan pidana penjara 1 tahun karena melakukan aborsi, lalu BL (16 tahun) di Jakarta 2017 lalu bahkan dituntut 8 tahun penjara dengan tuduhan melakukan aborsi. Padahal mereka berdua adalah korban perkosaan yang harus melahirkan secara tidak aman karena takut akan kehamilannya. Di RKUHP, pengecualian untuk dokter yang melakukan aborsi atas dasar indikasi medis dan untuk korban perkosaan itu dimuat di Pasal 472 ayat (3), tapi pengecualian untuk perempuan di Pasal 470 ayat (1) justru tidak dimuat, RKUHP masih memberikan potensi perempuan korban perkosaan yang melakukan aborsi akan dipidana. Katanya mau kodifikasi? Kok pengaturan dokter dikodifikasi, korbannya engga?
2. Perempuan yang kerja dan harus pulang malam, terlunta-lunta di jalanan (bisa dituduh gelandangan) (Pasal 432 draft 15 September 2019, Pasal 431 draft 18 September 2019) → kena denda Rp 1 juta
Temen-temen bisa lihat penerapan Pasal 505 ayat (1) KUHP di direktori putusan Mahkamah Agung di putusan.go.id “Penggelandangan” sangat karet diterapkan! Termasuk untuk perempuan pekerja, contoh kasusnya dengan Putusan Nomor 422/Pid.C/2018/PN Tlg, perempuan 38 tahun pekerja swasta harus dipidana dengan pidana dengan pidana percobaan kurangan 15 hari, setelah ia “diamankan” polisi pada 28 April 2018 sekitar pukul 22.30 WIB (yes, malam hari) karena dituduh “melakukan pergelandangan”. Belum lagi temuanya Komnas Perempuan (2010) dalam Laporan Pemantauan Kondisi Pemenuhan Hak-Hak Konstitusional Perempuan di 16 Kabupaten/Kota pada 7 Provinsi, ada 20 kasus perempuan salah tangkap, dalam 4 kasus perempuan “ditangkap” dan dicurigai karena pada malam hari masih berada di ruang publik yang dianggap memungkinkan terjadi transaksi prostitusi. Bukan tidak mungkin nantinya bisa diproses dengan pasal karet “penggelandangan”
3. Perempuan cari room-mate beda jenis kelamin untuk menghemat biaya (Pasal 419 draft 15 September 2019, Pasal 418 draft 18 September 2019) → bisa dilaporin Pak Kepala Desa biar dipenjara 6 bulan
Dengan pasal ini, Kepala Desa bisa saja “memaksa” orang tua ataupun anak perempuan yang mencari room-mate beda jenis kelamin tersebut, secara gitu, Kepala Desa kan juga masuk aparat di tingkat desa. Hanya orang-orang berdaya yang mampu menolak untuk memberikan persetujuan, kalau udah digrebek kepala desa, ada orang-orang lain, seperti yang juga pernah terjadi di Cikupa 2017 lalu, perempuan korban bisa apa, pasti trauma dan malu, padahal cuma mau hemat.
4. Pengamen ganggu ketertiban umum (Pasal 432 draft 15 September 2019, Pasal 431 draft 18 September 2019)→ kena denda Rp 1 juta
Lagi-lagi, temen-temen bisa lihat penerapan Pasal 505 ayat (1) KUHP di direktori putusan Mahkamah Agung di putusan.go.id “Penggelandangan” sangat karet diterapkan! Ada banyak kasus dimana pengamen langsung divonis bersalah dengan Pasal 505 KUHP tentang penggelandangan ini loh salah satunya putusan 71/Pid/C/2008/PN. Kbm di Muaro, Sumatera Selatan. Harusnya kan pasal ini dievaluasi, ya? Apa iya kita mau hukum pengamen? Padahal banyak dari pengamen suaranya bagus, bisa ikut audisi pencarian bakat, kan!
5. Tukang parkir bisa dituduh gelandangan (Pasal 432 draft 15 September 2019, Pasal 431 draft 18 September 2019)→ kena denda Rp 1 juta
Tukang parkir juga ada yang kena pasal karet penggelandangan yang sayangnya tidak dievaluasi di RKUHP ini. Putusan Nomor 19/Pid.Tpr/2012/PN Pkl di Pekalongan menghukum seorang tukang parkir dengan pidana percobaan, padahal kan dia lagi cari nafkah, serem kan kalau hal ini akan terus berlanjut dengan RKUHP, kali ini dengan denda.
6. Gelandangan (Pasal 432 draft 15 September 2019, Pasal 431 draft 18 September 2019)→ kena denda Rp 1 juta
Penerapan Pasal 505 ayat (1) KUHP di direktori putusan Mahkamah Agung di putusan.go.id “Penggelandangan” sangat karet diterapkan, mulai dari orang yang ada di jalan begitu aja, tidak punya identitas, orang tidak punya tempat tinggal, dan lain sebagainya bisa dikenakan pasal karet ini. Dalam putusannya pun ngga dimuat apa yang dimaksud “penggelandangan” itu.
7. Disabilitas mental yang ditelantarkan terus harus menggelandang di jalan (Pasal 432 draft 15 September 2019, Pasal 431 draft 18 September 2019) → kena denda Rp 1 juta
Penjelasan RKUHP tidak memuat secara jelas apa batasan “penggelandangan” itu, dalam penerapannya pun, “penggelandangan” didefinisikan se-macem-macem itu, bahkan nih ya, Putusan Nomor 21/Pid.C/2018/PN Tlg di Tulungagung bahkan memutus penggelandangan dengan perbuatan “mabuk di depan umum”, bukan tidak mungkin temen-temen disabilitas mental justru juga bisa “diamankan” petugas dengan tuduhan menggelandang, kan? Apalagi pun, banyak tindakan represif misalnya Razia teman-teman disabiliitas mental yang justru dilakukan oleh polisi.
8. Jurnalis atau netizen → bakal dipenjara 3,5 tahun kalau mengkritik presiden (Pasal 218 draft 15 September 2019 dan draft 18 September 2019)
Yess, kemarin aja kita heboh pas cover salah satu majalah memuat gambar Presiden kita yang disandingkan dengan bayangan tokoh “pinokio” bahkan udah ada kann orang-orang yang bilang itu penghinaan, hmmm. Coba kita bayangkan suatu hari nanti Presiden kita “baper” kemudian laporkan teman-teman pers yang melakukan hal tersebut, serem banget! Ekspresi sah justru dipidana!
9. Orang tua ga boleh tunjukkin alat kontrasepsi ke anaknya karena bukan “petugas berwenang” dan akan didenda Rp. 1 juta (Pasal 414,416 draft 15 September 2019 dan draft 18 September 2019)
Bunyi Pasal 416 itu: Perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 414—larangan menunjukkan kontrasepsi ke anak, tidak dipidana jika dilakukan oleh petugas yang berwenang. Unsur “petugas yang berwenang” itu yang bermasalah, masa orang tua ajarin anaknya harus punya “Surat Tugas” dulu?
10. Anak yang diadukan berzina oleh orang tuanya (Pasal 417 draft 15 September 2019 dan draft 18 September 2019)→ dipenjara 1 tahun
Yes, orang tua bisa melaporkan secara pidana anaknya apabila melakukan zina! Bisa dihukum pidana! Pernikahan seolah sebagai satu-satu nya jalan untuk menghindar dari pemidanaan, ini bisa berdampak buruk loh pada upaya mencegah pekawinan anak, riset Koalisi 18+ pada 2016 menemukan 89% permohonan dispensasi kawin anak dilakukan atas dasar kekhawatiran orang tua, karena tuduhan anaknya sudah “pacaran”, whoaaa, dengan pasal ini orang tua bisa aja maksa anaknya untuk dikawinkan, kalau ngga bisa dilaporkan ke polisi.
11. Ada lagi yang lucu, konflik keluarga bisa muncul lewat Pasal 417 draft 15 September 2019 dan draft 18 September 2019
Jadiii, menurut pasal ini yang bisa mengadukan perzinaan adalah suami, istri, orang tua, dan anak, tidak dijelaskan dalam RKUHP pada kondisi apa pelapor dapat melaporkan perzinaan. Kekacauan keluarga dapat terjadi, orang tua umur 70 tahun dapat melaporkan anaknya yang sudah berumum 40 tahun karena berzina, padahal bisa aja anaknya sudah punya istri/suami dan tidak mau melaporkan tuduhan zina, terus gimana dong hubungan suami-istri nya? Bisa pecah konflik keluarga!
12. Kita bisa dipidana karena unggas jalan-jalan (Pasal 278 draft 15 September 2019 dan draft 18 September 2019)
Buat temen-temen yang pelihara ayam dan uggas lainnya, siap-siap harus awasin unggasnya 24 jam, karena Setiap Orang yang membiarkan unggas yang diternaknya berjalan di kebun atau tanah yang telah ditaburi benih atau tanaman milik orang lain bisa dedenda Rp 10 juta!
13. Unjuk rasa lupa minta izin, tadinya bisa hanya dibubarkan, sekarang malah dipidana lewat Pasal 273 draft 15 September 2019 dan draft 18 September 2019
Pasal 10 UU No. 9 tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum menjelaskan bahwa “Penyampaian pendapat di muka umum wajib diberitahukan secara tertulis kepada Polri” di Pasal 15 dijelaskan bahwa penyampaian pendapat tersebut dapat dibubarkan apabila tidak memenuhi syarat, salah satunya tidak ada pemberitahuan. Hanya dibubarkan. Di RKUHP kok malah jadi serem bisa dipidana 1 tahun atau denda Rp 10 juta, ada unsur karet “mengakibatkan terganggunya kepentingan umum, menimbulkan keonaran, atau huru-hara” juga!
Petisi #SemuaBisaKena harus didukung!