Tindak Pidana Contempt of Court dalam R KUHP 2015
Oleh: Wahyu Wagiman
1. Pengantar
Dalam R KUHP ketentuan mengenai contempt of court ini terdapat dalam Bab VI di bawah titel Tindak Pidana terhadap Proses Peradilan. Dari ketentuan yang terdapat dalam Bab tindak pidana terhadap proses peradilan tersebut diketahui pengaturan secara khusus mengenai contempt of court secara jelas dipengaruhi oleh pengaturan mengenai contempt of court di negara-negara yang menganut sistem common law. Dalam uraian mengenai tindak pidananya, R KUHP menggabungkan Pasal-Pasal yang dikualifikasikan sebagai “Tindak Pidana terhadap Proses Peradilan” menjadi satu bab khusus, dimana sebelumnya Pasal-Pasal tersebut tersebar dalam beberapa bab, selain itu terdapat pula ketentuan-ketentuan baru yang diadopsi dari beberapa negara lain[1].
Adapun beberapa rumusan baru yang dikualifikasikan sebagai tindak pidana terhadap proses peradilan (contempt of court) yang dimasukkan ke dalam R KUHP, antara lain:
- advokat yang dalam menjalankan pekerjaannya secara curang, mengadakan kesepakatan dengan pihak lawan dari pihak yang dibantunya, sedang patut diketahuinya bahwa perbuatan itu dapat merugikan kepentingan yang dibantunya.
- advokat yang dalam menjalankan pekerjaannya secara curang meminta imbalan kepada klien untuk mempengaruhi saksi, juru bahasa, penyidik, penuntut umum, atau hakim dalam perkara yang bersangkutan.
- Seseorang yang secara melawan hukum menampilkan diri untuk orang lain sebagai peserta atau pembantu tindak pidana, sehingga oleh karena itu dijatuhi pidana dan menjalani pidana itu untuk orang lain
- Seseorang yang secara melawan hukum menghina integritas hakim dalam menjalankan tugas peradilan atau menyerang integritas atau sifat tidak memihak hakim dalam sidang pengadilan.
- Seseorang yang secara melawan hukum mempublikasikan atau membolehkan untuk dipublikasikan segala sesuatu yang menimbulkan akibat yang dapat mempengaruhi sifat tidak memihak hakim dalam sidang pengadilan.
- Setiap orang yang menjadi saksi atau orang lain yang berkaitan dengan tindak pidana terorisme, korupsi, pencucian uang, hak asasi manusia yang berat, atau tindak pidana perdagangan orang, yang menyebutkan nama atau alamat pelapor atau hal lain yang memberikan kemungkinan dapat diketahuinya identitas pelapor dalam penyidikan dan pemeriksaan di sidang pengadilan.
Sedangkan ketentuan lainnya merupakan ketentuan-ketentuan dari Pasal-Pasal yang sudah ada dalam KUHP yang saat ini berlaku, seperti ketentuan Pasal 210, Pasal 216 , Pasal 217, Pasal 221, Pasal 222, Pasal 223, Pasal 224 , Pasal 225 , Pasal 231, Pasal 232, Pasal 233, Pasal 317, Pasal 417 dan Pasal 522[2].
2. Latar Belakang Pengaturan contempt of court
Latar belakang usulan mengenai perlunya pengaturan mengenai tindak pidana terhadap peradilan (contempt of court) di Indonesia dapat dilihat dari diundangkannya UU No. 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung, terutama Penjelasan Umum butir 4 yang menyatakan bahwa “untuk dapat lebih menjamin terciptanya suasana yang sebaik-baiknya bagi penyelenggaraan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila, maka perlu dibuat suatu undang-undang yang mengatur penindakan terhadap perbuatan, tingkah laku, sikap dan atau ucapan yang dapat merendahkan dan merongrong kewibawaan, martabat dan kehormatan badan peradilan yang dikenal sebagai contempt of court”.
Dari uraian di atas dapat diketahui bahwa saat pada saat diundangkannya UU No. 14 tahun 1985 terdapat situasi yang kurang kondusif dalam praktek peradilan di Indonesia yang menuntut perlunya ketentuan khusus mengenai tindak pidana terhadap proses peradilan. Situasi ini ditanggapi oleh para hakim, dengan mengajukan ide ataupun usulan mengenai perlunya dibentuk suatu undang-undang atau aturan khusus yang dapat memberikan perlindungan terhadap para hakim dalam menjalankan tugasnya[3].
Sebagian kalangan mendukung usulan para hakim ini dengan alasan bahwa dalam menjalankan tugasnya para hakim ini perlu mendapat perlindungan yang layak sehingga dapat menghasilkan kualitas yang baik[4]. Sedangkan yang lain menyatakan bahwa ketentuan mengenai contempt of court ini sudah ada dalam peraturan perundangan-undangan Indonesia, walaupun tidak disebut sebagai contempt of court[5].
Pendapat lain lagi menyatakan bahwa keinginan mengenai perlunya ketentuan khusus mengenai tindak pidana terhadap peradilan (contempt of court) ini dilatarbelakangi oleh adanya kepentingan untuk melindungi hakim semata sebagai salah satu pihak yang paling berperan dalam proses peradilan.[6] Kalangan ini berpendapat bahwa keinginan mengenai perlunya ketentuan khusus mengenai tindak pidana terhadap peradilan ini merupakan reaksi atas kritik yang mengemuka terhadap peradilan dan pejabat peradilan, dimana kritikan ini ditanggapi oleh pejabat peradilan dengan “kemarahan”. Padahal, kritikan dari kalangan ini didasari oleh buruknya sistem peradilan dan pejabat peradilan di Indonesia, dimana menurut kalangan ini sampai saat inipun tidak ada perbaikan yang mendasar yang dilakukan untuk memperbaiki bobroknya peradilan dan pejabat peradilan ini[7].
Melihat dua pandangan di atas, dapat dikatakan bahwa adanya desakan mengenai perlunya ketentuan khusus mengenai tindak pidana terhadap peradilan ini tidak didasari oleh kepentingan yang mendesak untuk melindungi atau mengembalikan kewibawaan, martabat dan kehormatan badan peradilan yang dinilai sudah sangat bobrok. Namun, lebih merupakan reaksi atas berbagai kritik terhadap peradilan dan pejabat peradilan. Karena itu latar belakang mengenai perlunya ketentuan khusus mengenai tindak pidana terhadap proses peradilan lebih merupakan kriminalisasi terhadap kritik yang ditujukan terhadap pejabat peradilan, khususnya hakim.
3. Pengaturan Tindak Pidana terhadap Proses Peradilan (Contempt of Court) dan Sistem Peradilan Indonesia
Mengenai pertanyaan kedua yang tercantum dalam bagian permasalahan, yaitu apakah dengan adanya ketentuan khusus mengenai tindak pidana terhadap peradilan ini telah sesuai dengan sistem peradilan yang dianut di Indonesia atau tidak. Pertanyaan tersebut dapat terjawab apabila diketahui mengenai sistem peradilan yang dianut di Indonesia. Apabila pertanyaan tersebut telah terjawab, maka dapat diketahui apakah perlu untuk adanya ketentuan yang mengatur mengenai tindak pidana terhadap peradilan atau tidak. Oleh karena itu, dalam uraian ini akan dipaparkan sekilas mengenai sistem peradilan yang dikenal di seluruh dunia : Adversary Model dan Non Adversary Model[8].
Adversary Model mengandung pengertian bahwa modus untuk menemukan kebenaran adalah melalui “benturan” argumentasi dari pihak-pihak yang berperkara di pengadilan dengan bukti-bukti pendukung yang diajukan para pihak tersebut. Dari kata “adversary” itu berarti pihak-pihak tidak dalam satu persekutuan (ally) tapi dalam posisi yang berlawanan (opponent). Hazel B. Kerper secara lengkap mendeskripsikan adversary model dengan menyatakan, “system which arrives at a decision by : (1) having each side to a dispute present its best case and, (2) then permitting a neutral decision maker to determine the facts and apply the law in light of the opposing presentation of two sides.
Dari gambaran di atas dapat diketahui bahwa penyelesaian satu perkara sampai pada putusan adalah setelah melalui proses. Jadi tekanannya adalah pada proses bukan pada hasil atau putusan, dimana dalam proses ini kedua belah pihak yang berperkara mempresentasikan semaksimal mungkin “best case-nya”. Artinya pihak-pihak mengajukan bukti-bukti dan argumentasi hukum tanpa ada pembatasan. Selanjutnya, para pihak tersebut menyerahkan pada “a neutral” untuk memeriksa fakta-fakta dan hukumnya dari semua yang disampaikan oleh pihak-pihak dalam perkara. “a neutral” ini adalah hakim dan juri[9]. Selama proses persidangan hakim bersifat pasif, tapi kedua belah pihak yang berperkara-lah yang aktif. Hakim hanya akan memfokuskan pada tata-tertib persidangan utamanya bila ada keberatan dari salah satu pihak.
Gambaran dari pengadilan yang menganut adversary model ini adalah :
- Adanya kesetaraan antara pihak-pihak yang berperkara;
- Adanya aturan-aturan yang melindungi terdakwa selama proses dari kesewenang-wenangan kekuasaan;
- Adanya proses yang mengendalikan penyalahgunaan kekuasaan;
- Adanya praduga tidak bersalah.
Sedangkan model non adversary adalah sebaliknya dari adversary, yakni tidak berlawanan, jadi para pihak di pengadilan itu sekutu (ally). Secara lebih lengkap dapat dirumuskan bahwa non adversary model adalah satu modus untuk menemukan kebenaran materiil dari satu perkara pidana melalui proses penyidikan yang dilakukan agak tertutup yang kemudian pembuktian kasusnya dilakukan di pengadilan dengan cara “terpimpin”. Dengan demikian, pengadilan akan menentukan fakta-fakta hukum yang dianggap terbukti dan menentukan hukum yang dapat diterapkan terhadap fakta itu. Oleh karena tertutup dan terpimpin proses pemeriksaannya, maka non adversary system ini disebut juga dengan the inquisitorial procedure. Oleh karena proses terpimpin, maka dalam sistem ini dengan sendirinya tidak dikenal pihak “a neutral” dalam mengambil keputusan seperti dalam non adversary system.
Dalam non adversary system, semua aspek dari peradilan itu menjadi tanggung jawab hakim. Kedua belah pihak, dalam hal ini jaksa dan penasehat hukum, dapat saja mengajukan bukti-bukti tapi semua bukti-bukti itu tidak dengan sendirinya mengikat hakim. Dalam persidangan, kedua belah pihak mengajukan pertanyaan hanya melalui perantaraan hakim. Bahkan hakim dapat menolak pertanyaan yang diajukan dengan alasan pertanyaan itu tidak relevan atau memerintahkan mengganti dengan pertanyaan yang lain.
Dalam sistem ini, untuk sampai pada putusan pengadilan tidak memperkenalkan benturan argumentasi dari kedua-belah pihak tapi hakim cukup mencari ada dua alat bukti saja ditambah keyakinan dari hakim. Dengan begitu seseorang sudah dapat dinyatakan bersalah dan kemudian dihukum.
Dibandingkan dengan adversary model yang menekankan pada due process, maka non adversary model menekankan pada crime control, dimana gambaran dari proses pengadilannya adalah :
- Mengabaikan pengawasan hukum (disregard legal control).
- Secara diam-diam berpraduga bersalah.
- Dengan hukuman tinggi.
- Dukungan pada polisi.
Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa sistem peradilan yang dianut Indonesia adalah mengikuti non adversary model.
4. Contempt of Court adalah Bagian Sistem Adversary Model
System advisary model yang mengedepankan due process dalam visualisasi implementasinya ialah kontes atau pertarungan para pihak dalam memenangkan perkaranya. Dalam perkara pidana, kedua belah pihak, yakni jaksa dan advokat mengkonteskan atau mempertunjukkan kekuatannya masing-masing di depan persidangan yang terdiri dari hakim dan juri. Kedua belah pihak yang bersengketa aktif untuk meyakinkan persidangan sementara yang mengadili bersifat pasif. Juri adalah pihak yang “a neutral”. Semakin keras benturan yang disaksikan oleh pihak yang netral ini, maka semakin besar kemungkinannya mencapai kebenaran. Oleh karena itu, mereka diberikan kesempatan seluas-luasnya agar terungkap semua keterangan yang relevan. Agar tidak terjadi ekses-ekses, hakim menjaga ketertiban sidang agar semua dapat kesempatan yang sama dan tidak terjadi pelanggaran sehingga obyektivitas dapat tercapai.
Oleh karena semua bukti-bukti sudah terbuka sebelum persidangan (disclosure), maka kontes dilaksanakan dengan lisan, baik ketika menguji keterangan saksi maupun terdakwa dalam bentuk examination dan cross-examination. Terkadang bisa bersifat eksesif, misalnya sampai tidak menghiraukan teguran hakim. Dalam hal seperti ini maka kekuasaan yang lebih besar diberikan pada hakim. Selain itu, juri yang juga ikut dalam mengadili itu menangkap kontes itu dengan “hati nurani” sehingga mereka harus dijauhkan dari segala informasi dari luar pihak dalam perkara dan tentunya mereka diisolasi selama persidangan. Sidang adalah terbuka untuk umum sehingga wartawan bisa meliput. Dalam penulisan bila ada opini yang ditambahkan pada faktanya yang dapat mempengaruhi independensi hakim perlu diawasi.
Dalam konteks pengadilan yang demikian-lah, maka pranata atau ketentuan yang secara khusus mengatur mengenai tindak pidana terhadap proses peradilan tersebut (contempt of court) diperlukan. Di dalam sistem adversary model, para pihak diberikan kebebasan yang sangat besar untuk memenangkan perkaranya, sehingga diperlukan suatu ketentuan yang dapat mengimbangi kebebasan yang sangat yang dimiliki oleh para pihak ini. Artinya, kebebasan yang ada pada pihak-pihak itu jangan sampai merugikan peradilan itu sendiri sehingga perlu diawasi secara ketat. Dalam sistem ini ketentuan mengenai tindak pidana terhadap proses peradilan tersebut (contempt of court) banyak ditujukan pada advokat, jaksa dan wartawan. Sebab pada mereka itulah kebebasan diberikan. Namun, kebebasan itu perlu diawasi agar jangan sampai merugikan proses yang harus bersifat jujur, tidak memihak, impersonal dan obyektif.
Dibandingkan dengan sistem peradilan yang dianut di Indonesia, yang secara diam-diam masih menganut sistem inquisitor, dapat dikatakan bahwa ketentuan mengenai tindak pidana terhadap peradilan ini tidak diperlukan. Sebab, dalam peradilan Indonesia hakim memiliki peranan yang sangat besar dalam proses peradilan[10].
Di samping itu, apabila pranata contempt of court ini dimasukkan ke dalam R KUHP, hal ini dapat dikatakan bahwa pranata contempt of court ini ditransplantasikan dari sistem common law ke dalam R KUHP. Padahal dilihat dari latar belakang historis dan sistem peradilan yang dianut Indonesia, pranata ini tidak cocok dengan sistem peradilan yang dianut Indonesia. Apalagi apabila dikomparasikan dengan kebutuhan peradilan Indonesia[11].
5. Penutup dan Rekomendasi
Dari uraian yang telah dipaparkan di atas, dapat disimpulkan bahwa pranata contempt of court merupakan pranata yang tumbuh dan berkembang di negara-negara yang menganut sistem common law dan sistem peradilan yang dianutnya adalah adversary system. Keberadaan pranata ini ditujukan untuk melindungi kekuasaan peradilan, khususnya hakim dalam proses peradilan dari segala ancaman, gangguan dan hambatan yang akan menghalangi hakim dalam menjalankan tugasnya.
Oleh karenanya, pengaturan secara khusus mengenai contempt of court dalam R KUHP tampaknya tidak diperlukan. Hal ini disebabkan karena : Pertama, keberadaan pranata contempt of court dalam sistem peradilan Indonesia sebenarnya telah ada jauh sebelum adanya UU No. 14 Tahun 1985, namun tersebar dalam berbagai bab dan Pasal dalam KUHP yang saat ini berlaku. Sehingga keberadaan ketentuan-ketentuan tersebut dapat dipergunakan untuk menjerat para pelaku tindak pidana terhadap proses peradilan. Kedua, sistem peradilan di Indonesia yang menganut sistem non adversarial model tidak memungkinkan untuk adanya pranata contempt of court. Hal ini disebabkan karena dalam sistem peradilan yang dianut di Indonesia, hakim memiliki kekuasaan yang sangat besar dalam memeriksa dan mengadili suatu perkara. Sehingga apabila terdapat ketentuan mengenai tindak pidana terhadap proses peradilan (contempt of court) dalam R KUHP, dikhawatirkan akan semakin memperkuat kedudukan hakim dalam proses peradilan. Akibatnya, tidak ada satu lembaga atau kekuasaan pun yang dapat melakukan kontrol terhadap kinerja para hakim dalam menjalankan tugasnya.
Berdasarkan tersebut maka terdapat tiga hal yang harus dilakukan Tim Perumus R KUHP, yaitu : Tim Perumus R KUHP harus mengkaji lagi latar belakang dan urgensi dibuatnya satu bab khusus mengenai tindak pidana terhadap peradilan (contempt of court) ini. Tim Perumus R KUHP harus membiarkan keberadaan ketentuan-ketentuan mengenai tindak pidana terhadap proses peradilan (contempt of court) ini sebagaimana telah ada dan diatur dalam KUHP yang berlaku sekarang ini, yaitu dengan membiarkan keberadaan ketentuan-ketentuan atau Pasal-Pasal tersebut tersebar dalam beberapa bab.
Rumusan-rumusan baru mengenai tindak pidana terhadap proses peradilan (contempt of court) yang diadopsi dari KUHP negara lain dapat dimasukkan ke dalam R KUHP dengan mengikuti sistematika yang telah ada dalam R KUHP dan diletakkan berdasarkan jenis tindak pidananya. Pemerintah, dalam hal ini Menteri Hukum dan HAM dan DPR serta Mahkamah Agung harus membuat suatu undang-undang yang memungkinkan untuk dilakukannya reformasi terhadap peradilan dan pejabatnya, yang dengan keberadaan undang-undang tersebut, kewibawaan, martabat dan wibawa lembaga peradilan dapat dikembalikan sebagaimana yang diharapkan.
[1] Lihat : Lampiran I.
[2] Lihat : Lampiran II.
[3] Hal ini dapat diketahui dari misalnya, dari Seminar tentang Contempt of Court yang diselenggarakan Ikatan Hakim Indonesia (IKAHI) pada Maret 1987, Hukum online, 19 Maret 2005, “Diusulkan UU Contempt of Court untuk Lindungi Hakim”.
[4] Kalangan ini menyatakan bahwa profesi hakim memerlukan ketentuan khusus yang dapat menjamin kebebasan dan kemerdekaan hakim dalam menjalankan profesinya. Para hakim ini berpendapat bahwa selama ini profesi hakim banyak terganggu akibat adanya gangguan maupun ancaman terhadap hakim dalam menjalan tugasnya. Akibatnya, hakim seringkali mengalami kegamangan dalam menjalankan tugasnya ataupun dalam memberikan putusan terhadap suatu kasus.
[5] Seperti Oemar Senoadjie yang menyatakan bahwa delik-delik contempt of court yang berhubungan dengan “rechtspleging” (jalannya peradilan) meliputi beberapa ketentuan pidana dalam KUHP, yang terpencar dalam beberapa bab. H. Harris pernah mengumpulkan Pasal-Pasal yang dapat dikualifikasi sebagai tindak pidana contempt of court, seperti Pasal 207, Pasal 208, Pasal 209, Pasal 210, Pasal 211, Pasal 212, Pasal 216, Pasal 217, Pasal 222, Pasal 224, Pasal 227 dan Pasal 231 Kuhp.
[6] Luhut MP Pangaribuan, “Contempt of Court atau Contempt of Power : Satu Catatan Kritis dari Perspektif Konsep Peradilan”, www.pemantauperadilan.com. Dalam makalahnya tersebut Luhut mengemukakan bahwa usulan mengenai perlunya ketentuan khusus mengenai tindak pidana terhadap peradilan (contempt of court) ini merupakan tanggapan atas kritikan terhadap peradilan di Indonesia, dimana kritikan tersebut ditanggapi dengan “kemarahan”. Kritik yang mengemuka dianggap sebagai tidak obyektif yang hanya mencari-cari kesalahan. Contempt of Court atau Contemp of Power : Satu Catatan Kritis dari Perspektif Konsep Peradilan.
[7] Luhut MP Pangaribuan dalam Focus Group Discussion “Tindak Pidana terhadap Proses Peradilan (contempt of court) yang diselenggarakan Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) 06 September 2005.
[8] Romli Atmasasmita, “Sistem Peradilan Pidana : Persfektif Eksistensialisme dan Abolisionisme”, Bina Cipta Bandung, 1996, Luhut MP Pangaribuan “Contempt of Court atau Contemp of Power : Satu Catatan Kritis Dari Perspektif Konsep Peradilan”, www.pemantauperadilan.com.
[9] Menentukan Fakta-fakta (kesalahan) adalah wewenang juri, sementara hukumnya tugas yang akan dilengkapi oleh hakim.
[10] Menurut Luhut MP Pangaribuan, dalam peradilan terdapat tiga hal penting yang satu sama lain tidak bisa dipisahkan. Pertama, fakta. Kedua, hukumnya. Ketiga, hukumannya. Dalam hukum acara Indonesia, ketiga hal tersebut yang memegang peranan paling besar adalah hakim. Hakim akan mengkonstatasi bagaimana faktanya, apa hukumnya, apa hukumannya. Semua itu yang menentukan adalah hakim.
[11] Menurut Luhut MP Pangaribuan, adanya ketentuan khusus mengenai tindak pidana terhadap proses peradilan (contempt of court) dalam R KUHP tidak akan memperbaiki kerusakan yang telah terjadi dalam sistem peradilan Indonesia. Kebutuhan yang paling diperlukan dalam peradilan Indonesia sekarang ini adalah menghilangkan pathologis atau penyakit yang menghinggapi aparat penegak hukum di Indonesia, hakim, jaksa, polisi dan advokat, seperti korupsi, kolusi dan nepotisme, dimana untuk menghilangkan penyakit ini diperlukan reformasi di segala sektor, baik substansi, kultur dan birokrasinya. Luhut MP Pangaribuan dalam Focus Group Discussion “Tindak Pidana terhadap Proses Peradilan (contempt of court) yang diselenggarakan Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM), 06 September 2005.