Tindak Pidana Diskriminasi Dalam R KUHP 2015

Oleh: Syahrial Martanto Wiryawan

Pengantar

Upaya-upaya pemajuan hak asasi manusia dan perlindungan hukum merupakan langkah yang menjadi mandat negara untuk merealisasikan dalam tahapan-tahapan yang terprogram secara terencana. Salah satu langkah pemerintah untuk merealisasikan upaya-upaya tersebut adalah dengan pembentukan hukum yang substansinya mengacu pada prinsip-prinsip hak asasi manusia. R KUHP merupakan salah satu produk hukum yang tengah dalam proses legislasi serta memiliki irisan strategis dengan pemajuan hak asasi manusia di Indonesia.

Dalam hukum pidana, KUHP Indonesia sebenarnya telah mengenal kriminalisasi bagi perbuatan menyatakan rasa permusuhan, kebencian, dan penghinaan kepada golongan penduduk. Hal tersebut tertuang dalam Pasal 156 dan Pasal 157 KUHP. Namun melihat konteks sejarah KUHP yang merupakan produk jaman kolonial, tentunya spirit yang melatarbelakangi pembentukan delik penghinaan tersebut berbeda dengan konteks “praktik diskriminasi rasial”.

Pada 1999 Indonesia telah meratifikasi International Convention on The Elimination of all Forms of Racial Discrimination 1965 (melalui Undang-undang Nomor 29 Tahun 1999 Indonesia). Pasal 4 Konvensi tersebut menyatakan, bahwa sebagai negara pihak Indonesia memiliki kewajiban untuk :

Mengutuk semua propaganda dan organisasi-organisasi yang didasarkan pada pemikiran-pemikiran atau teori-teori supremasi suatu ras tertentu atau kelompok perorangan dari suatu warna kulit atau asal usul etnik tertentu atau yang berupaya melakukan pembenaran atau menciptakan segala bentuk.

Mengambil langkah-langkah positif secepatnya yang disusun untuk menghapuskan suatu hasutan atau tindakan-tindakan diskriminasi diantaranya dengan; pertama, menyatakan bahwa segala bentuk penyebaran pemikiran-pemikiran yang berdasarkan atas supremasi ras atau kebencian, hasutan untuk melakukan diskriminasi rasial dari semua tindakan kekerasan atau hasutan melakukan kekerasan terhadap ras atau kelompok perorangan dari warna kulit atau asal usul etnik yang lain, serta pemberian bantuan terhadap kegiatan-kegiatan rasis, termasuk pendanaannya sebagai suatu tindak kejahatan yang diancam hukuman. Kedua, Menyatakan tidak sah dan melarang organisasi-organisasi dan kegiatan-kegiatan propaganda atau kegiatan lainnya yang terorganisir untuk mendukung dan menghasut diskriminasi rasial, serta menyatakan bahwa partisipasi dalam organisasi-organisasi atau kegiatan-kegiatan seperti itu sebagai tindak kejahatan yang diancam hukuman. Ketiga, melarang pejabat-pejabat kekuasaan umum atau lembaga-lembaga umum baik tingkat lokal maupun nasional untuk mendukung atau melakukan hasutan diskriminasi rasial.

Kewajiban sebagai negara pihak dalam konvensi anti diskriminasi rasial tersebut mencakup kebijakan yang menyeluruh yang berdimensi regulasi diberbagai bidang, demokratisasi pendidikan kewargaan, dan perlindungan hukum yang meliputi hukum administrasi, hukum keperdataan, maupun hukum pidana. Oleh karena itulah maka dalam pembaruan KUHP, semangat untuk mengkriminalisasi praktik diskriminasi rasial sebagai tindak pidana sepertinya telah menjadi agenda tim perumus. Namun seberapa optimal tim perumus rancangan KUHP untuk menjadikan segala bentuk praktik diskiminasi rasial sebagai tindak pidana perlu diuji, apakah cukup memadai dalam perumusan Pasal-Pasalnya ?

Transformasi Delik Penghinaan terhadap Golongan Penduduk: dari KUHP ke R KUHP

Bab mengenai delik penghinaan terhadap golongan penduduk dalam R KUHP terdapat pada Bab mengenai Tindak Pidana (Kejahatan) terhadap Ketertiban Umum. Secara garis besar Rancangan KUHP masih mempertahankan konstruksi rumusan perbuatan penghinaan terhadap golongan penduduk sebagaiamana yang dirumuskan dalam KUHP pada Pasal 156 dan Pasal 157. Pasal tersebut ditempatkan pada Bab V yang mengenai Tindak Pidana terhadap Ketertiban Umum, yang dikelompokkan bersama dengan tindak pidana penghinaan terhadap simbol negara dan pemerintah.

Rancangan KUHP memuat dua Pasal mengenai tindak pidana penghinaan terhadap golongan penduduk, yakni Pasal 286 dan Pasal 287. Bunyi dari Pasal 286 R KUHP adalah sebagai berikut:[1]

Setiap orang yang di muka umum melakukan penghinaan terhadap satu atau beberapa golongan penduduk Indonesia berdasarkan ras, kebangsaan, etnik, warna kulit, dan agama, atau terhadap kelompok berdasarkan jenis kelamin, umur, disabilitas mental, atau disabilitas fisik, dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau pidana denda paling banyak Kategori II.

Redaksi Pasal 286 Rancangan KUHP jelas menunjukkan bahwa konstruksi perbuatan yang dipidana berubah dari Pasal 156 KUHP. Elemen yang dipertahankan adalah unsur di muka umum dan melakukan penghinaan terhadap golongan penduduk Indonesia. Unsur penghinaan jika dibandingkan dengan rumusan pada Pasal 156 KUHP sebenarnya dari segi cakupannya dipangkas dari perasaan permusuhan, kebencian, dan merendahkan (penghinaan). Terdapat perluasan golongan yang dilindungi dalam Pasal ini, yakni dibagi dalam dua kelompok. Golongan yang ditentukan berdasarkan ras, kebangsaan, etnik, warna kulit, dan agama dan golongan yang ditentukan berdasarkan jenis kelamin, umur, disabilitas mental, atau disabilitas fisik.

Lebih lanjut, Pasal 289 Rancangan KUHP memiliki redaksi sebagai berikut:

Setiap orang yang menyiarkan, mempertunjukkan, atau menempelkan tulisan atau gambar sehingga terlihat oleh umum atau memperdengarkan rekaman sehingga terdengar oleh umum, yang berisi pernyataan perasaan permusuhan dengan maksud agar isinya diketahui atau lebih diketahui oleh umum, terhadap satu atau beberapa golongan penduduk Indonesia yang dapat ditentukan berdasarkan ras, kebangsaan, etnik, warna kulit, dan agama, atau terhadap kelompok yang dapat ditentukan berdasarkan jenis kela­min, umur, disabilitas mental atau fisik yang berakibat timbulnya kekerasan terhadap orang atau barang, dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun atau pidana denda paling banyak Kategori IV.

Jika pembuat tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) melakukan perbuatan tersebut dalam menjalankan profesinya dan pada waktu itu belum lewat 2 (dua) tahun sejak adanya putusan pemidanaan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang sama, maka dapat dijatuhi pidana tambahan berupa pencabutan hak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 93 ayat (1) huruf g.

Sama halnya dengan konstruksi rumusan Pasal 286, Pasal 289 Rancangan KUHP merupakan rekonstruksi dari ide yang terdapat pada rumusan dalam Pasal 157 KUHP. Pasal 289 dirumuskan sebagai delik materiil, dengan demikian beroperasinya Pasal ini untuk menjerat perbuatan yang dirumusakan sebagai tindak pidana harus dipersyaratkan terpenuhinya akibat dari adanya perbuatan yakni mengakibatkan timbulnya kekerasan terhadap orang atau barang. Pasal 289 ayat (1) memperluas perbuatan yang dapat dipidana dengan merumuskan perbuatan memperdengarkan rekaman sehingga terdengan oleh umum.

Menyimak rumusan pada Pasal 286 dan 289 R KUHP berkaitan dengan konteks hasil dari perumusan tim perancang Rancangan KUHP, terdapat empat catatan konklusif terhadap dua Pasal tersebut, yakni: Pertama, adanya kecenderungan tidak berubahnya konstruksi perbuatan dalam Pasal 286 dan Pasal 287 R KUHP, artinya dalam hal ini tim perumus Rancangan KUHP kurang merespon perkembangan diluar garis berpikir KUHP yang saat ini berlaku.

Kedua, beberapa perubahan yang dilakukan pada Pasal 286 dan Pasal 287 Rancangan KUHP khususnya mengenai perluasan perbuatan tidak signifikan sebagai sebuah perkembangan yang lebih maju dari KUHP yang saat ini berlaku. Ketiga, perlu di dalami kembali argumentasi Pasal Pasal 289 Rancangan KUHP yang dikonstruksikan sebagai delik materiil. Keempat, karakter khusus seperti bobot ancaman dari perbuatan-perbuatan yang termasuk sebagai praktik diskriminasi rasial yang memiliki karakter sebagai norma internasional jus cogens sepertinya tidak cukup kuat diperhitungkan dalam pertimbangan untuk merumuskan tindak pidana dalam Rancangan KUHP.

Dalam Pasal 286 dan 289 R KUHP, Tim Perumus memang telah memasukkan term-term kunci yang selama ini ada di dalam Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Rasial sebagai salah satu basis konstruksi perbuatan pidana yang berupa penghinaan dan pernyataan perasaan permusuhan, seperti: ras, kebangsaan, etnik, dan warna kulit. Namun dalam konteks perbuatan-perbuatan yang merupakan manifestasi dari praktik diskriminasi rasial, ternyata tim perumus Rancangan KUHP masih sangat minim untuk mentransformasikan konstruksi perbuatan yang terdapat dalam Konvensi Internasional tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Rasial untuk diresepsi oleh KUHP baru Indonesia.

Catatan terhadap Rumusan Pasal dalam Rancangan KUHP

Secara lugas, Muladi menyatakan bahwa Pasal-Pasal hatzaaiartikelen (Pasal penyebar kebencian) tetap dipertahankan dengan versi “demokratisasi”. Versi demokrasi tersebut direalisasikan dengan melakukan perubahan dalam rumusan perbuatan, dengan menghilangkan kata rasa permusuhan dan kebencian. Sehingga yang terdapat pada Pasal 284 (penghinaan yang ditujukan kepada pemerintah) dan 286 (Pasal penghinaan yang ditujukan kepada golongan penduduk) hanya tinggal perbuatan penghinaan. Selain itu, diputuskan oleh tim perancang untuk merubah bentuk rumusan delik formil menjadi delik materiil.[2] Menurut Muladi, dengan merumuskan bentuk delik materiil, maka yang dilarang dan dapat dipidana adalah jika perbuatan penghinaan tersebut menimbulkan akibat tertentu atau akibat konstitutif, yakni terjadinya kekerasan terhadap orang atau barang. Lebih lanjut, beliau menguraikan bahwa konstruksi perbuatan dalam Pasal 286 dan 289 adalah bertujuan untuk melindungi ketertiban umum dari anasir-anasir terjadinya keonaran yang didasari oleh masalah suku agama dan ras. Lebih lengkap dikutip:

Khusus terhadap golongan penduduk di samping kemungkinan terjadinya masalah SARA yang berkaitan dengan keamanan nasional dan ketertiban umum, juga terkait dengan latar belakang diskriminasi (unfair treatment or denial of normal privileges to persons because of their race, age, sex, nationality or religion) yang secara universal sangat tercela.[3]

Sebagaimana telah disinggung dalam bab sebelumnya, bahwa kejahatan-kejahatan seperti penghasutan, pernyataan perasaan permusuhan, kebencian, dan penghinaan terhadap golongan penduduk dan tindak pidana lainnya yang berkait dengan praktik diskriminasi rasial dalam KUHP Belanda, Jerman, dan Norwegia dimasukkan dalam bab kejahatan terhadap ketertiban umum.[4] Pemikiran tersebut tetap dipertahankan dalam R KUHP. Pelanggengan pemikiran ini nampak dengan konstruksi rumusan perbuatan yang terdapat pada Pasal 286 dan 289 Rancangan KUHP.

Bahwa konstruksi perbuatan yang dirumuskan dalam tindak pidana pada KUHP Belanda saat ini memang masih mempertahankan Pasal aslinya, namun KUHP Belanda memiliki kekenyalan terhadap perkembangan norma-norma diluar doktrin pidana nasional yang ada. Sehingga norma-norma internasional dapat diresepsi tanpa menimbulkan problem hukum baik dalam tataran KUHP atau hukum pidana secara umum maupun tingkat penerimaan secara sosial kemasyarakatan. Hal ini dibuktikan oleh pembuat undang-undang untuk memasukkan definisi diskriminasi dalam ketentuan umum dan mengembangkan konstruksi perbuatan Pasal lama (kejahatan penghinaan terhadap golongan penduduk) menjadi beberapa perbuatan pidana pada Buku II nya. Terdapat empat tindak pidana baru yang dikembangkan dari Pasal 137 c, yakni menghasut untuk membenci dan mendiskriminasi, menghasut untuk melakukan tindakan kekerasan terhadap orang atau barang atas dasar prasangka yang diskriminatif, memberikan dukungan untuk kegiatan yang memiliki tendensi diskriminastif, melakukan diskriminasi rasial berhubung dengan jabatan seseorang.

Uraian di bagian muka, memperlihatkan rumusan Pasal 286 dan Pasal 289 Rancangan KUHP masih mempertahankan konstruksi tindak pidana pada Pasal 156 dan 157 KUHP, tanpa melakukan pengembangan konstruksi tindak pidana asal pada bentuk perbuatan pidana lainnya. Dalam hukum pidana langkah untuk melakukan krimininalisasi sebuah perbuatan pidana adalah menyangkut tiga permasalahan pokok yakni: mengenai perumusan perbuatan yang memiliki sifat melawan hukum, mengenai perumusan unsur kesalahan, dan penetapan sanksi. Dalam tahapan tersebut tim perancang KUHP seharusnya melakukan langkah-langkah harmonisasi terhadap norma-norma hukum yang pada saat perumusan Pasal telah berlaku sebagai hukum positif. Pada dataran ini, konstruksi Pasal penghinaan terhadap golongan penduduk seharusnya sudah masuk memasukkan norma-norma seperti yang dimuat dalam Konvensi mengenai Penghapusan Diskriminasi Rasial. Perintah untuk mengambil langkah-langkah positif dan secepatnya secara eksplisit diperintahkan oleh konvensi, agar negara pihak melakukan kriminalisasi perbuatan-perbuatan yang dicakup dalam konvensi. Perbuatan-perbuatan tersebut adalah sebagai berikut:[5]

Pertama, segala bentuk penyebaran pemikiran-pemikiran yang berdasarkan atas supremasi ras atau kebencian; Kedua, hasutan untuk melakukan diskriminasi rasial dan semua tindakan kekerasan atau hasutan melakukan kekerasan terhadap ras atau kelompok perorangan dari warna kulit atau asal usul etnik yang lain; Ketiga, pemberian bantuan terhadap kegiatan-kegiatan rasis, termasuk pendanaannya ; Keempat, partisipasi dalam organisasi-organisasi atau kegiatan-kegiatan yang terorganisir untuk mendukung dan menghasut diskriminasi rasial.

R KUHP seharusnya telah menerima norma-norma yang ada dalam konvensi tersebut diatas sebagai materi yang dijadikan acuan dalam melakukan konstruksi rumusan seperti apa yang tepat untuk mengatur praktik diskriminasi rasial di Indonesia melalui sarana hukum pidana.

Sebagai perbandingan untuk melakukan formulasi konstruksi perbuatan dapat dilihat bagaimana KUHP Belanda dengan masih mempertahankan konstruksi perbuatan pidana penghinaan terhadap golongan penduduk tanpa kesulitan disesuaikan dengan perkembangan norma yang berkembang. Atau, KUHP Perancis yang melahirkan satu tindak pidana mandiri, yakni kejahatan diskriminasi sekaligus menambahkan pada tindak pidana klasik seperti pembunuhan, tindak kekerasan sebagai pemberatan jika ada karakter diskriminasi dalam melakukan perbuatan pidana intinya.

Keputusan untuk menentukan bagaimana pola perumusan dalam konstruksi perbuatan pidana sangat penting berkaitan dengan cakupan “kejahatan diskriminasi” yang akan diatur dalam R KUHP dan sejauh mana kepentingan hukum yang akan dilindungi. Dalam hal ini rumusan Pasal 286 dan 289 Rancangan KUHP tidak memiliki sensitivitas dalam merespon perkembangan dalam norma-norma internasional maupun perkembangan diskursus mengenai diskriminasi rasial di aras nasional, yang saat ini sedang membahas mengenai Rancangan Undang-undang Penghapusan Diskriminasi Rasial dan Etnis.

Karakter khusus dari perbuatan yang digolongkan dalam diskriminasi rasial seharusnya menjadi pertimbangan oleh tim perumus Rancangan KUHP dalam membuat rumusan perbuatan pidananya. Karakter khusus tersebut setidaknya dapat dilihat, bahwa praktik diskriminasi rasial dalam berbagai bentuknya telah menjadi norma jus cogens dan sebagai instrumen hard law, hal ini dalam hukum nasional dibuktikan dengan diratifikasinya Konvensi penghapuan Segala bentuk Praktik Diskriminasi Rasial melalui Undang-Undang Nomor 29 tahun 1999.

Dalam amandemen Undang-Undang Dasar 1945 Bab X A Pasal 28 I ayat (2) secara khusus menguraikan hak konstitusional sebagai warga negara Indonesia untuk diijamin dan dilindungi dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apa pun. Ditambah dengan eksistensi Undang-undang Nomor 39 tentang Hak Asasi Manusia yang tegas memerinci jaminan dan perlindungan negara terhadap semua bentuk praktik diskriminasi dalam berbagai Pasal yang tersebar.[6] Lebih lanjut karakter khusus tersebut diperkuat dengan uraian dari Penjelasan Umum pada Rancangan Undang-Undang tentang Penghapusan Diskriminasi Rasial dan Etnik. Di dalam uraian tersebut ditangkap terdapat dua kondisi yang sebenarnya telah cukup untuk memberikan status istimewa terhadap “perbuatan diskriminasi rasial” sebagai kejahatan dengan bobot serta karakter khusus, yakni: Pertama: mengenai norma jus cogens yang faktual memiliki jurisdiksi universal, sebagai kejahatan yang merupakan musuh dari semua umat manusia (hostis humani generis). Argumentasi moral – filosofisnya dan hukumnya terdapat padal alinea 1, alinea 4, alinea 5, dan alinea 6. Kedua, mengenai konteks dan dinamika sosial kemasyarakatan di Indonesia yang relevan sebagai pertimbangan bobot urgensi pengaturannya dalam hukum nasional. Bahwa konteks pengalaman dan kesejarahan mengenai praktik-praktik diskriminasi rasial di Indonesia sebaiknya menjadi salah satu variable atau indikator dalam mempertimbangkan urgensi dan sifat bobot sebuah tindak pidana.[7]

Uraian tersebut di atas menunjukkan pula bahwa cakupan kepentingan yang dilindungi dalam kriminalisasi perbuatan diskriminasi rasial, bahwa bukan hanya menjadi permasalahan kerugian dari individu maupun kelompok orang yang didiskriminasi namun dalam menentukan dapat dipidananya perbuatan-perbuatan tersebut merupakan pelanggaran atas “persamaan manusia” dan konteks dalam nilai yang universal tersebut bukanlah didasarkan atas kerugian dari tidak adanya persamaan semata, tetapi berdasarkan asas moral bahwa setiap manusia mempunyai nilai sama dan bahwa semua manusia meyakini hal itu. Syarat minimum mengenai pengakuan persamaan manusia ini merupakan dasar dari kejahatan terhadap ketertiban umum.[8]

Dalam kerangka perlindungan kepentingan tersebut, Undang-undang Penghapusan Diskriminasi Rasial merumuskan lima perbuatan yang dapat dipidana, yakni: Pertama, sengaja memperlakukan orang lebih baik atau lebih buruk dari orang lainnya dengan maksud untuk membuat perbedaan hak atau memberikan pengecualian terhadap orang berdasarkan alasan ras dan/atau etnis; Kedua, sengaja melakukan pembatasan terhadap orang untuk dapat menikmati hak-hak sipil, hak-hak ekonomi, hak-hak sosial, hak-hak budaya secara langsung maupun tidak langsung berdasarkan alasan ras dan/atau etnis; Ketiga, menunjukkan kebencian atau perasaan kepada orang oleh karena perbedaan ras dan/atau etnis; Keempat, melakukan kekerasan dan/atau penyerangan secara fisik seperti penganiayaan, pembunuhan, perampasan harta benda, pemerkosan, penculikan kepada orang atau beberapa orang karena perbedaan ras dan/atau etnis; Kelima, sengaja memberikan informasi palsu atau menghilangkan atau menyembunyikan atau merusak informasi yang diperlukan.Di samping itu terdapat pemberatan sanksi pidana jika perbuatan tersebut dilakukan oleh penyelenggara negara dan dilakukan oleh atau atas nama badan hukum atau organisasi lain yang bukan badan hukum.

Muladi dalam kapasitasnya sebagai salah satu Tim Perumus R KUHP, pada salah satu makalahnya mengakui pengaruh hukum pidana internasioal dan jus cogens dalam mewarnai kebijakan kriminalisasi dalam R KUHP. Beliau mencontohkan mengenai tindak pidana-tindak pidana yang diadopsi dari beberapa konvensi internasional seperti yang terkait dengan kejahatan terorisme maupun pelanggaran hak asasi manusia yang berat.[9] Dengan perumusan Pasal 286 dan 289 R KUHP sepertinya Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Praktik Diskriminasi Rasial dan Rancangan Undang-undang Penghapusan Diskriminasi Rasial tidak diposisikan sebagai norma yang wajib diacu dalam kerangka melakukan pembaruan Pasal penghinaan terhadap golongan penduduk. Sebab jika norma yang terdapat pada konvensi maupun rumusan Pasal-Pasal dalam Rancangan Undang-undang tentang Penghapusan Diskriminasi Rasial dan Etnis dijadikan sebagai acuan perumusan ulang Pasal penghinaan terhadap golongan penduduk KUHP, mungkin akan terdapat beberapa alternatif perumusan. R KUHP akan mengikuti pola yang ada di Belanda yang tetap mempertahankan konstruksi rumusan kejahatan penghinaan terhadap golongan penduduk. Atau mengikuti pola perumusan pada KUHP Perancis yang merumuskannya sebagai kejhatan yang mandiri “tindak pidana diskriminasi” sekaligus menjadikan diskriminasi rasial” sebagai pertimbangan pemberatan pada beberapa tindak pidana klasik seperti, pembunuhan, tindak kekerasan, atau penyiksaan dan tindakan tak beradab lainnya.

Selain itu telah disinggung diatas, bahwa dalam Pasal 286 hanya menyisakan perbuatan penghinaan dengan menghapus kalimat menyatakan rasa permusuhan dan kebencian. Menurut Muladi menghina diartikan sebagai menyerang kehormatan dan nama baik, menurut beliau penegak hukum harus dapat secara bijak membedakan pernyataan dalam konteks kontrol sosial demi kepentingan pribadi dengan “penghinaan” itu sendiri. Dengan demikain lanjut beliau, tidak akan menimbulkan multi interprestasi yang dapat mengingkari “freedom expression”.[10] Namun sepanjang pengamatan terhadap naskah Rancangan KUHP tidak terdapat penjelasan apa yang dimaksud dengan penghinaan.[11] Artinya apa pun rumusan perbuatan dalam konteks Pasal 286 R KUHP, apakah itu penghinaan atau perasaan permusuhan dan kebencian, bukan merupakan variable penentu demokratis tidaknya Pasal tersebut.

Hal lain yang cukup mengkait dengan “konteks demokratisasi Pasal hatzaai artikelen” adalah mengenai formulasi delik pada Pasal 286 dan 287 R KUHP. Remmelink menguraikan bahwa mengenai delik formil dan delik matriil merupakan pembedaan yang muncul dari cara perumusan delik. Delik formil adalah tindak pidana yang di dalam undang-undang cukup disebut dengan menunjuk pada perbuatan tertentu atau kelalaian. Sedangkan delik materiil adalah perbuatan yang menyebabkan konsekwensi-konsekwensi tertentu yang mana perbuatan tersebut kadang tercakup atau tidak tercakup sebagai unsur dalam perumusan tindak pidana.[12] Pada akhirnya perumusan tersebut memiliki konsekwensi khususnya dalam sudut pandang hukum acara pidana. Lebih lanjut Remmelink menjelaskan, bahwa delik formil meringankan tugas jaksa penuntut dalam melakukan penuntutan dan pembuktian. Dalam penuntutan setidak-tidaknya jaksa/ penuntut umum harus menyebutkan secara lengkap unsur-unsur tindak pidana yang terkait dan hubungan kusal antara perbuatan yang dilakukan dan akibatnya harus dibuktikan.[13]

Pasal 289 Rancangan KUHP mensyaratkan perbuatan pidana berakibat timbulnya kekerasan terhadap orang atau barang. Sedangkan dimensi perbuatan diskriminasi rasial tidak hanya menyangkut kekerasan secara fisik namun lebih luas dari itu. Terlepas dari konsekwensi dari cara perumusan delik materiil terhadap hukum acara pidana, bahwa pertimbangan demokratisasi Pasal-Pasal hatzaai artikelen tidak serta merta harus berbanding lurus dengan cara perumusannya menjadi delik materiil. Dalam hal ini argumen yang dibangun para perumus Rancangan KUHP tidak tepat, tidak memperhitungkan akibat kedepan jika tindak pidana tersebut dirumuskan sebagai delik materiil. Dalam hal ini tim perumus tidak melihat konteks permasalahan kepentingan yang akan dilindungi oleh sebuah rumusan tindak pidana, sebagai salah satu bobot pertimbangan yang cukup krusial untuk menentukan cakupan perbuatan apa saja yang akan diatur berikut sanksinya serta bagaimana merumuskannya agar sarana pidana berdayaguna dalam memerangi praktik-praktik diskriminasi rasial.

Rekomendasi

Bahwa perumusan ulang terhadap Pasal 156 dan 157 KUHP melalui Pasal 286 dan 289 Rancangan KUHP secara umum kurang memadai jika dilihat dari konteks perkembangan norma-norma hukum internasional, perkembangan KUHP-KUHP di negara lain yang memiliki akar kesejarahan yang sama dengan KUHP Indonesia, maupun wacana hukum ditingkat nasional di mana diskursus mengenai diskriminasi rasial telah mengerucut pada sebuah rancangan undang-undang. Dalam kerangka perbaikan atas kebijakan kriminalisasi dan penyempurnaan rumusan Pasal dalam Rancangan KUHP, beberapa usulan pemikiran akan dipaparkan dalam beberapa bagian melalui uraian di bawah ini.

Diperlukan keberanian untuk melakukan pembongkaran konstruksi perumusan perbuatan pidana dengan menempatkan perkembangan norma internasional mengenai diskriminasi rasial secara lebih utuh. Bahwa konsep legal mengenai cakupan diskriminasi dalam hukum nasional pasti beragam dan bergantung dengan wawasan politik kebijakan masing-masing negara, namun harus diingat dalam hal prinsip-prinsip umum telah terdapat beberapa acuan yang bisa dilihat dari perkembangan norma internasional yang mengatur mengenai penghapusan segala bentuk praktik diskriminasi rasial. Hukum mengenai diskriminasi hanya akan efektif jika acuannya untuk disepakati dengan berbagai bentuk inequalities yang dikembangkan dalam masyarakat yang akan dijadikan jadikan acuan.[14]

Diskriminasi rasial sebaiknya dirumuskan sebagai satu kejahatan yang mandiri. Dengan tetap menginduk pada bab/ titel mengenai tindak pidana terhadap ketertiban umum, mengingat kepentingan yang dilindungi adalah tidak berubah. Pertimbangan untuk menjadikannya sebagai kejahatan yang mandiri adalah: Pertama, bobot ancaman dari perbuatan-perbuatan terhadap kepentingan yang dilindungi oleh hukum pidana. Bahwa kejahatan diskriminasi rasial sebagaimana yang diatur dalam konvensi maupun rancangan undang-undang menimbulkan bahaya untuk umum dan menciptakan ancaman nyata bagi ketertiban dan ketentraman sosial kemasyarakatan di Indonesia (gemeen gevararlijke atau gevaarzetingsdelicten). Kedua, karakter khusus dari perbuatan-perbuatan yang termasuk sebagai praktik diskriminsi rasial.

Secara teknis, R KUHP menganut kebijakan kodifikasi dengan hanya mencantumkan tindak pidana atas dasar prinsip “non administrative offences (generic crimes / independent crimes), dengan kriteria:[15] Pertama, perbuatan jahat bersifat independen, tidak perlu didahului dengan pelanggaran ketentuan hukum adminsitratif. Kedua, daya berlakunya relatif lestari, tidak mudah berubah karena adanya ketentuan administratif. Ketiga, ancaman pidananya lebih dari satu tahun pidana perampasan kemerdekaan.

Untuk itu rumusan perbuatan pidana yang diusulkan untuk masuk dalam lingkup tindak pidana diskriminasi ras adalah yang telah dicantumkan dalam ketentuan pidana pada Undang-Undang tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis dan ditambah beberapa rumusan perbuatan pidana yang diatur KUHP negara lain. Argumentasi mengapa Pasal-Pasal usulan yang harus dimasukkan dalam Rancangan KUHP adalah berasal dari Undang-Undang tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis, bahwa proses adopsi ini merupakan bagian dari mekanisme baku dari kerja tim perancang dalam langkah-langkah pengkodifikasian dan harmonisasi semua peraturan perundang-undangan dan rancangan undang-undang yang memuat ketentuan pidana.

Lebih daripada itu, bahwa Undang-Undang tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis merupakan kerja-kerja internalisasi dari pengadopsian Konvensi Internasional mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Ras yang minimal telah diselesaikan oleh satu tatanan mekanisme legislasi, jadi hematnya telah memiliki legitimasi secara konstitutif. Sementara itu R KUHP juga perlu menengok bagaimana praktik negara lain dalam hal resepsi norma internasional kedalam KUHP mereka. Khususnya, bagaimana mereka mengembangkan konteks norma internasional dalam sebuah rumusan tindak pidana dalam KUHP nasional mereka yang mungkin berbeda satu sama lainnya.

Jika konsisten dengan persyaratan “non administrative offences” yang harus dipenuhi sebuah rumusan perbuatan pidana untuk masuk dalam R KUHP, dari lima perbuatan yang terdapat pada Undang-Undang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis, hanya dua perbuatan, yakni: Pertama, menunjukkan kebencian atau perasaan kepada orang oleh karena perbedaan ras dan/atau etnis:[16]

Pasal 4 huruf b

menunjukkan kebencian atau perasaan kepada orang oleh karena perbedaan ras dan/atau etnis yang berupa:

menulis kata-kata, gambar dan/atau menempatkan suatu tulisan yang berisi kata-kata atau gambar di tempat umum atau tempat lainnya yang dapat dilihat atau dibaca oleh orang lain, yang mana kata-kata atau gambar tersebut mengungkapkan kebencian dan/atau pelecehan terhadap suatu ras dan/atau etnis tertentu;

pidato dan/atau mengungkapkan atau melontarkan kata-kata yang bersifat kebencian dan pelecehan terhadap suatu ras atau etnis tertentu dihadapan orang pada suatu tempat umum atau tempat lainnya; atau

mengenakan sesuatu pada dirinya berupa benda, kata-kata atau gambar di tempat umum atau tempat lainnya yang dapat dibaca oleh orang lain, yang mana kata-kata atau gambar tersebut mengungkapkan kebencian dan/atau pelecehan terhadap suatu ras dan/atau etnis tertentu;

Diancam dengan pidana paling lama 5 (lima) tahun

dan/atau denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah). [17]

Kedua, melakukan kekerasan dan/atau penyerangan secara fisik seperti penganiayaan, pembunuhan, perampasan harta benda, pemerkosan, penculikan kepada orang atau beberapa orang karena perbedaan ras dan/atau etnis:[18]

Pasal 4 huruf b angka 4

melakukan kekerasan dan/atau penyerangan secara fisik seperti penganiayaan, pembunuhan, perampasan harta benda, pemerkosan, penculikan kepada orang atau beberapa orang karena perbedaan ras dan/atau etnis, dipidana sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan ditambah dengan 1/3 (sepertiga) dari masin g- masing ancaman pidana maksimumnya[19]

Rumusan perbuatan pidana lainnya yang tidak memenuhi persyaratan non administrative offences adalah: Pertama, memperlakukan orang lebih baik atau lebih buruk dari orang lainnya dengan maksud untuk membuat perbedaan hak atau memberikan pengecualian terhadap orang berdasarkan alasan ras dan/atau etnis; dan Kedua, sengaja melakukan pembatasan terhadap orang untuk dapat menikmati hak-hak sipil, hak-hak ekonomi, hak-hak sosial, hak-hak budaya secara langsung maupun tidak langsung berdasarkan alasan ras dan/atau etnis.[20]

Alasannya, bahwa kedua perbuatan tersebut dari segi ancaman pidana perampasan kemerdekaan adalah paling lama pidana kurungan selama satu tahun, sementara salah satu syarat dapat dimasukkannya sebagai tindak pidana dalam KUHP adalah jika suatu perbuatan pidana diancam lebih dari satu tahun perampasan kemerdekaan. Selain itu kedua rumusan perbuatan tersebut memiliki kecenderungan untuk tergantung pada sejumlah persyaratannya dari ketentuan adminsitratif maupun tindakan-tindakan administrative. Khususnya mengenai elemen diskriminasi untuk menikmati hak-hak sipil, hak-hak ekonomi, hak-hak sosial, dan hak-hak budaya, akan sulit menetapkan parameter unsur melawan hukum pidananya, mengingat parameter tersebut akan ditentukan melalui kebijakan-kebijakan yang berkaitan dengan hukum perburuhan, pelayanan sosial, hukum ekonomi atau kebijakan permodalan dan sebagainya.[21]

Dua Pasal tersebut di atas dalam Racial Discrimination Act Australia dikenal dengan konsep direct discrimination dan indirect discrimination. Dalam Section 9 (1) yang dimaksud dengan direct discrimination adalah tindakan-tindakan seperti membuat perbedaan, pengecualian, pembatasan, atau pemisahan berdasarkan ras, warna kulit, kebangsaan, atau etnis, yang bertujuan atau memiliki akibat kerugian atas pengakuan, penikmatan, atau pendayaguanan yang berdasarkan atas keseimbangan, serta hak-hak asasi manusia atau kebebasan mendasar dalam politik, ekonomi, sosial, budaya, atau lapangan kehidupan lainnya.[22] Penjelasan lebih lanjut dalam undang-undang tersebut disadari bahwa cakupan tindakan yang melawan hukum sebagaimana dimaksud dalam section 9 (1) adalah cukup luas, hingga luasnya cakupan tersebut tindakan pembedaan tersebut harus memiliki satu kaitan dengan tujuan atau akibatnya. Untuk itu dalam mekanisme hukum proseduralnya, Human Rights and Equal Opportunity Commission memiliki kewenangan yang eksklusif untuk menangani pelanggaran-pelanggaran terhadap hukum diskriminasi, bahkan hingga langkah-langkah pemulihan bagi korban.

Mengenai usulan untuk penambahan rumusan Pasal dari KUHP negara lain, setelah mempertimbangkan konteks pembaruan Rancangan KUHP di Indonesia, rumusan Pasal usulan yang perlu ditambahkan dalam Rancangan KUHP adalah rumusan dari Pasal 137 f Sr dan Pasal 137g (KUHP Belanda), mengenai perbuatan memberikan dukungan materi maupun partisipasi lainnya untuk kegiatan-kegiatan yang memiliki muatan diskriminasi berdasarkan ras dan perbuatan diskriminasi ras oleh pelaku yang memiliki kewenangan karena jabatannya, pekerjaan, atau perusahaannya.

Usulan rumusan Pasalnya adalah sebagai berikut:

Setiap orang yang mendanai, memberikan dukungan lainnya dalam berbagai bentuk, atau berpartisipasi secara sadar dan aktif untuk melaksanakan kegiatan-kegiatan sebagaiamana dimaksud dalam Pasal. . . dan. . . . . , diancam dengan pidana penjara … dan/atau. . .

Jika tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal. . dan Pasal. . . . dilakukan oleh orang yang memiliki kewenangan dalam jabatan publik, atau dalam hal kewenangan pekerjaannya, atau dalam rangka menjalankan perusahaannya, maka pidananya ditambah sepertiga.

Dari rumusan Pasal yang diusulkan penting untuk memberi catatan tambahan terhadap beberapa unsur tindak pidana dengan melihat praktik pengadilan kriminal internasional di bekas negara Yugoslavia dan Rwanda. Perlu ditegaskan bahwa konteks dua pengadilan tersebut adalah dalam kerangka mengadili perkara pelanggaran berat hak asasi manusia (gross violation of human rights), namun beberapa catatan dari putusan-putusan yang terdapat pada beberapa kasus cukup relevan untuk dipertimbangkan sebagai perkembangan praktik hukum dalam lingkup yang spesifik yakni kejahatan diskriminasi ras dan etnis. Hal ini khususnya ditujukan menyangkut unsur niat jahat (mens rea) untuk mendiskriminasi, sebagai elemen kunci dan spesifik dari rumusan tidak pidana diskriminasi ras dan etnis.[23]

Secara umum rumusan usulan kejahatan diskriminasi ras dan etnis dalam Rancangan KUHP cenderung sama dengan rumusan perbuatan yang disebut sebagai racial hatred bukan dalam konteks “diskriminasi ras” dalam pengertian secara luas. Konsep yang dikembangkan dalam Pasal 286 dan Pasal 287 Rancangan KUHP sesungguhnya mendekati konsep racial hatred, sebab dalam rumusan Pasalnya mensyaratkan adanya unsur offensive behaviour, yakni adanya tindakan kekerasan baik terhadap orang atau barang. Perlu disinggung dalam kaitannya dengan pengaturan mengenai diskriminasi ras, di Australia telah diundangkan Racial Discrimination Act pada tahun 1975. Dalam perkembangannya rumusan racial hatred baru dikenalkan pada undang-undang yang sama pada tahun 1995 sebagai hukum federal, Pasal 18 c.[24] Racial hatred memiliki pengertian “offensive behaviour because of race, colour or national or ethnic origin”. Racial hatred mensyaratkan unsur adanya tindakan secara sengaja dalam berbagai hal seperti menyerang, merusak, melecehkan, merendahkan, atau mengancam orang lain atau golongan penduduk, di mana tindakan tersebut dilakukan karena berdasarkan perbedaan ras, warna kulit, kebangsaan, atau etnik.[25]

Sebagaimana telah diuraikan dalam bab sebelumnya, KUHP Perancis memang cukup lengkap dan progresif dalam mengatur kejahatan diskriminasi sebagai kejahatan “diskriminasi”, sekaligus mengatur perbuatan yang memiliki intensi diskriminasi bisa masuk kedalam berbagai rumusan tindak pidana klasik,[26] sebagai unsur pemberatan terhadap sanksi pidananya. KUHP Perancis menjadi contoh kebijakan kriminal di mana berbagai bentuk diskriminasi dirumuskan sebagai tindak pidana dan menempatkannya secara mandiri sebagai satu seksi khusus sebuah tindak pidana dengan cakupan yang luas sekaligus beragam gradasi bobot kejahatannya. Namun dengan menimbang perbedaan konstruksi alam pikir tradisi hukum serta pola kebijakan kriminal dalam Rancangan KUHP Indonesia di mana secara spesifik memiliki perbedaan karakter sehingga dikhawatirkan jika kriminalisasi terhadap praktik-praktik diskriminasi sebagaimana yang dilakukan di KUHP Perancis diterapkan pada Rancangan KUHP Indonesia akan membuat komplikasi-komplikasi baru.

Sebagaimana telah disinggung dalam uraian di muka, bahwa Pasal 18 Rancangan Undang-Undang tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis dapat digolongkan sebagai delik penyebar kebencian (hatzaai artikelen), yang memiliki kerentanan untuk menjadi alat represi dari apartaus penegak hukum atau kekuasaan. Sementara itu, untuk melakukan pembatasan agar Pasal-Pasal tersebut diatas tidak dipergunakan secara sewenang-wenang maka diperlukan Pasal pengecualian yang pada dasarnya merupakan mekanisme untuk menjaga keseimbangan dalam hal perlindungan terhadap kebebasan berekspresi. Untuk itu diperlukan pengaturan mengenai persyaratan pengecualian dalam beberapa hal di mana seolah-olah isi dari muatan bahan yang terpublikasi atau diketahui oleh umum telah memenuhi unsur-unsur tindak pidana diskriminasi ras dan etnis tidak diperlakukan sebagai tindak pidana. Hukum pidana dalam hal ini harus melindungi beberapa konteks kepentingan yang lebih luas. Mengacu pada undang-undang diskriminasi rasial di Australia, pengecualian tersebut diberlakukan pada aktivitas-aktivitas dalam lingkup seperti kegiatan berkesenian, kegiatan akademik, ilmu pengetahuan, publikasi/ media massa.[27]

Maka sebagaimana rumusan pengecualian diadakan pada undang-undang mengenai diskriminasi ras di Australia, dalam Rancangan KUHP mendatang Pasal-Pasal tindak pidana yang digolongkan sebagai delik hatzaai artikelen perlu memiliki rumusan pengecualian, yakni:

  1. Dalam hal kegiatan berkesenian dan pertunjukan dalam lingkup kerja-kerja berkesenian
  2. Dalam hal pernyataan-pernyataan, publikasi, diskusi atau debat dalam rangka untuk kepentingan akademik/ kegiatan akademik, seni maupun pengetahuan yang secara umum memiliki tujuan dan kemanfaatan bagi kepentingan publik
  3. Dalam hal publikasi yang: memuat laporan secara fair dan akurat memuat peristiwa-peristiwa yang berkaitan dengan masalah kepentingan publik komentar yang fair mengenai peristiwa-peristiwa di masyarakat, jika oleh orang / pihak yang mengeluarkan kometar merupakan ekspresi yang ujur dan dapat dipercaya dan dalam hal dokumen-dokumen / material yang dipresentasikan di dalam lingkup lembaga-lembaga publik/ negara (seperti parlemen, pengadilan, dokumen penyelidikan dan lain-lain)

Mengenai cakupan “golongan penduduk” rumusan Pasal 286 dan 287 Rancangan KUHP yang melingkupi pula kelompok yang dapat ditentukan berdasarkan jenis kelamin, umur, cacat mental, atau cacat fisik, diusulkan sebaiknya perumusannya dipisahkan dari tindak pidana diskriminasi ras dan etnis. Mengingat, akar dari norma kejahatan yang diadopsi memiliki latar belakang yang berbeda. Hal lainnya adalah karakter unsur dengan sengaja/ kesengajaan untuk melakukan perbuatan diskriminasi ras dan etnis yang memiliki kekhususan pula. Kekhususan tersebut mencakup dua hal yakni, sehubungan dengan asal rumusan yang mendapat pengaruh dari norma internasional dan konteks urgensi pengaturannya di Indonesia karena latar belakang konteks realtas sosial kemasyarakatan di Indonesia.

[1] Rancangan KUHP versi September 2005.

[2] Lihat Muladi, Beberapa Catatan terhadap Buku II R KUHP (Bab I s/d Bab XV, disampaikan Pada Sosialisasi Rancangan KUHP, diselenggarakan oleh Departemen Kehakiman dan HAM, Hotel Sahid Jakarta 24 Agustus 2004.

[3] Lihat Ibid.

[4] Sedangkan pada KUHP Perancis dimasukkan pada buku mengenai kejahatan terhadap orang. Lihat Bab III Kajian ini

[5] Selain perbuatan-perbuatan tersebut, terdapat pula kewajiban negara untuk: (a) Menyatakan tidak sah dan melarang organisasi-organisasi dan kegiatan-kegiatan propaganda atau kegiatan lainnya untuk mendukung dan menghasut diskriminasi rasial (b) Melarang pejabat-pejabat kekuasaan umum atau lembaga-lembaga umum baik tingkat lokal maupun nasional untuk mendukung atau melakukan hasutan diskriminasi rasial.

[6] Undang-Undang Nomor 39 tahun 1999 Pasal 1 angka 3: Diskriminasi adalah setiap pembatasan, pelecehan, atau pengucilan yang langsung ataupun tidak langsung didasarkan pada pembedaan manusia atas dasar agama, suku, ras, etnik, kelompok, golongan, status social, status ekonomi, jenis kelamin, bahasa, keyakninan politik, yang berakibat pengurangan, penyimpangan atau penghapusan pengakuan, pelaksanan atau penggunaan hak asasi manusia dan kebebasan dasar dalam kehidupan baik individu maupun kolektif dalam bidang politik, ekonomi, hukum, social, budaya, dan aspek kehidupan lainnya.

[7]

[8] Lihat pula uraian dari Van Bemmelen, op. cit., hlm. 84 – 85.

[9] Lihat Muladi, Makalah, Perkembangan Asas-Asas Hukum Pidana Material, 4 April 2006.

[10] Dalam konteks kebebasan berekspresi, beliau menempatkannya pada norma yang diatur pada Pasal 19 ICCPR.

[11] Lain halnya dengan kata menghasut yang diberikan penjelasan batasan pengertiannya oleh R KUHP. Pasal 290 berbunyi: Yang dimaksud dengan “menghasut” adalah mendorong, mengajak, membangkitkan, atau membakar semangat orang supaya berbuat sesuatu. Menghasut dapat dilakukan dengan lisan atau tulisan, dan harus dilakukan di muka umum, artinya di tempat yang didatangi publik atau di tempat yang khalayak ramai dapat mendengar.

[12] Lihat Remmelink, hlm. 70 – 71.

[13] Lihat Ibid.

[14] Lihat Sandra Fredman, Discrimination Law, Oxford University Press, 2002, hlm. 27.

[15] Lihat Muladi, Perkembangan Asas-Asas Hukum Pidana Materiil, loc. cit.

[16] Lihat Pasal 4 UU No 40 tahun 2008 tentang PDRE (Undang-Undang tentang Penghpusan Diskriminasi Ras dan Etnis)

[17] Pasal 16 UU PDRE

[18] Lihat Pasal 4 huruf b angka 4 UU PDRE (Undang-Undang tentang Penghpusan Diskriminasi Ras dan Etnis)

[19] Pasal 17 UU PDRE

[20] Pasal 15 UU PDRE

[21] Ke depan, memang diharapkan dimensi perlindungan terhadap hak-hak ekonomi, social, dan budaya termasuk di dalamnya berbagai aspek praktik-praktik diskriminasi dapat secara konsisten dikembangkan sebagai perkara pelanggaran hak asasi manusia dalam berbagai kompetensi lingkungan pengadilan yang ada di Indonesia (dilingkungan pengadilan umum dalam perkara perdata, perselisihan hubungan industrial, maupun dalam lingkup perkara administratif).

[22] Lihat section 9 (1) :

It is unlawful for a person to do any act involving a distinction, exclusion, restriction or preference based on race, colour, descent or national or ethnic origin which has the purpose or effect of nullifying or impairing the recognition, enjoyment or exercise, on an equal footing, of any human right or fundamental freedom in the political, economic, social, cultural or any other field of public life.

[23] Dalam Mahkamah Pidana Internasional yang mengadili perkara bekas negara Yugosavia, dalam beberapa perkara dirangkum pendapat majelis hakim mengenai niat jahat mendiskriminasi dalam kejahatan persecution,[23] yakni: Pertama, niat ditujukan kepada kelompok sasaran, bukan perorangan; Kedua, niat diskriminatif dapat dilihat dari kesadaran untuk terlibat dalam sebuah sistem atau kerjasama yang mendiskriminasi atas dasar ras; Ketiga, pengetahuan bahwa seseorang bertindak diskriminatif tidak cukup; harus ada niat diskriminatif. Bahwa niat ditujukan kepada kelompok sasaran, bukan perorangan, dalam perkara Naletilic dan Martinovic, dasar diskriminatif terjadi pada saat seseorang menjadi target atas dasar pertimbangan agama, politik atau rasnya, misalnya keanggotaannya dalam kelompok tertentu yang disasar oleh pihak pelaku. Sedangkan dalam perkara Blaskic, bahwa pelaku tindak kejahatan persekusi tidak secara langsung menarget seseorang tapi kejahatan ini ditujukan kepada anggota kelompok tertentu seperti ras, agama atau politik. Mengenai niat diskriminatif dilihat dari kesadaran untuk terlibat dalam sebuah sistem atau kerjasama yang mendiskriminasi atas dasar ras, dalam Kvocka dkk. Majelis Hakim menyimpulkan bahwa niat diskriminatif pelaku dapat dilihat dari kesadarannya untuk terlibat dalam sistem atau sebuah kerjasama yang mendiskriminasi atas dasar politik, rasial atau agama. Sedangkan mengenai pengetahuan bahwa seseorang bertindak diskriminatif tidak cukup; harus ada niat diskriminatif, dalam perkara Vasiljevic, bahwa pelaku harus secara sadar berniat untuk mendiskriminasi dalam kejahatan persekusi. Tidak cukup bahwa pelaku hanya sadar bahwa tindakannya diskriminatif. Lebih lanjut dalam perkara Krnojelac, disimpulkan bahwa tidak cukup bagi terdakwa untuk sadar bahwa tindakannya diskriminatif; ia harus secara sadar berniat untuk mendiskriminasi. Lihat Kasus-Kasus Hukum yang Terkait dengan Pengadilan Pidana Internasional Bagi Bekas negra Yugoslavia, Human Right Watch 2004, diterbitkan secara terbatas untuk Pelatihan mengenai Pengadilan Hak Asasi Manusia bagi Penegak Hukum, ELSAM 2006.

[24] Racial Disrimnation Act Australia, dalam hukum federal di Australia 2005 terdapat beberapa undang-undang diskriminasi lainnya, seperti Age Discrimination Act, Sex Discrimination Act, Disability Discrimination Act dalam aspek prosedur complain terhadap pelangaran hukum berkait dengan praktik-praktik diskriminasi tersebut, diundangkanlah Human Rights and Equal Opportunity Commission Act 1986 yang mengatur hukum acara di mana Komisi itu bekerja, termasuk bagaiamana penanganan pemulihan bagi korban. Lihat:

www.humanrights.gov.au/legal/federation_discrimination_law_05/pdf

[25] Ibid., section 18 c.

[26] Yang dimaksud dengan tindak pidana klasik adalah bentuk pidana paling tua, yakni delik menyakiti atau merugikan, seperti Pasal mengenai pembunuhan, pemerkosaan, penculikan, perampasan harta benda dan penganiayaan. Lihat op. cit., Remmelink, hlm. 61 – 62.

[27] Lihat Racial Discrimination Act Australia:Section 18C: does not render unlawful anything said or done reasonably and in good faith: (a) in the performance, exhibition or distribution of an artistic work; or (b) in the course of any statement, publication, discussion or debate made or held for any genuine academic, artistic or scientific purpose or any other genuine purpose in the public interest; or (c) in making or publishing: i. a fair and accurate report of any event or matter of public interest; or ii. a fair comment on any event or matter of public interest if the comment is an expression of a genuine belief held by the person making the comment.

Leave a Reply