Tindak Pidana Narkotika dalam Rancangan KUHP: Jerat Penjara untuk Korban Narkotika

Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) di Indonesia yang digunakaan saat ini adalah warisan dari pemerintah Hindia Belanda yang diberlakukan melalui aturan UU No 1 tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana. Pada 5 Juni 2015, melalui Surat Presiden RI R-35/Pres/06/2015 pemerintah memulai pembahasan Rancangan KUHP (RKUHP) dengan DPR. Pada 30 Mei 2018, Rapat antara Pemerintah dan DPR dengan agenda pembahasan rekomendasi rumusan dari Pemerintah, Rapat tersebut menghasilkan draft 28 Mei 2018.

Sebelumnya pada draft pertama yang diserahkan DPR pada 2015, tindak pidana narkotika diletakkan pada Bab XVII tentang Tindak Pidana Penyalahgunaan Narkotika dan Psikotropika setelah Bab XVI tentang Kesusilaan. Sejak awal tahun 2018 mulai digulirkanlah proposal yang menyatakan bahwa pengaturan tindak pidana di luar KUHP dalam RKUHP sebagai konsep rekodifikasi. Namun pemeritah dan DPR secara berkali-kali menyatakan bahwa tindak pidana yang sudah diatur diluar KUHP yang dimuat dalam RKUHP hanya core crimes saja atau kejahatan inti, dengan sebutan “hanya cantolan”. Dan akhirnya ketentuan mengenai tindak pidana narkotika dimasukkan ke dalam bab “Tindak Pidana Khusus”.

Dengan ide rekodifikasi, harusnya perumusan RKUHP dilakukan dengan mengevaluasi penerapan UU yang selama ini dilakukan. Namun nyatanya, ketentuan mengenai tindak pidana narkotika dalam Bab “Tindak Pidana Khusus” hanya dilakukan dengan salin-tempel rumusan ketentuan pidana dalam UU Narkotika (UU Narkotika). Salah satu akibatnya adalah RKUHP tidak mampu menjangkau pengaturan ketentuan-ketentuan teknis dalam UU Narkotika, sehingga menjadi membingungkan ketika rumusan tindak pidana narkotika disalin dalam dalam RKUHP tanpa mengatur secara jelas aspek administrasi yang menjadi inti UU Narkotika, seperti jaminan rehabilitasi bagi pecandu narkotika dan korban penyalahguna narkotika. Di sisi yang lain, diakomodirnya tindak pidana narkotika dalam RKUHP justru secara jelas menegaskan bahwa pendekatan yang digunakan Negara dalam menangani masalah narkotika adalah dengan pendekatan pidana bukan dengan pendekatan kesehatan masyarakat.

Institute for Criminal Justice Reform dan Rumah Cemara, yang tergabung dalam Aliansi Nasional Reformasi KUHP, berharap upaya pembaruan hukum pidana yang saat ini dilakukan antara pemerintah dan DPR dapat menjamin hak – hak asasi manusia yang dijamin dalam UUD 1945 dan berbagai komitmen internasional yang telah disepakati oleh Negara Republik Indonesia. Terkhusus mengenai masalah narkotika harus ditekankan pada perlindungan korban dari narkotika itu sendiri. Baik melalui perspektif kesehatan masyarakat maupun memastikan tidak ada pasal dalam RKUHP yang dapat mengkriminalisasi korban narkotika.

Unduh Laporan Disini

Kami memahami, tidak semua orang orang memiliki kesempatan untuk menjadi pendukung dari ICJR. Namun jika anda memiliki kesamaan pandangan dengan kami, maka anda akan menjadi bagian dari misi kami untuk membuat Indonesia memiliki sistem hukum yang adil, akuntabel, dan transparan untuk semua warga di Indonesia tanpa membeda – bedakan status sosial, pandangan politik, warna kulit, jenis kelamin, asal – usul, dan kebangsaan.

Hanya dengan 15 ribu rupiah, anda dapat menjadi bagian dari misi kami dan mendukung ICJR untuk tetap dapat bekerja memastikan sistem hukum Indonesia menjadi lebih adil, transparan, dan akuntabel

Klik taut icjr.or.id/15untukkeadilan

Leave a Reply