Tindak Pidana Perkosaan dalam R KUHP
Oleh: Supriyadi Widodo Eddyono & Indry Oktaviani
Pengantar
Bila dibandingkan dengan rumusan dalam KUHP, maka rumusan kejahatan perkosaan di dalam R KUHP sudah mulai mengalami perkembangan. Perkembangan tersebut mencakup:
Pertama, persetubuhan tanpa kehendak atau persetujuan perempuan yang bersangkutan (dengan kekerasan/paksaan/ancaman/pingsan/tidak berdaya) dimana dalam konsep R KUHP perbuatan ini dikualifikasikan sebagai perkosaan (Pasal 489). Persetubuhan dengan wanita yang pingsan atau tidak berdaya sebenarnya sudah ada di dalam Pasal 286 KUHP, tetapi tidaklah disebut sebagai delik perkosaan tetapi kejahatan persetubuhan.
Kedua, Persetubuhan dengan perempuan yang percaya (menganggap) bahwa laki-laki tersebut adalah suaminya yang sah, dalam R KUHP dinyatakan sebagai perkosaan (statutory rape) dan termasuk delik yang baru.
Ketiga, persetubuhan dengan perempuan di bawah 14 tahun, dalam R KUHP juga sudah disebut sebagai perkosaan. Delik ini sebetulnya sudah ada dalam Pasal 287 KUHP (lama) tetapi tidak disebut sebagai delik perkosaan, lagi pula dalam elemennya, perbuatan persetubuhan tersebut harus menimbulkan luka-luka bagi korban.
Keempat, diperluasnya perumusan delik perkosaan yaitu: perbuatannya tidak hanya bersetubuh (memasukkan alat kelamin ke dalam vagina) tetapi juga memasukkan alat kelamin ke dalam anus atau mulut atau memasukkan sesuatu benda (buka bagian tubuh laki-laki) ke dalam vagina atau memasukkan penis laki-laki ke mulut perempuan. Caranya tidak hanya dengan kekerasan/ancaman kekerasan tetapi juga dengan cara apapun di luar kehendak atau persetujuan korban. Sedangkan objek kejahatannya tidak hanya perempuan dewasa yang sadar tetapi juga perempuan yang tidak berdaya/pingsan, dan di bawah umur, juga tidak hanya terhadap perempuan yang tidak setuju (di luar kehendaknya) tetapi juga terhadap perempuan yang memberikan persetujuannya karena di bawah ancaman, karena kekeliruan/kesesatan/penipuan atau karena masih anak – anak.
Kelima, dari segi ancaman pidana, Pasal-Pasal perkosaan dalam R KUHP sudah mencantumkan pidana minimal-maksimal, dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun. Dalam hal ini disparitas pemidanaan dalam kasus perkosaan dapat semakin di minamilisir. Sehingga kekhawatiran bahwa pelaku perkosaan akan dihukum sangat ringan misalnya beberapa bulan, dapat dihindari.
Namun, jika di perhatikan lebih cermat, Pasal-Pasal perkosaan dalam R KUHP ini memiliki berbagai kelemahan, terutama jika dikontekskan dengan perkembangan pengertian maupun definisi dari perkosaan. Apalagi jika di kaitkan dengan tren hukum pidana, perkembangan instrumen hak asasi manusia, maupun praktek-praktek pengadilan internasional yang sudah ada terkait dengan perlindungan perempuan dan anak terhadap praktek-praktek kejahatan seksual.
Beberapa catatan tersebut meliputi: (a) perumusan elemen perkosaan yang belum memadai terutama mengenai pengertian persetubuhan, (b) ketiadaan konsep perkosaan dalam perkawinan (marital rape), (c) konsep perkosaan bagi anak yang masih minim (statutory rape terbatas), mencakup pula pembatasan umur anak yang tidak konsisten. (d) Penjelaskan definisi “tanpa kehendak” atau “tanpa persetujuan” yang masih belum jelas; serta (e) Penempatan Perkosaan dalam Bab Kesusilaan. Untuk lebih jelas akan di paparkan di bawah ini.
Konsep Persetubuhan
Konsep persetubuhan dalam R KUHP masih tidak jauh berbeda dengan KUHP saat ini. Penjelasan RUU juga tidak memberikan pengertian yang perlu dicermati ialah karena penjelasan dalam RUU tidak ditemukan maka pengertian persetubuhan (elemen) akan mengikuti pendapat yang secara umum telah diterima (lihat pembahasan pada BAB III)
Menurut Hoge Raad dalam pertimbangan hukum suatu Arestnya (5-2-1912) menyatakan suatu persingungan di luar alat-alat kelamin pria dan wanita itu bukan merupakan persatuan antara alat-alat kelamin tersebut , yang diperlukan dalam suatu perkosaan
Hal ini yang ditafsirkan lebih luas oleh Soesilo dengan menyatakan bahwa persetubuhan adalah perpaduan alat kelamin laki-laki dengan alat kelamin perempuan yang biasanya dilakukan untuk memperoleh anak, dimana alat kelamin laki-laki masuk ke dalam alat kelamin perempuan yang kemudian mengeluarkan air mani.[1] Oleh sebab itu maka dalam konteks ini persetubuhan tersebut terjadi dengan: adanya penetrasi penis kedalam vagina dan ejakulasi penis dalam vagina. Ini pengertian luas yang sebaiknya tidak dijadikan panduan bagi hakim.
Sedangkan konsep persetubuhan yang di kemukakan oleh dading menyatakan sebagai suatu hubungan kelamin antara seorang pria dan seorang perempuan, hubungan itu pada umumnya dapat menimbulkan akibat kehamilan bagi perempuan itu. Tentang persetubuhan tersebut dading selanjutnya mengatakan bahwa kemaluan dari seorang perempuan, karena hubungan yang tidak wajar (paksaan) antar kedua bagian dari alat kelamin itu menimbulkan akibat luka pada perempuan remaja. Sedangkan penumpahan mani tidak perlu terjadi, karena meskipun hal itu dibutuhkan untuk kehamilan, namun bagi perempuan remaja, kejahatan perkosaan yang dilakukan oleh pelaku tidaklah perlu ditujukan ke arah itu. Untuk persetubuhan pada umumnya tidak perlu terjadi suatu pertumpahan mani, berhubung ketentuan dalam Pasal perkosaan tidak ditujukan kepada kehamilan, karena kekuasaan kehamilan tidak terletak dalam kekuasaan manusia sepenuhnya.
Terhadap konsep ini perlu dikemukakan pula bahwa konsep persetubuhan dalam R KUHP sebaiknya juga mengalami perkembangan misalnya : penggunaan penetrasi sedalam apapun yang telah diterima oleh praktek hukum pidana internasional.[2]
Walaupun dalam Pasal 489 ayat (2) telah dikembangkan perluasan perbuatan perkosaan yakni: Dianggap juga melakukan tindak pidana perkosaan, jika dalam keadaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) a.laki-laki memasukkan alat kelaminnya ke dalam anus atau mulut perempuan; atau b.laki-laki memasukkan suatu benda yang bukan merupakan bagian tubuhnya ke dalam vagina atau anus perempuan. Namun ada kelemahan terhadap ketentuan ini sehingga perlu pula ditambahkan elemen (1) masuknya bagian dari tubuh pelaku dalam vagina atau anus perempuan misalnya, memasukkan jari-jari tangan, tangan, jari kaki, kaki, ke dalam vagina atau anus, korban. Dan (2) laki-laki memasukkan lidah nya ke alat kelamin perempuan.
Perluasan perbuatan perkosaan dalam R KUHP terkait dengan kejahatan perkosaan dalam Pasal 491 ayat (1) huruf a
Perbuatan perkosaan
|
Penjelasan |
Persetubuhan
|
laki-laki memasukkan alat kelaminnya ke dalam vagina perempuan (bukan istrinya) |
Sodomi
|
laki-laki memasukkan alat kelaminnya ke dalam anus perempuan (bukan istrinya) |
Oral sex paksa dengan Felatio | laki-laki memasukkan alat kelaminnya ke dalam mulut perempuan (bukan istrinya) |
memasukkan alat ke vagina | laki-laki memasukkan suatu benda yang bukan merupakan bagian tubuhnya ke dalam vagina (bukan istrinya) |
memasukkan alat ke anus
|
laki-laki memasukkan suatu benda yang bukan merupakan bagian tubuhnya ke dalam anus perempuan (bukan istrinya) |
Elemen yang belum dimasukkan dalam hal perkosaan
memasukkan bagian tubuh ke vagina | memasukkan jari-jari tangan, tangan, jari kaki, kaki, ke dalam vagina korban |
memasukkan bagian tubuh ke anus | memasukkan jari-jari tangan, tangan, jari kaki, kaki, ke dalam anus korban |
cuningulis | laki-laki memasukkan lidahnya ke alat kelamin perempuan |
Elemen “Bertentangan Dengan Kehendak” atau “Tanpa Persetujuan” dari Korban.
Bila di bandingkan dengan rumusan elemen-elemen perkosaan dalam KUHP yang saat ini ada, tentunya rumusan elemen-elemen delik perkosaan dalam R KUHP jauh lebih memadai. Hal utama yang paling penting untuk di perhatikan yang ada kaitannya dengan elemen perkosaan adalah elemen “bertentangan dengan kehendak” atau “tanpa persetujuan” dari korban.
Pasal 491 menyatakan bahwa:
Dipidana karena melakukan tindak pidana perkosaan, dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun:
laki-laki yang melakukan persetubuhan dengan perempuan di luar perkawinan, bertentangan dengan kehendak perempuan tersebut;
laki-laki yang melakukan persetubuhan dengan perempuan di luar perkawinan, tanpa persetujuan perempuan tersebut;
Elemen penting dalam Pasal tersebut adalah: bertentangan dengan kehendak atau tanpa persetujuan dari perempuan tersebut. Mengapa elemen ini merupakan elemen yang penting ? jika kita kembali melihat rumusan perkosaan dalam KUHP dan kita bandingkan maka dirumuskannya elemen ini akan mengubah secara mendasar elemen perkosaan yang selama ini diterima dalam praktek-praktek pengadilan untuk kasus perkosaan. (Lihat tabel)
Rumusan elemennya | |
KUHP
|
Barangsiapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seorang wanita bersetubuh dengan di di luar perkawinan, diancam karena melakukan perkosaan |
R KUHP | laki-laki yang melakukan persetubuhan dengan perempuan di luar perkawinan, bertentangan dengan kehendak perempuan tersebut;
laki-laki yang melakukan persetubuhan dengan perempuan di luar perkawinan, tanpa persetujuan perempuan tersebut |
Adanya elemen baru ini tentunya akan lebih membantu pembuktian dalam kejahatan perkosaan karena elemen ini lebih memudahkan dalam hal terpenuhinya elemen perkosaan ketimbang elemen KUHP yang saat ini berlaku. Pengertian bertentangan dengan kehendak ini haruslah ditafsirkan secara luas yakni: pengertiannya mencakup apapun yang intinya bertentangan dengan kehendak korban adalah termasuk pula perbuatan yang tidak di inginkan (no consent) dari korbannya.
Oleh karena itu bertentangan dengan kehendak tersebut bisa diartikan dengan menekan kehendak orang lain yang bertentangan dengan kehendak orang lain itu agar orang lain tadi menerima kehendak orang yang menekan atau sama dengan kehendaknya sendiri. Misalnya dengan cara penipuan, penyesatan, lebih-lebih lagi jika perbuatan tersebut dilakukan dengan cara-cara: perbuatan memaksa, perbuatan dengan kekerasan atau ancaman kekerasan yang ditujukan baik terhadap korban, maupun pada orang lainnya (pihak ke 3) untuk menundukkan korban.
Problem yang timbul adalah karena penjelasan dalam R KUHP untuk elemen ini tidaklah memadai sepanjang terkait dengan bertentangan dengan kehendak dan juga elemen tanpa persetujuan, karena dalam prakteknya mungkin ada kesulitan untuk membedakan antara “bertentangan dengan kehendak” dengan “tanpa persetujuan”.
Elemen Situasi yang Tidak Cukup Memadai
Pasal perkosaan dalam R KUHP juga telah menentukan adanya suatu situasi tertentu yang dirincikan. Misalnya dalam Pasal 491 ayat (1) huruf c, d, f dinyatakan bahwa:
Dipidana karena melakukan tindak pidana perkosaan, laki-laki yang melakukan persetubuhan dengan perempuan, dengan persetujuan perempuan tersebut, tetapi persetujuan tersebut dicapai melalui ancaman untuk dibunuh atau dilukai;
Laki-laki yang melakukan persetubuhan dengan perempuan, dengan persetujuan perempuan tersebut karena perempuan tersebut percaya bahwa laki-laki tersebut adalah suaminya yang sah;
Laki-laki yang melakukan persetubuhan dengan perempuan, padahal diketahui bahwa perempuan tersebut dalam keadaan pingsan atau tidak berdaya.
Situasi-situasi khusus yang ada tersebut sebenarnya di ambil dari KUHP yakni dalam Pasal 286-289, oleh karena itu situasi khusus yang ada belumlah begitu memadai. KUHP belum memasukkan situsi khusus seperti: (1) secara khusus rentan atau tidak dapat melawan karena ketidakmampuan fisik atau mental (psikis), atau (2) dipancing melakukan kegiatan dengan kejutan, atau misrepresentasi (penyelewengan fakta) (3) mengambil keuntungan dari situasi korban yang tidak berdaya.
Penekanan dari ketentuan-ketentuan tersebut semacam itu adalah bahwa korban karena tidak memiliki kapasitas yang bersifat permanen (enduring) atau kualitatif (misalnya keterbatasan mental, atau fisik atau masih anak – anak) atau yang sementara dan bersifat situasional (misalnya berada di bawah tekanan psikologis atau dalam keadaan tidak dapat melawan) tidak dapat menolak untuk dikenakan tindakan seksual.
Elemen Pihak Ketiga
Hal penting lainnya terkait dengan perkosaan yang belum dimasukkan dalam R KUHP adalah jika perkosaan menggunakan pihak ketiga (dipaksa, dengan kekerasan atau ancaman kekerasan) untuk melakukan perkosaan terhadap perempuan, bukan dengan persetubuhan tetapi menggunakan cara-cara lainnya seperti Pasal 491 ayat (2) R KUHP.
Misalnya seorang pelaku memaksa orang lain (pihak ke3) baik laki-laki atau perempuan untuk memperkosa korban perempuan dengan cara-cara dalam Pasal 491 ayat (2) yakni memasukkan alat kelaminnya ke mulut perempuan; atau memasukkan suatu benda yang bukan merupakan bagian tubuhnya ke dalam vagina atau anus perempuan (lihat tabel)
Pelaku
|
Menggunakan
Pihak ketiga, atau bersama-sama |
Melakukan perkosaan Kepada korban perempuan |
Baik laki-laki ataupun perempuan | Baik laki-laki maupun perempuan dengan cara paksa, kekerasan, ancaman kekerasan | Alat lain ke vagina atau anus
Bagian tubuh lainnya ke vagina atau anus |
Bagaimana R KUHP menanggapi pola kejahatan perkosaan yang seperti ini ? Karena hal ini penting untuk dikemukakan karena bukan tidak mungkin pola-pola kejahatan perkosaan semakin lama semakin berkembang dan motif perkosaan pun mengalami banyak variasi.[3]
Penempatan ‘Perkosaan’ dalam Bagian Kesusilaan
Dalam KUHP dan R KUHP, delik perkosaan ditempatkan dalam Delik Kesusilaan. Secara umum dinyatakan bahwa delik kesusilaan adalah delik yang berhubungan dengan (masalah) kesusilaan (etika). Pernyataan ini menunjukkan bahwa, menentukan batasan dan pengertian mengenai kesusilaan tidaklah sederhana. Karena itu batasan-batasan kesusilaan (etika) sangat tergantung dengan nilai-nilai yang berlaku dalam suatu masyarakat. [4]
Hal ini juga diakui oleh Soesilo yang menyatakan bahwa “sifat merusak kesusilaan perbuatan-perbuatan tersebut kadang-kadang amat bergantung pada pendapat umum pada waktu dan ditempat itu”.[5] Meskipun demikian, Soesilo merumuskan contoh-contoh perbuatan yang dapat dikategorikan sebagai delik kesopanan[6] “disini dalam arti kata kesusilaan, suatu perasaan malu yang berhubungan dengan nafsu kelamin misalnya bersetubuh, meraba buah dada perempuan, meraba tempat kemaluan perempuan atau laki-laki, mencium dsb. Yang semuanya dilakukan dengan “perbuatan”.
Meski pengertian dan batasan kesusilaan tidak sederhana, namun jelas terlihat bahwa penekanan kesusilaan adalah untuk melindungi nilai-nilai yang ada di masyarakat. Dengan menempatkan delik Perkosaan dalam Bab Kesopanan, maka delik ini menjadi terlihat lebih menekankan untuk melindungi nilai-nilai kesusilaan di masyarakat, bukan untuk melindungi perempuan atau pihak lain yang rentan menjadi korban perkosaan atau kekerasan seksual lainnya. Selain itu, R KUHP belum mengakomodir adanya perkosaan yang dilakukan di antara laki-laki atau di antara perempuan. Menunjukkan masih kuatnya nilai-nilai di masyarakat yang menganggap bahwa perkosaan hanya terjadi dalam hubungan heteroseksual.
Dengan berkembangnya definisi perkosaan yang semakin mengarah pada pengakuan bahwa perkosaan sebagai bentuk kejahatan seksual dan kejahatan yang menyerang integritas tubuh seseorang. Maka, sudah selayaknya R KUHP menekankan delik perkosaan sebagai tindak kejahatan pada integritas tubuh individu, bukan terbatas pada penodaan nilai-nilai di masyarakat dengan cara menempatkan perkosaan sebagai delik pidana tersendiri.
Belum Mengatur Marital Rape
Dalam R KUHP konsep marital rape bisa dikatakan belum ada. Jika kita perhatikan elemen-elemen Pasal 491 tak satupun yang secara eksplisit bisa digunakan untuk mengatur masalah marital rape. Kalau pun ada konsep marital rape itu pun sangatlah terbatas yang ada dalam Pasal 491 (1) huruf f dimana korbannya adalah perempuan yang pingsan atau tidak berdaya. (lihat tabel)
Aturan | Korban | Keterangan |
491 (1) huruf a | Perempuan di luar kawin | |
491 (1) huruf b | Perempuan di luar kawin | |
491 (1) huruf c | Perempuan | Dengan persetujuan melalui ancaman |
491 (1) huruf d | Perempuan | Percaya bahwa pelaku adalah suaminya |
491 (1) huruf e | Perempuan | Berusia di bawah 14 tahun dengan persetujuan |
491 (1) huruf f | Perempuan | Pingsan atau tidak berdaya |
Minimnya konsep marital rape yang ada dalam R KUHP tentunya akan menimbulkan problem karena kejahatan perkosaan terhadap istri saat ini kerap terjadi dan telah menimbulkan banyak korban. Lagi pula R KUHP pun telah berupaya memasukkan kejahatan domestik (kekerasan dalam rumah tangga, KDRT) dalam BAB II, yang salah satu Pasalnya adalah mengenai kekerasan seksual dalam rumah tangga.[7] Sebaiknya R KUHP memasukkan marital rape sebagai salah satu bentuk perkosaan, dengan mengakomodir substansi pemaksaan hubungan seksual dalam UU PKDRT tanpa mengurangi esensinya. Sehingga lebih memiliki konsistensi yang sama dengan aturan lainnya dalam BAB II R KUHP.
Konsep Perkosaan bagi Anak yang Masih Minim
Problem yang penting dalam Pasal-Pasal perkosaan di R KUHP adalah masalah perkosaan terhadap anak. Untuk masalah ini ada dua hal yang patut di kemukakan. Pertama dalam R KUHP yakni dalam Pasal 491 (1) huruf e dinyatakan bahwa: laki-laki yang melakukan persetubuhan dengan perempuan yang berusia di bawah 18 (empat belas) tahun, dengan persetujuannya; sehingga dalam perkosaan huruf e objek perempuannya yang berusia di bawah 18 tahun dan adanya unsur persetujuan dari perempuan tersebut.
R KUHP menjelaskan bahwa ketentuan dalam huruf e ini mengatur mengenai tindak pidana yang dikenal sebagai “statutory rape” yaitu bahwa meskipun pihak perempuan memberikan persetujuan, namun karena perempuan tersebut belum mencapai 18 (delapan belas) tahun, maka persetubuhan ini dikategorikan sebagai perkosaan menurut peraturan perundang-undangan.[8]
Namun R KUHP ternyata telah menyamaratakan persetubuhan bagi anak perempuan baik dengan persetujuan (korban)nya atau tanpa persetujuannya (perkosaan). Padahal dua perbuatan tersebut baik unsur maupun implikasi perbuatannya sangat berbeda. Dengan persetujuan atau tanpa persetujuan seharusnya memiliki konsekswensi hukum yang berbeda pula. Namun ketiadaan rumusan perkosaan bagi anak perempuan (dan laki-laki) tanpa persetujuannya akan memberikan implikasi minimnya perlindungan perkosaan bagi anak-anak.
Memasukkan “Statutory rape” ke dalam tindak pidana perkosaan tentunya akan lebih melindungi anak-anak perempuan dari tindak kejahatan dan eksploitasi seksual. Lagi pula persetujuan yang diberikan anak perempuan lebih disebabkan ketidaktahuan, kepolosan atau karena bujuk rayu dan sebagainya. Seorang anak perempuan dianggap tidak dapat memberi persetujuan (secara hukum) untuk melakukan persetubuhan. Dengan kata lain seorang anak perempuan (a female juvenile) dapat secara pribadi setuju untuk berhubungan seksual namun hukum tidak mengakui kemampuan untuk “menyetujui” oleh karena itu seorang pria yang bersetubuh dengannya dianggap “tanpa persetujuan si anak perempuan”.[9]
Hal yang harus diklarifikasi adalah hampir samanya rumusan Pasal ini dengan Pasal 486 RKUHP yakni setiap orang yang melakukan persetubuhan dengan anak-anak, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Kategori IV dan paling banyak Kategori VI. Perbedaanya adalah anak-anak dalam Pasal ini bisa anak laki-laki atau perempuan sedangkan dalam Pasal 489 hanya diperuntukkan persetubuhan terhadap anak perempuan.
Namun problemnya dalam R KUHP terutama dalam Pasal ini adalah bahwa perkosaan bagi anak-anak hanyalah diperuntukkan bagi anak perempuan sedangkan perkosaan bagi anak laki-laki tidak dicantumkan karena akan diatur dalam Pasal-Pasal pencabulan. Hal kedua, ialah R KUHP menyamakan posisi pelaku perkosaan terhadap anak sama dengan posisi perkosaan orang dewasa[10], dengan tidak adanya pemberian pemberatan pidananya.
[1] Lihat Soesilo hal 209
[2] Lihat pembahasan Bab II
[3] Walaupun dalam prakteknya konteks ini telah di jelaskan dalam berbagai doktrin yang ada namun R KUHP harus pula mampu menjawab masalah hal ini. Misalnya dalam konteks perkosaan yang dilakukan oleh beberapa orang secara bersama-sama, atau dalam kasus perkosaan yang pelakunya bukanlah merupakan orang yang memasukkan penis ke dalam vagina korban, namun telah memaksa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan telah melakukan hubungan kelamin. Atau dalam kondisi perkosaan dimana dalam pelaksanaannya hanya menghasilkan suatu percobaan untuk melakukan perkosaan yang dilakukan beberapa orang.
Menurut Hoge Raad 9 April 1934, NJ 1934 halaman 1058 W 12756 telah memutuskan bahwa: jika tindakan-tindakan dari setiap terdakwa ataupun dari salah seorang dari para terdakwa-tidak dengan sendirinya dianggap, melainkan jika dihubungkan dengan tindakan-tindakan orang lain-menghasilkan suatu perkosaan, maka perbuatan dari mereka yang tidak melakukan sendiri semua perbuatan, agar yang dilakukan tersebut sebagai perkosaan, maka harus diberikan kualifikasi sebagai turut melakukan kejahatan ini khususnya turut melakukan percobaan kejahatan perkosaan.
[4] Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Bandung, 1996
[5] R. Soesilo, KUHP , serta Komentar-komentarnya Lengkap Pasal demi Pasal, Bogor, 1996.
[6] Beberapa referensi hukum tidak menggunakan istilah “Kesusilaan” melainkan menggantinya dengan “Kesopanan”, salah satu contoh referensi hukum yang menggunakan kata “Kesopanan” adalah KUHP, serta Komentar-komentarnya Lengkap Pasal demi Pasal” yang ditulis oleh R. Soesilo.
[7] Pada Pasal 8 UU PKDRT dinyatakan bahwa yang termasuk dalam Kekerasan seksual sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf c meliputi: (a) pemaksaan hubungan seksual yang dilakukan terhadap orang yang menetap dalam lingkup rumah tangga tersebut; (b) pemaksaan hubungan seksual terhadap salah seorang dalam lingkup rumah tangganya dengan orang lain untuk tujuan komersial dan/atau tujuan tertentu.
[8] Lihat penjelasan dalam R KUHP tahun 1999-2000 untuk Pasal 423.
[9] Lihat Edward Eldofonso dan Alan R Coffey, Criminal Law History-Philosophy-Enforcement, Harper & Row Publihers, New York, 1981.
[10] Perlu diperhatikan bahwa jika persetubuhan terhadap perempuan yang belum berusia 14 tahun tanpa peersetujuan maka yang digunakan adalah Pasal 489 (1) huruf a,b,c,d dan f.