Tindak Pidana Terhadap Ideologi Negara dalam Rancangan KUHP
Oleh: Dr. Shidarta, SH, MHum
Pengaturan terkait tindak pidana terhadap ideologi negara dalam R-KUHP terdapat pada Pasal 219 sampai dengan Pasal 221 (versi terakhir R-KUHP yang diajukan Pemerintah ke DPR), masing-masing di bawah dua paragraf, yaitu berupa: (1) penyebaran ajaran Komunisme/Marxisme-Leninisme, dan (2) peniadaan dan pergantian ideologi Pancasila. Tindak pidana terhadap ideologi negara ini merupakan bagian dari tindak pidana terhadap keamanan negara.
Catatan terhadap Pasal 219
Penyebutan secara eksplisit terkait larangan penyebaran atau pengembangan ajaran Komunisme/Marxisme-Leninsime dalam satu pasal khusus memperlihatkan mind-set yang sangat kuat pada kekhawatiran munculnya kembali paham ekstremis kiri di Indonesia. Padahal, paham ekstremis kanan pun tidak dapat disangkal jugamengandung bahaya yang sama tinggi derajatnya.
Menjadi cukup menarik untuk menyimak kenyataan bahwa ajaran Komunisme/Marxisme-Leninisme yang klasik hampir tidak lagi diminati dewasa ini. Telah muncul varian-varian baru dalam gerakan kaum kiri, seperti yang diperagakan oleh kaum kiri baru (new-left) yang di dalamnya juga terkandung kritik terhadap Komunisme/Marxisme sebagaimana pernah dipraktikkan oleh Lenin dan Mao. Akan sangat terbuka kemungkinan bahwa pandangan kaum kiri baru seperti inipun bisa saja dikategorikan sebagai ajaran Komunisme/Marxisme-Leninisme. Memang Penjelasan Pasal 219 telah mencoba mengunci perluasan tafsir seperti itu dengan mengatakan bahwa paham yang dilarang itu adalah ajaran Karl Marx yang terkait pada dasar-dasar dan praktik perjuangan yang diajaran oleh Lenin, Stalin, Mao Tse-Tung, dan lain-lain, yang mengandung benih-benih dan unsur-unsur yang bertentangan dengan falsafat Pancasila.
Rumusan penjelasan di atas ternyata perlu dibaca secara hati-hati juga. Kata “dan lain-lain” pada penjelasan itu tentu sangat luas, bisa mencakup ajaran dari siapa saja. Lalu kata “benih-benih dan unsur-unsur” memperlihatkan suatu potensi. Padahal, ajaran yang bersifat ideologi apapun (tidak hanya Komunisme/Marxisme-Leninisme) pasti punya potensi pertentangan dengan Pancasila. Hal ini karena “ideologi” bagi suatu negara merupakan pilihan bagi negara tersebut. Ideologi Pancasila bagi Indonesia merupakan pilihan sadar bagi bangsa dan negara Indonesia. Sebagai pilihan sadar, maka ideologi ini pasti dianggap benar dan terbaik oleh bangsa dan negara tersebut. Setiap ideologi pasti punya sifat subjektif untuk membenarkan dirinya sendiri. Dengan demikian, ideologi selain Pancasila, seperti liberalisme, neo-liberalisme, kapitalisme, komunisme, adalah ideologi-ideologi yang kurang benar dan kurang baik bagi Indonesia. Hanya Pancasila sebagai ideologi terbaik bagi Indonesia. Ideologi-ideologi lain itu kurang benar dan kurang baik karena pasti di dalamnya ada pertentangan dengan falsafah Pancasila.
Di sisi lain, secara internal pun kita masih menghadapi masalah dengan tafsir kita sendiri terhadap substansi dari ideologi Pancasila itu sendiri. Pada akhir tahun 1980 sampai pertengahan 1990-an, Pemerintah Orde Baru pernah mewacanakan Pancasila sebagai ideologi terbuka. Idenya adalah bahwa Pancasila justru didorong untuk secara terus-menerus melakukan pembaruan, menyesuaikan diri dengan perkembangan (self-renewal). Pandangan demikian sampai sekarang tampaknya masih tetap diterima, atau setidak-tidaknya belum pernah dikoreksi.
Pasal 219 ayat (3) menyatakan, “Tidak dipidana orang yang melakukan kajian terhadap ajaran Komunisme/Marxisme-Leninisme dengan maksud dan tujuan semata-mata untuk kegiatan ilmiah.” Subjek norma dalam ayat ini adalah “setiap orang” sementara di dalam ayat ini adalah kata-kata “maksud dan tujuan”. Jika dibaca dalam satu nafas, maaka orang yang punya maksud dan tujuan semata-mata untuk kegiatan ilmiah adalah orang-orang yang berkecimpung dalam dunia ilmu pengetahuan. Lalu siapa yang dimaksud orang-orang seperti ini? Apakah harus dari kalangan akademis? Apakah bisa oleh kalangan non-akademis? Apakah kajian para aktivis LSM, misalnya, dapat juga dikategorikan sebagai kajian orang yang punya maksud dan tujuan ilmiah? Hal-hal ini belum jelas terjawab. Demikian juga dengan kata-kata “semata-mata ilmiah”. Kata-kata ini membuka celah penafsiran lain karena dalam kajian ilmiah pun selalu terbuka tujuan dan kegunaan lain, termasuk dalam rangka menginisasi pembaruan terhadap Pancasila sebagai ideologi terbuka itu tadi.
Catatan terhadap Pasal 220
Pasal ini memuat larangan terhadap orang yang mendirikan organisasi yang diketahui atau patut diduga keras menganut ajaran Komunisme/Marxisme-Leninisme, atau mengadakan hubungan dengan organisasi berasaskan ajaran tersebut.
Makna dari kata-kata “menganut” pada Pasal 220 ayat (1) memberi ruang tafsir yang juga sangat terbuka. Indikator dari “menganut” ini bisa saja secara eksplisit terlacak dari anggaran dasar organisasi itu, namun penyidik dapat saja kemudian mengacu pada ucapan, tindakan, dan/atau simbol-simbol yang digunakan dalam aktivitas organisasi tersebut. Lagi-lagi tafsir yang terbuka seperti ini pasti memberi peluang untuk diplesetkan.
Sementara itu, bagi organisasi yang mengadakan hubungan dengan orang perorangan dan organisasi lain (terlebih-lebih dari luar negeri) juga diminta berhati-hati terhadap ancaman Pasal 220 ayat (3). Lembaga Indonesia penerima donor dari organisasi asing, tentu harus benar-benar melacak siapa-siapa saja orang yang duduk di lembaga donor itu, termasuk mencari tahu apakah mereka berafilisi ke kelompok kiri atau tidak. Demikian juga harus ditelusuri rekam jejak lembaga ini. Sesuatu yang tidak selalu mudah dilakukan!
Catatan terhadap Pasal 221
Jika Pasal 219 dan 220 ingin dirangkum, maka sebenarnya rangkumannya bisa disatukan menjadi Pasal 221 ini. Ide dari larangan berupa tindak pidana terhadap ideologi negara berangkat dari kekhawatiran atas peniadaan dan penggantian ideologi Pancasila.
Dalam Pasal 221 ayat (1) disebutkan tentang ancaman bagi setiap orang yang secara melawan hukum di muka umum menyatakan keinginannya dengan lisan, tulisan, atau melalui media apa pun untuk meniadakan atau mengganti Pancasila sebagai dasar negara. Kata-kata “secara melawan hukum” pada ayat ini cukup membingungkan karena secara a-contrario kemudian dapat ditanyakan: apakah ada tindakan dari Pasal 221 ayat (1) ini yang boleh dilakukan karena dianggap “tidak secara melawan hukum”? Misalnya, apakah para akademisi yang memuat kajian ilmiah tentang Pancasila, lalu sampai pada rekomendasi mengganti bunyi salah satu Pancasila; apakah hal ini bisa dikatakan sebagai TIDAK melawan hukum [nota bene juga tidak melanggar Pasal 221 ayat (1)]? Pertanyaan ini sejalan dengan makna Pasal 219 ayat (3) yang sudah disinggung sebelumnya, bahwa mengkaji ajaran Komunisme/Marxisme-Leninisme untuk kajian ilmiah juga tidak dipidana.
Demikian sekilas catatan-catatan tentang Pasal 219, 220, dan 221 dari R-KUHP.