Update Panja R KUHP: Dorong Kehadiran Anggota DPR dalam Pembahasan

Sejak 26 oktober 2015 dan dilanjutkan pada 17 sd 25 November 2015 Panja R KUHP telah membahas secara marathon R KUHP 2015 secara terbuka di Komisi III DPR. Sampai dengan kemarin hari Ramis tanggal 25 November, panja bersama pemerintah telah membahas sampai dengan No DIM 164 (Pasal 54 R KUHP). Pembahasan kemarin juga telah menyelesaikan pembahasan di Bab 1 buku II R KUHP.

Tabel 1, Rekapitulasi DIM

 

No

 

Kategori DIM

 

Jumlah

 

Keterangan

 

1 Jumlah keseluruhan DIM sebanyak 2394 DIM  
2 Jumlah DIM yang bersifat Substansi sebanyak 847 DIM dibahas dalam Rapat Panitia Kerja (Panja).
3 Jumlah DIM yang bersifat Substansi Baru sebanyak 88 DIM dibahas dalam Rapat Panitia Kerja (Panja).
4 Jumlah DIM yang bersifat Minta Penjelasan sebanyak 221 DIM dibahas dalam Rapat Panitia Kerja (Panja).
5 Jumlah DIM yang bersifat Redaksional sebanyak 73 DIM TIM substansi dan singkronisasi
6 Jumlah DIM yang bersifat Catatan sebanyak 62 DIM dibahas dalam Rapat Panitia Kerja (Panja).
7 Jumlah DIM yang dinyatakan Tetap sebanyak 1103 DIM Langsung disetujui dengan catatan DIM tersebut dapat dibahas kembali apabila terdapat keterkaitan dengan DIM lainnya

Tabel 2. Pembahasan DIM R KUHP per 26 November 2015

 

Jadwal pembahasan

 

DIM YANG DISEPAKATI

 

DIM YANG PENDING

 

 

Isu khusus

Selasa, 17 November 2015 1-44   Asas legiltas dan hukum adat
Rabu, 18 November 2015 48, 52, 53, 54, 55, 56, 59, 60, 61, 62, 63, 66, 67, 71, 72, 73, 74, 75, 76, 77, 78, 79, 80, 82, 83, 84, 85, 86, 87A, 89, 90, 91, 92, 93, 94, 95 81, 88, Tindak pidana pengaduan, dan usia anak
Kamis 19 November 2015 97, 98, 99, 100, 101, 102, 103, 104, 105, 106, , 123, 124, 107, 108, 109 -122 Perintah jabatan
Senin, 23 November 2015 156, 157 125- 155 konsolidasi pemerintah  
Selasa,24 November 2015
Rabu, 25 November 2015 158, 159, 160, 164 161, 162, 163 diformulasikan ulang oleh pemerintah

 

Pidana korporasi

Aliansi Nasional Reformasi KUHP mengapresiasi pembahasan tersebut, namun aliansi melihat ada beberapa hal yang harus di dorong yakni:

  • Pertama, masalah kehadiran anggota panja, hampir dalam seluruh pembahasan jumlah anggota yang hadir cukup minim, tidak sampai separuh dari keseluruhan anggota Panja. Ini kemungkinan besar karena banyaknya agenda non legislasi yang harus d respon DPR dan menumpuk di akhir tahun. Terlihat juga beberapa anggota Panja yang tidak secara konsisten sehingga kerap merugikan pembahasan.
  • Kedua pembahasan Panja R KUHP masih memiliki kebutuhan yang besar untuk tetap menghadirkan pakar-pakar pidana dalam rapat pembahasan tersebut. Aliansi Mengapresiasi kehadiran beberapa pakar Pidana yang tetap memberikan masukan terhadap pembahasan. Pemerintah dan DPR secara konsisten sebaiknya memfasilitasi dan membantu akses kehadiran para pakar pidana tersebut.
  • Ketiga Rapat pembahasan juga terus melakukan pemantauan terhadap tim-tim khusus yang melakukan perumusan subtansi dan singkronisasi hasil pembahasan. Karena hampir semua DIM yang di sepakati diserahkan perumusan ulangnya kepada Tim subtansi dan singkronisasi tersebut.

Aliansi juga melihat ada beberapa isu krusial yang menjadi perhatian Panja R KUHP, walaupun sebagian dari isu ini telah disepakati dalam rapat, Aliansi mendorong agar Panja tetap melakukan pendalaman karena pentingnya isu tersebut, beberapa isu tersebut yakni

Asas legalitas versus hukum yang hidup dalam masyarakat

Mayoritas fraksi menilai, perlu ada aturan lebih lanjut terkait dengan pemberlakuan hukum adat atau hukum hidup. Hukum adat dapat diterima menjadi sumber hukum pidana selama dirumuskan atau ditetapkan dalam peraturan daerah (perda) yang diakui secara nasional. Hal tersebut dilakukan untuk menjamin agar dalam penerapannya nanti tidak menyulitkan. Ini karena R KUHP khususnya pasal 2 telah membuka peluang seperti yang dinyatakan: Pasal 2 (1) “Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (1) tidak mengurangi berlakunya hukum yang hidup dalam masyarakat yang menentukan bahwa seseorang patut dipidana walaupun perbuatan tersebut tidak diatur dalam peraturan perundang‑undangan”. Aliansi nasional sepakat dengan beberapa tanggapan dari beberapa fraksi yang memberikan sanggahan kritis terhadap usul dari pemerintah. Aliansi menilai ketentuan ini sebaiknya di cabut karena bertentangan dengan asas legalitas.

Delik Aduan dan usia anak dalam R KUHP

Dalam Paragraf 7 Tindak Pidana Aduan Pasal 27 dinyatakan

  • Dalam hal korban tindak pidana aduan belum berumur 16 (enam belas) tahun dan belum kawin atau berada di bawah pengampuan maka yang berhak mengadu adalah wakilnya yang sah.

(2)    Dalam hal wakil yang sah dari korban tindak pidana aduan belum berumur 16 (enam belas) tahun dan belum kawin tidak ada, maka penuntutan dilakukan atas pengaduan wali pengawas atau majelis yang menjadi wali pengawas.

(3)    Dalam hal wakil yang sah dari korban yang berada di bawah pengampuan tidak ada maka penuntutan dilakukan atas dasar pengaduan istrinya atau keluarga sedarah dalam garis lurus.

(4)    Dalam hal wakil sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak ada maka pengaduan dilakukan oleh keluarga sedarah dalam garis menyamping sampai derajat ketiga atau majelis yang menjadi wali pengampu.

Aturan tersebut di muat dalam NO DIM 109-122 dan banyak dikritik oleh fraksi, Fraksi Gerindra mengusulkan usia 16 diganti 18. PKS, Nasdem, PKB juga setuju dengan gerindra. Walaupun Pemerintah bersiskukuh bahwa Pengaturan usia anak beda-beda karena konteksnya berbeda. Pemerintah berpandangan anak diturunkan jadi 16 tahun, supaya anak 16 tahun bisa melaporkan sendiri apabila menjadi korban. Namun beberapa fraksi tetap mempertahankan 18 tahun. fraksi berpendapat bahwa jika memberikan perlindungan kepada anak seharusnya dilakukan secara menyeluruh.

Terkait delik aduan terkait tindak pidana zina yang di atur dalam Pasal 26 juga sebaiknya di kritisi karena ini akan berimplikasi serius dengan perkembangan tindak pidana zina dalam R KUHP. R KUHP memperluas tindak pidana zina (tidak terbatas kepada hubungan perkawinan) oleh karena itu delik aduan dalam pasal 26 akan membuka peluang pengaduan yang sangat luas khususnya dalam tindak pidana zina.

Pidana korporasi

Aturan pidana korporasi diatur dalam Buku I R KUHP pasal 49-51. Pengaturan terkait pidana korporasi sangat krusial , karena selama ini KUHP belum mengaturnya.

Pasal 49

Tindak pidana dilakukan oleh korporasi jika dilakukan oleh orang-orang yang mempunyai kedudukan fungsional dalam struktur organisasi korporasi yang bertindak untuk dan atas nama korporasi atau demi kepentingan korporasi, berdasarkan hubungan kerja atau berdasarkan hubungan lain, dalam lingkup usaha korporasi tersebut, baik sendiri-sendiri atau bersama-sama.

Pasal 50

Jika tindak pidana dilakukan oleh korporasi, pertanggungjawaban pidana dikenakan terhadap korporasi dan/atau pengurusnya atau personil pengendali korporasi

Pasal 51

Korporasi dapat dipertanggungjawabkan secara pidana terhadap suatu perbuatan yang dilakukan untuk dan/atau atas nama korporasi, jika perbuatan tersebut termasuk dalam lingkup usahanya sebagaimana ditentukan dalam anggaran dasar atau ketentuan lain yang berlaku bagi korporasi yang bersang­kutan.

Dalam pembahasan tanggal 25 November 2015 ada tiga isu khusus terkait korporasi yang mendapat perhatian serius, yakni:

  • Mengenai syarat tindak pidana korporasi (pasal 49 dan 51). Pembahasan menyepakati singkronisasi dan menambahkan kata “atau” yaitu “demi kepentingan korporasi” atau “keuntungan korporasi”.
  • Mngenai jenis pemidanaan bagi korporasi. Pembahasan mendiskusikan mengenai tidak ada jenis pemidanaan khusus, jika korporasi yang salah dalam rancangan KUHP. Pasal 52 R KUHP hanya mengatur pertanggungjawaban yang dilakukan oleh Pengurus Korporasi, yang diinginkan juga dapat dicantumkan juga hukuman bagi Korporasinya.
  • Kemudian isu mengenai perlindungan korporasi dalam Pasal 53 (1) yang menyatakan “Dalam mempertimbangkan suatu tuntutan pidana, harus dipertimbang­kan apakah bagian hukum lain telah memberikan perlindungan yang lebih berguna daripada menjatuhkan pidana terhadap suatu korporasi “ Panja mempertanyakan hal ini merupakan domain KUHAP dan dapat menimbulkan celah baru dan justru memberikan keuntungan bagi korporasi. Pemerintah bersikukuh bahwa Pasal ini memiliki filosofis, yang berisikan ketentuan ultimum remidium, yaitu pemidanaan dilakukan sebagai upaya terakhir, karena memidana korporasi dampaknya luas sehingga harus dipertimbangkan dengan sebaik-baiknya. Namun menurut Panja hal perlu diformulasikan dengan lebih jelas.

Aliansi meyambut baik hasil pembahasan terkait pidana korporasi tersebut, namun semangat yang terpenting dalam pembahasan pidana korporasi adalah R KUHP harus menutup celah bagi korporasi yang melakukan pidana untuk menghindari tanggung jawabnya di masa depan.

Leave a Reply