Wacana Dinas Syariat Islam Aceh untuk memberlakukan Hukum Qisas untuk Pembunuhan: Bukti RKUHP sebagai Mimpi buruk Masa Depan Perlindungan Hak Asasi Manusia di Indonesia
Upaya pengadopsian hukum yang hidup dalam R KUHP harus dipikirkan ulang
Baru-baru ini Dinas Syariat Islam Aceh mewacanakan untuk penerapan hukum Qisas bagi perlaku kejahakan khususnya pembunuhan dan memberlakukan hukum pancung atau pemenggalan kepala di depan umum.
Aliansi Nasional Reformasi KUHP mengingatkan bahwa ketentuan Pasal 2 yang mengesampingkan asas legalitas dan adopsi hukum yang hidup dalam masyarakat di RKUHP membuka celah terhadap kemungkinan munculnya ketentuan – ketentuan seperti ini di berbagai wilayah Indonesia. Masalah akan semakin kompleks karena pemerintah pusat tidak lagi memiliki instrumen untuk dapat mencegah dan/atau dengan segera membatalkan peraturan seperti ini di masa depan.
Dalam pembahasan RKUHP tentang ketentuan hukum yang hidup dalam masyarakat, Pemerintah menyatakan bahwa aturan ini akan dibakukan dalam bentuk Peraturan Daerah yang nantinya akan dikompilasi oleh Pemerintah Pusat. Apa yang terjadi saat ini di Aceh akan sangat mungkin direplikasi di daerah lain dengan alasan bahwa Peraturan Daerah tersebut berasal dari hukum yang hidup dalam masyarakat.
Aliansi menegaskan meskipun ada ketentuan Pasal 2 ayat (2) mengenai katup pengaman bahwa Peraturan Daerah tersebut tidak boleh bertentangan dengan Pancasila, Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, hak asasi manusia, dan asas-asas hukum umum yang diakui masyarakat beradab. Namun dalam praktiknya tidak mudah untuk mengatasi atau membatalkan Peraturan Daerah tersebut.
Sebagai contoh dengan berlakunya Qanun Jinayat di Aceh yang mengatur tentang hukuman cambuk di depan umum, secara tegas Menteri Dalam Negeri telah mengirimkan surat 188.34/1655/SJ kepada Gubernur Aceh yang memaparkan 58 poin pertentagan Qanun Jinayat dengan UU Nasional. Namun begitu hingga sekarang, Qanun Jinayat tetap belaku dan hukuman cambuk masih tetap dilaksanakan bahkan sampai dengan Januari 2018 lalu. Kewenangan pembatalan Perda oleh Menteri Dalam Negeri pun telah dicabut oleh Putusan Mahkamah Konsitusi 56/PUU-XIV/2016. Lantas satu-satunya cara menghapus Peraturan Daerah yang bertentangan dengan Peraturan Perundang-undangan hanya dapat dilakukan melalui permohonan judicial review ke Mahkamah Agung dengan beban 900 berkas untuk 1 hakim (Biro Humas MA, Abdullah, Desember 2017).
Adanya wacana pemberlakukan hukuman pancung harusnya menjadi momentum bagi Pemerintah dan DPR untuk memikirkan ulang pengadopsian hukum yang hidup dalam masyarakat ke dalam hukum pidana nasional.
Aliansi Nasional Reformasi KUHP menyerukan agar Pemerintah untuk membuka dialog multipihak khususnya untuk mendefinisikan ulang relasi antara masyarakat adat dengan negara dan relasi hukum adat dengan hukum negara