Wamenkumham Sebut Pemerkosaan dan Pemaksaan Aborsi Tak Masuk RUU TPKS Karena Sudah Diatur di RKUHP
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Wakil Menteri Hukum dan HAM Edward Omar Sharif Hiariej mengatakan tidak masuknya pemerkosaan dan pemaksaan aborsi di RUU TPKS didasarkan pada pertimbangan untuk menghindari tumpang tindih aturan dengan regulasi lain.
Hal tersebut menanggapi Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) yang menyayangkan pandangan Pemerintah yang disampaikan Wamen Eddy saat rapat pembahasan Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual.
Dalam rapat pembahasan RUU TPKS dengan Badan Lesgislasi DPR, Eddy menyebut pemerkosaan dan pemaksaan aborsi tidak diatur dalam RUU TPKS.
Menurut Edy, pemerkosaan dan aborsi sudah diatur dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP).
Eddy juga merupakan Ketua Tim RUU KUHP.
“Saya mampu meyakinkan satu ini, tidak akan pernah tumpang tindih dengan RKUHP, karena kita membuat matriks ketika akan menyusun RUU TPKS. Khusus memang mengenai pemerkosaan itu sudah diatur rinci di dalam RKUHP,” kata Eddy kepada wartawan, Rabu (6/4/2022).
Selain soal pemerkosaan, Eddy juga mengusulkan aborsi dihapus dari RUU TPKS.
Ini karena aborsi sudah diatur secara rinci dalam pasal 469 RKUHP.
“Mengapa soal aborsi itu kami usul dihapus karena itu diatur dalam Pasal 469 yang dikatakan kemarin mengenai pemaksaan aborsi. Pemaksaan itu kan artinya tanpa persetujuan,” kata dia.
“Di dalam RUU KUHP itu perempuan yang tanpa persetujuannya kemudian dilakukan pengguguran janin dan sebagainya masuk dalam konteks tindak pidana,” kata Eddy.
Aborsi diketahui juga sudah diatur dalam UU Nomor 36/2009 tentang Kesehatan.
Dalam pasal 75 ayat 1, disebutkan bahwa setiap orang dilarang melarang aborsi.
Namun ada pengecualian untuk dua kondisi, yaitu indikasi kedaruratan medis yang dideteksi sejak usia dini kehamilan dan kehamilan akibat perkosaan yang dapat menyebabkan trauma psikologis bagi korban perkosaan.
Diketahui, semangat ini juga diserukan Ketua DPR RI Puan Maharani, dalam acara audiensi dengan para aktivis yang mengawal RUU TPKS.
Puan menyebut RUU TPKS harus hadir sebagai satu payung hukum untuk menjaga serta membuat aman masyarakat, khususnya kaum perempuan.
Meski begitu, dia juga menilai pentingnya memperhatikan korban-korban kekerasan seksual dari kelompok masyarakat lainnya seperti kaum lelaki dan disabilitas.
“Ini harus menjadi undang-undang yang dapat membuat kita bekerja dengan nyaman dan merasa dilindungi, agar UU ini juga dapat melindungi anak hingga cicit kita. Apalagi kita perempuan, jiwa keibuan kita itu akan sangat melekat di manapun kita berada,” kata Puan Maharani.
Sumber berita klik di sini