Abolisi Pidana kurungan dalam RKUHP : Pengaruh dan Akibatnya
Muhammad Rafi, Peneliti Lembaga Kajian dan Advokasi untuk Independensi Peradilan (LeIP)
Pendahuluan
Beredarnya isu Revisi terhadap KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana) menimbulkan pelbagai kontroversi tak hanya dikalangan civitas academica, tetapi juga di kalangan civil society hingga praktisi hukum. Kontroversi ini juga timbul diakibatkan oleh pelbagai sebab. Diantaranya adanya ketentuan yang dicabut, diubah, dan digantikan dengan ketentuan yang sama sekali baru dan jauh berbeda dengan KUHP yang saat ini berlaku. Salah satunya adalah mengenai dicabutnya ketentuan mengenai pidana kurungan.
Legitimasi keberlakukan pidana kurungan sebagai bentuk pemidanaan diatur dalam Pasal 10 KUHP, sedangkan asas mengenai pelaksanaan pidana kurungan diatur dalam Pasal 18 hingga Pasal 29 KUHP. Pidana kurungan merupakan bentuk pemidanaan yang sifatnya sama seperti penjara, yakni hukuman yang bertujuan untuk membatasi ruang gerak dari siterhukum. Namun dalam penerapannya sebagai pidana pokok, terdapat beberapa ketentuan yang membedakan antara pidana penjara dengan pidana kurungan. Perbedaan tersebut membuat pidana kurungan menjadi relatif lebih ringan jika dibandingkan dengan pidana penjara. Ketentuan tersebut diantaranya adalah sebagai berikut;[1]
- Terpidana yang dijatuhi hukuman pidana kurungan memiliki hak pistole yaitu hak atau kesempatan untuk dapat mengadakan makanan dan tempat tidur atas biaya sendiri. (Pasal 23 KUHP);
- Para terpidana penjara dan terpidana kurungan keduanya sama-sama diwajibkan mengerjakan pekerjaan-pekerjaan sosial. Namun bagi terpidana kurungan pekerjaan tersebut lebih ringan jika dibandingkan dengan terpidana penjara. (Pasal 19 ayat (1) KUHP);
- Maksimum ancaman pidana kurungan adalah 1 (satu) tahun, dan jika terdapat pemberatan pidana maka dapat ditambah hingga sekali-kali tidak boleh melebihi 1 tahun 4 bulan. (Pasal 18 KUHP);
- Terdapat pemisahan antara tempat pengurungan antara terpidana penjara dan terpidana yang dijatuhi pidana kurungan. Hal ini dilakukan jika kedua terpidana tersebut dikurungan dalam Lembaga Pemasyarakatan yang sama. (Pasal 28);
- Pelaksanaan hukuman pidana kurungan dilaksanakan di dalam daerah domisili dari terpidana itu sendiri. Jika mengacu kepada buku S.R. Sianturi, domisili yang dimaksud dengan ketentuan disini adalah kabupaten tempat terpidana tinggal. (Pasal 21).
Berdasarkan hal tersebut diatas, maka dapat kita tarik kesimpulan perbedaan umum antara pidana kurungan dan pidana penjara adalah sebagai berikut:
Perbedaan | Pidana Penjara | Pidana Kurungan |
Dari sudut pandang jenis tindak pidana dalam KUHP. | Kejahatan. | Pelanggaran, dan beberapa kejahatan tertentu (Pasal 114, 188, 191ter, 193, 195, 197, 199, 201, 359, 360, dan 481 KUHP). |
Maksimum lamanya pemidanaan. | 20 tahun (jika dalam waktu tertentu). | Paling lama 1 tahun, dan jika ada pemberatan, maka paling lama 1 tahun 4 bulan. |
Lokasi Pemidanaan. | Lembaga Pemasyarakatan Dimana saja. | Lembaga Pemasyarakatan dalam daerah dimana terpidana berdiam ketika putusan hakim dijalankan. |
Perbedaan lainnya. | a. Tidak memiliki hak pistole.
b. Wajib menjalankan segala pekerjaan yang dibebankan kepadanya.
|
a. Memiliki hak pistole.
b. Pekerjaan yang diwajibkan kepadanya relatif lebih ringan dibandingkan dengan terpidana penjara. |
Tabel 1: Perbedaan pidana kurungan dengan pidana penjara
Selain dapat dijatuhkan sebagai pidana pokok, pidana kurungan dapat juga difungsikan sebagai pidana pengganti atas pidana denda.[2] Tujuan dari adanya penggantian bentuk pemidanaan disebabkan adanya kemungkinan bagi terpidana untuk tidak mampu melunasi kewjibannya membayar denda, sehingga alternatif yang dibuka adalah dengan mengganti pemidanaan dengan hukuman terhadap badan. Dalam prakteknya, penerapan pidana kurungan sebagai pidana pengganti dari pidana denda adalah bersifat alternatif yang berarti terpidana diberikan hak untuk memilih apakah membayar pidana denda secara sukarela atau memilih pidana kurungan (Pasal 30 ayat (2) KUHP). Berbeda sebagai penjatuhan pidana pokok, pidana kurungan sebagai pengganti pidana denda memiliki batas maksimum yang relatif cukup rendah yakni selamanya adalah enam bulan (Pasal 30 ayat (3) KUHP), dan jika ada pengulangan maka maksimum dapat di tambah menjadi delapan bulan (Pasal 30 ayat (5).
Dalam rancangan terbaru dari revisi KUHP[3], ketentuan mengenai pidana kurungan dihapuskan sama sekali. Baik sebagai pidana pokok maupun sebagai pidana pengganti dari pidana denda. Tulisan ini akan menelaah dampak dari dihapuskannya pidana kurungan dari kodifikasi hukum pidana, baik dari sisi penerapannya sebagai pidana pokok, penerapannya sebagai pengganti pidana denda, hingga aspek lain yang memiliki dampak langsung atas dihapuskannya bentuk pemidanaan ini.
Alasan dihapuskan
Dihapuskannya pidana kurungan dari KUHP diakibatkan oleh tidak efektifnya penerapan pidana kurungan dari segi pelaksanaannya. Seringkali terpidana yang dijatuhkan pidana kurungan ditempatkan di dalam sel dan perlakuan yang sama dengan terpidana yang dijatuhi hukuman penjara. Hal ini disebabkan tidak memadainya fasilitas yang dimiliki oleh Lembaga Pemasyarakatan. Minimnya fasilitas ini membuat negara terpaksa memasukkan terpidana kurungan kedalam sel yang sama dengan terpidana yang dijatuhi pidana penjara.
Selain itu, penyebab dihapusnya pidana kurungan juga disebabkan oleh misi yang ingin dibawa oleh RKUHP itu sendiri. Satu dari beberapa pembaharuan yang ingin dibawa oleh RKUHP adalah dengan menghapuskan BUKU ke-3 dari KUHP tentang pelanggaran dan memasukkan pidana yang masih relevan kedalam BUKU ke-2. Dengan kata lain, dalam RKUHP nantinya tidak ada lagi klasifikasi pelanggaran atau kejahatan, istilah yang digunakan nantinya adalah satu, yaitu Tindak Pidana saja. Kendati mengidentikkan pelanggaran dengan sanksi kurungan tidaklah relevan,[4] harus diakui pemahaman akademisi dan praktisi hukum di Indonesia masih erat dalam mengaitkan tindak pidana pelanggaran dengan pidana kurungan. Implikasinya, jika wacana pengahapusan pelanggaran dilakukan maka secara tidak langsung akan menghapuskan juga pidana kurungan.
Alasan berikutnya dihapuskannya Pidana Kurungan dari RKUHP adalah akibat “dituduhnya” Pidana Kurungan menjadi penyebab tidak efektifnya pidana denda. Seringkali terpidana lebih memilih pidana kurungan daripada membayar pidana denda membuat pemerintah “geram” terhadap pidana kurungan. Karena pidana denda yang seharusnya masuk kedalam kas negara malah beralih menjadi cost yang harus dikeluarkan negara untuk membiayai terpidana didalam sel. Padahal jika dikaji lebih dalam, penyebab tidak efektifnya pidana denda adalah tidak seimbangnya antara jumlah pidana denda dengan pidana kurungan sebagai pidana pengganti. Sebagai contoh penulis mengambil tindak pidana yang diatur dalam Pasal 111 UU 35 tahun 2009 tentang narkotika. Dalam ketentuan tersebut diatur bahwa pidana denda yang dijatuhkan adalah minimum 800 juta dan maksimum 8 milyar. Begitu besarnya pidana denda yang dijatuhkan membuat akal sehat siapapun justru lebih memilih pidana kurungan yang hanya 6-8 bulan dibanding membayar pidana denda sekurang-kurangya 800 juta. Belum lagi jika terpidana sudah menjalani beberapa tahun pidana penjara, pidana kurungan 6 – 8 bulan tentu tidak akan berdampak apapun.
Alih-alih mengefektifkan pidana kurungan, RKUHP malah mencoba menghidupkan kembali pidana tutupan yang sudah lama ditinggalkan dalam penerapan sanksi pidana di Indonesia. Pidana tutupan sejatinya tidak terdapat dalam KUHP yang disusun oleh pemerintah kolonial belanda (Wetboek van Strafrecht), namun berdasarkan Undang-Undang No.20 Tahun 1946 tentang Hukuman Tutupan dimasukkan kedalam pidana pokok yang terdapat dalam Pasal 10 KUHP. Pidana tutupan bertujuan sebagai bentuk pemidanaan terhadap kejahatan yang diancam dengan hukuman penjara, karena terdorong oleh maksud yang patut dihormati (Pasal 2 UU 20 Tahun 1946). Jika kita mengambil contoh penerapan pidana tutupan lebih diterapkan kepada tahanan politik atau lain sebagainya. Akan tetapi dengan kondisi Indonesia dan dunia yang sudah dapat dikatakan stabil apakah pemidaan yang demikian masih dapat berlaku efektif?
Perubahan asas pidana denda dalam RKUHP
Jika pidana kurungan dihapuskan dari RKUHP, lantas bagaimanakah RKUHP mengatur dalam hal terpidana tidak mampu membayar pidana denda? Ketentuan tersebut diatur dalam Paragraf 6 tentang Pelaksanaan Pidana denda Pasal 84. Asas yang dianut adalah bersifat imperatif, dimana terpidana tidak lagi memiliki pilihan selain untuk membayar denda. Hal ini termanifestasi dengan ketentuan jika terpidana tidak mampu membayar pidana denda maka baik harta bendanya maupun pendapatannya akan dirampas untuk dijadikan sebagai pembayaran pidana denda (Pasal 84 ayat (2) RKUHP). Sedangkan jika harta terpidana sudah tidak ada lagi untuk dirampas, maka diganti dengan pidana kerja sosial atau pidana pengawasan atau pidana penjara. Akan tetapi, pidana sosial dan pidana pengawasan hanya dapat dikenakan pada ancaman pidana denda yang dijatuhkan dibawah Kategori I (Pasal 85 ayat (1) RKUHP). Sedangkan untuk pidana denda yang dikenakan diatas kategori I alternatif pemidanaan yang dijatuhkan hanya pidana penjara (Pasal 86 ayat (1) RKUHP). Lama ancaman pidana penjara pengganti-pun berbeda anatar dua golongan tersebut. Untuk pidana denda yang dijatuhkan dibawah kategori I lama pidana penjara pengganti yang dijatuhkan paling singkat 1 bulan dan paling lama 1 tahun dengan ketentuan dapat diperpanjang menjadi 1 tahun 4 bulan jika ada pemberatan (Pasal 85 ayat (2) c RKUHP). Sedangkan untuk golongan pidana denda yang dijatuhkan diatas kategori I, penjara pengganti yang dijatuhkan minimal 1 tahun dan maksimal adalah sesuai dengan ancaman pidana penjara sebagai pidana pokok dalam tindak pidana bersangkutan.
Ringkasnya, perbandingan pengaturan pidana pengganti dari pidana denda dari masing-masing KUHP dan RKUHP, maka dapat dilihat tabel berikut:
KUHP | RKUHP | ||
Dibawah Golongan 1 | Diatas Golongan 1 | ||
Jika terpidana tidak mampu membayar denda | Terpidana dapat memilih pidana pengganti (Kurungan) | Dikenakan perampasan terhadap harta benda terpidana, jika tidak mencukupi baru dikenakan pidana pengganti | |
Bentuk sanksi pengganti pidana denda | Pidana Kurungan | Pidana Penjara atau Pengawasan atau Kerja Sosial | Pidana penjara |
Lama sanksi pengganti pidana denda | Maksimum 6 bulan, dan dapat diperberat 8 bulan. | Pidana kerja Sosial minimum 7 jam, maksimum 240 jam bagi terpidana usia 18 tahun keatas dan 120 jam bagi terpidana usia dibawah 18 tahun. (Pasal 88 ayat (4) RKUHP)
Pidana Pengawasan minimum 1 bulan, maksimum 1 tahun.
Pidana Penjara minimum 1 bulan, maksimum 1 tahun dan dapat di perberat 1 tahun 4 bulan. |
Minimum 1 tahun, maksimum sesuai dengan ancaman pidana penjara pokok tindak pidana bersangkutan |
Tabel 2 : Perbedaan ketentuan sanksi alternatif pidana denda dalam KUHP dan RKUHP
Jika dibandingkan dengan KUHP yang saat ini berlaku, dapat dikatakan penerapan pidana denda dalam RKUHP jauh lebih represif. Niat baik pembuat undang-undang yang ingin mengefektifkan pidana denda dengan menerapkan pidana perampasan jika terpidana tidak membayar denda, memang harus diapresiasi. Jika konsep yang demikian memang diterapkan, justru mengubah orientasi pidana denda yang semula sebagai alat pemberian penderitaan, menjadi seolah-olah ajang bagi negara untuk meraup keuntungan dari rakyatnya. Belum lagi dampak negatif yang ditimbulkan akibat dikenakannya pidana perampasan, justru akan memiskinkan terpidana dengan cara yang sangat tidak proporsional. Hal ini disebabkan tidak adanya nilai ekonomis yang pasti atas barang terpidana yang dirampas. Sebuah barang yang dirampas dan dilelang sudah barang tentu tidak memiliki nilai harga yang sama pada saat terpidana membeli barang tersebut. Implikasinya, cost yang dikeluarkan oleh terpidana justru akan semakin lebih besar dari yang seharusnya ia bayar.
Tidak sampai disana, penerapan pidana penjara jika terpidana sudah tidak memiliki aset yang memungkinkan untuk dirampas terbilang sangat kejam. Hal ini dikarenakan dibukanya kemungkinan seoarang terpidana menjalani hukuman pidana penjara hingga 40 tahun jika ia tidak membayar denda. Memang RKUHP sudah membuat sistem yang memungkinkan pidana penjara bukanlah pilihan utama dalam hal mengganti pidana denda, ada pidana pengawasan dan juga pidana kerja sosial. Akan tetapi, hal tersebut hanya berlaku terhadap pidana denda dibawah kategori I. Faktanya hanya 1[5] dari 131 tindak pidana yang diatur dalam Buku 2 RKUHP yang diancam dengan kategori 1.[6] Dengan kondisi yang demikian, pidana kerja sosial dan pengawasan sudah barang tentu hanya menjadi bentuk pemidanaan “pajangan” yang sangat disangsikan penerapannya.
Mekanisme pengaturan pidana denda yang demikian tampak seperti mengadopsi pidana uang pengganti dalam tindak pidana korupsi. Asas yang dibawa cenderung sama, dimana uang pengganti yang dijatuhkan kepada terpidana diterapkan secara imperatif dimana harta benda terpidana akan dirampas untuk dijadikan pembayaran jika menolak untuk membayar. Mengenai alternatif pemidanaan yang dibawa pun sama, yakni menggunakan pidana penjara. Tidak sampai disana, lama pidana penjara pengganti yang diterapkan pun sama.[7] Bukan berarti penulis tidak sepakat dengan asas yang dibawa didalam pidana uang pengganti dalam perkara korupsi, akan tetapi perlu kita ingat bahwa tujuan utama uang pengganti bukanlah sebagai bentuk penderitaan, melainkan upaya untuk mengembalikan aset negara yang hilang. Hal yang serupa serta-merta tidak dapat diaplikasikan kepada pidana denda yang tujuannya sudah berbeda jauh dengan pidana uang pengganti.
Lain cerita jika kita berbicara dalam hal subjek tindak pidana yang dikenakan sanksi denda adalah Korporasi. Konsep perampasan aset dalam hal Korporasi tidak mampu membayar denda masih relevan untuk diterapkan. Sebab, Korporasi adalah subjek hukum yang tidak dapat dikenakan pidana badan. Sehingga, perampasan aset merupakan jalan satu-satunya sebagai perwujudan supremasi hukum terkait pelaksanaan hukuman denda.
Permasalahan yang timbul dalam penyusunan Peraturan Daerah
Tidak hanya berdampak pada penerapan pidana denda, dihapuskannya pidana kurungan juga berdampak pada Peraturan Daerah yang juga mengatur mengenai sanksi pidana. Berdasarkan Pasal 15 ayat (2) UU 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, Sanksi pidana dapat juga diatur dalam Peraturan Daerah Provinsi atau Kabupaten/Kota. Penerapan sanksi harus mengikuti ketentuan bahwa maksimal pidana denda adalah 50 juta, dan pidana kurungan maksimum 6 bulan kurungan. Timbul pertanyaan, bagaimanakah penerapan pidana kurungan yang selama ini sudah diatur dalam Peraturan Daerah seluruh Indonesia? Hal ini sejatinya sudah diantisipasi dalam Ketentuan Peralihan di RKUHP. Berdasarkan Pasal 777 RKUHP diberlakukan maka seluruh ancaman pidana kurungan luar RKUHP ini diganti menjadi ancaman pidana denda dengan ketentuan; ancaman pidana kurungan kurang dari 6 (enam) bulan diganti dengan ancaman pidana denda Kategori I; dan ancaman pidana kurungan 6 (enam) bulan atau lebih diganti dengan ancaman pidana denda Kategori II.
Atas ketentuan yang demikian, timbul pertanyaan baru. Jika ternyata seluruh pidana kurungan dalam Perda berubah menjadi pidana denda apakah diperbolehkan sebuah tindak pidana mengatur 2 bentuk sanksi pidana yang sama (denda)? Lantas bagaimana dengan pengaturan sanksi pidana dalam Perda kedepannya? Apakah kemungkinan untuk mengatur sanksi berupa pemidanaan terhadap badan di dalam Perda sudah ditutup? Jika tidak, maka satu-satunya bentuk pemidanaan yang dapat dijadikan acuan hanyalah pidana penjara. Pertanyaan lanjutannya adalah, apakah dimungkinkan bagi Perda untuk mengatur pidana penjara yang jelas batas maksimumnya adalah 20 tahun? Pertanyaan-pertanyaan demikianlah yang mungkin muncul jika pidana kurungan dihapuskan dari kodifikasi, dalam hal penerapan sanksi pidana dalam Perda.
Perbandingan dengan Kodifikasi Pidana Belanda
Dalam Wetboek van Strafrecht (KUHP Belanda) ketentuan mengenai pidana kurungan sebagai pidana pokok masih berlaku.[8] Ketentuan ini diatur dalam Article 9 WvS point a number 2. Sedangkan mengenai penerapannya diatur dalam undang undang yang lebih khusus diluar kodifikasi. Akan tetapi konten yang akan diatur di dalam undang-undang tersebut setidaknya harus merujuk pada article 11 Wvs yaitu:[9]
“By or under law, rules are made on the enforcement of custodial sentences and custodial measures. These rules include at least:
- the appointment and use of devices intended for such implementation;
- the selection of persons on whom the implementation of the aforementioned penalties and measures to place the devices;
- managing and monitoring devices;
- the regime in the devices;
- Where and how limitations on the fundamental rights of persons are defined b network;
- justice for b defined personen individuals in decisions about their regime on the establishment and respect their decisions relating to placement and relocation.“
Dari ketentuan sebagaimana yang diatur dalam Article 11 WvS diatas dapat dilihat bahwa pengaturan mengenai pidana kurungan di Belanda sudah jauh lebih modern. Dalam penerapannya nanti di dalam Undang-Undang diluar WvS, pelaksanaan pidana kurungan sudah menggunakan semacam alat (devices) guna melacak keberadaan si terpidana. Penggunaan alat yang demikian membuka kemungkinan si terpidana tidak hanya dihukum di dalam tempat khusus, melainkan dapat juga seperti tahanan rumah atau kota. Terhadap penerapan pidana pengganti atas denda, WvS juga masih menggunakan pidana kurungan sebagai pidana pengganti.[10] Sedangkan mengenai lamanya pidana kurungan adalah minimal 1 hari dan maksimum adalah 1 tahun.[11]
Penutup
Penerapan pidana kurungan dewasa ini di Indonesia memang harus diakui masih jauh dari efektif. Sehingga dalam beberapa kasus penerapan pidana kurungan sudah tidak memiliki perbedaan dengan pidana penjara pada umumnya. Akan tetapi, jangan akibat lemahnya sistem penerapan justru kita menjustifikasi pidana kurungan adalah bentuk pemidanaan yang buruk lantas menghapusnya sistem hukum pidana di Indonesia. jika kita melihat gambar yang lebih besar, justru pidana kurungan merupakan bentuk pemidanaan yang paling mild. Penerapannya yang jauh dari sifat represif sudah seharunya sesuai dengan sifat de-kolonialisme sebagaimana yang kita cita-citakan tumbuh dalam RKUHP.
[1] S.R. Sianturi, Azas-Azas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya, Jakarta, Sinar Grafika, 2002. Hal.471. sebagaimana yang dikutip oleh Hukum Online http://www.hukumonline.com/klinik/detail /cl6203/pengertian-pidana-kurungan,-pidana-penjara,-dan-pidana-seumur-hidup
[2] “Jika pidana denda tidak dibayar, ia diganti dengan pidana kurungan” Pasal 30 ayat (2) KUHP terj. Moeljatno.
[3] Revisi Kitab Undang-Undang yang digunakan Penulis adalah Revisi terbitan Kementrian Hukum dan HAM per Tahun 2015.
[4] Mengigat terdapat beberapa tindak pidana yang diatur dalam Buku 2 KUHP mengancam dengan sanksi pidana kurungan.
[5] Tindak pidana ini adalah Pasal 482 pada RKUHP atau Pasal 283 pada KUHP.
[6] Hasil penelitian yang dilakukan oleh LeIP dengan cara melakukan perbandingan terhadap tindak pidana yang sebelumnya diatur dalam KUHP kemudian dimasukkan kembali kedalam RKUHP, sehingga tindak pidana yang sama sekali baru tidak dimasukkan kedalam penghitungan disini.
[7] Lihat Pasal 8 Peraturan Mahkamah Agung No.5 Tahun 2014 tentang Pidana Tambahan Uang Pengganti dalam Perkara Korupsi.
[8] Wetboek van Strafrect yang digunakan penulis disini adalah hasil perubahan yang dilakukan pada tanggan 29 Agustus 2008.
[9] WvS diterjemahkan dengan bebas kedalam bahasa inggris.
[10] “The ruling imposing the fine, the judge recommends in case either full payment or full story follows the amount that will be implemented alternative detention. If the offender is a legal entity, remains warrant omitted…” Article 24c Number 1 WvS.
[11]“The replacement shall be at least one days imprisonment and a maximum of one years. € 25 for each full of the fine is not more than one days imposed.” Article 24c Number 3 WvS.